Konon, ada beberapa ekor tikus berkumpul dan bercengkrama di antara mereka. Tiba-tiba seekor kucing datang menyergap. Maka tikus-tikus yang lagi berkumpul itu berhamburan menyelamatkan diri. Ada yang bertabrakan dengan sesama mereka, ada yang terjatuh, dan lain sebagainya. Keesokan harinya, tikus-tikus itu sepakat berkumpul lagi untuk membahas kejadian kemarin dan cara mengantisipasi jika hal yang sama terjadi lagi.
Pada hari yang telah disepakati, tikus-tikus pun berdatangan untuk mengikuti mu’tamar, yang agenda utamanya adalah mengantisipasi kedatangan kucing. Usul demi usul pun diutarakan, namun usulan menguat pada pendapat, “Kita meletakkan bunyi-bunyian (kelintingan) di leher kucing.” Sebab kucing yang memakai kelintingan akan terdeteksi kehadirannya, sehingga para tikus bisa siap-siap dan tidak kelabakan seperti hari-hari sebelumnya. Akan tetapi, ketika usulan akan ditetapkan menjadi rekomendasi mu’tamar, ada yang bangkit dan bertanya, “Siapa di antara kita yang berani meletakkan klintingan di leher kucing?”
Ternyata, pertanyaan itu membatalkan hasil kesepakatan yang dihasilkan dalam mu’tamar tikus tersebut. Kekuasaan memang penting bagi kejayaan Islam dan kaum muslim, namun tentu kita tidak hanya sekedar menjadikannya sebagai wacana yang diperbicangkan dalam seminar, diskusi, dan kajian. Sebab betapa pun keyakinan kita tentang pentingnya kekuasaan, namun kekuasaan tidak datang dengan sendirinya, atau menunggu diberi oleh orang lain. Sebab musuh Islam tidak akan memberikan kekuasaan kepada kita secara cuma-cuma. Bahkan mereka melakukan berbagai macam cara untuk menghalangi kaum muslimin dari kekuasaan.
Rasulullah Merintis Tegaknya Kekuasaan
Rasulullah tidak menjelaskan tata cara bagaimana menegakkan kekuasaan secara rinci, namun sejarah perjalanan hidup beliau adalah satu rangkaian dalam rangka menegakkan kekuasaan. Bahkan sejak awal dakwah beliau telah menawarkan kekuasaan kepada kaumnya,
“Ucapkan kalimah la ilaha illah, maka kalian akan menguasai Arab dan Ajam (selain Arab).”
Orang-orang yang menerima dan tertarik dengan dakwah, direkrut dan dikader oleh beliau di rumah Al-Arqam bin Abil Arqam, sehingga menjadi basis pergerakan yang memikul tugas-tugas dakwah dan siap mengorbankan apa saja untuk kepentingan agama Allah swt.
Pembentukan basis itu dilakukan oleh Rasulullah saw. secara rahasia selama tiga tahun. Ketika sudah tersedia kader-kader militan, beliau diperintahkan oleh Allah swt. untuk melakukan dakwah secara terang-terangan. Maka beliau pun menyeru orang-orang Makkah di bukit Shafa dan menyampaikan dakwah secara terang-terangan. Setelah itu berbagai peristiwa dan berbagai forum dimanfaatkan oleh beliau untuk menyampaikan dakwah, dengan tetap berupaya menambah jumlah kader yang menjadi basis pergerakan.
Upaya dakwah secara terang-terangan dan perluasan basis pergerakan ini dilakukan oleh beliau bersama para shahabat dengan penuh kesabaran dan kesungguhan, meski menghadapi berbagai penyiksaan, ejekan, dan ancaman dari orang-orang yang merasa terancam kepentingan nafsunya.
Ketika disimpulkan, bahwa Makkah kurang kondusif untuk membangun basis teretorial, maka Rasulullah saw. memulai dakwah ke Thaif, dengan harapan mendapatkan basis teretorial bagi tegaknya kekuasaan Islam yang mengayomi masyarakat dan menghapuskan kezhaliman.
Karena Thaif belum dapat dijadikan sebagai wilayah kekuasaan atau territorial base bagi dakwah, maka Rasulullah saw. memerintahkan para shahabat untuk hijrah ke Habasyah. Tetapi, meskipun telah mendapatkan perlindungan dari Raja Najasyi, namun belum dapat menjadikan Habasyah sebagai territorial base. Oleh karena itu, beliau tetap berada di Makkah dan mengembangkan dakwah dengan memanfaatkan musim haji, di mana banyak kabilah dari luar Makkah yang hadir pada musim itu.
Pada tahun 11 kenabian, beliau bertemu dengan enam orang Yatsrib dan mereka masuk Islam serta berjanji menyebarkan Islam Di Yatsrib. Tahun berikutnya terjadi Bai’atul Aqabah yang pertama, diikuti oleh 12 orang Yatsrib. Kemudian beliau mengirim Mush’ab bin Umair ra. untuk mengajarkan Islam kepada kaum muslimin di Yatsrib.
Pada tahun 13 kenabian terjadi Bai’atul Aqabah kedua yang diikuti sekitar 73 orang. Pada saat itu, beliau memutuskan bahwa Yatsrib layak menjadi territorial base selanjutnya, sehingga beliau mengizinkan para shahabat untuk melakukan hijrah. Sementara beliau sendiri masih di Makkah, agar Quraisy tidak terlalu serius menghalangi para shahabat yang hijrah.
Ketika sebagian besar shahabat sudah di Madinah, maka beliau pun berangkat ke Madinah setelah mendapatkan izin dari Tuhan-nya, bersama Abu Bakar. Setelah di Madinah, beliau mengokohkan territorial base dengan membangun masjid sebagai lambang eksistensi kaum muslimin sekaligus tempat penempaan kader-kader dakwah, kemudian mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar, agar soliditas jamaah semakin kuat. Setelah itu membuat kesepakatan dengan komunitas lain yang ada di Yatsrib (kaum Yahudi). Sehingga terjadilah Piagam Madinah.
Meski Madinah sudah menjadi territorial base, namun beliau belum merasa aman, sebab territorial atau wilayah ini belum diakui oleh Negara-negara tetangga, terutama Quraisy. Oleh karena itu, beliau tidak memerintahkan para shahabat yang ada di Habasyah untuk segera pindah ke Madinah.
Setelah terjadi perjanjian Hudaibiyah, di mana saat itu Quraisy mengakui eksistensi kekuasaan Islam, maka beliau mulai memperluas pengaruh Islam, dan setelah pertempuran Khaibar, beliau memanggil para shahabat yang ada di Habasyah, agar berpindah ke Madinah.
Jabir bin Abdillah ra. meriwayatkan bahwa ketika Ja’far bin Abu Thalib ra. datang dari negeri Habasyah, Rasulullah saw. menyambutnya dengan gembira seraya bersabda, “Aku tidak mengetahui mana yang lebih membahagiakanku, pembebasan Khaibar atau datangnya Ja’far.” (HR. Hakim dalam Al-Mustadrak, dan ia mengatakan bahwa Hadis ini shahih, namun Bukhari dan Muuslim tidak meriwayatkannya)
Hasan Al-Banna Menyimpulkan Sirah Nabawiyah
Imam Hasan Al-Banna, pendiri pergerakan Islam modern yang menggagas penegakan kembali khilafah Islam, telah menggariskan langkah-langkah sistematis menuju kekuasaan Islam yang menjadi rahmat bagi seluruh alam. Langkah-langkah tersebut tertuang dalam beberapa risalahnya yang sangat monumental. Misalnya, ia menyatakan dalam risalah At-Ta’alim ketika menjelaskan rukun ‘amal dari sepuluh rukun bai’ah,
“Yang saya maksud dengan amal (aktivitas) adalah buah dari ilmu dan keikhlasan. “Dan katakanlah, ‘Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat perkerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberikan-Nya kepada kamu apa yang kamu kerjakan.’” (At-Taubah: 105)
Adapun urutan amal yang dituntut dari seorang al-akh (kader) yang tulus adalah sebagai berikut.
- Memperbaiki diri sendiri, sehingga ia menjadi orang yang kuat fisiknya, kokoh akhlaknya, luas wawasannya, mampu mencari penghidupan, selamat akidahnya, benar ibadahnya, melakukan mujahadah terhadap dirinya sendiri, penuh perhatian akan waktunya, rapi urusannya, dan bermanfaat bagi orang lain. Itu semua adalah kewajiban bagi setiap al-akh.
- Membentuk keluarga muslim, yaitu dengan mengkondisikan keluarga agar menghargai fikrahnya, memelihara etika Islam dalam setiap aktivitas kehidupan rumah tangganya, baik dalam memilih istri dan memposisikan istri sesuai hak dan kewajibannya, baik dalam mendidik anak-anak dan pembantu, serta membimbing mereka dengan dasar-dasar Islam. Itu semua juga merupakan kewajiban masing-masing al-akh.
- Membimbing masyarakat, yaitu dengan menyebarkan seruan kebaikan di tengah-tengahnya, memerangi berbagai perilaku kerendahan dan kemunkaran, mendukung berbagai perilaku mulia, melakukan amar ma’ruf, segera melakukan kebajikan, menggaet opini umum untuk mendukung fikrah Islam dan mewarnai segala aspek kehidupan umum secara terus menerus dengannya. Itu semua menjadi tanggung jawab masing-masing al-akh dan juga menjadi tanggung jawab jamaah sebagai institusi yang dinamis.
- Memerdekakan tanah air, yaitu dengan membebaskannya dari setiap penguasa asing nonmuslim, baik secara politik, ekonomi, maupun mental.
- Membenahi pemerintah sehingga menjadi pemerintahan yang benar-benar islami. Dengan begitu ia dapat melaksanakan tugasnya sebagai pelayan umat, karyawan umat, dan bekerja untuk kemaslahatan mereka. Pemerintah Islam adalah pemerintah yang anggota-anggotanya terdiri dari kaum muslimin, yang menunaikan hal-hal yang diwajibkan oleh Islam, tidak melakukan kemaksiatan dengan terang-terangan, dan menerapkan hukum-hukum Islam serta ajaran-ajarannya.
Tidaklah mengapa meminta bantuan orang-orang non muslim bila dalam keadaan darurat, asalkan bukan pada jabatan-jabatan yang menangani urusan umum. Tidak terlalu penting mengenai bentuk dan jenis pemerintahan yang diambil, selama sesuai dengan kaidah-kaidah umum dalam sistem pemerintahan Islam.
Di antara ciri-ciri pemerintahan Islam adalah rasa tanggung jawab, kasih sayang kepada rakyat, adil terhadap semua orang, menjaga diri dalam menggunakan harta negara (tidak menggunakannya untuk kepentingan pribadi/kelompok,-pent), dan ekonomis dalam penggunaannya.
Di antara kewajiban-kewajibannya adalah menjaga keamanan, melaksanakan undang-undang, menyebarluaskan pengajaran, menyiapkan kekuatan, memelihara kesehatan, melindungi kepenti-ngan-kepentingan umum, mengembangkan kekayaan alam, menjaga harta kekayaan, mengokohkan moralitas, dan menebarkan dakwah.
Di antara hak-haknya bila ia menunaikan kewajiban-kewajibannya- adalah loyalitas dan ketaatan, serta bantuan harta dan tenaga (jiwa). Akan tetapi, bila ia mengabaikan kewajibannya, maka ia berhak mendapatkan nasihat dan bimbingan, kemudian (bila tidak ada perubahan) pemecatan dan dikucilkan. Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam mendurhakai Khaliq swt.
- Mengembalikan eksistensi kenegaraan (al-kayyan ad-dauli) bagi umat Islam, yaitu dengan memerdekakan negeri-negerinya, menghidupkan kembali kejayaannya, memadukan peradabannya, dan menyatukan kata-katanya, sehingga itu semua dapat mengembalikan khilafah yang telah hilang dan persatuan yang diidam-idamkan.
- Kepeloporan internasional (ustadziyatul ‘alam), yaitu dengan menyebarkan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. “Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya seluruh ketundukan itu semata-mata untuk Allah.” (Al-Anfal: 39) “Dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang kafir tidak menyukai.” (At-Taubah: 32)
Keempat hal terakhir ini menjadi kewajiban jamaah secara bersama dan juga menjadi tanggung jawab setiap al-akh sebagai anggota dalam jamaah tersebut. Sungguh, betapa beratnya tanggung jawab ini dan betapa luhurnya tugas ini. Orang lain melihatnya sebagai utopia, sedangkan al-akh melihatnya sebagai kenyataan. Kita tidak akan pernah berputus asa, dan kita memiliki harapan besar kepada Allah swt. “Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.” (Yusuf: 21) (Risalah At-Ta’alim)
Pada kesempatan lain Hasan Al-Banna menyatakan, bahwa media yang digunakan Ikhwanul Muslimin secara umum adalah sebabagai berikut.
- Pemantapan dan penyebaran dakwah dengan berbagai media informasi, sehingga dapat dipahami opini publik agar kemudian menjadi pendukung dakwah dengan penuh keimanan.
- Penyeleksian unsur-unsur yang baik agar menjadi tiang penyangga yang kokoh bagi fikrah perbaikan.
- Perjuangan secara konstitusional hingga gema dakwah bergelora di berbagai forum resmi, yang didukung dan ditopang oleh kekuatan eksekutif. Didasari prinsip ini, calon-calon Ikhwan akan maju, agar ketika waktu yang tepat tiba mereka tampil mewakili umat di legislatif.
Kita harus yakin bahwa dengan pertolongan Allah, kita akan berhasil, asalkan kita konsisten mencari ridha Allah. “Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuat lagi Mahamulia.” (Al-Hajj: 40)
Selain media dan cara di atas, kita tidak menempuh dan menggunakannya kecuali jika terpaksa. Dengan demikian, kita akan tetap terbuka dan sarat nilai, serta tidak akan sungkan dan segan menjelaskan sikap kita secara jelas, lugas, tidak ada kerancuan, dan samar-samar. Kita pun sangat siap menanggung segala akibat dari kerja kita, apapun hasilnya, tanpa harus lempar batu sembunyi tangan atau melemparkan tanggung jawab kepada orang lain. Sebab kita semua paham, bahwa apa yang ada di sisi Allah lebih baik dan lebih kekal. Adapun totalitas dalam haq adalah inti dari eksistensi keabadian. Sebagaimana kita pahami, tidak ada dakwah tanpa jihad dan tidak ada jihad tanpa pengorbanan. Di saat itulah pertolongan dan kemenangan pasti tiba. Maka terealisasilah firman Allah,
“Sehingga apabila para rasul tidak memiliki harapan lagi (tentang keimanan mereka), dan telah meyakini bahwa mereka telah didustakan, datanglah kepada para rasul itu pertolongan Kami, lalu diselamatkan orang-orang yang Kami kehendaki. Dan tidak dapat ditolak siksa Kami dari orang-orang yang berdosa.” (Yusuf: 110) (Risalah mu’tamar sadis)