Oleh: Yugi Sukriana
Yakni fenomena lemahnya manusia dalam memilah dan memverifikasi sumber pengetahuan. Membedakan mana yang sahih dan mana yang waham (delusi).
Wabil khusus apabila menengok ke dalam intelektualisme Islam, kita akan temukan bahwa disiplin dalam memverifikasi ma’lumat (informasi) serta mengkualifikasi sumber-sumber pengetahuan telah menjadi tradisi panjang para ulama.
Di dalam urusan agama, seorang ulama salaf, Imam Muhammad Ibn Sirrin ra meletakkan sebuah kaidah yang berbunyi:
إن هذا العلم دين فانظروا عمن تأخذون دينكم
“Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa kalian mengambil agama kalian.”
Kaidah ini menjadi kaidah abadi dalam melakukan seleksi pengetahuan, khususnya –pada waktu itu– ilmu hadits. Terlebih setelah era yafsyul kadzib (menyeruaknya kedustaan) seseorang tidak bisa lagi mengklaim secara serampangan bahwa dia mengatakan sesuatu dalam urusan agama lalu menyandarkan klaimnya tersebut atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dimotivasi sebuah hadits mutawatir:
من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار
“Sesiapa yang secara sengaja berdusta dengan mencatut namaku, maka persiapkanlah tempatnya di neraka.”
Maka berkembanglah ilmu rijal, ilmu jarh wa ta’dil, menimbang ketsiqahan perawi atas ‘adalah dan dhabit-nya, menimbang kasahihan, kelemahan ataupun kedustaan sebuah riwayat, melakukan sabr dan muqaranah terhadap riwayat yang kalau kita pikir-pikir di zaman modern ini pekerjaannya bak seorang statistikawan.
Maka kita akan menyaksikan hasil penapisan dari disiplin ini berupa ilmu pengetahuan yang bersih, murni dan tidak tercampur danas dan waham, berkualitas tinggi, bermanfaat baik bagi dunia terlebih bagi akhirat seorang muslim.
Prinsip-prinisip kolektivitas dalam berilmu pun dipraktekkan dengan seksama. Kualitas riwayat syadz dikenali, apabila seorang penggiat ilmu (rawi) sering melakukan tafarudh (bersendirian) dalam pendapatnya dan menyelisihi mayoritas peer semasanya maka bisa semakin turun derajat kepercayaan kepada pribadi tersebut dan ujung-ujungnya kualitas informasi yang dibawakannya juga bisa ikut-ikutan turun.
Etos kerja ilmiah berupa penapisan informasi ini terbawa hingga perkembangan umat Islam yang harus berinteraksi dengan literatur Yunani. Bukan sekedar menerjemahkan, kaum cerdik pandai di kalangan umat ini juga memberikan komentar sekaligus mengkritisi segala klaim di dalam naskah-naskah kuno tersebut, seraya mengusulkan model pembuktian empirik melalui serangkaian desain eksperimental sebagai metodologi seleksi atas sebuah klaim kebenaran. Sebuah metodologi sentral dalam sains yang digunakan hingga hari ini.
Sedihnya, di era semua orang boleh berbicara bebas di atas mimbar digital, kita melihat seorang yang telah menempuh jalan ilmu secara tertib seolah bisa ditimbang sama bahkan dikalahkan oleh seseorang yang jauh sekali keilmuwannya hanya karena kalah populer. Bahkan kesimpulan kolektif para ahli dengan jumlah besar dan masing-masing saling mengoreksi (peer reviewing) bisa digoyang oleh satu dua orang yang entah siapa yang mendakunya sebagai ahli lalu memanggungkannya kepada khalayak yang luas.
Kita menyaksikan kesimpulan banyak para ahli yang hands on dengan mesin PCR, hands on dengan mesin sequencing serta mampu membuktikan eksistensi virus yang tak kasat mata berikut dampak-dampaknya, dapat dianulir oleh satu dua orang yang katanya ahli yang entah dengan menggunakan metode apa dan kapan menelitinya. Padahal predikat ahli (ekspert) atas suatu bidang ilmu hanya bisa disematkan oleh sesama ekspert, sebagaimana hanya ulama yang mengenali martabat keulamaan seseorang, hanya ahli hadis yang mampu melakukan naqd kepada muhaditsin lainnya. Apabila urusan seberat ini dimainkan dikalangan awam, maka akan hancur tatanan pengetahuan, akan hancur tatanan peradaban, dan pada gilirannya akan meletakkan masyarakat kita dalam bahaya. Pandemi ini salah satu contohnya.
Kita hidup pada hari ini dalam keadaan lemah, seolah umat ini kehilangan kemampuan luhurnya dalam menyeleksi informasi dan memetakan mana saja yang layak dan otoritatif untuk diambil ilmunya.
Untuk itu, mari kita dudukan lagi sesuatu pada tempatnya, kita tunjukan lagi bagaimana pengetahuan-pengetahuan baru terbentuk, dirilis, dikritisi oleh sesama ahli. Bagaimana sebuah dugaan diuji hingga sampai pada taraf meyakinkan dan dalam urusan tertentu bahkan ittifaq diantara sesama pakar. Kita ajarkan lagi kaidah-kaidah ilmu, adab-adab ilmu dan para pencari ilmu, kita ajarkan lagi anak-anak kita sikap respect kepada orang-orang yang berilmu, dan menimbang segala sesuatu dengan ilmu, atau bertanya kepada otoritas ilmu.
فاسألوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون
Pada akhirnya mari kita berdoa.
اللهم أخرجنا من ظلمات الوهم وأكرمنا بنور الفهم وافتح علينا بمعرفة العلم وحسّن أخلاقنا بالحلم وسهل لنا أبواب فضلك وانشر علينا من خزائن رحمتك يا أرحم الراحمين
“Ya Allah keluarkanlah kami dari kegelapan waham, muliakanlah kami dengan cahaya pemahaman, bukakanlah bagi kami pengenalan kepada ilmu, perbaikilah perilaku kami dengan kelembutan, mudahkanlah bagi kami pintu-pintu keutamaan-Mu, bagilah kepada kami segala perbendaharaan rahmatmu, wahai Sang Maha Penyayang.”
1 comment
Maa Syaa Alloh, paparan dari orang berilmu (expert) dibidangnya sangat mencerahkan. Teruslah berkarya anak muda. Jadilah orang yang terbaik dan produktif.
Ummat butuh pencerahan, haus keilmuan yang benar. Ummat dahaga wawasan.