Oleh: Taufik Yusuf M. Njong
Tahun 1992, dalam sebuah operasi di Sudan Selatan Syeikh Ahmad Mahjub Hajj Nur menderita luka ringan di lehernya. Ustad Ja’far Banka (komandan Ad-Difa’ As-Sya’bi) yang melihat Syeikh Hajj Nur menangis kemudian bertanya, “Kenapa engkau menangis wahai Syeikh. Itu hanya luka ringan.” Syeikh Hajj Nur menjawab, “Aku tidak menangis karena rasa sakit oleh luka ini, akan tetapi aku menangis seandainya aku sedikit gemuk tentunya peluru itu akan menembus leherku”.
Kerinduan terhadap kesyahidan itu menjadi kenyataan 10 tahun kemudian. Tahun 2002, dalam operasi Torit di Sudan Selatan, sebutir peluru benar-benar menembus lehernya dan darahnya pun deras bercucuran. Beliau syahid dalam medan jihad diusia 57 tahun.
As-Syahid Ahmad Mahjub Hajj Nur, nama itu diabadikan pada sebuah gedung fakultas Syari’ah International University of Africa (IUA). Mahasiswa yang pernah kuliah di fakultas Syari’ah wa Al-Qanun dan dirosat Islamiyyah hampir bisa dipastikan pernah memasuki gedung tersebut. Meskipun banyak yang tidak tahu perjuangan As-Syahid Hajj Nur atau bahkan sama sekali tidak mengetahui siapa dia.
Berbicara tentang para ulama yang menjadi ikon jihad di era kontemporer, sepertinya tidak bisa dilepaskan dari nama-nama seperti Syeikh Dr. Abdullah Azzam dan Syeikh Dr. Musthafa Husni As-Siba’i. Keduanya adalah ulama mumpuni, mendapatkan gelar doktoral dari Universitas Al-Azhar As-Syarif. Syeikh Abdullah Azzam aktif mengajar di King Abdul Aziz University dengan semua fasilitasnya sedangkan As-Siba’i adalah dekan pertama fakultas Syariah Universitas Damaskus. Akan tetapi, Syeikh Abdullah Azzam tidak syahid di tengah medan jihad Afganistan dan Syeikh As-Siba’i juga tidak syahid dalam perang Arab-Israel 1948 dimana ia menjadi komandan batalion sukarelawan mujahidin Ikhwan dari Suriah.
Berbeda dengan As-Syahid Syeikh Ahmad Mahjub Hajj Nur, ia adalah hakim, dekan pertama fakultas syari’ah Universitas Internasional Afrika Sudan dan kemudian menjadi wakil rektor IUA dengan segala fasilitasnya. Di usianya yang sepuh dan setelah putranya (Abdullah Hajj Nur) sebelumnya (tahun 1995) telah lebih dulu syahid dalam perang di Sudan Selatan, kerinduannya terhadap syahadah membawa lelaki kurus kering itu ke jantung peperangan, ia membangun musholla, menggali sumur, membersamai para mujahidin , menyemangati dan menasehati mereka.
Beliau lahir tahun 1945 di Provinsi Syamaliyah Sudan. Menghafal Al-Quran sejak dini kemudian bergabung dengan gerakan Islam dan menjadi salah satu da’inya. Lulus dari Universitas Khartoum tahun 1969 beliau ditugaskan di kementerian kehakiman. Jabatannya di mahkamah Syariah terus menanjak dan ditugaskan di wilayah Shendi.
Universitas Internasional Afrika yang berdiri tahun 1966 dengan nama Al-Ma’had Al-Islamy Al-Afriqy kemudian berubah namanya menjadi Al-Markaz Al-Islamy Al-Afriqy lalu pada tahun 1991 resmi menjadi Universitas. Embargo internasional terhadap Sudan serta diputusnya aliran dana untuk universitas dari negara-negara donatur di kawasan teluk karena sikap pemerintah Sudan yang kontra dengan Saudi yang meminta bantuan Amerika dalam perang teluk membuat Universitas kelimpungan mencari dana. Syeikh Ahmad Mahjub Hajj Nur yang menjadi dekan fakultas Syari’ah mengunjungi berbagai negara Afrika dan Asia mencari dana dan para mahasiswa untuk dikader di IUA. Hingga dikemudian hari lebih dari 70 negara tercatat sebagai mahasiswa di Universitas Internasional Afrika dan Universitas pun mandiri dengan aset-asetnya. Semua itu tak terlepas dari kontribusi besar yang diberikan oleh Syeikh Hajj Nur. Bahkan, kontribusinya yang besar juga tercatat di Bank-Bank Islam, Dewan Zakat Sudan dan tentu saja di medan Jihad.
Ketika Presiden Ja’far An-Numery memberlakukan syariat Islam pada tahun 1983, ia meminta kepada Dr. Hasan At-Turabi agar merekomendasikan seseorang yang tidak pernah kenyang dari harta haram (untuk dijadikan sebagai penanggung jawab Baitul Mal). Hasan At-Turabi pun menunjuk Syeikh Ahmad Mahjub Hajj Nur. Melihat Syeikh Hajj Nur yang kurus kering, Ja’far An-Numeri berkata dengan dialek ‘amiyah Sudan: “Wallahi dah minal halal zatu ma syabi’, demi Allah lelaki ini dari yang halal pun dia belum kenyang”.
Syeikh Hajj Nur adalah potret dari seorang ulama yang zuhud. Sorban putih dan jalabiyah (jubah khas Sudan) yang lusuh itu memasuki gedung kuliah IUA, Dewan Zakat atau bahkan Istana negara. Selama puluhan tahun kemewahan dunia berdesakan dipintu rumahnya tanpa ia pedulikan. Diwaktu yang sama para fakir miskin juga mengantri di pintu rumahnya untuk mendapatkan sedikit kebutuhan hidup.
Dr. Adeel As-Sammani menceritakan bahwa pada tahun 1994, Syeikh Hajj Nur dipanggil kembali ke Khartoum untuk memimpin jama’ah haji Sudan pada tahun tersebut. Hal yang ditolak oleh beliau. Syeikh justru menaiki mimbar dan berpidato didepan para mujahidin: “Haji kita tahun ini insya Allah di Istiwaiyah (sebuah propinsi di Sudan Selatan).”
Ketika anaknya, Abdullah (seorang perwira angkatan udara) syahid pada tahun 1995, ia diminta untuk kembali ke Khartoum. Syeikh Hajj Nur menolak pemanggilan itu. Beliau berkata: “Aku tidak menemukan hujjah baik dalam Al-Qur’anul Karim dan Sunnah An-nabawiyah yang mengharuskan seseorang untuk mundur dari medan jihad dan kembali kekeluargannya ketika salah seorang anggota keluarganya syahid.”
Sekitar tiga tahun lalu, pernah kami tanyakan kepada seorang dosen hadis kami, Syeikh Dr. Sulaiman Muhammad Karam (anggota Majma’ Fiqih Islami Sudan), tentang As-Syahid Hajj Nur. Beliau menjelaskan bahwa Asy-Syahid Syeikh Ahmad Mahjub Hajj Nur adalah seorang mujahid dengan segala makna yang dikandung oleh kata ‘Mujahid’.
Dihari-hari terakhir menjelang kesyahidannya, Syeikh Hajj Nur irit berbicara. Beliau berkata: “Wasiat kami bagi kalian untuk yang pertama dan terakhir adalah wasiat Allah SWT dalam kitabNya: ‘Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu bertemu pasukan (musuh), maka berteguh hatilah dan sebutlah (nama) Allah banyak-banyak (berzikir dan berdoa) agar kamu beruntung. (QS. Al-Anfal: 45)'”.
Malam hari sebelum beliau syahid, para Mujahidin bersaksi bahwa beliau melakukan qiyamullail yang panjang. Dan besoknya ia kembali kepada ‘keabadian’. Jasad itu kemudian dikebumikan di medan jihad dan sholat ghoib didirikan di Mesjid Al-Atiq IUA dan lain-lain.
Rahimahullah.
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak merubah (janjinya)” QS Al-Ahzab-23.
2 comments
Mohon dikoreksi sebab peristiwa kematian Syeikh Dr. Musthafa Husni As-Siba’i. Dalam sebuah artikel disebutkan “Oktober 1964, Syeikh Dr. Mushtafa As-Siba’i wafat dalam usia 49 tahun setelah pergumulan panjang dengan penyakitnya”. https://www.fikroh.com/2021/03/Biografi-Dr.-Mustafa-Husni-As-Sibai.html
Apakah yang dimaksud mengoreksi paragraf ini?
“Akan tetapi, Syeikh Abdullah Azzam tidak syahid di tengah medan jihad Afganistan dan Syeikh As-Siba’i juga tidak syahid dalam perang Arab-Israel 1948 dimana ia menjadi komandan batalion sukarelawan mujahidin Ikhwan dari Suriah.”
Di paragraf tersebut Ustadz Taufik menyebutkan: “…Syeikh As-Siba’i juga TIDAK SYAHID dalam perang Arab Israel 1948..” jadi memang beliau tidak wafat pada tahun 1948.