Oleh: Taufik M. Yusuf Njong
Keberhasilan gerakan Taliban (yang berteologi maturidi dan sering diidentikkan dengan radikalisme) menguasai kembali Afghanistan seperti telah mencoreng ‘lembaran putih’ sejarah mazhab asy’ari-maturidi yang relatif moderat dan jauh dari kekerasan dan takfir/pengkafiran serampangan. Setidaknya seperti itulah klaim para pendukungnya.
Al-Imam Al-Akbar Syeikhul Azhar Dr. Ahmad Thayyib dalam Al-Qaul At-Thayyib-nya mempresentasikan Mazhab Asy’ari (dan Maturidi) sebagai model teologi moderat yang harus terus dikampanyekan di tengah merebaknya kecenderungan membid’ahkan, pengkafiran serampangan, kekerasan dan terorisme yang menjangkiti dunia Islam dan Timur Tengah khususnya dalam beberapa dekade terakhir.
Beliau beralasan, diantaranya; karena Mazhab Asy’ari (dan Maturidi) adalah Mazhab yang paling seimbang dalam memadukan teks dan logika. Mazhab Asy’ari adalah mazhab perdamaian antara umat, karena Mazhab Asy’ari adalah ‘satu-satunya’ Mazhab yang menjadikan persatuan umat sebagai salah satu prinsip utama hingga tidak gegabah dalam menegasikan kelompok lain dan mengkafirkan sesama muslim selama mereka masih beriman kepada Allah SWT, Malaikat dan seterusnya.
Beliau kemudian berargumen dan mengutip perkataan Abu Hasan Al-Asy’ari ketika ajal akan menjemputnya sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Asakir: “Saksikanlah bahwa aku tidak mengkafirkan seorangpun dari ahli kiblat, karena (mereka) semuanya menyembah Tuhan Yang Maha Esa, akan tetapi semua (perbedaan mazhab akidah) ini hanyalah perbedaan ungkapan saja.”[1]
Sedikit catatan, kitab Al-Qaul At-Thayyib adalah kumpulan beberapa tulisan dan ceramah Al-Imam Al-Akbar yang kemudian dibukukan. Karenanya, wajar jika kitab ini sedikit berbeda dengan karya-karya ilmiyah umumnya baik dari gaya bahasa dan ‘keterperinciannya’. Tidak tertutup kemungkinan, sebagian orang akan memahami bahwa argumen beliau (Syeikhul Azhar) dengan perkataan Abu Hasan Al-Asy’ari diatas ‘cukup’ untuk menjadikan dan mengklaim sebuah mazhab sebagai mazhab yang moderat.
Jika kita setuju dengan klaim di atas, bahwa statemen pendiri mazhab yang tidak mengkafirkan sesama muslim cukup untuk mengklaim sebuah mazhab tersebut sebagai mazhab moderat, harusnya kita juga harus mengakui bahwa mazhab Salafi/Wahabi dan gerakan Islam seperti Ikhwanul Muslimin adalah mazhab yang moderat juga.
Sebab, Imam Adz-Zahabi ketika mengomentari perkataan Abu Hasan Al-Asy’ari diatas, beliau berkata: “Seperti inilah (seperti pengakuan Al-Asy’ari) aku meyakini, seperti itu juga guru kami Ibnu Taimiyah (yang merupakan ulama rujukan wahabisme) berkata pada hari-hari terakhir dalam hidupnya; ‘aku tidak mengkafirkan seorangpun dari umat ini.’ Beliau (Ibnu Taimiyah) juga berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘tidaklah menjaga wudhu’ kecuali seorang muslim’, maka barang siapa yang menjaga sholat dengan wudhu’ maka dia adalah seorang muslim.”[2]
Begitu pula dengan Asy-Syahid Hasan Al-Banna, pendiri Ikhwanul Muslimin, beliau mengatakan dalam 20 prinsipnya (di prinsip yang ke 20) bahwa: “Kita TIDAK mengkafirkan seorang muslim yang telah mengikrarkan dua kalimat syahadat, mengamalkan tuntutan-tuntutannya dan melaksanakan kewajiban-kewajibannya, baik karena pendapatnya maupun kemaksiatannya, kecuali jika ia mengatakan kata-kata kufur, atau mengingkari sesuatu yang telah diakui sebagai asas dari agama, atau mendustakan ayat-ayat Al-Qur’an yang sudah jelas maknanya, atau mentafsirkannya dengan cara yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab, atau melakukan suatu perbuatan yang tidak mungkin diinterpretasikan kecuali kekufuran.”
Namun, terlepas apakah kita setuju bahwa mazhab Asy’ari, Salafi atau gerakan Islam dan lain-lain adalah mazhab yang moderat atau bukan, kita tidak bisa menafikan bahwa banyak individu ataupun oknum dari mazhab-mazhab tersebut yang bersikap ekstrem. Dan sejarah telah mencatat dan menceritakannya kepada kita. Sebagai contoh, pada tahun 475 H, para pengikut Asy’ari menyambut kedatangan Abu Al-Qasim Al-Asy’ari di Universitas An-Nizhamiyah, beliau kemudian berceramah dan berkata (mengutip potongan ayat 102 surat Al-Baqarah): “Dan Sulaiman itu tidak kafir tetapi setan-setan itulah yang kafir…Dan Imam Ahmad itu tidak kafir, namun para pengikutnyalah yang kafir.” [3]
Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali sendiri telah mengkritik pengkafiran yang dilakukan oleh pengikut Asy’ari terhadap pengikut Hanbali (juga sebaliknya) dalam Faishal At-Tafriqah-nya.[4] Sebagaimana beliau mengkritik sikap ekstrim sebagian mutakallimin (termasuk sebagian mutakallimin Asy’ari) yang mengkafirkan orang-orang awam yang tidak mampu menjelaskan argumen-argumen akidah dengan metode mutakallimin.[5]
Adapun sikap ekstrem dan pengkafiran yang dilakukan oleh Ghullat Al-Hanabilah hingga Salafiyah kontemporer terhadap lawan-lawannya, maka teramatlah banyak untuk disebutkan. Bahkan, hampir semua gerakan ekstrim di era modern sedikit banyaknya ‘beririsan’ dengan Wahabisme. Terlepas apakah mereka diakui sebagai salafi atau justru dianggap sebagai Neo-khawarij.
Dari rahim Gerakan Islam, khususnya Ikhwanul Muslimin juga lahir oknum-oknum yang cenderung kepada takfir dan kekerasan. Di Mesir, mereka melakukan pembunuhan di era 40-an terhadap Hakim Ahmad Al-Khazindar dan PM Mahmoud El Nokrashy Pasha hingga Al-Banna kemudian berlepas diri dari mereka dan mengatakan perkataannya yang terkenal, “Laisu Ikhwana Wa Laisu Muslimin.” Kecenderungan Takfiri ini juga yang kemudian membuat Ust Hasan Al-Hudhaibi (Mursyid kedua IM) membubarkan Tandzim Sirri/Nizham Khas serta mengarang kitab Du’ah La Qudhah untuk membantah pemikiran sebagian pemuda Ikhwan yang ekstrim efek penyiksaan luar biasa dalam penjara diktator Mesir saat itu.
Di Suriah, ada kelompok Thali’ah Muqatilah yang juga bersikap keras dan melakukan ‘pembantaian sekolah artileri’ di Aleppo tahun 1979. Pembantaian itu menewaskan sekitar 50-80 siswa sekolah militer sekte Syi’ah Nushairiyah. IM kemudian mengeluarkan pernyataan resmi mengingkari pembantaian tersebut dan berlepas diri darinya
Musibah takfir ini juga terjadi pada sebagian tarekat shufi seperti Tarekat Al-Azmiyah yang mengkafirkan kelompok Salafi khususnya Ibnu Taimiyah dan Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab, sebagiannya diceritakan oleh Dr. Muhammad Imarah (anggota Haiah Kibar Ulama Al-Azhar) dalam bukunya Fitnah At- Takfir baina As-syi’ah wa Al-Wahhabiyah wa As-Shufiyah. [6]
Di Sudan, ada gerakan Al-Mahdi pada akhir abad ke 19 yang dipimpin oleh Syeikh Muhammad Ahmad Al-Mahdi (seorang Syeikh Tarekat As-Samaniyah yang terpengaruh dengan Ibnu Arabi dan mengaku sebagai Imam Mahdi Al-Muntazhar) yang mengkafirkan siapapun yang tidak mengakui ‘kemahdiannya.’[7]
Dari pemaparan diatas, sebenarnya kita bisa melihat bahwa di setiap kelompok ada individu-individu yang moderat dan ekstrim, meskipun bervariasi , antara banyak dan sedikit. Ada yang memang cuma oknum dan ada juga oknum-oknum, ‘tapi sekolam’ dan dibiarkan.
Jika oknum-oknum dari mazhab-mazhab teologis tersebut dan gerakan Islam bisa jatuh dalam sikap ekstrem dalam membid’ahkan, mengkafirkan hingga melakukan tindak kekerasan dan terorisme (padahal mereka mengklaim kelompoknya sebagai mazhab moderat dan anti pengkafiran serampangan), kemungkinan besar ada penyebab lain di samping penyebab ideologis yang menyebabkan mereka menjadi radikal dan mudah mengkafirkan.
Diantaranya adalah: Pertama, kebodohan. Banyak orang yang begitu bersemangat membela kebenaran dan Islam, namun sangat disayangkan semangat tersebut ternyata tidak dilandasi oleh pemahaman dan ilmu yang mumpuni dan moderat.
Kedua, keterbelakangan dan ketertinggalan. Kondisi sosial masyarakat yang terbelakang dan jumud, baik secara ekonomi dan pendidikan mempunyai penyebab besar dalam melahirkan ekstrimisme. Sebagai contoh, pemahaman Wahabisme yang tumbuh di pedalaman Nejd (sebelum kabilah-kabilah itu dirumahkan ke kota Riyadh, Makkah,Madinah, dan lain-lain) lebih konservatif dan kaku ketimbang Salafiyah Ishlahiyah Mesir yang lebih terbuka seperti Muhammad Rasyid Ridha, Muhibbuddin Al-Khatib, dan lain-lain. Begitu juga dengan masyarakat Sudan dan Taliban di Afghanistan. Ketertinggalan ekonomi dan pendidikan ditambah isolasi dan embargo dari dunia luar tentu punya andil besar dalam membentuk masyarakat konservatif. Padahal mazhab Hanafi yang dianut oleh mayoritas rakyat Afghan adalah mazhab fiqih yang cukup rasional dan terbuka dengan ijtihad-ijtihad baru.
Ketiga, kezaliman dan penyiksaan. Sebab ini sering dianggap remeh atau bahkan dikesampingkan oleh banyak orang terutama mereka yang dekat dengan pemerintahan otoriter. Padahal, kezaliman (terutama dari penguasa) adalah salah satu sebab penting lahirnya ekstrimisme. Ketika rakyat yang mencari keadilan justru dizalimi oleh pihak yang seharusnya memberikan keadilan, maka kebencian dan dendam akan mengarahkan mereka untuk mencari keadilan dengan cara mereka sendiri.
Al-Imam Al-Akbar Dr. Ahmad Thayyib menyebutkan bahwa penjara dan penyiksaannya yang melampaui batas adalah salah satu sebab lahirnya pemahaman ekstrim di kalangan sebagian para pemuda Islam di Mesir. Beliau menggarisbawahi bahwa tahun 1967 bisa dibilang sebagai momen lahirnya kembali pemahaman ekstrim kelompok khawarij melalui jama’ah Takfir Wa Al-Hijrah Mesir dimana sebelumnya mereka menderita penyiksaan brutal di penjara-penjara Mesir.[8]
Di abad ke 19, kezaliman yang menimpa masyarakat Sudan karena beban pajak dari pemerintahan Turki-Mesir yang berada di bawah kekuasaan Inggris membuat masyarakat Sudan kemudian melawan dan melakukan revolusi. Dikemudian hari mereka mengkafirkan siapapun yang tak mengakui ‘kemahdian’ pemimpinnya.
Keempat, politik dan kekuasaan. Seringkali, hasrat untuk berkuasa menjadikan para ‘politisi’ mempolitisasi teks-teks agama untuk mencapai kekuasaannya. Hampir semua gerakan yang dianggap ekstrim punya keinginan untuk berkuasa, mulai dari gerakan Wahabi yang berkoalisi degan Bani Su’ud, Al-Qaeda, ISIS sampai Taliban sekarang. Bahkan, kaum mu’tazilah yang sedemikan rasional berubah menjadi radikal dan mengkafirkan tokoh-tokoh sunni yang berseberangan dengan mereka ketika mereka mempunyai akses dan dekat dengan kekuasaan, sebagaimana yang terjadi di abad ke 3 Hijriyah ketika mereka mampu mempengaruhi beberapa Khalifah Dinasti Abbasiyah.
Di Libya, oknum sekte Al-Madkhali yang paling anti dengan kekerasan dan paling sering menuduh lawannya sebagai khawarij juga terjatuh dalam perbuatan khawarij ketika mereka dekat dengan kekuasaan dan politik (Haftar) dan kemudian membunuh Amin Al-Fatwa Libya Syeikh Nadir Al-Omrany rahimahullah.
Lalu apakah mazhab teologi yang moderat adalah mazhab yang sama sekali tidak mau mengkafirkan? Tentu tidak. Al-Azhar yang menolak bahkan untuk mengkafirkan ISIS dalam beberapa kasus juga mengkafirkan beberapa sekte diluar Islam seperti Ahmadiyah. Ataukah mazhab radikal itu khusus untuk mereka yang mengkafirkan penguasa negara Islam? Seperti Al-Qaeda dan ISIS? Lalu bagaimana dengan Syeikh Al-Qaradhawi bahkan Syeikh Al-Buthi yang mengkafirkan Muammar Qaddafi? Jika Syeikh Al-Qaradhawi dianggap radikal karena mengkafirkan Qaddafi kenapa banyak orang diam bahkan sama sekali tidak mengkritik fatwa kufr bawwah Syeikh Al-Buthi terhadap Qaddafi dan kebolehan memberontak terhadap pemerintahannya?[9]
Terlepas dari semua klaim moderat dan tuduhan ekstrimis terhadap lawan, kita harus mengakui bahwa mazhab Asy’ari-Maturidi dengan pemahaman Al-Azhar (dengan segala kelebihan dan kekurangannya) secara umum adalah mazhab yang paling steril dari kekerasan dan paling konsisten membendung ekstrimisme. Kita harus mengakuinya dengan jujur.
Kemudian kita juga harus mengakui dengan jujur benih-benih takfiri di setiap kelompok untuk kemudian berusaha sebisa mungkin mengobati dan menyembuhkannya. Karena ‘mustahil’ untuk mengobati suatu penyakit jika si sakit justru tidak mengakui bahwa ia sakit.
Terakhir, program deradikalisasi yang dilakukan bersamaan dengan kezaliman terhadap rakyat yang beroposisi atau terhadap musuh-musuh politik sembari diam atau bahkan merestui dan memberkati kezaliman dan penindasan, sejatinya sama saja dengan menabur kembali benih-benih baru radikalisme.
Wallahu A’lam.
Catatan Kaki:
[1] Al-Qaul At-Thayyib, Al-Imam Al-Akbar Ahmad Thayyib juz 1 hal 44 dan 79 cet 1 Dar Al Hokama Publising.
[2] Siyar A’lam An-Nubala, Adz-Zahabi. Hal 88 jilid 15. Atau ‘Kaifa Nata’amalu Ma’a At-Turats Wa At-Tamadzhub Wa Al-Ikhtilaf, Syeikh Al-Qaradhawi, hal 296 tanpa cetakan (kitab pdf dari website Syeikh).
[3] Al-Kamil Fi At-Taarikh, Ibnu Al-Atsir, juz 10 hal: 124. Atau Hakadza Zahara Jiilu As-Shalahuddin, Majid Kailani, hal: 47.
[4] Faishal At-Tafriqah Baina Al-Islam Wa Az-Zandaqah, Al-Ghazali, Hal 56 Cet 1 Dar Al-Minhaj.
[5] Ibid, hal: 94.
[6] Fitnah At-Takfir, Dr. Muhammad Imarah, Hal 66.
[7] Mansyurat Al-Imam Al-Mahdi, Jilid 1 hal 11, Cet: Mathba’ah Al-Hajar, Omdurman tahun 1936 M.
[8] Al-Qaul At-Thayyib, jilid 1 Hal: 47-56.
[9] Min Sunanillahi Fi ‘Ibadih, Syeikh Al-Buthi, Hal: 115. Cet: Dar Elfikr.