Oleh: M. Indra Kurniawan
Saudaraku, pernahkah Anda merenungkan tentang nikmat iman yang kini Anda rasakan? Pernahkah Anda mencoba menghitung, berapa puluh, berapa ratus, berapa ribu, bahkan berapa juta orang yang telah berjasa menyampaikan hidayah Islam kepada Anda?
Berapakah jumlah para da’i, mubaligh, ulama, syuhada di sepanjang sejarah yang telah berkontribusi dalam menyampaikan nilai-nilai Islam ke dalam hati dan pikiran Anda? Ada tetesan peluh, darah, dan air mata yang telah mereka persembahkan demi tersiarnya risalah Islam dari generasi ke generasi; dari zaman ke zaman. Jutaan tetes tinta telah digoreskan. Ribuan satuan waktu telah dihabiskan.
Mereka, para pemangku risalah itu, telah mengorbankan apa yang mereka miliki demi kejayaan dakwah. Ya, sejarah dakwah adalah sejarah pengorbanan. Lembaran-lembarannya bercerita kepada kita tentang hal itu. Sejak dari zaman para Nabi dan Rasul hingga zaman manusia-manusia akhir zaman.
Pengorbanan Waktu dan Tenaga
Mari kita tengok lembaran sejarah dakwah Nuh ‘alaihissalam. Beliau sampaikan risalah tauhid kepada kaumnya dengan upaya yang sungguh-sungguh dan pengorbanan yang tidak sedikit.
Beliau habiskan masa selama 950 tahun untuk berdakwah menyeru kaumnya tanpa kenal lelah dan bosan. Allah Ta’ala menyebutkan pengorbanan Nabi Nuh ini melalui firman-Nya,
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. Maka mereka ditimpa banjir besar, dan mereka adalah orang-orang yang zalim.” (Q.S. Al-Ankabut: 14)
Dakwah ini pun disampaikan Nuh ‘alaihissalam dengan beragam cara, baik dengan terang-terangan maupun dengan sembunyi-sembunyi. Kadang-kadang disampaikan di waktu malam, terkadang disampaikan di waktu siang.
Al-Qur’an merekam pergerakan dakwah Nabi Nuh tersebut dalam ayat berikut,
“Nuh berkata: ‘Ya Tuhanku sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang. Maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran). Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka (kepada iman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam telinganya dan menutupkan bajunya (kemukanya) dan mereka tetap (mengingkari) dan menyombongkan diri dengan sangat. Kemudian sesungguhnya aku telah menyeru mereka (kepada iman) dengan cara terang-terangan[1]. Kemudian sesungguhnya aku (menyeru) mereka (lagi) dengan terang-terangan dan dengan diam-diam[2], maka aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, -sesungguhnya dia adalah Maha Pengampun.’” (Q.S. Nuh: 5 – 10).
Hammam Abdurrahman Said dalam bukunya Qawaidud Da’wah Ilallah, menyebutkan bahwa ketika menafsirkan ayat ini Al-Qurthubi mengatakan, “Semua ini merupakan bentuk kesungguhan dalam dakwah dan menyampaikan risalah.”
Sedangkan Ibnu Katsir mengatakan, “Nabi Nuh melakukan dakwah dengan beragam cara. Nabi Nuh berdakwah kepada kaumnya di waktu malam yang tenang, yang cenderung kondusif untuk mendengarkan, dengan sarana bintang-bintang yang menunjukkan pada adanya sang Pencipta. Nabi Nuh juga berdakwah di waktu siang yang merupakan waktu bekerja, pertemuan, perbincangan, dan diskusi. Kaum Nabi Nuh tetap mengingkari dan berpaling dari dakwah yang dia sampaikan. Tapi Nabi Nuh tetap gigih berdakwah dan tidak berpaling dari mereka. Kaum Nabi Nuh semakin enggan dan berpaling. Mereka bahkan menutupi telinga dengan tangan dan menutupi wajah dengan baju. Kemudian Nabi Nuh pun menyampaikan dakwahnya secara sembunyi-sembunyi.”
Al-Qurtubi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan menyampaikan dakwah secara sembunyi-sembunyi pada ayat di atas adalah, Nabi Nuh mendatangi rumah-rumah mereka.[3]
‘Korban Perasaan’
Meskipun dakwah yang dilakukan Nabi Nuh ‘alaihissalam demikian intens, namun ternyata hanya sedikit saja yang bersedia mengikutinya.
“Dan diwahyukan kepada Nuh, bahwasanya sekali-kali tidak akan beriman di antara kaummu, kecuali orang yang telah beriman (saja), karena itu janganlah kamu bersedih hati tentang apa yang selalu mereka kerjakan.” (Q.S. Huud: 36)
Dakwah Nabi Nuh ‘alahissalam disambut dengan penolakan dan olok-olok. Bahkan para pemimpin kaum Nabi Nuh menganggap beliau berada dalam kesesatan disebabkan telah melarang mereka menyembah berhala yang mereka pandang sebagai penolong di hadapan Allah dan sebagai perantara untuk mendekatkan mereka kepada-Nya.[4]
“Pemuka-pemuka dari kaumnya berkata: ‘Sesungguhnya kami memandang kamu berada dalam kesesatan yang nyata’”. (Q.S. Al-A’raf: 60)
Mereka pun menganggap Nabi Nuh ‘alaihissalam hanya mengada-ada saja dalam dakwahnya itu. Allah Ta’ala berfirman:
“Malahan kaum Nuh itu berkata: ‘Dia cuma membuat-buat nasihatnya saja’. Katakanlah: ‘Jika Aku membuat-buat nasihat itu, maka hanya akulah yang memikul dosaku, dan aku berlepas diri dari dosa yang kamu perbuat’”. (Q.S. Huud: 35) [5]
Saat Nuh membuat bahtera atas perintah Allah, beliau diolok-olok dan ditertawakan, mereka mengejeknya dengan bermacam-macam pertanyaan yang mencemoohkannya. Ejekan dan cemoohan itu timbul karena mereka semua belum mengenal bahtera dan cara memakainya termasuk Nabi Nuh sendiri.[6]
“Dan mulailah Nuh membuat bahtera dan setiap kali pemimpin kaumnya berjalan melewati Nuh, mereka mengejeknya. berkatalah Nuh: ‘Jika kamu mengejek kami, maka Sesungguhnya kami (pun) mengejekmu sebagaimana kamu sekalian mengejek (kami).’” (Q.S. Huud: 38)
Peristiwa yang paling membuat Nabi Nuh ‘alaihissalam merasakan ‘korban perasaan’ adalah saat menyaksikan anaknya menjadi bagian dari kelompok orang-orang kafir yang ditenggelamkan oleh Allah Ta’ala,
“Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung, dan Nuh memanggil anaknya[7], sedang anak itu berada di tempat yang jauh terpencil: ‘Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir.’
Anaknya menjawab: ‘Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!’ Nuh berkata: ‘Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) yang Maha penyayang’. Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.” (Q.S. Huud: 42-43)
Nabi Nuh merasa bersedih karena menganggap anaknya itu termasuk keluarganya yang harus diselamatkan. Namun Allah Ta’ala menegaskan, anak Nabi Nuh itu bukanlah termasuk golongan orang-orang beriman sehingga layak ditenggelamkan.
“Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata: ‘Ya Tuhanku, Sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar, dan Engkau adalah hakim yang seadil-adilnya.’”
“Allah berfirman: ‘Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatan)nya perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekat)nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan.’” (Q.S. Huud: 45 – 46)
‘Konfrontasi Dakwah’
Terjadinya ‘konfrontasi’ dalam dakwah adalah sesuatu yang tidak bisa dihindarkan. Disinilah seorang da’i dituntut kematangan diri dan kesiapannya berkorban. Ibrahim ‘alaihissalam, sebagai icon pengorbanan di jalan Allah Ta’ala telah menunjukkan bahwa perjuangan memang butuh pengorbanan. Demi amanah dakwah, Ibrahim rela ‘berkonfrontasi’ dengan bapaknya. Allah Ta’ala menyebutkan hal ini dalam firman-Nya,
“Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya, Aazar[8], ‘Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya Aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata.’” (Q.S. Al-An’am: 74) [9]
Selain ‘berkonfrontasi’ dengan bapaknya, ia pun rela ‘berkonfrontasi’ dengan kaumnya,
“Ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: ‘Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadat kepadanya?’” (Q.S. Al-Anbiya: 52)
Berikutnya, Ibrahim ‘alaihissalam pun rela ‘berkonfrontasi’ dengan rajanya,
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang[10] yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah), karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan: ‘Tuhanku ialah yang menghidupkan dan mematikan,’ Orang itu berkata: ‘Aku dapat menghidupkan dan mematikan’.[11] Ibrahim berkata: ‘Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat,’ Lalu terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Q.S. Al-Baqarah: 258)
Puncaknya adalah peristiwa pembakaran Ibrahim ‘alaihissalam karena melakukan penghancuran terhadap berhala-berhala kaumnya, namun Allah Ta’ala menyelamatkannya, dan beliau pun akhirnya hijrah dari kampung halamannya.
“Dan kami seIamatkan Ibrahim dan Luth ke sebuah negeri yang kami telah memberkahinya untuk sekalian manusia.” (Q.S. Al-Anbiya: 71)[12]
Pengorbanan Harta
Jalan dakwah menuntut totalitas pengorbanan. Di jalan ini, harta harus siap dikorbankan dan terkorbankan. Para sahabat Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjukkan keteladannya dalam hal pengorbanan harta di jalan Allah. Adalah Abu Bakar, nama yang tidak mungkin terlewatkan dalam perbincangan tentang hal ini, sejak awal perkembangan dakwah hartanya telah terkuras untuk Islam. Dialah orang yang tercatat banyak membeli dan membebaskan budak dari kalangan muslim yang disiksa kaum musyrikin.
Ketika Abu Bakar masuk Islam, kekayaannya mencapai 40.000 dirham, akan tetapi ia habiskan semua, termasuk uang yang diperolehnya dari perdagangan demi memajukan agama Islam.
Pada saat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mengumumkan agar kaum muslimin menyumbangkan harta mereka untuk dana perang melawan Romawi di Tabuk, Abu Bakar membawa seluruh hartanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.
“Apa yang engkau sisakan untuk keluargamu?” tanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.
“Allah dan Rasul-Nya.” Jawab Abu Bakar tanpa keraguan sedikitpun.
Pada saat itu, selain Abu Bakar, Umar bin Khattab pun mengorbankan setengah dari hartanya; Abdurrahman bin Auf mengorbankan 200 goni gandum; Ashim bin Adi menyumbangkan 70 goni tamar; sedangkan Utsman bin Affan menanggung 1/3 dari keseluruhan biaya pasukan besar itu dengan menyerahkan 950 ekor unta dan 50 ekor kuda serta uang sebesar 1.000 dinar.
Dalam kesempatan lain Utsman bin Affan pernah menyambut seruan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk membeli sumur Raumah, sebuah sumur milik Yahudi yang menjadi sumber air minum penduduk Madinah.
“Siapakah yang mau membeli sumur Raumah ini, lalu dia memberikannya kepada kaum muslimin, dimana dia tidak mengharapkan imbalan sedikitpun dari mereka?”
Utsman lalu menemui Yahudi pemilik sumur itu untuk membelinya. Namun orang Yahudi itu menolak menjualnya kecuali jika Utsman mau membeli separohnya dengan harga 12.000 dirham. Utsman menyetujuinya dengan ketentuan, satu hari sumur itu menjadi milik Utsman dan hari berikutnya menjadi milik Yahudi tersebut.
Pada hari sumur itu milik Utsman, kaum muslimin mengambil air dari sumur itu, lalu mereka menyimpan sebagian air untuk persediaan hari berikutnya. Ketika orang Yahudi itu mengetahui bahwa dirinya tidak dapat lagi menjual air, dia pun menjual separoh lainnya kepada Utsman seharga 18.000 dirham.
Itulah diantara kisah bagaimana pengorbanan harta para sahabat Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam di jalan Allah yang sangat menginspirasi kita.[13]
Pengorbanan Jiwa
Bukan hanya pengorbanan waktu dan tenaga; korban perasaan; kesiapan mental berkonfrontasi; dan pengorbanan harta saja, jalan dakwah pada situasi dan kondisi tertentu juga menuntut pengorbanan jiwa. Hilangnya nyawa, atau berpisahnya ruh dari raga demi tegaknya agama dan kehormatan.
Sepanjang sejarah dakwah, kita temukan banyak kisah manusia-manusia agung pendukung dan pengemban risalah yang rela gugur mengorbankan nyawanya. Kenanglah ashabul ukhdud, pasukan Thalut, syuhada dakwah di Makkah, syuhada perang Badar, syuhada perang Uhud, syuhada perang Mu’tah, dan seluruh syuhada di masa lalu di masa perkembangan Islam.
Kenanglah pula syuhada-syuhada mulia di zaman ini yang telah mempersembahkan jiwanya bagi kemulian dan kehormatan agamanya; Izzudin Al-Qassam, Umar Mukhtar, Hasan Al-Banna, Sayyid Qutb, Abdullah Azzam, Syaikh Ahmad Yasin, dan ribuan syuhada lainnya yang pernah membuat galau musuh-musuh Islam.
Kenanglah juga syuhada-syuhada negeri ini yang mengorbankan jiwanya bagi bangsa, agama, dan negara; Tuanku Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Tjut Nyak Dien, Teuku Umar, Pati Unus, dan masih banyak lagi.
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki.” (Q.S. Ali Imran: 169)
Apakah kita ini para aktivis dakwah?
Apakah kita ini para aktivis dakwah? Jika ya, tanyalah diri kita masing-masing apa yang sudah kita korbankan untuk agama ini? Apa yang sudah kita persembahkan bagi dakwah ini? Apa yang sudah kita serahkan bagi perjuangan ini?
Jika tidak ada atau masih sedikit pengorbanan kita dalam jihad ini, segeralah perbanyak istighfar. Ketahuilah, perjuangan yang sesungguhnya mestilah perjuangan yang menuntut pengorbanan. Oleh karena itu, berkorbanlah wahai saudaraku dengan segenap kemampuan yang ada padamu.
Jika dahulu Ibrahim ‘alaihissalam memiliki kesiapan mental untuk menyembelih puteranya tercinta, Ismail ‘alaihissalam, maka kita saat ini patut meneladaninya dengan cara memiliki kesiapan mental ‘menyembelih’ sebagian waktu dan tenaga kita bagi urusan agama; ‘menyembelih’ perasaan galau kita dalam menghadapi cobaan dakwah; ‘menyembelih’ mental pengecut dalam menghadapi tantangan perjuangan; ‘menyembelih’ sebagian harta kita bagi kejayaan Islam; bahkan memiliki kesiapan mental ‘menyembelih’ nyawa kita demi tegaknya kalimah Allah Ta’ala.
Dengan begitu, insya Allah, cahaya agama ini akan terus memancar menerangi jagad ini.
Allahu Akbar wa lillahil hamd….!
Catatan Kaki:
[1] Dakwah Ini dilakukan setelah da’wah dengan cara diam-diam tidak berhasil.
[2] Sesudah melakukan da’wah secara diam-diam Kemudian secara terang-terangan namun tidak juga berhasil Maka nabi Nuh a.s. melakukan kedua cara itu dengan sekaligus.
[3] Qawaidud Da’wah Ilallah, Dr. Hammam Abdurrahim Said, hal. 44 – 45, Era Adicitra Intermedia, Solo.
[4] Lihat: Al-Qur’anul Karim wa Tafsiruhu
[5] Sebagian mufassirin berpendapat ayat ini bukanlah lanjutan dari kisah kaum Nuh a.s. tetapi kalimat sisipan (jumlah mu`taridah). Maka maksud ayat ini ialah bahwa setelah orang-orang kafir Mekah mendengar kisah kaum Nuh a.s. ini dari Muhammad saw. lalu mereka menuduhnya mengada-adakan kisah itu, maka Allah mengajari Nabi Muhammad saw. supaya mengatakan kepada mereka bahwa andaikata ia mengadakannya, maka dia sendirilah yang akan memikul dosanya tetapi yang mereka tuduhkan itu sama sekali tidak benar dan ia bebas dari perbuatan yang mereka tuduhkan itu.
[6] Lihat: Al-Qur’anul Karim wa tafsiruhu
[7] Nama anak nabi Nuh a.s. yang kafir itu Qanaan, sedang putra-putranya yang beriman ialah: Sam, Ham dan Jafits.
[8] Sebagian mufassirin ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan abiihi (bapaknya) pada ayat ini ialah pamannya.
[9] Dialog yang berlangsung antara Ibrahim dan Aazar dapat Anda baca di Q.S. Maryam: 42 – 48.
[10] yaitu Namrudz dari Babilonia.
[11] Yang dimaksud oleh raja Namrudz dengan menghidupkan ialah membiarkan hidup, dan yang dimaksudnya dengan mematikan ialah membunuh. Perkataan itu untuk mengejek nabi Ibrahim ‘alaihissalam.
[12] yang dimaksud dengan negeri di sini ialah negeri Syam, termasuk di dalamnya Palestina. Tuhan memberkahi negeri itu artinya: kebanyakan nabi berasal dan negeri Ini dan tanahnyapun subur.
[13] Lihat: Tarbiyah Iqtishadiyah hal. 33 – 39, Bid. Pengembangan Ekonomi & Kewirausahaan DPP PKS.