Oleh: Taufik M. Yusuf Njong
(Ijtihad Parsial dan Ijtihad Kolektif)
Menurut Syeikh Al-Qaradawi,[1] Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali adalah orang pertama yang menyinggung tentang adanya ijtihad parsial sebagaimana beliau jelaskan dalam Al-Mushthasfa-nya. Jadi, penguasaan delapan disiplin ilmu yang menjadi syarat ijtihad yang beliau sebutkan dalam Al-Mushthasfa sebenarnya hanya berlaku (menjadi syarat) untuk Mujtahid Mutlak.[2] Adapun selain Mujtahid Mutlak (mujtahid parsial) maka tidak diwajibkan baginya untuk menguasai delapan disiplin ilmu tersebut. Catatan penting lainnya, Imam Al-Ghazali juga banyak meringankan syarat minimal pengetahuan delapan disiplin ilmu tersebut oleh seorang Mujtahid.
Di era kontemporer, Syeikh Muhammad Abduh dan kemudian diikuti oleh murid-muridnya termasuk Grand Syeikh Al-Azhar Syeikh Muhammad Musthafa Al-Maraghi adalah para ulama yang paling lantang dalam menyerukan ijtihad (parsial). Sampai Syeikh Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi dalam Allamazhabiyah-nya” ‘menyimpulkan’ bahwa Syeikh Al-Maraghi membolehkan orang yang tidak mengetahui bahasa arab untuk menjadi seorang mujtahid.[3] Syeikh Al-Buthi dalam hal ini mengikuti Syeikhul Islam terakhir kekhalifahan Turki Utsmani, Al-‘Allamah Syeikh Musthafa Shabri dalam kitabnya Mauqif Al-‘Aql Wa Al-‘Ilm yang memahami tulisan Syeikh Al-Maraghi dalam maqalah beliau tentang Tarjamah Al-Qur’an Al-Karim Wa Ahkamiha sebagai pembolehan seorang menjadi mujtahid tanpa menguasai bahasa Arab.
Maqalah tersebut sebenarnya ditulis oleh Syeikh Al-Maraghi dalam surat kabar As-Siyasah Al-Usbu’iyah pada tahun 1932 untuk menjelaskan bolehnya menerjemahkan Al-Quran ke dalam bahasa non-arab yang pada saat itu ditentang oleh banyak ulama termasuk oleh Syeikh Musthafa Shabri. Dan alhamdulillah di era kontemporer, pendapat ini justru menjadi pendapat yang dipilih oleh banyak ulama.
Jika kita merujuk ke Bahs Fi Tarjamah Al-Qur’an Al-Karim yang kemudian di cetak oleh Mathba’ah Ar-Raghaib, Juni 1936, atau ke kitab Mas_alah Tarjamah Al-Qur’an karya Syeikh Musthafa Shabri yang khusus membahas penolakan beliau terhadap penerjemahan Al-Qur’an, akan lebih jelas bahwa Syeikh Al-Maraghi tidak pernah mengatakan dengan jelas bahwa seorang mujtahid tidak harus menguasai bahasa Arab. Namun hal tersebut lebih ke asumsi pribadi Syeikh Musthafa Shabri, wallahu A’lam.
Syeikh Al-Maraghi hanya mengatakan bahwa seseorang bisa saja memahami sebuah hukum dari makna terjemahan Al-Qur’an yang merupakan madlulat lafaz-lafaz berbahasa Arab. Ungkapan inilah yang kemudian disimpulkan oleh Syeikh Musthafa Shabri bahwa Syeikh Al-Maraghi bermaksud bahwa orang yang tidak bisa berbahasa Arab (mengandalkan terjemahan) boleh berijtihad.[4] Padahal, Syeikh Al-Maraghi hanya bermaksud—wallahu a’lam—menjelaskan bahwa sebagian ayat-ayat Al-Qur’an yang terjemahannya mewakili ungkapan dalam bahasa Arab bisa saja dipahami maksud dan hukumnya. Contohnya? Ayat ketiga dalam surat Al-Maidah “..Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah…..” adalah pernyataan yang jelas yang bisa dipahami bahwa itu adalah pengharaman memakan bangkai, dan seterusnya, meskipun ada beberapa takhshih atau pengecualian dalam hal ini.
Sejatinya, Syeikh Al-Maraghi tidak pernah secara jelas mengatakan bahwa seorang mujtahid tidak diharuskan menguasai bahasa arab. Hal itu tidak pernah beliau tulis dalam karya-karyanya, wallahu a’lam.
Bahkan sebaliknya, dalam kitabnya Al-Ijtihad Fil Islam beliau justeru menegaskan bahwa seorang mujtahid harus mengetahui bahasa Arab dan nahwu hingga ia memahami khithab orang Arab.[5] Hal lain yang mendukung bahwa Syeikh Al-Maraghi tidak bermaksud membolehkan orang yang tidak menguasai bahasa Arab untuk berijtihad adalah pernyataan beliau sendiri dalam Bahs Fi Tarjamah Al-Qur’an Wa Ahkamiha bahwa ketika terdapat perbedaan antara satu terjemahan dengan yang lain, beliau mewajibkan untuk kembali kepada Al-Qur’an resmi yang berbahasa Arab.[6] ‘Ala kulli hal, kritik dari Syeikh Musthafa Shabri terhadap ungkapan Syeikh Al-Maraghi yang samar bisa jadi memang benar. Namun, ungkapan yang jelas harusnya bisa menjadi penafsir terhadap ungkapan yang samar.
*****
Keringanan dalam menguasai delapan disiplin ilmu yang menjadi syarat ijtihad sebagaimana disebutkan oleh Imam Ghazali juga menjadi pintu gerbang lahirnya ijtihad jama’I (kolektif) di era kontemporer. Al-‘Allamah Syeikh Wahbah Az-Zuhaili bahkan tidak mensyaratkan mereka yang melakukan ijtihad kolektif harus sampai (semuanya) pada level mujtahid dan seperti itulah realitanya yang terjadi di banyak Majma’-Majma’ Fiqhiyah kontemporer.[7]
Menurut Syeikh Az-Zuhaili ijtihad kolektif di era kontemporer bukan hanya disyariatkan, tapi juga merupakan sebuah kebutuhan yang sangat mendesak.
Nadhatul Ulama (NU) sendiri yang mengharuskan ‘taqlid qauli’ pada mazhab-mazhab fiqih mu’tabar, sejak Munas Alim Ulama NU tahun 1992 di Lampung sudah memberikan alternatif bolehnya taqlid manhaji (metodologis). Langkah terakhir ini telah menawarkan keabsahan satu bentuk istinbat jama’i (ijtihad kolektif diantara para ulama) sebagai salah satu sistem penetapan hukum jika mengalami kebuntuan dalam menetapkan hukum sebuah masalah melalui pendekatan tekstual.[8]
Diantara ulama kontemporer yang menyerukan ijtihad jama’i’ adalah Grand Syeikh Al-Azhar saat ini Al-Imam Al-Akbar Syeikh Ahmad Thayyib.[9] Syeikh Al-Buthi sendiri yang paling getol menyerang para mujtahid gadungan adalah termasuk ulama yang mendukung ijtihad kolektif melalui Majma’-Majma’ Fiqih yang telah memberikan banyak solusi dalam permasalahan-permasalahan kontemporer terutama yang menyangkut dengan akad dan ekonomi secara umum.[10]
Sejatinya, menjamurnya percetakan sejak lebih dari seabad lalu telah memudahkan ijtihad di zaman kontemporer dibandingkan zaman-zaman sebelumnya dimana para ulama mendapatkan banyak kesulitan untuk mendapatkan kitab-kitab tertentu atau dalam mencari sebuah hadits. Hal ini juga didukung oleh ditahqiqnya banyak kitab yang sebelumnya hanya berbentuk manuskrip dan tersimpan di banyak perpustakaan-perpustakaan Eropa. Belum lagi dengan adanya komputer dan aplikasi-aplikasi lain yang memudahkan menyimpan kitab atau mencari hadis dsb. Syeikh Al-Maraghi bahkan mengklaim bahwa banyak ulama-ulama Al-Azhar dizamannya yang sudah sampai pada level mujtahid dan tidak boleh lagi bertaqlid.[11]
Syeikh Wahbah Az-Zuhaili mencatat beberapa ulama mujaddid dan mujtahid di abad ke 20 diantaranya adalah Syeikh Muhammad Musthafa Al-Maraghi, Syeikh Mahmud Syaltut, Syeikh Abdul Wahhab Khalaf, Syeikh Ali Al-Khafif, Syeikh Muhammad Abu Zahrah, Syeikh Musthafa Ahmad Az-Zarqa dan lain-lain.[12] Ijtihad dan tajdid mustahil mandeg selama kehidupan terus berjalan dan manusia terus melakukan aktifitasnya serta menanyakan hukum dari problematika yang mereka hadapi kepada para fuqoha.
Wallahu A’lam.
Catatan Kaki:
[1] Al-Qaradawi, Al-Ijtihad Fi As-Syari’ah Al-Islamiyah, Hal: 59, Cet 1 Dar El-Qalam, Kuwait, Tahun 1996.
[2] Al-Ghazali, Al-Mushthasfa, hal: 644, Cet Dar Almaiman, Saudi.
[3] Al-Buthi, Al-Lamazhabiyah Akhthar Bid’ah Tuhaddid As-Syari’ah Al-Islamiyah, hal: 130, Cet Dar Al-Farabi, Tahun 2005.
[4] Musthafa Shabri, Mas_alah Tarjamah Al-Qur’an, hal 11, Cet Mathba’ah As-Salafiyah, Kairo, Tahun 1932.
[5] Al-Maraghi, Al-Ijtihad Fi Al-Islam, hal 17, Cet Maktabah Al-Fann tahun 1959.
[6] Al-Maraghi, Bahs Fi Tarjamah Al-Qur’an Wa Ahkamiha, Hal 12, Cet Mathba’ah Ar-Raghaib, tahun 1936.
[7] Wahbah Az-Zuhaili, Qadhaya Al-Fiqh Wa Al-Fikr Al-Mu’ashir, Juz 2, Hal: 51, Cet Dar Elfikr, Damaskus, Tahun 2012.
[8] Said Aqil Siroj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial, Hal 69, Cet 1 Mizan, tahun 2006.
[9] Ahmad Thayyib, Al-Qaul At-Thayyib, Juz 1, hal 201, Cet 1 Dar Al-Hokama, tahun 2021.
[10] Al-Buthi, Qadhaya Fiqhiyah Mu’ashirah, Juz 2, Hal 11 dst. Cet 1, Maktabah Al-Farabi, Suriah, Tahun 1999.
[11] Al-Qaradawi, Al-Ijtihad Fi As-Syari’ah Al-Islamiyah, Hal 109 dst.
[12] Wahbah Az-Zuhaili, Qadhaya Al-Fiqh Wa Al-Fikr Al-Mu’ashir, Juz 3, Hal 46.