(Dari Kitab Tafsir Ibnul Jauziy)
قَوْلُهُ تَعالى: ﴿لِكُلٍّ جَعَلْنا مِنكم شِرْعَةً ومِنهاجًا﴾ قالَ مُجاهِدٌ: الشِّرْعَةُ: السُّنَّةُ، والمِنهاجُ: الطَّرِيقُ. وقالَ ابْنُ قُتَيْبَةَ: الشِّرْعَةُ والشَّرِيعَةُ واحِدٌ. والمِنهاجُ: الطَّرِيقُ الواضِحُ. فَإنْ قِيلَ: كَيْفَ نَسَقَ “المِنهاجَ” عَلى “الشِّرْعَةِ” وكِلاهُما بِمَعْنًى واحِدٍ؟ فَعَنْهُ جَوابانِ
Firman Allah SWT: “Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan syir’atan (aturan) dan minhajan (jalan yang terang)” (QS. Al-Maidah, 5: 48).
Mujahid berkata: As-Syir’ah artinya adalah aturan dan Al-Minhaj adalah jalan. Ibnu Qutaibah berkata: As-Syir’ah dan As-Syari’ah adalah satu makna. Maksud dari Al-Minhaj adalah jalang yang jelas (terang). Maka jika ditanyakan, bagaimana bisa diletakkan kata Al-Minhaj setelah As-Syir’ah padahal keduanya secara makna adalah sama (sangat berdekatan)? Ada dua jawaban terhadap pertanyaan ini.
أحَدُهُما: أنَّ بَيْنَهُما فَرْقًا مِن وجْهَيْنِ: أحَدُهُما: أنَّ “الشِّرْعَةَ” ابْتِداءُ الطَّرِيقِ، والمِنهاجُ: الطَّرِيقُ المُسْتَمِرُّ، قالَهُ المُبَرِّدُ. والثّانِي: أنَّ “الشِّرْعَةَ” الطَّرِيقُ الَّذِي رُبَّما كانَ واضِحًا، ورُبَّما كانَ غَيْرَ واضِحٍ. والمِنهاجُ: الطَّرِيقُ الَّذِي لا يَكُونُ إلّا واضِحًا، ذَكَرَهُ ابْنُ الأنْبارِيِّ. فَلَمّا وقَعَ الِاخْتِلافُ بَيْنَ الشِّرْعَةِ والمِنهاجِ، حَسُنَ نَسَقُ أحَدِهِما عَلى الآخَرِ
Yang pertama: Sesungguhnya diantara dua kata tersebut ada perbedaan dari dua sudut. Salah satunya adalah bahwa kata As-Syir’ah bermakna permulaan jalan. Sedangkan Al-Minhaj bermakna jalan yang berkelanjutan, sebagaimana disampaikan oleh Al-Mubarrid. Sudut yang kedua: As-Syir’ah adalah jalan yang terkadang jelas dan terkadang tidak jelas. Sedangkan Al-Minhaj adalah jalan yang pasti jelas sebagaimana disampaikan oleh Ibnu Al-Anbari. Dan ketika ada perbedaan diantara dua kata tersebut, maka menjadi baguslah (relevan) peletakan keduanya secara bersamaan dalam satu kalimat.
والثّانِي: أنَّ الشِّرْعَةَ والمِنهاجَ بِمَعْنًى واحِدٍ. وإنَّما نَسَقَ أحَدَهُما عَلى الآخَرِ لِاخْتِلافِ اللَّفْظَيْنِ. قالَ الحُطَيْئَةُ:
ألا حَبَّذا هِنْدٌ وأرْضٌ بِها هِنْدُ وهِنْدٌ أتى مِن دُونِها النَّأْيُ والبُعْدُ
فَنَسَقَ البُعْدَ عَلى النَّأْيِ لَمّاخالَفَهُ في اللَّفْظِ، وإنْ كانَ مُوافِقًا لَهُ في المَعْنى، ذَكَرَهُ ابْنُ الأنْبارِيِّ. وأجابَ عَنْهُ أرْبابُ القَوْلِ الأوَّلِ، فَقالُوا: “النَّأْيُ”: كُلُّ ما قَلَّ بُعْدُهُ أوْ كَثُرَ كَأنَّهُ المُفارَقَةُ، والبُعْدُ إنَّما يُسْتَعْمَلُ فِيما كَثُرَتْ مَسافَةُ مُفارَقَتِهِ.
وَلِلْمُفَسِّرِينَ في مَعْنى الكَلامِ قَوْلانِ
Yang kedua: Sesungguhnya As-Syir’ah dan Al-Minhaj bermakna sama. Hanya saja digabungkan keduanya dalam satu kalimat karena perbedaan lafaz saja. Al-Hutaya berkata:
ألا حَبَّذا هِنْدٌ وأرْضٌ بِها هِنْدُ
وهِنْدٌ أتى مِن دُونِها النَّأْيُ والبُعْدُ
Kata An-Na’yu dan Al-Bu’du digabungkan dalam satu kalimat karena adanya perbedaan lafaz keduanya walaupun sebenarnya maknanya sama sebagaimana disampaikan oleh Ibnu Al-Anbari.
Namun kelompok pertama membantah argumen ini. Menurut mereka, An-Na’yu adalah kata yang digunakan untuk menunjukkan ‘jauh’ baik sedikit jauh ataupun sangat jauh. Sedangkan Al-Bu’du hanya digunakan untuk sesuatu yang jaraknya sangat jauh (ada perbedaan makna menurut mereka antara An-Na’yu dan Al-Bu’du).
Para ulama tafsir sendiri punya dua pendapat terkait ayat ini.
أحَدُهُما: لِكُلِّ مِلَّةٍ جَعَلْنا شِرْعَةً ومِنهاجًا، فَلِأهْلِ التَّوْراةِ شَرِيعَةٌ، ولِأهْلِ الإنْجِيلِ شَرِيعَةٌ، ولِأهْلِ القُرْآنِ شَرِيعَةٌ، هَذا قَوْلُ الأكْثَرِينَ. قالَ قَتادَةُ: الخِطابُ لِلْأُمَمِ الثَّلاثِ: أمَةِ مُوسى، وعِيسى، وأُمَّةِ مُحَمَّدٍ، فَلِلتَّوْراةِ شَرِيعَةٌ، ولِلْإنْجِيلِ شَرِيعَةٌ، ولِلْفُرْقانِ شَرِيعَةٌ يُحِلُّ اللَّهُ فِيها ما يَشاءُ، ويُحَرِّمُ ما [يَشاءُ] بَلاءً، لِيَعْلَمَ مَن يُطِيعُهُ مِمَّنْ يَعْصِيهِ، [وَلَكِنَّ] الدِّينَ الواحِدَ الَّذِي لا يُقْبَلُ غَيْرُهُ، التَّوْحِيدُ والإخْلاصُ لِلَّهِ الَّذِي جاءَتْ بِهِ الرُّسُلُ.
والثّانِي: أنَّ المَعْنى: لِكُلِّ مَن دَخَلَ في دِينِ مُحَمَّدٍ جَعَلْنا القُرْآنَ شِرْعَةً ومِنهاجًا، هَذا قَوْلُ مُجاهِدٍ
Pertama: Untuk setiap agama itu dijadikan syari’ah dan minhaj sendiri. Untuk pengikut Taurat ada syari’ah khusus, untuk pengikut Injil ada syari’ah khusus dan untuk pengikut Al-Qur’an ada syari’ah khususnya. Ini adalah pendapat mayoritas Ahli Tafsir.
Qatadah mengatakan bahwa Khitab (yang dituju) dari ayat ini adalah tiga umat. Umat Nabi Musa, umat Nabi Isa dan umat Nabi Muhammad Saw. Taurat punya syari’at sendiri, Injil punya syari’at sendiri dan Al-Qur’an punya syari’at sendiri dimana Dia (Allah SWT) mengharamkan apa yang Dia kehendaki dan menghalalkan apa yang Dia kehendaki sebagai ujian agar Dia mengetahui siapa yang ta’at dan bermaksiat.
Namun ada satu Ad-Din yang tidak berubah yaitu Tauhid dan Keikhlasan yang dibawa oleh semua Rasul.
Pendapat Kedua: Maksud dari ayat tersebut adalah bahwa setiap orang yang masuk kedalam agama Muhammad Saw, Kami (Allah) jadikan bagi mereka Al-Qur’an sebagai Syari’ah dan Minhaj. Inilah pendapat Mujahid.