Dalam Al Quran, kata kafara dengan berbagai derivasinya (kafaru, yakfuru, kafir, kuffar, dll) berjumlah ratusan, ada yang menyebut 300-an, ada yang menyebut 500-an.
Maka, menghilangkan istilah ini atau menyudutkannya, mendeskreditkan, menuduh yang tidak pantas, seperti radikal dan intoleran, sama juga menuduh firman Allah Ta’ala itu sendiri.
Jika tuduhan datangnya dari non muslim, bisa jadi kita maklum, tapi jika tuduhan datangnya dari orang yang mengaku Islam sendiri, sulit dimaklumi. Dia hanya mau mengambil dari Al Quran sesuai seleranya saja atau selera pasar.
Adanya pengulangan sampai 300an atau 500an kali menunjukkan istilah dan manusia yang disebut kafir itu memang ada, sebab mustahil Al Quran membahas suatu objek yang tidak pernah ada atau mengada-ada.
Hanya saja, istilah ini mesti bijak dalam penempatannya, hati-hati, dan tidak asal-asalan, agar tidak menimbulkan fitnah. Sebab, memvonis kafir kepada orang yang bukan kafir akan kembali ke penuduhnya.
Syaikh Abdul Qadir ‘Atha menyebut definisi kafir secara bahasa adalah:
– Al Juhud(ingkar)
– As Sitru wa Al Taghthiyah (tertutup)
(Kitabul Mufid Muhimmat At Tauhid, hal. 175).
Beliau juga menjelaskan makna kafir secara terminologi adalah lawan dari keimanan. Juga bermakna: sikap inkar terhadap hal yang aksiomatik dalam Islam, atau inkar terhadap hal-hal yang agama Islam tidak sempurna kecuali dengan hal itu. (Ibid)
Inkar terhadap aksioma artinya inkar kepada hal yg sudah pasti dan pokok dalam Islam yang sudah diketahui oleh umat Islam, tanpa penjelasan bertele-tele. Misal mengingkari salah satu dari rukun Islam dan rukun iman, apalagi mengingkari lebih dari satu atau semuanya.
Definisi ini sifatnya global dan nilai normatif, ada pun penerapan di lapangan terhadap individu atau sekelompok orang apakah jatuh pada kekafiran atau tidak, tentu ada kajian lebih mendalam dan teliti lagi.
Secara khusus, para ulama menyebut kafir ada tiga golongan:
– Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani)
– Pemilik Kitab tapi bukan dari Allah seperti Majusi dan semisalnya
– Penyembah berhala.
(Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, jilid. 7, hal. 140)
Imam Ibnu Qudamah dan Imam Al Kasani menyebut ada empat tingkatan, dari yang paling tinggi smpai yang paling rendah, sbb:
- Tidak percaya Tuhan, kaum Dahriyah dan Muathilah (atheis)
- Percaya banyak Tuhan, politheis (musyirikin), Majusi masuk di dalamnya
- Golongan yang menolak kenabian secara umum, seperti sebagian ahli filsafat
- Golongan yang mengakui ketuhanan dan kenabian, tapi ingkar kepada Nabi Muhammad, yaitu gol Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani).
(Al Bada’i ash Shana’i, jlid. 7, hal. 102-103, Al Mughni, jilid. 8, hal. 263)
Dilihat dari sebab dan sikap, kekafiran ada empat jenis:
وقيل : الكُفْر على أرْبَعَة أنْحاء : كُفْر إنْكار بالاّ يَعْرِف اللّه أصْلاً ولا يَعْتَرِف به وكُفْر جُحود ككُفْر إبليس يَعْرِف اللّه بقَلْبه ولا يُقِرّ بِلسانه وكُفْر عِناَد وهو أنْ يَعْتَرف بقَلْبه ويَعْتَرف بِلِسانه ولا يَدِين به حَسَداً وبَغْياً ككُفْر أبي جَهْل وأضْرَابه وكُفْر نِفَاق وهو أن يُقِرَّ بِلِساَنه ولا يَعْتَقد بقَلْبه
Dikatakan bahwa kekafiran itu ada empat sisi:
- Kafir karena inkar, yaitu tidak mengenal Allah dan tidak mengakuiNya.
- Kafir karena Juhud (menolak), yaitu seperti kekafiran Iblis. Mengimani Allah dihatinya tapi tidak mengikrarkan di lisannya.
- Kafir karena ‘inad (membangkang), yaitu pengakuan di hati dan di lisan namun tidak beragama dengannya, karena dengki dan melawan, seperti Abu Jahal dan semisalnya.
- Kekafiran karena Nifaaq (munafiq), yaitu mengikrarkan di lisannya namun tidak meyakini di hatinya.
(An Nihaayah, 4/340, Taajul ‘Aruus, 14/51, Tahdzibul Lughah, 3/363, Kitaabul Kulliyaat, Hal. 1221, Lisanul ‘Arab, 5/144)
Menyebut kafir atas sebuah perbuatan atau perkataan secara global (mujmal) adalah dibolehkan, seperti: “Siapa yang melakukan/mengatakan A maka kafir”
Tapi menyebut secara khusus (mu’ayyan), “Si Fulan melakukan/mengatakan A”, apakah langsung si Fulan dikatakan kafir? Maka ini butuh kajian khusus atas Si Fulan dari para ahli ilmu. Sebab bisa jadi ada mawani’ (penghalang) dia jatuh pada kekafiran seperti mungkin keseleo lidah, dipaksa, atau sama sekali tidak paham.
Semua penjelasan para imam di atas, tentu diambil dari sumber utama, yaitu Al Quran, As Sunnah, dan Ijma’. Sehingga tidak relevan komentar sebagian orang: “Hanya Tuhan yang berhak mengkafirkan” Tempatkanlah penjelasan ulama sebagai pedoman agar kita tidak terperosok di dalam kekafiran atau sembarang mengkafirkan tanpa alasan. Wallahu Waliyut Taufiq
Sumber: Alfahmu.id – Website Resmi Ustadz Farid Nu’man.