Fase dan Periodisasi Sejarah Madzhab
Tidak ada satupun madzhab fiqih yang diakui yang tumbuh dalam sejarah pensyariatan Islam melainkan pasti melewati beberapa periode dan tahapan. Ia menjelaskan pertumbuhan madzhab, tahapan waktu dan peristiwa hingga pokok-pokoknya menjadi kokoh dan kaidah-kaidahnya dipahami, yang diatasnya terbangun hukum-hukum fiqih. Perkembangan madzhab terjadi lewat ulama-ulama yang mengadopsi madzhab ini dan mengajarkannya; ada yang memasyhurkannya dan menulis kitab-kitab tentangnya sehingga menjadi pusat perhatian para penuntut ilmu yang ingin memperdalam dan mengenal pokok-pokoknya.
Periode yang dilewati oleh madzhab Hambali dapat dibagi dalam empat tahapan:
Tahapan Pertama: Periode Pertumbuhan dan Pendirian (204 H – 241 H)
Periode ini dimulai sejak Imam Ahmad rahimahullah menjadi sumber rujukan dalam pengajaran dan fatwa pada tahun 204 H, dimana beliau belum menjadi sumber rujukan kecuali setelah mencapai usia 40 tahun. Sebelumnya beliau memandang harus benar-benar konsentrasi penuh untuk menuntut ilmu dan menguasainya sebelum menyibukkan diri dalam fatwa dan pengajaran. Hal tersebut menguatkan kematangan ilmiyah beliau dan menopang daya alat ijtihad beliau.[1]
Para peneliti perjalanan ilmiyah Imam Ahmad pasti mengetahui kedudukan dan kematangan fiqihnya. Imam Ahmad telah belajar talaqqi kepada sebagian besar syaikh dalam beberapa cabang ilmu syar’i dan ilmu-ilmu alat yang sangat berpengaruh dalam menetapkan rambu-rambu metode ilmiyah dan fiqihnya.
Karena dipandang memiliki keluasan hafalan dan periwayatan serta kematangan dalam fiqih dan penelitian, maka berbondong-bondonglah para penuntut ilmu datang kepadanya untuk mengambil ilmu dengan mendengarkan, menulis, dan meminta fatwa, sehingga ilmu Imam Ahmad menyebar ke tengah-tengah khalayak manusia. Ditambah lagi dengan perhatian para muridnya terhadap pendapat dan perbuatannya sehingga mereka merekam masalah-masalah ilmiyah dari Imam Ahmad dalam bermacam-macam ilmu, seperti: akidah, ushul fiqih, hadits, fiqih, sehingga jumlah permasalahan yang di tulis mencapai sekitar dua ratus kitab yang ditulis dibawah pantauan dan pengawasan dari beliau.
Tahapan Kedua: Periode Penukilan dan Perkembangan (241 H-403 H)
Periode ini dihitung sebagai kelanjutan dari periode sebelumnya, dimana ulama dari kalangan sahabat Imam Ahmad memiliki peran dalam menukil madzhab Imam Ahmad kepada para murid penerus mereka, melalui pengajaran, karangan dan surat menyurat. Diantaranya adalah yang dikisahkan oleh Al-Khallal bahwa orang-orang menulis surat kepada Shalih —anak Imam Ahmad—, “Dari Negeri Khurasan, dan tempat-tempat Iain agar mewakili mereka menanyakan tentang masa’il (masalah-masalah fiqih), sehingga menjadi masalah yang serius kajiannya bagi Imam Ahmad dalam masa’il yang penting.”[2]
Dan dari Ibnu Abi Hatim berkata, “Abdullah (anak Imam Ahmad) menulis kepadaku tentang masa’il (masalah-masalah fiqih) ayahnya dan tentang ‘Ilal hadits.[3]
Dan Abdullah memang telah menghimpun masa’il (masalah-masalah fiqih) ayahnya dan menyusunnya dalam beberapa bab.[4]
Diantara muridnya yang telah menyusun masail’ Fiqhiyyah yang diriwayatkan darinya, kemudian menyusun babnya adalah Ahmad bin Muhammad bin Hani’ at-Thoi al-Atsram. (wafat 261 H).[5]
Diantara sahabat Imam Ahmad yang dikenal memiliki halaqah ilmu dan pengajaran adalah Ahmad bin al-Khushaib bin Abdurrahman. Beliau sangat masyhur di Tharsus. Beliau menukil masalah-masalah fiqih yang penting dari Imam Ahmad dalam halaqah fiqihnya sebagaimana disebutkan oleh al-Khallal.[6]
Diantara hal yang menunjukkan peran murid-murid Imam Ahmad dalam menyebarkan ilmu dan fiqihnya adalah yang diceritakan oleh al-Khallal, dia bercerita, “Abu Bakar al-Murrudzi keluar berperang, kemudian orang-orang mengiringinya hingga ke samarra. Kemudian ia meminta mereka agar kembali, namun mereka tidak mau kembali. Lalu mereka dihitung, ternyata jumlah mereka selain yang telah kembali adalah berjumlah sekitar lima puluh ribu orang. Kemudian dikatakan kepadanya, ‘Wahai Abu Bakar, bersyukurlah kepada Allah, karena ilmumu telah tersebar luas.’ Dia bercerita, “Maka beliaupun menangis, lalu berkata, ‘Ini bukanlah ilmuku, namun sesungguhnya ia adalah ilmu Ahmad bin Hambal.’” [7]
Tidak ada bukti yang lebih kuat atas penukilan para murid Imam Ahmad tentang masa’il agamanya, fiqihnya dan ilmunya dalam jumlah yang besar dan ilmu yang deras, dibanding nukilan yang dilakukan oleh Imam Al-Khallal dalam kitabnya yang langka, AI-Jami’ li ‘ulum al-Imam Ahmad. Beliau telah belajar dari banyak sekali sahabat Imam Ahmad dan menukilkan banyak masa’il (masalah-masalah fiqih) yang diriwayatkan dari Imam Ahmad sehingga dinukilkan kepada kita saat ini, dari tingkat ke tingkat, dan generasi ke generasi.
Selain itu ada juga upaya dari murid-murid Imam Ahmad dalam menyebarkan madzhab Imam Ahmad dan ilmunya lewat peran mereka ketika diangkat sebagai al-Qadhi (hakim), karena keputusan-keputusan peradilan didasarkan pada pemahaman fiqih hakim yang dipelajari dari para syekhnya.
Diantara hakim yang dikenal menjabat sebagai al-Qadhi (hakim) dari sahabat dan murid Imam Ahmad adalah anaknya sendiri yaitu Shaleh, yang menjabat hakim di Tharsus kemudian di Isfahan.[8]
Selain itu ada al-Hasan bin Musa al-Asyyab (wafat 209 H) Yang telah menjabat hakim di Mosul, Homs dan Tabarestan.[9]
Kemudian murid-murid pengikut Imam Ahmad belajar talaqqi masa’il (masalah-masalah agama) tersebut dari para syekhnya, kemudian mereka sibuk menghimpunnya, menyusunnya dan mentarjihkannya (meneliti kekuatan dan kelemahan antara beberapa pendapat). Periode ini dikenal dengan thabaqat al-mutaqaddimin yang berakhir dengan wafatnya Al-Hasan bin Hamid pada tahun 403 H.
Pada periode ini telah muncul beberapa ulama yang memiliki pengaruh puncak dalam pertumbuhan dan penyebaran madzhab, diantara yang paling menonjol adalah: Ahmad bin Muhammad al-Khallal (wafat 311 H) yang telah bersungguh-sungguh menelusuri murid-murid/sahabat Imam Ahmad, berkumpul dengan mereka, dan menukil apa yang mereka riwayatkan dari Imam Ahmad dengan sanadnya, hingga berhasil menghimpun masa’il (masalah-masalah agama) nya yang sangat banyak dalam kitab Al-Jami’ li ulum al-Imam Ahmad. Sejak itu mulailah banyak orang yang menisbatkan diri kepada madzhab Imam Ahmad. Lalu muncullah ulama dan syekh madzhab yang senior setelah kitabnya tersebut berhasil menarik perhatian banyak ulama dan para penuntut ilmu. Dengan demikian kitab-kitab tentang masalah periwayatan telah kokoh bersama tambahan yang disandarkan kepada riwayat-riwayat yang ada pada kitab Al-Jami’ li ‘ulum al-Imam Ahmad karangan al-Khallal.
Kemudian muncul pada periode ini beberapa ulama madzhab yang menyusun fiqih Imam Ahmad berupa kitab-kitab matan dan mukhtashar. Diantara yang paling menonjol dari para penyusun tersebut adalah Abu Al-Qasim Umar bin Al-Husain Al-Khiraqi (wafat 334 H) yang telah menyusun yang kitab pertama disusun teratur matan mukhtashar dalarn fiqih Imam Ahmad yang disusun teratur menurut bab-bab fiaih, dan dikenal dengan kitab Mukhtashar Al-Khiraqi.
Kemudian ada Abu Bakar Abdul Aziz bin Ja’far, yang dikenal dengan Ghulam Al-Khallal, (wafat 363 H), beliau menekuni kitab karangan Al-KhaIIal dengan mengkaji, meringkas, dan mentarjlh (penyeleksian yang paling kuat) antara riwayat-riwayat yang ada.
Pada periode ini penghimpunan masalah-masalah fiqih disertai sanadnya dari Imam Ahmad tidak berhenti pada Imam Al-KhallaI. Namun ada yang mengikuti jejaknya yaitu Al-Hasan bin Hamid (wafat 403 H) yang menyusun kitabnya al-Jami’ fi al-Madzhab, dalam sekitar empat ratus bagian yang tersusun atas bab-bab secara ilmiyah.
Sebagaimana muncul pula pada periode ini penulisan matan berdasarkan satu pendapat pilihan dalam madzhab seperti kitab An-Nashihah karangan Abu Bakar al-Ajurri (wafat 360 H) atau berdasarkan dua pendapat, seperti Kitab Al-Qaulaini karangan Abdul Aziz Ghulam Al-Khallal. Demikian pula ada penyusunan yang sifatnya bagian tertentu dari bahasan fiqih seperti kitab al-Manasik karangan Ibnu Baththah al-Ukburi (wafat 387 H).
Disamping penyusunan kitab fiqih, pada periode ini muncul pula penyusunan kitab dalam ushul madzhab Imam Ahmad dan musthalahatnya sebagaimana yang dilakukan oleh Al-Hasan bin Hamid yang menyusun dua kitab yaitu Ushul al-Fiqh dan Tahdzib al-Ajwibah. [10]
Tahapan Ketiga: Periode At-Tahrir, Adh-Dhabth dan At-Tanqih (403 H – 884 H)
Periode ini diawali pada abad kelima hingga akhir abad ke sembilan Hijriyah, atau dari wafatnya Al-Hasan bin Hamid (403 H) hingga wafatnya Al-Burhan bin Muflih (884 H). Setelah masalah-masalah fiqih menjadi stabil dan mapan, muncullah kebutuhan untuk pengeditan (Adh-Dhabth) penyeleksian (At-Tahrir) dan revisi (At-Tanqih) masalah-masalah fiqih, kemudian penyusunannya berdasarkan bab-bab fiqih. Kemudian ulama madzhab pada periode ini yang dikenal dengan istilah thabaqah al-mutawassithin mengarahkan konsentrasinya kepada pelayanan kebutuhan tersebut, maka mereka mengedit kaidah-kaidah umum dalam menukil masa’il yang diriwayatkan dari Imam Ahmad dan para sahabatnya, mereka mentakhrij furu’ atas ushul, dan mentarjih antara beberapa riwayat, wujuh dan premis. Mereka melengkapi pembahasan dalam ushul madzhab Hambali dan memfokuskan perhatian pada kajian batasan-batasan perbedaan fiqih (al-Furuq al-Fiqhiyyah) dibawah kandungan kaidah-kaidah umum dan rambu-rambu khusus fiqih madzhab. Mereka memperkaya madzhab dengan istilah-istilah fiqih yang membedakan pernyataan-pernyataan imam dan menjelaskan mana yang kuat (rajih) dari riwayat-riwayat dan Iain sebagainya.[11]
Diantara ulama yang paling terkenal pada periode ini adalah al-Qadhi Abu Ya’la Muhammad bin al-Husain bin al-Farra’ (wafat 458 H), Abu al-Khatthab Mahfuzh bin Ahmad al-Kalwadzani (wafat 510 H), dan Abu al-Wafa’ Ali bin Aqil (wafat 513 H); mereka yang fokus pada penjelasan Ushul Madzhab lewat karangan-karangan mereka.
Pada periode ini muncul pula perhatian ulama madzhab terhadap kitab Mukhtashar al-Khiraqi; ada yang mensyarahnya, mengomentarinya, menulis nazham (bait) nya, dan ada pula yang menjelaskan kosa kata yang sulit. Sehingga jumlah kitab yang ditulis untuk menjelaskan kitab tersebut mencapai sekitar dua puluh kitab, dan yang paling masyhur adalah kitab Al-Mughni karangan Al-Muwaffaq bin Qudamah al-Maqdisiy (wafat 620 H) yang pada zamannya menjadi syekh madzhab bersama dengan al-Majd bin Taimiyyah (wafat 652 H).
Sebagaimana pada periode ini juga muncul generasi pentahqiq (ulama peneliti) dan pentanqih (perevisi) madzhab, seperti Syekhul Islam Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyyah (wafat 728 H), Syamsuddin Muhammad bin Abi Bakar bin Qayyim al-Jauziyah (wafat 751 H), Syamsuddin Muhammad bin Muflih (wafat 763 H), Abdurrahman bin Ahmad bin Rajab al-Hambali (wafat 795 H), dan Burhanuddin Ibrahim bin Muhammad bin Muflih (wafat 884 H).
Peride Keempat: Tahap Stabilitas (885 H) dan Setelahnya
Pada periode ini telah tersistem apa yang disebutkan dengan istilah Thabaqah al-Muta’akhirin. Ia dimulai pada akhir abad ke sembilan Hijriyyah ( 885 H) hingga masa kita sekarang ini. Pada periode ini madzhab telah kokoh dan stabil atas apa yang ditulis dan direkam oleh ulama terdahulu, karena secara global telah terbukti keabsahan hukum-hukumnya dan keserasiannya dengan kaidah-kaidah dan pokok-pokok madzhab. Maka ulama madzhab merasa cukup dengan melakukan peringkasan, memberikan komentar, catatan pinggir, penyederhanaan, catatan kaki, penjelasan dan sebagian penyeleksian dan pilihan ijtihad yang tercabang atau tambahan atasnya. Walaupun demikian, usaha-usaha mereka tidak lepas dari tahqiq, tanqih, dan tarjih antara beberapa riwayat yang ada dalam madzhab.[12]
Diantara para pentahqiq dan pentanqih yang paling menonjol pada periode ini adalah; Abul Hasan Ali bin Sulaiman al-Mardawi (wafat 885 H), Yusuf bin Abdul Hadi (wafat 909 H), Musa bin Ahmad al-Hajjawi (wafat 968 H), Muhammad bin Ahmad al-Futuhi (wafat 972 H), Mar’a bin Yusuf al-Karmi (wafat 1033 H), dan Manshur bin Yunus al-Buhutiy (wafat 1051 H).
Dan maşuk dalam periode ini segala usaha ilmiah kontemporer yang telah dipersembahkan ataupun yang sedang dan akan dipersembahkan untuk menghidupkan dan menyebarkan madzhab ini; baik berupa penelitian, karangan bükü, dan studi. Pada saat ini telah didirikan pusat-pusat studi ilmiah dan universitas-universitas Islam berskala regional Arab dan internasional yang menetapkan studi dan penelitian sebagai syarat untuk meraih ijazah pada program pasca sarjana, disamping ada pula usaha-usaha individü dan komunitas yang menyebarkan warisan madzhab imam Ahmad baik dalam fiqih ataupun ushulnya.
Catatan Kaki:
[1] Lihat: Mafatih Al-Fiqih Al-Hambali, 1/160, 162.
[2] Lihat: Thabaqat Al-Hanabilah, Ibnu Abi Ya’la, 1/172
[3] Lihat: Al-Jarah wa At-Ta’dil, Ibnu Abi Hatim (5/7)
[4] Lihat: Mafatih Al-Fiqih Al-Hambali, 2/367
[5] Thabaqat Al-Hanabilah, Ibnu Abi Ya’la (1/66)
[6] Ibid (1/42)
[7] Ibid (1/56)
[8] Ibid (1/75)
[9] Ibid (1/138)
[10] Al-Madkhal Al-Mufashal ila Fiqh al-Imam Ahmad bin Hamabal, Bakar Abu Zaid (1/134, 135)
[11] Al-Madkhal Al-Mufashal ila Fiqh Imam Ahmad bin Hambal
[12] Ibid.