Oleh: Farid Nu’man Hasan
Telah banyak pandangan pakar astronom, pakar ilmu falak, yang memberikan penjelasan untuk mendukung yang ini atau itu, membantah yang ini atau itu. Segala teori dikerahkan namun tidak pernah ketemu kesepakatan. Namun ada satu hal yang kadang terlupakan, sebenarnya penentuan ini wewenang siapa?
Seharusnya masalah ibadah kolektif, yang melibatkan banyak orang dan hajat hidup orang banyak, sebaiknya memang dikembalikan sebagai domain atau wewenang negara di mana kita berada.
Sebab, Rasulullah ﷺ bersabda:
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ, وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ, وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ
“Puasa itu adalah di hari kalian (umat Islam) berpuasa, hari raya adalah pada saat kalian berhari raya, dan berkurban/ Idul Adha di hari kalian berkurban.” (HR. At Tirmidzi no. 697, Shahih. Lihat Ash Shahihah No. 224)
Imam At Tirmidzi menjelaskan: “Dan sebagian ahli ilmu menafsirkan hadits ini, mereka berkata: makna hadits ini adalah berpuasa dan berbuka adalah bersama jama’ah dan mayoritas orang (Ummat Islam).” (Ibid)
Para ulama Arab Saudi sendiri seperti di Lajnah Daimah, saat masih diketuai Syaikh Bin Baaz, menganjurkan berhari raya dengan berpijak negeri masing-masing, bukan merujuk ke Saudi misalnya, sebagaimana fatwa berikut:
يجب عليهم أن يصوموا مع الناس ويفطروا مع الناس ويصلوا العيدين مع المسلمين في بلادهم…
“Wajib atas mereka berpuasa bersama manusia, beridul fitri bersama manusia, dan shalat idain (Idul fitri dan Idul Adha) bersama kaum muslimin di negeri mereka.…” (Al Khulashah fi Fiqhil Aqalliyat)
Imam Abul Hasan As Sindi menyebutkan dalam Hasyiah As Sindi ‘Ala Ibni Majah:
وَالظَّاهِر أَنَّ مَعْنَاهُ أَنَّ هَذِهِ الْأُمُور لَيْسَ لِلْآحَادِ فِيهَا دَخْل وَلَيْسَ لَهُمْ التَّفَرُّد فِيهَا بَلْ الْأَمْر فِيهَا إِلَى الْإِمَام وَالْجَمَاعَة وَيَجِب عَلَى الْآحَاد اِتِّبَاعهمْ لِلْإِمَامِ وَالْجَمَاعَة وَعَلَى هَذَا فَإِذَا رَأَى أَحَد الْهِلَال وَرَدَّ الْإِمَام شَهَادَته يَنْبَغِي أَنْ لَا يَثْبُت فِي حَقّه شَيْء مِنْ هَذِهِ الْأُمُور وَيَجِب عَلَيْهِ أَنْ يَتْبَع الْجَمَاعَة فِي ذَلِكَ
“Jelasnya, makna hadits ini adalah bahwasanya perkara-perkara semacam ini (menentukan awal Ramadhan, Idul Fithri dan Idul Adha, pen) keputusannya bukanlah di tangan individu. Tidak ada hak bagi mereka untuk melakukannya sendiri-sendiri. Bahkan permasalahan semacam ini dikembalikan kepada pemimpin (imam) dan mayoritas umat Islam. Dalam hal ini, setiap individu pun wajib untuk mengikuti penguasa dan mayoritas umat Islam. Maka jika ada seseorang yang melihat hilal namun penguasa menolak persaksiannya, sudah sepatutnya untuk tidak dianggap persaksian tersebut dan wajib baginya untuk mengikuti mayoritas umat Islam dalam permasalahan itu.” (Hasyiah As Sindi ‘Ala Ibni Majah, 3/431)
Ormas, para pakar, posisinya sebagai partner, teman diskusi, dan pemberi masukan. Ketika belum ada keputusan, maka silahkan eksplorasi berbagai dalil dan sudut pandang, jangan dibatasi. Tapi ketika sudah ada keputusan, seharusnya perselisihan itu lenyap, semua pihak yang berbeda pun mesti tunduk. Rapat RT-RW saja seperti itu.
Imam Al Qarrafi Rahimahullah mengatakan:
اعْلَمْ أَنَّ حُكْمَ الْحَاكِمِ فِي مَسَائِلِ الِاجْتِهَادِ يَرْفَعُ الْخِلَافَ وَيَرْجِعُ الْمُخَالِفُ عَنْ مَذْهَبِهِ لِمَذْهَبِ الْحَاكِمِ وَتَتَغَيَّرُ فُتْيَاهُ بَعْدَ الْحُكْمِ
“Ketahuilah, bahwa keputusan pemimpin dalam masalah yang masih diijtihadkan adalah menghilangkan perselisihan, dan hendaknya orang menyelisihi ruju ‘ (kembali) dari pendapatnya kepada pendapat hakim dan dia mengubah fatwanya setelah keluarnya keputusan hakim.” (Anwarul Buruq fi Anwa’il Furuq, 3/334. Mawqi’ Al Islam)
Syaikh Khalid bin Abdullah Muhammad Al Mushlih mengatakan:
فإذا حكم ولي أمر المسلمين بحكم ترى أنت أن فيه معصية، والمسألة من مسائل الخلاف فيجب عليك طاعته، ولا إثم عليك؛ لأن حكم الحاكم يرفع الخلاف
“Jika pemimpin kaum muslimin sudah menetapkan sebuah ketentuan dengan keputusan hukum yang menurut Anda ada maksiat di dalamnya, padahal masalahnya adalah masalah yang masih diperselisihkan, maka wajib bagi Anda untuk tetap taat kepadanya, dan itu tidak berdosa bagi Anda, karena jika hakim sudah memutuskan sesuatu maka keputusan itu menghilangkan perselisihan.” (Syarh Al ‘Aqidah Ath Thahawiyah, 16/5. Mawqi’ Syabakah Al Islamiyah)
Ya.. Mirip rapat RT atau DKM saja.. Sebelum ada keputusan, masing-masing bisa eksplor pendapatnya, tapi ketika sudah ketok palu semua peserta rapat mesti tunduk. Terlepas dari pemimpin kita saat ini seperti apa, kita tidak sedang bicara politiknya.
Namun demikian, jika kasusnya di sebuah daerah umumnya masyarakat tetap keukeuh ikut pendapat Ormas, dan seseorang tinggal di situ, maka tidak apa-apa baginya ikuti mereka baik dalam hal keyakinan hari rayanya dan shalat idnya. Untuk menghindari fitnah di sana, sebab berselisih itu buruk. Ukhuwah itu harus nyata, bukan hanya teori. Kadangkala pendapat pribadi atau kelompok kita mesti kita kalahkan untuk kepentingan umat yang lebih besar. Fa’tabiruu!!