Dalam pembahasan Takwinul Ummah telah disebutkan ada dua pilar utama pembentukan umat, yakni: takwinus syakhshiyyah (pembentukan kepribadian) dan takwinu ruhil jama’ah (pembentukan semangat berjama’ah).
Pembentukan kepribadian yang dikehendaki adalah takwinus syakhshiyyatil Islamiyah (pembentukan kepribadian Islam) melalui metode yang telah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam membentuk khairu ummah (umat terbaik), generasi pertama masyarakat Islam, yakni metode tarbiyah.[1]
Pengertian Tarbiyah
Istilah tarbiyah berasal dari tiga kata berikut: raba-yarbu yang berarti bertambah dan tumbuh; rabba-rabiya-yarba yang berarti tumbuh berkembang dan menjadi besar; rabba-yarubbu yang berarti memperbaiki, menguasai, memimpin, menjaga, dan memelihara. Dalam tarbiyah ada upaya ziyadah (penambahan atau pembekalan), nas’ah (pertumbuhan), taghdiyyah (pemberian gizi), ri’ayah (pemeliharaan), dan muhafadzoh (penjagaan).
Syaikh Ali Abdul Halim Mahmud menjelaskan definisi tarbiyah sebagai berikut: “Cara ideal dalam berinteraksi dengan fitrah (watak/tabiat) manusia, baik secara langsung (berupa kata-kata) maupun secara tidak langsung (berupa keteladanan), untuk memproses perubahan dalam diri manusia menuju kondisi yang lebih baik.” [2]
Dalam salah satu taujihnya KH. Hilmi Aminuddin menjelaskan tentang ke-khas-an tarbiyah, “Ta’lim itu tazwidul ‘ilm (pembekalan ilmu), dan tabligh itu tazwidul ma’lumat (pembekalan informasi). Sedangkan tarbiyah merupakan tashihul aqidah, tashihul fikrah, tashihul akhlaq, dan tashihul ‘ibadah. Sehingga bobot taujih (arah)-nya harus sangat menyentuh mafatihul uqul, mafatihul qulub, wa mafatihun nufus. Harus membuka kunci-kunci jiwa, hati, dan akal manusia. Tarbiyah harus lebih menggugah, lebih berkesan, dan lebih membangkitkan. Sebab tarbiyah bukan talqinul ulum (penyampaian berbagai ilmu).”[3]
Al-Ummatul Jahiliyyah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus oleh Allah Ta’ala ke tengah-tengah umat jahiliyyah; yaitu masyarakat yang dilingkupi oleh kebodohan terhadap hakikat kebenaran (al-jahlu). Mereka tidak mengenal Allah Ta’ala, tidak mengetahui ibadah dan tidak memahami pedoman hidup yang benar.
Kebodohan tersebut tergambar dari kepercayaan mereka yang telah menyimpang jauh dari ajaran tauhid yang dibawa oleh nenek moyang mereka Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail.
Pertama, mereka menyembah malaikat, karena menganggapnya sebagai anak-anak perempuan Allah. Keyakinan seperti ini dibantah oleh Allah Ta’ala melalui firman-Nya,
أَفَرَأَيْتُمُ اللاتَ وَالْعُزَّى (١٩) وَمَنَاةَ الثَّالِثَةَ الأخْرَى (٢٠) أَلَكُمُ الذَّكَرُ وَلَهُ الأنْثَى (٢١) تِلْكَ إِذًا قِسْمَةٌ ضِيزَى (٢٢) إِنْ هِيَ إِلا أَسْمَاءٌ سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلا الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى الأنْفُسُ وَلَقَدْ جَاءَهُمْ مِنْ رَبِّهِمُ الْهُدَى (٢٣)
“Wahai kaum kafir Quraisy, apa pendapat kalian tentang patung Latta, Uzza, dan Manat, patung lain yang ketiga? Wahai kaum kafir Quraisy, apakah anak laki-laki untuk kalian, sedangkan anak perempuan untuk Allah? Jika benar begitu, maka hal itu adalah pembagian yang tidak adil. Nama patung-patung itu hanyalah mengikuti dugaan dan selera kalian semata. Sungguh Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk dari Tuhan seluruh manusia telah datang kepada mereka.” (Q.S. An-Najm: 19-23)[4]
أَمْ خَلَقْنَا الْمَلَائِكَةَ إِنَاثًا وَهُمْ شَاهِدُونَ
“Apakah Allah menciptakan malaikat sebagai anak perempuan-Nya?Apakah kaum musyrik Quraisy menyaksikan penciptaan malaikat itu?” (Q.S. As-Shafat: 150)[5]
Kedua, mereka menyembah jin. Mereka memandang bahwa jin-jin itu mempunyai hubungan dengan para malaikat. Mereka memuliakan beberapa tempat yang mereka anggap sebagai tempat jin, diantaranya adalah sebuah tempat bernama Darahim. Mereka selalu mengadakan kurban di tempat itu agar terhindar dari bencana yang didatangkan olehnya. Keyakinan seperti ini pun dibantah oleh Allah Ta’ala melalui firman-Nya,
وَجَعَلُوا لِلَّهِ شُرَكَاءَ الْجِنَّ وَخَلَقَهُمْ وَخَرَقُوا لَهُ بَنِينَ وَبَنَاتٍ بِغَيْرِ عِلْمٍ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يَصِفُونَ
“Orang-orang musyrik menjadikan jin sebagai sekutu-sekutu Allah. Padahal Allah lah yang menciptakan jin-jin itu. Orang-orang musyrik telah berdusta tanpa ilmu sedikit pun, karena mereka mengatakan bahwa Allah mempunyai anak laki-laki dan anak perempuan. Allah Mahasuci, dan Allah Mahajauh dari segala sifat-sifat kotor yang dikatakan oleh orang-orang musyrik.” (Q.S. Al-An’am: 100)[6]
Ketiga, mereka menyembah bintang-bintang. Yang dimaksud bintang-bintang adalah matahari, bulan, dan bintang-bintang yang gemerlapan cahayanya, yang bertaburan dan beribu-ribu banyaknya itu. Mereka menyembah bintang-bintang karena menganggap bintang-bintang itu diberi kekuasaan oleh Allah untuk mengatur alam yang luas ini. Diantaranya mereka menyembah Syi’ra (planet yang paling besar).
Namun Allah menegaskan bahwa Dialah Pencipta Syi’ra. Oleh karena itu hanya Dialah yang patut disembah,
وَأَنَّهُ هُوَ رَبُّ الشِّعْرَى
“Sungguh Allah adalah Tuhan yang menguasai As-Syi’ra (planet yang paling besar).” (Q.S. An-Najm: 49)[7]
Allah Ta’ala juga memberi penerangan kepada manusia bahwa Dialah Pencipta matahari dan bulan,
وَمِنْ آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ لا تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
“Diantara bukti kekuasaan Allah adalah adanya malam dan siang serta matahari dan bulan. Wahai manusia, janganlah kalian bersujud kepada matahari dan bulan. Akan tetapi bersujudlah kalian kepada Allah, Tuhan yang telah menciptakan matahari dan bulan, jika kalian benar-benar taat kepada-Nya.” (Q.S. Fushilat: 37)[8]
***
Selain berada dalam kebodohan (al-jahlu), masyarakat jahiliyyah juga berada dalam kondisi ad-dzillah (kehinaan) karena banyak melakukan perbuatan maksiat. Diantaranya adalah:
Pertama, kebiasaan meminum khamar dan berjudi. Kebiasaan buruk ini kemudian diharamkan oleh Islam,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Wahai kaum mukmin; minuman keras, judi, penyembelihan hewan untuk berhala, dan pengundian nasib adalah hal yang kotor bagian dari bujukan setan. Karena itu jauhilah perbuatan-perbuatan kotor itu supaya kalian mendapatkan keselamatan di dunia dan akhirat.” (Q.S. Al-Maidah: 90)[9]
Kedua, mereka juga terbiasa berbuat zina, dengan cara terselubung—dengan menyebutnya sebagai pernikahan—atau dengan cara pelacuran seperti halnya dilakukan manusia pada masa kini. Kebiasaan maksiat ini tergambar dari apa yang diungkapkan oleh Ummul Mu’minin, Aisyah radhiyallahu ‘anha,
إِنَّمَا نَزَلَ أَوَّلَ مَا نَزَلَ مِنْهُ سُورَةٌ مِنْ الْمُفَصَّلِ فِيهَا ذِكْرُ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ حَتَّى إِذَا ثَابَ النَّاسُ إِلَى الْإِسْلَامِ نَزَلَ الْحَلَالُ وَالْحَرَامُ وَلَوْ نَزَلَ أَوَّلَ شَيْءٍ لَا تَشْرَبُوا الْخَمْرَ لَقَالُوا لَا نَدَعُ الْخَمْرَ أَبَدًا وَلَوْ نَزَلَ لَا تَزْنُوا لَقَالُوا لَا نَدَعُ الزِّنَا أَبَدًا لَقَدْ نَزَلَ بِمَكَّةَ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِنِّي لَجَارِيَةٌ أَلْعَبُ : (بَلْ السَّاعَةُ مَوْعِدُهُمْ وَالسَّاعَةُ أَدْهَى وَأَمَر) وَمَا نَزَلَتْ سُورَةُ الْبَقَرَةِ وَالنِّسَاءِ إِلَّا وَأَنَا عِنْدَهُ
“Sesungguhnya yang pertama-tama kali turun darinya (al-qur’an) adalah surat Al Mufashshal (surat-surat pendek) yang di dalamnya disebutkan tentang surga dan neraka. Dan ketika manusia telah condong kepada agama Islam, maka turunlah kemudian ayat-ayat tentang halal dan haram. Seandainya saja yang pertama kali turun adalah ayat; ‘Janganlah kalian minum arak’. Niscaya mereka akan mengatakan; ‘Kami tidak akan meninggalkan meminum arak selama-lamanya.’
Dan sekiranya juga yang pertama kali turun adalah ayat, ‘Janganlah kalian berzina..’ Niscaya mereka akan berkomentar, ‘Kami tidak akan meniggalkan zina selama-lamanya.’
Ayat yang diturunkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di Makkah yang pada saat itu aku masih anak-anak adalah:
بَلْ السَّاعَةُ مَوْعِدُهُمْ وَالسَّاعَةُ أَدْهَى وَأَمَرُّ
“Sebenarnya hari kiamat itulah hari yang dijanjikan kepada mereka dan kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit.” (QS. Al-Qamar: 46).’
Dan tidaklah surat Al Baqarah dan An Nisa` diturunkan kecuali aku telah berada di sisi beliau (di Madinah).” (Shahih Bukhari, No.4993 ).
Tidaklah heran perzinahan saat itu begitu merajalela, karena wanita-wanita mereka memang banyak yang bertingkah laku ‘memasarkan diri’. Pada saat dia lewat di depan lelaki ajnabi (lelaki yang bukan mahramnya) jalannya genit, berlemah gemulai, seakan-akan dia memamerkan dirinya dan ingin memikat orang lain. Tingkah laku seperti itu dibenci oleh Allah Ta’ala, karenanya Dia berfirman,
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“Wahai istri-istri Nabi, tinggalah kalian di rumah-rumah kalian. Janganlah kalian keluar rumah dengan berdandan ala perempuan-perempuan jahiliyah sebelum Islam datang…” (Q.S. Al-Ahzab: 33)[10]
Syaikh Abdurrahman Nashir As-Sa’diy rahimahullah menafsirkan ayat ini sebagai berikut, “Janganlah kalian para wanita sering keluar (rumah) berhias dan memakai wewangian seperti keadaan ahlul jahiliyah terdahulu yang mereka tidak mempunyai ilmu dan agama.”[11]
Ketiga, mereka terbiasa pula melakukan pencurian dan perampokan, antara satu suku kepada suku yang lain. Suku yang kuat memerangi suku yang lemah untuk merampas hartanya. Yang demikian ini terjadi karena tidak ada hukum maupun peraturan yang menjadi acuan. Mereka bukan hanya mencuri dan merampok harta benda, tetapi orang yang dirampoknya itu juga ditawan dan dijadikannya hamba sahaya atau budak belian.
Keempat, mereka gemar bertengkar dan berperang. Perkara-perkara kecil bisa menjadi peperangan besar, bahkan bisa terjadi sampai bertahun-tahun lamanya. Di antara perperangan mereka yang paling terkenal adalah:
- Perang Dahis dan Perang Ghabara’ yang berlangsung 40 tahun antara Suku ‘Abs melawan Suku Dzibyan dan Fizarah akibat perselisihan di arena pacuan kuda;
- Perang Basus, sampai-sampai dikatakan, “Perang yang paling membuat sial adalah Perang Basus yang berlangsung sepanjang tahun”. Perang ini terjadi antara Suku Bakr dan Taghlub, perang ini terjadi karena dilukainya seekor unta yang bernama Basus;
- Perang Bu’ats yang terjadi antara Suku Aus dan Khazraj di Yatsrib (Al-Madinah An-Nabawiyyah);
- Perang Fijar yang berlangsung antara Qays ‘Ilan melawan Kinanah dan Quraisy. Disebut “Perang Fijar” karena terjadi saat bulan-bulan haram. Fijar (فِجار ) adalah bentukan wazan فَعَّال dari kata fujur (فجور); Mereka telah sangat mendurhakai Allah (sangat fujur) karena berani berperang pada bulan-bulan yang diharamkan untuk berperang.
Kelima, mereka tidak memiliki adat kesopanan. Misalnya: mereka mengerjakan thawaf dengan telanjang—baik laki-laki maupun perempuan—tanpa rasa malu. Mereka pun tidak malu mandi telanjang di tempat terbuka. Berbicara rafats, hal-hal rahasia mengenai hubungan seksual suami-istri tidak segan-segan diceritakan kepada orang lain di depan umum.
Itulah diantara adat kebiasaan jahiliyyah pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus.
***
Masyarakat jahiliyyah Arab juga berada dalam kondisi lemah (dha’if) dan berpecah belah (furqah). Mereka bukanlah bangsa yang diperhitungkan. Kerajaan-kerajaan yang ada di jazirah Arab pada waktu itu adalah kerajaan-kerajaan yang tunduk di bawah kekuatan Persia atau Romawi.
Kerajaan-kerajaan yang besar di jazirah Arab ada tiga: Yaman, Munazirah, dan Ghassaniyah. Kerajaan Yaman pernah dikuasai Habasyah, dan berikutnya dikuasai Persia. Namun pada masa khalifah Abu bakar, Yaman berhasil dikuasai pemerintahan Islam. Kerajaan Munazirah—Ibu Kotanya di Hirah, dekat kota Kufah Irak—dari awal sampai akhir berada di bawah kekuasaan Persia. Pada masa khalifah Abu Bakar pula kerajaan ini dapat dikuasai pemerintahan Islam. Kerajaan Ghassaniyah di Syam dari awal hingga akhir dikuasai oleh Romawi. Kemudian tunduk pada pemerintahan Islam pada masa Umar bin Khattab.
Pemerintahan kecil yang berjalan tanpa gangguan pada masa itu adalah pemerintahan di Hijaz yang dijalankan oleh Quraisy.
Singkatnya, masyarakat jahiliyah pada masa itu dalam kondisi dholalun mubin, kesesatan yang nyata. Mereka berada dalam kondisi bodoh (jahl), rendah (dzillah), lemah (dhaif) dan berpecah belah (furqah).
Al-Inqadz (penyelamatan) dengan Tarbiyah Islamiyyah
Karena kasih sayangnya, Allah Ta’ala kemudian mengutus di tengah-tengah masyarakat jahiliyah itu seorang Rasul, dialah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولًا مِنْكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ
“Wahai bangsa Arab, Kami juga telah mengutus Muhammad ke tengah-tengah kalian sebagai seorang rasul yang berasal dari bangsa kalian sendiri. Muhammad membacakan ayat-ayat Kami kepada kalian, membersihkan diri kalian dari syirik, mengajarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah kepada kalian. Muhammad juga mengajarkan kepada kalian kisah umat-umat terdahulu, yang tidak kalian ketahui sebelumnya.” (Q.S. Al-Baqarah: 151).[12]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mentarbiyah masyarakat jahiliyyah ini dengan cara tilawah (membacakan firman Allah Ta’ala), tazkiyah (menyucikan) dan ta’limul minhaj (mengajarkan pedoman hidup) yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Tilawah yakni membaca Al-Qur’an yang di dalamnya terdapat penjelasan tentang perkara yang hak dan yang batil, atau tanda-tanda kebesaran Allah Ta’ala, kenabian Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan adanya hari kebangkitan.
Tilawah, berasal dari kata talaa – yatlu. Makna awalnya adalah tabi’a atau ittaba’a (mengikuti) secara langsung tanpa pemisah, yang secara khusus berarti mengikuti kitab Allah Ta’ala, baik dengan cara qira’ah (pembacaan secara intelektual) atau menjalankan apa yang terkandung di dalamnya (ittiba’). Jadi, tilawah dapat diartikan sebagai membaca yang bersifat spiritual atau aktifitas membaca yang diikuti komitmen untuk mengamalkanya. [13]
Tazkiyah yakni tathir (menyucikan), numuw (menumbuhkan), dan takhalluq (menghiasi) jiwa dengan sifat-sifat mulia juga menyucikannya dari kemusyrikan, kemaksiatan, dan akhlak yang tercela.[14]
Ta’lim yakni ta’limul minhaj, mempelajari Al-Qur’an dan hikmah (sunah), serta segala pengetahuan yang terkait dengan kebaikan di dunia dan akhirat.
An-Ni’matul Kubra
Ini adalah an-ni’matul kubra (kenikmatan yang besar). Karena dengan diutusnya Rasul dan tarbiyah yang dilakukannya, umat jahiliyyah berubah total menjadi umat yang mengenal ilmu (al-ilm), memiliki pengetahuan (ma’rifah) tentang iman dan agama yang benar,
وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِنْ أَمْرِنَا مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ وَلَكِنْ جَعَلْنَاهُ نُورًا نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Wahai Muhammad, begitulah telah Kami turunkan Al-Qur’an kepadamu sesuai perintah Kami. Engkau sebelumnya tidak mengetahui apa itu kitab dan apa itu iman. Kemudian Kami jadikan Al-Qur’an sebagai cahaya Kami yang Kami gunakan untuk memberi petunjuk kepada siapa yang Kami kehendaki diantara para hamba Kami. Sungguh engkau benar-benar seorang rasul yang menunjukkan jalan kepada Islam.” (Q.S. Asy-Syura: 52)[15]
Mereka menjadi umat yang bersih dari kemusyrikan, dan bahkan menjadi umat yang mengusung panji-panjinya serta menancapkannya di seluruh penjuru bumi. Mereka menjadi umat yang memiliki kehormatan/wibawa (al-izzah). Berkat tarbiyah dari Rasulullah shalallahu ‘laihi wa sallam, mereka menjadi umat yang berakhlak mulia dan jauh dari perbuatan rendah.
إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَق
“Hanyalah aku diutus (oleh Allah) untuk menyempurnakan akhlak yang baik.” (HR. Malik dalam Al Muwaththa’)
Mereka menjauhi perbuatan meminum khamer, judi, zina, pencurian, perampokan, perpecahan, dan berbagai perbuatan rendah lainnya. Dengan iman, mereka menjadi umat yang memiliki kekuatan (al-quwwah) dan persatuan (al-wihdah). Mereka menebarkan cahaya iman ini sehingga umat manusia beroleh hidayah Islam. Mereka kemudian mampu menjadi penguasa di muka bumi ini dan menundukkan para penyembah thaghut. Sebagaimana yang diucapkan oleh Rib’i bin Amir radhiyallahu ‘anhu kepada Rustum, komandan perang Persia,
إن الله ابْتَعَثَنَا لِنُخْرِخَ مَنْ شَاءَ مِنْ عِبَادَةِ العِبَادِ إِلىَ عِبَادَةِ اللهِ وَمِنْ ضِيقِ الدُّنْياَ اِلىَ سَعَتِهَا وَمِنْ جُوْرِ الأَدْيَانِ إِلىَ عَدْلِ الإِسْلاَمِ
“Sesungguhnya Allah telah membangkitkan kami untuk mengeluarkan siapa pun yang mau, dari penghambaan kepada manusia menuju penghambaan kepada Allah semata; dari sempitnya dunia menuju luasnya dunia, dan dari keculasan agama-agama menuju keadilan Islam”.
Mereka melakukan berbagai futuhat sehingga Makkah, Khaibar, Bahrain, seluruh Jazirah Arab, dan Yaman dapat dikuasai. Sementara itu jizyah dari Majusi Hajar dan beberapa daerah Syam terus mengalir. Pada masa Abu Bakr, Khalid bin Walid berhasil menembus Persia; Abu Ubaidah menguasai Syam; Amr bin Ash membuka Mesir. Secara beruntun beberapa daerah Syam, Basrah, dan Damaskus dapat dibebaskan. Pada masa Umar bin Khattab seluruh Syam bebas, Mesir dikuasai dan sebagian Persia berhasil direbut; kekuasaan Romawi dari hari ke hari semakin berkurang. Bahkan pada masa Utsman bin Affan kekuasaan Islam sudah menembus wilayah Cina.
Khairu Ummah
Dengan tarbiyah Islamiyah, mereka menjadi umat terbaik (khairu ummah). Sebagaimana difirmankan oleh Allah Ta’ala,
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِٱللَّ
“Wahai kaum mukmin, kalian benar-benar umat terbaik, yang ditampilkan ke tengah manusia lainya, supaya kalian menyuruh manusia berbuat baik, mencegah perbuatan munkar, dan beriman kepada Allah.” (Q.S. Ali Imran, 3: 110)[16]
Kesimpulan
Jika kini kita mendapati sebagian dari umat ini dalam keadaan bodoh (jahlu), rendah (dzillah), lemah (dhaif) dan berpecah belah (furqah). Maka ketahuilah, jalan penyelamatannya adalah tarbiyah Islamiyah!
Renungkanlah kalimat yang disampaikan Imam Malik:
لَنْ يُصْلِحَ آخِرَ هَذِهِ الأُمَّةِ إِلاَّ مَا أَصْلَحَ أَوَّلَهَا
“Tidak akan bisa memperbaiki kondisi orang-orang yang datang kemudian dari umat ini kecuali dengan apa yang telah memperbaiki kondisi orang-orang petamanya.”
Wallahu A’lam…
Catatan Kaki:
[1] Tarbiyah merupakan istilah yang baru muncul pada perempat kedua abad ke-20, sehingga penggunaan istilah tarbiyah tidak ditemukan dalam referensi klasik yang biasa menggunakan term ta’lim, adab, dan tahdzib.
[2] Perangkat-perangkat Tarbiyah Ikhwanul Muslimin, Era Intermedia.
[3] Bingkai Dakwah di Dunia Politik, KH. Hilmi Aminuddin
[4] Terjemah Tafsiriyah, Al-Ustadz Muhammad Thalib, hal. 673 – 674.
[5] Ibid, hal. 569
[6] Ibid, hal. 164.
[7] Ibid, hal. 676
[8] Ibid, hal. 608
[9] Ibid, hal. 142
[10] Ibid, hal. 526
[11] Taisir Karimir rohmah hal. 632, cetakan pertama, Dar Ibnu Hazm
[12] Terjemah Tafsiriyah, Al-Ustadz Muhammad Thalib, hal. 28.
[13] Di dalam Al-Quran ada 3 kalimat yang digunakan terkait al Quran, yaitu qiroah, tilawah dan tartil. Arti tilawah telah dijelaskan dalam tulisan di atas. Adapun qira’ah, adalah masdar dari qara’ah yang berarti al-jam’u (mengumpulkan), artinya mengumpulkan huruf-huruf dalam sebuah untaian kata dan kalimat. Turunan dari kata dasar ini memiliki makna-makna diantaranya: tafahhama (berusaha memahami), daarasa (terus mempelajari), tafaqqaha (berupaya mengerti secara mendalam), dan hafidza (menghafal) karena menghafal juga berarti jama’a (mengumpulkan) dan dhamma (menyatukan). (Lihat: Mu’jam Mufradat Alfazhil Qur’an hal. 413-414; dan Lisanul ‘Arab, I/128-133). Karena itu qira’ah, biasa mengandung unsur, mempelajari, memahami dan menghafalkannya. Maksudnya ketika seseorang melakukan qira’ah, berarti pembacaannya lebih kepada aspek intlektual, pemikiran, dan menelaah (knowledge). Perhatikan QS. Al- Alaq ayat 1 – 5.
Adapun tartil, dari kata rattala, arti dasar tartil adalah ittisaq (sesuatu yang terpadu) dan intidzam (tersistem) secara istiqamah (konsisten), yakni melepaskan kata-kata dari mulut secara baik, teratur, dan konsisten. Titik tekannya ada pada pengucapan secara lisan atau pembacaan verbal dan bersuara. Dalam Bahasa Inggris, padanan tepatnya adalah to recite (mengucapkan, melafalkan dengan lisan). Tepatnya, slow recitation, membaca secara dengan bersuara secara perlahan-lahan. Jadi, tartil adalah teknis tilawah yang benar. Perhatikan dalam QS. Al-Muzzammil, wa rattilil Qur’ana tartiila, dan bacalah Al-Qur’an secara perlahan-lahan).
[14] Lihat: al-Mustakhlah fi Tazkiyatil Anfus, Syaikh Sa’id Hawwa; Al-Qur’anul Karim wa Tafsiruhu, Kemenag RI.
[15] Ibid, hal. 619.
[16] Ibid, hal. 76.
1 comment
izin copy..