(Kondisi Umat Islam Hari Ini)
Diakui atau tidak, fakta menunjukkan bahwa kaum muslimin saat ini sedang dilanda berbagai kelemahan. Hal inilah kemudian yang menyebabkan umat Islam hari ini belum mampu tampil sebagai masyarakat ideal seperti yang dicita-citakan, yaitu menjadi khairu ummah, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran: 110)
Kelemahan muslimin (dha’ful muslimin) pada saat ini meliputi beberapa aspek:
Pertama, aspek aqidah (aqidatan).
Tidak sedikit dari umat Islam saat ini yang masih awam terhadap prinsip-prinsip aqidah Islam; hal ini menyebabkan keterikatan mereka terhadap Islam demikian longgar. Kecintaan, kesetiaan, pembelaan, kebanggaan, dan komitmen terhadap Islam belum terbangun dengan kokoh di dalam diri mereka; Begitupula kebencian, pemutusan hubungan, perlawanan, pengingkaran, dan penyelisihan mereka terhadap nilai-nilai yang bertentangan dengan kebenaran belum terpatri kuat dalam jiwa mereka. Padahal Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَوْثَقُ عُرَى اْلإِيْمَانِ:الْمُوَالاَةُ فِي اللهِ، وَالْمُعَادَاةُ فِي اللهِ، وَالْحُبُّ فِي اللهِ، وَالبُغْضُ فِي اللهِ
“Ikatan iman yang paling kuat adalah loyalitas karena Allah dan permusuhan karena Allah, mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.” (HR. Ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir [no.11537], lihat Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah [IV/306, no. 1728])
Kelemahan aspek aqidah juga terlihat dari masih maraknya fenomena kemusyrikan seperti: praktek ramal, dukun, dan sihir. Selain itu, muncul pula pendangkalan aqidah melalui penyebaran faham atheisme, pluralisme, liberalisme, dan aliran-aliran sesat.
Oleh karena itu para da’i hendaknya dapat memperhatikan dengan sungguh-sungguh upaya pengokohan pemahaman serta pengamalan umat terhadap aqidah yang benar, khususnya adalah pengokohan pemahaman dan pengamalan rukun iman serta rukun Islam.
Kedua, aspek tarbiyah/pendidikan (tarbiyatan)
Kegiatan pembinaan dan pendidikan Islam saat ini seringkali kurang diprioritaskan oleh umat. Sementara itu secara umum pelaksanaan pendidikan Islam secara formal maupun informal masih jauh dari ideal, sehingga umat Islam belum bisa memahami ajaran agamanya secara utuh dan menyeluruh. Tidak sedikit diantara mereka yang mengenal dan mengamalkan serta berinteraksi dengan ajaran Islam hanya dalam aspek-aspek dan momentum yang terbatas. Contoh: saat kelahiran bayi, saat khitanan, saat syukuran, saat pernikahan, dan saat kematian.
Lemahnya aspek tarbiyah menyebabkan sebagian umat Islam hari ini lebih fokus dan terkonsentrasi pada urusan-urusan pemenuhan kebutuhan materi. Hal-hal yang bersifat spiritual kadangkala terlupakan dan bahkan diabaikan. Inilah mungkin yang menyebabkan umat Islam ditimpa penyakit al-wahn (kelemahan), sebagaimana disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
يُوْشِكُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُم الأُمَمُ كَمَا تَدَاعَى الأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا” اَوَمِنْ قِلَّةٍ بِنَا يَوْمَئِذٍ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: “بَلْ اِنَّكُمْ يَوْمَئِذٍكَثِيْرُوْنَ، وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَيْلِ، وَقَدْ نَزَلَ بِكُمُ الْوَهْنُ” قِيْلَ: وَمَا الْوَهْنُ يَارَسُوْلَ اللّهِ ؟ قَالَ: “حُبُّ الدُنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ
“Kamu akan diperebutkan oleh bangsa-bangsa lain sebagaimana orang-orang berebut melahap isi mangkok.” Para sahabat bertanya: “Apakah saat itu jumlah kami sedikit ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Tidak, bahkan saat itu jumlah kalian banyak sekali tetapi seperti buih air bah dan kalian ditimpa penyakit wahn.” Mereka bertanya lagi: “Apakah penyakit wahn itu ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Terlalu cinta dunia dan takut kepada mati” (HR. Abu Daud).
Ketiga, aspek wawasan/konsep pemikiran/cara pandang/ideologi (tsaqafiyyatan).
Banyak diantara umat Islam yang saat ini cenderung tidak ber-tsaqafah Islamiyah; yakni berwawasan, berpandangan hidup, berpola pikir dan berideologi yang sesuai dengan aqidah Islam. Supremasi pemikiran Islam di tengah-tengah umat belum terwujud secara ideal. Umat Islam belum menjadikan Islam sebagai referensi tertinggi dalam memandang urusan kehidupannya.
Bahkan, yang terjadi adalah munculnya sikap mengekor (taqlid) dan ikut-ikutan (imma’ah) terhadap tsaqafah umat/bangsa lain yang tidak selalu sesuai dengan tasaqafah Islamiyah.
Tentang sikap taqlid, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِى بِأَخْذِ الْقُرُونِ قَبْلَهَا ، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ . فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَفَارِسَ وَالرُّومِ . فَقَالَ وَمَنِ النَّاسُ إِلاَّ أُولَئِكَ
“Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Lalu ada yang menanyakan pada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Apakah mereka itu mengikuti seperti Persia dan Romawi?” Beliau menjawab, “Selain mereka, lantas siapa lagi?“ (HR. Bukhari no. 7319)
Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ , قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ : فَمَنْ
“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang sempit sekalipun, -pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” (HR. Muslim no. 2669)
Imam Nawawi –rahimahullah– ketika menjelaskan hadits di atas menjelaskan, “Yang dimaksud dengan syibr (sejengkal) dan dzira’ (hasta) serta lubang dhab (lubang hewan tanah yang penuh lika-liku), adalah permisalan bahwa tingkah laku kaum muslimin sangat mirip sekali dengan tingkah Yahudi dan Nashrani. Yaitu kaum muslimin mencocoki mereka dalam kemaksiatan dan berbagai penyimpangan, bukan dalam hal-hal kekafiran mereka yang diikuti. Perkataan beliau ini adalah suatu mukjizat bagi beliau karena apa yang beliau katakan telah terjadi saat-saat ini.” (Syarh Muslim, 16: 219)[1]
Sedangkan tentang sikap imma’ah Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,
لا يَكُونَنَّ أَحَدُكُمْ إِمَّعَةً
“Janganlah seorang diantara kalian menjadi imma’ah.”
Lalu ada yang bertanya:
وَمَا الإِمَّعَةُ ؟
“Apa itu Imma’ah?”
Ibnu Mas’ud menjawab:
يَجْرِي مَعَ كُلِّ رِيحٍ
“Mengikuti semua angin yang bertiup.”[2]
Seharusnya, sebagai umat yang memiliki way of life (manhajul hayah) yang sempurna, mereka harus komitmen dengan segala sesuatu yang bersumber dari ajaran Islam. Mencakup aspek keyakinan (al-i’tiqadi), moral (al-akhlaki), sikap (as-suluki), perasaan (as-syu’uri), pendidikan (at-tarbawi), kemasyarakatan (al-ijtima’i), politik (as-siyasi), ekonomi (al-iqtishadi), militer (al-‘askari), dan hukum (al-jina’i).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sejak awal telah mencontohkan tentang pentingnya menjaga kemurnian tsaqafah para pengikutnya. Telah diriwayatkan secara shahih bahwa beliau sangat marah ketika melihat Umar bin Khatthab memegang lembaran yang di dalamnya terdapat beberapa potongan ayat Taurat, beliau berkata,
أَفِي شَكٍّ أَنْتَ يَا ابْنَ الْخَطَّابِ ؟ أَلَمِ آتِ بِهَا بَيْضَاءَ نَقِيَّةً ؟ لَوْ كَانَ مُوسَى أَخِي حَيًّا مَا وَسِعَهُ إلاَّ اتِّبَاعِي .
“Apakah engkau masih ragu wahai Ibnul Khatthab? Bukankah aku telah membawa agama yang putih bersih? Sekiranya saudaraku Musa (‘alaihis salam) hidup sekarang ini maka tidak ada keluasan baginya kecuali mengikuti (syariat)ku.” (HR. Ahmad, Ad-Darimi dan lainnya).
Keempat, aspek dakwah (da’watan)
Setali tiga uang dengan aspek tarbiyah, aspek dakwah pun mengalami kelemahan; hari ini kegiatan dakwah nyaris hanya sekedar menjadi entertainment yang tunduk kepada selera pasar. Kegiatan dakwah seringkali dilakukan serampangan tanpa konsep, tahapan, dan prioritas yang jelas.
Sementara itu, kebudayaan manusia terus berkembang secara dinamis dipengaruhi oleh berbagai nilai, norma, dan aturan-aturan serta hukum yang tumbuh di tengah-tengah mereka. Arus pemikiran dan gaya hidup mengalir deras tak terbendung; jahiliyyah modern tampil dengan berbagai kemasan yang menggiurkan dan semakin canggih. Sementara itu kita melihat fenomena para da’i masih lemah dalam mengaktualisasikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan kekinian.
Mari kita mengambil hikmah dan manfaat dari apa yang disampaikan Amin Rais. Ia menawarkan 5 ‘pekerjaan rumah’ yang perlu diselesaikan oleh umat berkenaan dengan dakwah di era informasi saat ini agar dakwah tetap relevan, efektif, dan produktif:[3]
- Perlu adapengkaderan yang serius untuk memproduksi juru-juru dakwah dengan pembagian kerja yang rapi. Ilmu tabligh belaka tidak cukup untuk mendukung proses dakwah, melainkan diperlukan pula berbagai penguasaan dalam ilmu-ilmu teknologi informasi yang paling mutakhir.
- Setiap organisasi Islam yang berminat dalam tugas-tugas dakwah perlu membangun laboratorium dakwah. Dari hasil “Labda” ini akan dapat diketahui masalah-masalah riil di lapangan, agar jelas apa yang akan dilakukan.
- Proses dakwah tidak boleh lagi terbatas pada dakwah bil-lisan, tapi harus diperluas dengan dakwah bil-hal, bil-kitaabah (lewat tulisan), bil-hikmah (dalam arti politik), bil-iqtishadiyah (ekonomi), dan sebagainya. Yang jelas, actions,speak louder than word.
- Media massa cetak dan terutama media elektronik harus dipikirkan sekarang juga. Media elektronik yang dapat menjadi wahana atau sarana dakwah perlu dimiliki oleh umat Islam. Bila udara Indonesia di masa depan dipenuhi oleh pesan-pesan agamalain dan sepi dari pesan-pesan Islami, maka sudah tentu keadaan seperti ini tidak menguntungkan bagi peningkatan dakwah Islam di tanah air.
- Merebut remaja Indonesia adalah tugas dakwah Islam jangka panjang. Anak-anak dan para remaja kita adalah aset yang tak ternilai. Mereka wajib kita selamatkan dari pengikisan aqidah yang terjadi akibat ‘invasi’ nilai-nilai non islami ke dalam jantung berbagai komunitas Islam di Indonesia. Bila anak-anak dan remaja kita memiliki benteng tangguh (al-hususn al-hamidiyyah) dalam era globalisasi dan informasi sekarang ini, insya Allah masa depan dakwah kita akan tetap ceria.
Kelima, aspek organisasi (tandziman)
Tandzim (organisasi) yang dimaksud adalah organisasi dalam arti kesatuan individu dalam komunitas untuk tujuan tertentu; maupun organisasi dalam arti kelompok kerja sama antara orang-orang atau komunitas yang diadakan untuk mencapai tujuan bersama.
Dalam aspek tandzim dengan pengertian seperti di atas, umat Islam pun mengalami kelemahan. Beragamnya tandzim (organisasi) seharusnya melahirkan fastabiqul khairat dan atau sinergi yang memunculkan berbagai macam kemaslahatan-kemaslahatan, namun yang terjadi saat ini justru adalah fenomena tafarruq (perpecahan) yang menyebabkan semakin lemahnya perjuangan.
Padahal fenomena seperti itu seharusnya dapat dihindari oleh umat Islam sejauh-jauhnya, karena Allah Ta’ala berfirman,
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا
“Dan berpegang-teguhlah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.” (QS. Ali-Imran: 103).
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِهِ صَفًّا كَأَنَّهُمْ بُنْيَانٌ مَرْصُوصٌ
“Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (QS. As-Shaf: 4)
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
“Dan ta’atlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Anfal: 46)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْمُؤْمِنُ للْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضاً وَشَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ .
“Seorang mu’min terhadap mu’min yang lain, ibarat sebuah bangunan yang sebagiannya mengokohkan bagian yang lain” (dan beliau saw. menjalinkan antara jari-jarinya.)” (Muttafaq ‘alaih).
Keenam, aspek akhlak (akhlakan)
Secara umum akhlak/moralitas sebagian kaum muslimin pada saat ini berada dalam kelemahan, dalam arti masih jauh dari nilai-nilai ideal yang diajarkan oleh ajaran Islam. Tidak sedikit diantara umat Islam saat ini yang terjangkit budaya permissivisme (paham serba boleh), hedonisme (paham memburu kelezatan materi), gemar bersenang-senang, melepaskan insting tanpa kendali, berlebih-lebihan dalam memuaskan kesenangan perut, meninggalkan nilai-nilai kesopanan, kesantunan, dan rasa malu dari kalangan pria maupun wanita.
*****
Ad-da’watul Harakiyyatus Syamilah
Umat Islam dan para da’i yang telah menyadari realita ini, hendaknya bahu membahu melakukan upaya perbaikan (al-ishlah) dengan melakukan pergerakan dakwah yang menyeluruh (ad-da’watul harakiyyatus syamilah) yang memiliki karakter sebagai berikut.
Pertama, rabbani (ar-rabbaniyyah).
Dakwah rabbani yang dimaksud adalah dakwah yang digulirkan harus benar-benar bertujuan dan berorientasi ketuhanan; bukan untuk mendapatkan keuntungan materi, popularitas, pujian manusia, atau jabatan.
Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرَى لِلْعَالَمِينَ
“Katakanlah: ‘Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al-Qur’an).” Al-Qur’an itu tidak lain hanyalah peringatan untuk seluruh ummat.’” (QS. Al-An’am: 90)
يَا قَوْمِ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَى الَّذِي فَطَرَنِي أَفَلَا تَعْقِلُونَ
“Hai kaumku, aku tidak meminta upah kepadamu bagi seruanku ini. Upahku tidak lain hanyalah dari Allah yang telah menciptakanku. Maka tidakkah kamu memikirkan(nya)?” (QS. Hud: 51)
Karakter da’i rabbani (para da’i yang berorientasi ketuhanan) disebutkan dalam firman Allah Ta’ala berikut ini,
كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ
“Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (QS. Ali Imran, 3: 79)
Diantara makna Rabbani adalah faqih (orang yang memiliki pemahaman) dan ulama (berpengetahuan) sebagaimana disebutkan di dalam Tafsir At-Thabari.
Kedua, konsepsional (al-manhajiyyah).
Artinya, dakwah yang diserukan harus benar-benar berpedoman dan berpanduan kepada kitabullah dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Katakanlah: ‘Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik’” (QS. Yusuf: 108)
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik.” (QS. An-Nahl: 125)
Ustadz Irwan Prayitno menjelaskan tentang karakter dakwah yang manhajiyyah sebagai berikut: “Kemudian dari panduan ini (Al-Qur’an dan sunnah, red.) kita mempertimbangkan keadaan lokal seperti situasi, kondisi, keadaan, peristiwa dan sikap yang muncul sehingga muncul fiqhud dakwah yang dapat dijalankan di tempat tertentu. Minhaj yang jelas akan membawa kepada jalan yang jelas dan juga akan membawa kita kepada tujuan yang benar sehingga Allah meridhaunya.”[4]
Ketiga, bertahap (al-marhaliyyah).
Kebertahapan dalam dakwah adalah karakter yang sangat penting untuk dijaga. Hal ini diantaranya tergambar dari apa yang disampaikan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha berikut ini.
إِنَّمَا نَزَلَ أَوَّلَ مَا نَزَلَ مِنْهُ سُورَةٌ مِنْ الْمُفَصَّلِ فِيهَا ذِكْرُ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ حَتَّى إِذَا ثَابَ النَّاسُ إِلَى الْإِسْلَامِ نَزَلَ الْحَلَالُ وَالْحَرَامُ وَلَوْ نَزَلَ أَوَّلَ شَيْءٍ لَا تَشْرَبُوا الْخَمْرَ لَقَالُوا لَا نَدَعُ الْخَمْرَ أَبَدًا وَلَوْ نَزَلَ لَا تَزْنُوا لَقَالُوا لَا نَدَعُ الزِّنَا أَبَدًا لَقَدْ نَزَلَ بِمَكَّةَ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِنِّي لَجَارِيَةٌ أَلْعَبُ بَلْ السَّاعَةُ مَوْعِدُهُمْ وَالسَّاعَةُ أَدْهَى وَأَمَرُّ وَمَا نَزَلَتْ سُورَةُ الْبَقَرَةِ وَالنِّسَاءِ إِلَّا وَأَنَا عِنْدَهُ
“Sesungguhnya yang pertama-tama kali turun darinya (Al-Qur’an) adalah surat Al-Mufashshal yang di dalamnya disebutkan tentang surga dan neraka. Dan ketika manusia telah condong ke Islam, maka turunlah kemudian ayat-ayat tentang halal dan haram. Sekiranya yang pertama kali turun adalah ayat, ‘Janganlah kalian minum khamer.’ Niscaya mereka akan mengatakan, ‘Sekali-kali kami tidak akan bisa meninggalkan khamer selama-lamanya.’ Dan sekiranya juga yang pertamakali turun adalah ayat, “Janganlah kalian berzina..’ niscaya mereka akan berkomentar, ‘Kami tidak akan meniggalkan zina selama-lamanya.’ Ayat yang diturunkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di Makkah yang pada saat itu aku masih anak-anak adalah: ‘Bal As Saa’atu Mau’iduhum Was Saa’atu Adhaa Wa Amarr.(QS. Al-Qamar: 46).’ Dan tidaklah surat Al Baqarah dan An Nisa` kecuali aku berada di sisi beliau.” (HR. Bukhari).
Tentang marhaliyyah (kebertahapan) ini ada prinsip dan pemahaman dasar yang harus dipahami, yaitu bahwa aspek aqidah dan ibadah harus diaplikasikan sekaligus. Sedangkan syariat, penyampaiannya kepada manusia dan aplikasinya pada realitas kehidupan itu bertahap. Sebagaimana ‘tali Islam’ itu bisa terurai ikatan demi ikatan[5]—maksudnya bertahap, maka begitu juga upaya kembali kepadanya juga harus bertahap.
Menggiring manusia untuk bergabung lagi di bawah panji Islam, yang mengatur semua aspek kehidupan manusia itu menuntut langkah bertahap dalam penerapannya. Tidak dikatakan bahwa prinsip bertahap itu telah terhenti setelah terhentinya wahyu dan disempurnakannya agama. Karena yang menjadi masalah bukan pentahapan dalam penetapan hukum syariat, melainkan dalam penerapannya. Tanpa pentahapan, berbagai maslahat tidak dapat diwujudkan, terjadi kesulitan, dan semua manusia akan berpaling dari syariat.[6]
Keempat, memperhatikan prioritas (al-aulawiyyah).
Dakwah yang benar pasti memperhatikan aulawiyyah (prioritas), yakni memperhatikan hal penting mana yang harus didahulukan dan mana yang harus diakhirkan; memprioritaskan perkara pokok di atas perkara cabang, perkara fardhu di atas perkara sunnah atau nawafil, perkara fardhu ‘ain di atas fardhu kifayah, perkara hak masyarakat di atas hak individu, perkara loyalitas kepada kepentingan umat di atas loyalitas kepada kepentingan keluarga atau kelompok, dan lain-lain.[7]
Kelima, kekinian (al-waqi’iyyah).
Dakwah Islam hendaknya mampu menampilkan fleksibelitas di hadapan dinamika kehidupan yang terus berkembang; sehingga dapat mensikapi realita atau kekiniaan dengan tepat. Tentu saja hal ini dilakukan dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip dan rambu-rambu yang telah digariskan di dalam manhaj asasi, yaitu Al-Qur’an dan sunnah. Tsabat (pasti, tetap, stabil, kokoh, mantap, mapan, permanen, tidak berubah) dalam hal sasaran dan tujuan, sementara murunah (lentur, luwes, dan fleksibel) dalam hal sarana (wasilah) dan cara/teknik (uslub); tsabat dalam hal kaidah-kaidah fundamental (pokok), sementara murunah dalam furu’ dan masalah-masalah juz’iyyat (bagian-bagian/cabang); tsabat dalam hal nilai-nilai din dan akhlak, sementara murunah dalam hal-hal keduniaan dan ilmu.[8]
Menegakkan dakwah yang waqi’iyyah sebenarnya adalah bagian dari implementasi ajaran Islam yang memiliki karakter waqi’iyyah, yakni sejalan dengan realita, situasi, dan kondisi manusia. Dengan karakternya ini ajaran Islam tidak pernah memerangi fitrah manusia; tidak pernah mengabaikan kondisi dan kemampuan manusia yang berbeda sehingga ada berbagai rukhshah (keringanan) di dalam agama; tidak pernah melarang apa yang benar-benar dibutuhkan manusia, dan Islam tidak pernah menutup mata dari berbagai kondisi darurat yang dialami manusia.
Dengan memperhatikan karakter ini, maka nilai-nilai Islam menjadi kontekstual dan mampu menjawab berbagai problematika masyarakat.
Keenam, seimbang (al-mutawazinah).
Dakwah Islam yang harus ditegakkan adalah dakwah yang memperhatikan seluruh aspek kehidupan manusia secara seimbang; lahir dan batin, jasmani dan rohani, serta material dan spiritual. Karena Islam bukanlah agama yang memisahkan antara urusan batin, rohani, atau spiritual, dengan urusan lahir, jasmani, dan material. Islam tidak menerima sikap ghuluw (berlebih-lebihan) dalam memperhatikan satu aspek, dan membuang aspek yang lainnya.
Sikap tawazzun tergambar dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini,
أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ – رضى الله عنه – يَقُولُ جَاءَ ثَلاَثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوتِ أَزْوَاجِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – يَسْأَلُونَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَلَمَّا أُخْبِرُوا كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوهَا فَقَالُوا وَأَيْنَ نَحْنُ مِنَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَدْ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ . قَالَ أَحَدُهُمْ أَمَّا أَنَا فَإِنِّى أُصَلِّى اللَّيْلَ أَبَدًا . وَقَالَ آخَرُ أَنَا أَصُومُ الدَّهْرَ وَلاَ أُفْطِرُ . وَقَالَ آخَرُ أَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلاَ أَتَزَوَّجُ أَبَدًا . فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ « أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا أَمَا وَاللَّهِ إِنِّى لأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ ، لَكِنِّى أَصُومُ وَأُفْطِرُ ، وَأُصَلِّى وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِى فَلَيْسَ مِنِّى » رواه البخاري
Anas bin Malik r.a. berkata: “Ada tiga orang yang mendatangi rumah-rumah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menanyakan ibadah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka tatkala diberitahu, mereka merasa seakan-akan (ibadah mereka) tidak berarti (sangat sedikit). Mereka berkata: ‘Di mana posisi kami dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal beliau telah diampuni dosa-dosanya baik yang lalu maupun yang akan datang.’ Salah satu mereka berkata: ‘Saya akan qiyamul lail selama-lamanya.’ Yang lain berkata: ‘Aku akan puasa selamanya.’ Dan yang lain berkata: ‘Aku akan menghindari wanita, aku tidak akan pernah menikah.’ Lalu datanglah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya bersabda: ‘Kaliankah yang bicara ini dan itu, demi Allah, sungguh aku yang paling takut dan yang paling takwa kepada Allah. Akan tetapi aku berpuasa dan berbuka, aku shalat, aku tidur, dan aku juga menikah. Barang siapa yang benci terhadap sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku.’” (HR. Al-Bukhari).
Renungkan pula hadits ‘Abdullah bin ‘Amr bin al ‘Ash radhiyallahu anhuma berikut ini,
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ العَاصِ رضي الله عنها ، قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : «يَا عَبْدَ اللَّهِ، أَلَمْ أُخْبَرْ أَنَّكَ تَصُومُ النَّهَارَ، وَتَقُومُ اللَّيْلَ؟» ، فَقُلْتُ: بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ: «فَلاَ تَفْعَلْ صُمْ وَأَفْطِرْ، وَقُمْ وَنَمْ، فَإِنَّ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ لِعَيْنِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ لِزَوْرِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ بِحَسْبِكَ أَنْ تَصُومَ كُلَّ شَهْرٍ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ، فَإِنَّ لَكَ بِكُلِّ حَسَنَةٍ عَشْرَ أَمْثَالِهَا، فَإِنَّ ذَلِكَ صِيَامُ الدَّهْرِ كُلِّهِ» ، فَشَدَّدْتُ، فَشُدِّدَ عَلَيَّ قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَجِدُ قُوَّةً قَالَ: «فَصُمْ صِيَامَ نَبِيِّ اللَّهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ، وَلاَ تَزِدْ عَلَيْهِ» ، قُلْتُ: وَمَا كَانَ صِيَامُ نَبِيِّ اللَّهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ؟ قَالَ: «نِصْفَ الدَّهْرِ» ، فَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ يَقُولُ بَعْدَ مَا كَبِرَ: يَا لَيْتَنِي قَبِلْتُ رُخْصَةَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al ‘Ash Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadaku, “Wahai ‘Abdullah, apakah benar berita bahwa engkau berpuasa di waktu siang lalu shalat malam sepanjang malam?” Saya menjawab, “Benar, wahai Rasûlullâh”. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah engkau lakukan itu, tetapi berpuasa dan berbukalah! Shalat malam dan tidurlah! karena badanmu memiliki hak yang harus engkau tunaikan, matamu punya hak atasmu, isterimu punya hak atasmu, dan tamumu pun punya hak yang harus engkau tunaikan. Cukuplah bila engkau berpuasa selama tiga hari setiap bulan, karena setiap kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kebaikan yang serupa dan itu berarti engkau telah melaksanakan puasa sepanjang tahun”. Kemudian saya meminta tambahan, lalu Beliau menambahkannya. Saya mengatakan, “Wahai Rasûlullâh, saya merasa diriku memiliki kemampuan”. Maka Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berpuasalah dengan puasanya Nabi Allâh Dawud alaihissallam dan jangan engkau tambah lebih dari itu”. Saya bertanya, “Bagaimanakah cara puasanya Nabi Dawud Alaihissallam?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Beliau berpuasa setengah dari puasa dahr (puasa sepanjang tahun). Maka setelah ‘Abdullah bin ‘Amr bin al ‘Ash sampai di usia tua ia berkata, “Seandainya dahulu aku menerima keringanan yang telah diberikan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ” (HR. Bukhari)
Jelaslah, bahwa ajaran Islam mengajarkan keseimbangan dalam memelihara eksistensi kemanusiaan yang terdiri dari unsur al-jasad (jasad), al-aql (akal), dan ar-ruh (roh). Ajaran Islam mengarahkan manusia agar memperhatikan ketiga unsur ini secara seimbang: al-jasad membutuhkan al-ghidaul jasadiy (gizi bagi jasad), al-aql membutuhkan al-ghidaul aqli (gizi bagi akal), dan ar-ruh membutuhkan al-ghidaur ruhiy (gizi rohani).
Islam tidak menghendaki umatnya bersikap mengagung-agungkan sebuah aspek ajaran atau amal kebajikan seraya meremehkan aspek ajaran atau amal kebajikan yang lainnya. Maka, Islam menghargai amalan jihad fi sabilillah; menghargai amalan shaum, shalat, dan shadaqah; sebagaimana Islam juga menghargai amalan mencari nafkah; menghargai amalan menegakkan ishlah (perdamaian); menghargai amalan amar ma’ruf nahi munkar; serta menghargai amalan ‘kecil’ seperti menyingkirkan gangguan di jalan. Renungkanlah hadits-hadits berikut ini:
Islam memperhatikan urusan mencari ma’isyah (penghidupan),
عَنْ كَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ رض قَالَ: مَرَّ عَلَى النَّبِيِّ ص رَجُلٌ فَرَأَى اَصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ ص مِنْ جَلَدِهِ وَ نَشَاطِهِ، فَقَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ لَوْ كَانَ هذَا فِى سَبِيْلِ اللهِ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى وَلَدِهِ صِغَارًا فَهُوَ فِى سَبِيْلِ اللهِ، وَ اِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى اَبَوَيْنِ شَيْخَيْنِ كَبِيْرَيْنِ، فَهُوَ فِى سَبِيْلِ اللهِ، وَ اِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى نَفْسِهِ يُعِفُّهَا فَهُوَ فِى سَبِيْلِ اللهِ، وَ اِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى رِيَاءً وَ مُفَاخَرَةً فَهُوَ فِى سَبِيْلِ الشَّيْطَانِ.
Dari Ka’ab bin ‘Ujrah RA, ia berkata, “Ada seorang laki-laki lewat di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat betapa kuat dan sigapnya orang tersebut. Lalu para shahabat bertanya, ‘Ya Rasulullah, alangkah baiknya seandainya orang ini ikut (berjuang) fi sabilillah’. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Jika ia keluar untuk bekerja mencarikan kebutuhan anaknya yang masih kecil, maka ia fi sabilillah. Jika ia keluar bekerja untuk mencarikan kebutuhan kedua orang tuanya yang sudah lanjut usia maka ia fi sabilillah. Jika ia keluar untuk bekerja mencari kebutuhannya sendiri agar terjaga kehormatannya (dari meminta-minta), maka ia fi sabilillah. Tetapi jika ia keluar untuk bekerja karena riya’ (pamer) dan kesombongan maka ia di jalan syaithan”. (HR. Thabrani, Shahihul Jami’ No. 1428, dishahihkan oleh Al-Albani).
Islam memperhatikan urusan politik (penegakan hukum) dan urusan shalat,
لَتُنْقَضَنَّ عُرَى الإِسْلاَمِ عُرْوَةٌ عُرْوَةٌ ، فَكُلَّمَا انْتُقِضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا فَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا الْحُكْمُ ، وَآخِرُهُنَّ الصَّلاَةُ
“Ikatan islam akan terurai satu demi satu, setiap kali lepas satu ikatan, manusia beralih kepada simpul yang lain. Simpul yang pertama kali lepas adalah hukum dan yang terakhir adalah sholat.” (HR Ahmad dinyatakan shahih oleh Syeikh Al-Albani )
Islam memperhatikan urusan kemasyarakatan,
أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِأَفْضَلَ مِنْ دَرَجَةِ الصِّيَامِ وَالصَّلَاةِ وَالصَّدَقَةِ قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ إِصْلَاحُ ذَاتِ الْبَيْنِ وَفَسَادُ ذَاتِ الْبَيْنِ الْحَالِقَةُ
“Maukah kalian saya beritahu suatu hal yang lebih utama daripada derajat puasa, shalat dan sedekah? Para sahabat menjawab: Tentu ya Rasulallah. Lalu Nabi bersabda: Hal tersebut adalah mendamaikan perselisihan, karena karakter perselisihan itu membinasakan” (H.R. Ahmad, Tirmizi, dan Abu Daud, Shahih).
Islam memperhatikan urusan amar ma’ruf nahi munkar,
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ
”Barang siapa melihat kemunkaran, ubahlah dengan tangannya, jika dia tidak mampu, ubahlah dengan lisannya, dan jika dia tidak mampu, ubahlah dengan hatinya. Namun yang demikian itu selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi)
Islam memperhatikan urusan kemaslahatan sekecil apa pun,
لَقَدْ رَأَيْتُ رَجُلاً يَتَقَلَّبُ فِى اْلجَنَّةِ فِى شَجَرَةٍ قَطَعَهَا مِنْ ظَهْرِ الطَّرِيْقِ كَانَتْ تُؤْذِى اْلمُسْلِمِيْنَ.
“Aku telah melihat seorang laki-laki bersenang-senang di surga disebabkan dia memotong sebuah pohon di jalan yang mengganggu kaum muslimin.” (H.R. Muslim)
Ringkasnya, Islam menghendaki agar umatnya tawazzun seimbang dan proporsional dalam menjalankan agamanya. Oleh karena itu dakwah yang dilakukan di tengah-tengah umat hendaknya bersifat mutawazzinah (seimbang/proporsional) dalam memperhatikan seluruh aspek kehidupan manusia.
Dengan pergerakan dakwah yang menyeluruh (ad-da’watul harakiyyatus syamilah) seperti itulah kita berharap Allah Ta’ala akan menolong kita dalam memperharui keberagamaan umat Islam yang kita cintai ini.
La haula wa la quwwata illa billahil ‘aliyyil adzim…
Catatan Kaki:
[1] Dikutip dari: https://rumaysho.com/3076-mengikuti-gaya-orang-kafir-tasyabbuh.html
[2] Ghoribul Hadist: Jilid 4, hal: 49 (dikutip dari: jendelasunnah.com)
[3] Dr. H. M. Amien Rais,MA. dalam bukunya Moralitas Politik Muhammadiyah
[4] Kepribadian Da’i, Irwan Prayitno, hal. 158.
[5] Hal ini merujuk pada hadits berikut ini,
لَتُنْقَضَنَّ عُرَى الإِسْلاَمِ عُرْوَةٌ عُرْوَةٌ ، فَكُلَّمَا انْتُقِضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا فَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا الْحُكْمُ ، وَآخِرُهُنَّ الصَّلاَةُ
“Ikatan Islam akan terurai satu demi satu, setiap kali lepas satu ikatan, manusia beralih kepada simpul yang lain. Simpul yang pertama kali lepas adalah hukum dan yang terakhir adalah sholat.” (HR Ahmad dinyatakan shahih oleh Syeikh Al-Albani )
[6] Lihat: Visi Peradaban Komprehensif Al-Ikhwan Al-Muslimun, Maktaba Syameela, hal. 24.
[7] Pembahasan lengkap mengenai prioritas ini silahkan merujuk ke buku Fiqih Aulawiyat Syaikh Yusuf Al-Qaradawi.
[8] Khashaisul Islam, Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi, terjemah Rofi’ Munawwar, hal. 242