(Penyakit Umat di Dalam Dakwah)
Setelah menyimak beberapa pembahasan sebelumnya, kita mengetahui bahwa problematika dan tantangan yang dihadapi umat Islam hari ini tidaklah ringan. Upaya penyadaran umat dengan dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar tidak dapat berjalan efektif jika hanya mengandalkan amal individual (al-infiradiyyah).
Dampak Al-Infiradiyyah
Al-infiradiyyah di dalam dakwah adalah penyakit yang harus segera diobati. Karena ia akan berdampak pada mentalitas (al-ma’nawiyyah) dan aktivitas (al-‘amaliyyah) seorang da’i.
Pertama, dampak terhadap mentalitas (al-ma’nawiyah)
Da’i yang berdakwah secara infiradi secara maknawi cenderung emosional (al-infi’aliyyah); yakni sekedar mengikuti suasana hati atau kecenderungan pribadi. Dakwahnya menjadi serampangan (at-tahawur), tidak berdasarkan pandangan dan perencanaan yang matang.
Al-Infiradiyah pun cenderung menggiring pada figuritas (al-wijahiyah). Hal ini berbahaya terutama jika para pengikut da’i infiradi ini bersikap fanatik kepadanya. Sadar atau tidak, hal yang mungkin muncul kemudian adalah sikap otoriter (al-istibdadiyah) seorang da’i.
Kita hendaknya merenungkan sebuah perkataan hikmah yang disampaikan Imam Malik rahimahullah,
لَيْسَ أَحَدٌ مِنْ خَلْقِ اللهِ إِلَّا وَيُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ وَيُتْرَكُ، إِلَّا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Tidak ada seorangpun setelah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, kecuali perkataannya itu ada yang diambil dan ada yang ditinggalkan, kecuali Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.” (Ibnu Abdil-Barr dalam Jaami’ Bayanil-‘Ilmi wa Fadhlihi juz II, hal. 111-112).
Dalam puncak ketenaran, da’i infiradiyyah pun sangat rentan terpapar perasaan merasa hebat (al-i’tizaziyyah). Sikap seperti ini menyeret seorang da’i pada egosentrisme (al-ananiyyah); ia tidak mampu melihat suatu persoalan dari perspektif orang lain; tidak bisa menarik kesimpulan dari apa yang dipikirkan, dirasakan, dan dilihat oleh pihak lain. Ia menganggap dirinyalah pusat perhatian dan hanya pendapatnya sajalah yang penting. Dengan mentalitas seperti ini tidak heran jika yang muncul selanjutnya adalah sikap meremehkan (al-intiqashiyyah). Maka potensi perpecahan (at-tafriqah) di tengah-tengah umat pun semakin berkembang.
Kedua, dampak terhadap al-‘amaliyyah (aktivitas)
Dakwah yang dilakukan secara infiradiyyah cenderung bergaya spontanitas (al-‘afwiyyah). Tanpa ada musyawarah atau pertimbangan-pertimbangan dari pihak lain yang dapat mengarahkan pandangan lebih luas dan menyeluruh terhadap sebuah permasalahan. Tidak ada di dalamnya langkah-langkah yang strategis dan sistematis. Padahal Allah Ta’ala berfirman,
وَأَمْرُهُمْ شُورَىٰ بَيْنَهُمْ
“…sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka…” (QS. As-Syura, 42: 38).
Dengan dakwah semacam ini setiap tindakan dan langkah-langkah tidak akan terevaluasi dengan baik; tidak ada pertanggung jawaban (‘adamul mas’uliyyah). Tanpa musyawarah dan langkah-langkah strategis, dakwah infiradiyyah berpotensi menjadi gerakan dakwah yang parsial (al-juz’iyyah). Dakwah yang menitikberatkan pada sebagian ajaran Islam dan mengabaikan sebagian ajaran Islam yang lainnya. Maka akan tumbuhlah fenomena-fenomena kontradiktif (at-tanaqudhat) di tengah-tengah masyarakat.
Sebagai contoh, akan muncullah orang-orang yang sangat penuh perhatian pada fiqih ibadah namun abai terhadap masalah adab dan akhlak; atau sebaliknya, sangat penuh perhatian pada masalah adab dan akhlak namun abai terhadap masalah fiqih ibadah; sangat penuh perhatian pada masalah politik Islam namun abai pada masalah tazkiyatun nafs; atau sebaliknya, sangat penuh perhatian pada masalah tazkiyatun nafs tapi abai pada masalah politik Islam; sangat penuh perhatian pada masalah thalabul ‘ilmi namun abai pada masalah amar ma’ruf nahi munkar; atau sebaliknya, sangat penuh perhatian pada masalah amar ma’ruf nahi munkar namun abai pada masalah thalabul ilmi; dan lain sebagainya.
Dakwah infiradiyah pun kerap terjebak pada cara-cara tradisional (at-taqlidiyyah). Hal ini dikarenakan sang da’i tidak memiliki pandangan yang luas (‘adamul bashirah) tentang realita umat pada masa kini.
Aktivitas dakwah seperti itu pada akhirnya hanya bersifat tambal sulam (at-tarqi’iyyah) dan tidak produktif (‘adamul intaj); kurang memberikan manfaat pada upaya pemecahan problematika dan atau pembentukan umat yang ideal.
*****
Al-‘Ilaj (Terapi) Pada Penyakit Al-Infiradiyah
Para da’i infiradi harus segera diobati dengan terapi yang tepat.
Pertama, harus ditumbuhkan kesadaran (al-wa’yu) pada diri mereka terhadap bahaya penyakit al-infiradiyyah.
Kedua, membuka pandangannya tentang keislaman (al-islamiyyah) yang sesungguhnya dengan pemahaman yang benar sesuai dengan apa yang diajarkan oleh salaful ummah.
Ketiga, menanamkan sikap rendah hati (at-tawadhu) kepada mereka dengan menggambarkan keteladanan para salafus shalih dan para ulama rabbani.
Keempat, menggugahnya agar memiliki pandangan yang objektif (al-inshaf) terhadap keadaan diri dan realita umat. Hal ini dilakukan dengan menggambarkan kepadanya dengan lebih jelas dan detail tentang problematika yang mendera umat. Sehingga mereka menyadari keterbatasan kemampuan mereka dan tergugah untuk bekerjasama dalam sebuah barisan dakwah.
Kelima, mengajak mereka untuk bergerak dalam dakwah secara sistematis (al-manhajiyyah); memahami problematika, mengetahui obatnya, mengerti prioritas, langkah-langkah dan tahapannya, mampu memilih sarana-sarananya hingga dapat mencapai tujuan.
Keenam, menuntunnya pada kerja-kerja dakwah Islam yang menyeluruh (as-syumuliyyah); mencakup aspek keyakinan (al-i’tiqadi), moral (al-akhlaki), sikap (as-suluki), perasaan (as-syu’uri), pendidikan (at-tarbawi), kemasyarakatan (al-ijtima’i), politik (as-siyasi), ekonomi (al-iqtishadi), militer (al-‘askari), dan hukum (al-jina’i).
Ketujuh, memperkenalkan kepada mereka prioritas dan cara-cara dakwah kekinian (al-‘ashriyah) yang sesuai dengan perkembangan zaman.
Kedelapan, memotivasinya untuk bersama-sama melakukan perubahan total (al-inqilabiyyah).
Ringkasnya, hal-hal negatif dari dakwah infiradiyyah dapat dikurangi atau dihilangkan dengan mengembangkan kerja kolektif (al-‘amalul jama’iy). Harus ada sekelompok orang yang bekerja dalam sebuah barisan yang teratur bagaikan sebuah bangunan yang tersusun kokoh.
Allah Ta’ala berfirman,
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran, 3: 104)
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِهِ صَفًّا كَأَنَّهُمْ بُنْيَانٌ مَرْصُوصٌ
“Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (QS. As-Shaf, 61: 4)
Wallahu A’lam…
2 comments
Idzi copast ya tadz. … Mantap materinya untuk bahan renungan..
Jazakumullah khoiron ustadz, maudhu’ sangat bermanfaat sekali untuk kami dan binaan2 kami