Manusia adalah makhluk sosial. Mereka memiliki kebutuhan, kemampuan serta kebiasaan untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan manusia yang lain. Hal ini merupakan fithrah basyariyah (naluri manusia) sejak awal penciptaan mereka. Dalam Tafsir Ibnu Katsir digambarkan keadaan Adam ‘alaihissalam sebelum kedatangan Hawwa dengan ungkapan “berjalan-jalan sendirian dan kesepian”. Setelah kedatangan Hawwa, lahirlah keturunan dari mereka, laki-laki atau perempuan, sehingga jumlahnya menjadi milyaran umat manusia seperti sekarang ini.
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya[1] Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain,[2] dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. An-Nisa: 1)
Firman-Nya yang lain:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13)
Demikianlah, Allah Ta’ala telah menjelaskan kepada kita rahasia penciptaan manusia yang beragam kulit, bahasa, tradisi dan alamnya. Semuanya tidak dalam rangka manusia saling bermusuhan dan menumpahkan darah.Tetapi untuk saling mengenal, saling membutuhkan dan saling mengunjungi.
Islam Tidak Anti Sosial
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak umatnya untuk bergaul dengan masyarakat disekitarnya dan bersabar terhadap berbagai macam perilaku mereka.
الْمُؤْمِنُ الَّذِي يُخَالِطُ النَّاسَ وَيَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ أَعْظَمُ أَجْرًا مِنْ الَّذِي لاَيُخَالِطُ النَّاسَ وَلاَيَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ
“Orang mukmin yang bergaul dengan manusia dan sabar menghadapi gangguan mereka itu lebih besar ganjarannya dari orang mukmin yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak sabar menghadapi gangguan mereka,” (Diriwayatkan oleh Tirmidzi, Al-Bukhari, Ahmad, dan Abu Nuaim).
Sikap dan Pemikiran yang Kurang Tepat
Ada sebagian orang muslim yang ingin menyendiri dalam kehidupan dan tidak mau bergaul dengan masyarakatnya; mereka memiliki sikap dan pemikiran yang kurang tepat. Diantaranya adalah:
Pertama, mereka belum berdakwah tetapi sudah memvonis.
Padahal Islam tidak mangajarkan kepada ummatnya untuk menjadi tukang vonis, tetapi Islam mengajak umatnya untuk menjadi seorang da’i. Allah Ta’ala berfirman,
فَذَكِّرْ إِنَّمَا أَنْتَ مُذَكِّرٌ
“Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan.” (QS. Al-Ghaasyiyah: 21)
Mereka seringkali memvonis masyarakat dengan vonis yang menyakitkan, seperti: sesat, kafir, murtad, ahli neraka dan lain-lain. Sementara mereka sama sekali belum berdakwah kepada mereka dengan cara-cara yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sikap seperti ini menyebabkan munculnya jarak dan pembatas antara mereka dengan masyarakat.
Sikap suka mencela dan menjatuhkan vonis kepada masyarakat bukanlah ajaran Islam. Perhatikanlah hadits ini,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ادْعُ عَلَى الْمُشْرِكِينَ قَالَ إِنِّي لَمْ أُبْعَثْ لَعَّانًا وَإِنَّمَا بُعِثْتُ رَحْمَةً
Dari Abu Hurairah, dia berkata: “Seseorang pernah berkata; ‘Ya Rasulullah, do’akanlah untuk orang-orang musyrik agar mereka celaka! ‘ Mendengar itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: ‘Sesungguhnya aku diutus bukan untuk menjadi pelaknat, tetapi aku diutus sebagai rahmat.'” (HR. Muslim No.4704)
Kedua, mereka menganggap semua jama’ah dan organisasi Islam itu sesat dan firqah (sempalan yang memecah belah). Mereka berdalil dengan firman Allah Ta’ala,
مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ
“Yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (QS. Ar-Rum, 30: 32)
Mereka juga berdalil dengan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ
فِي رِوَايَةٍ : مَنْ كَانَ عَلَى مِثْلِ مَا أَنَا عَلَيْهِ الْيَوْمَ وَأَصْحَابِي
“Sesunggunya agama (umat) ini akan terpecah menjadi 73 (kelompok), 72 di (ancam masuk ke) dalam neraka dan satu yang didalam surga, dia adalah Al-Jama’ah”. (HR. Ahmad dan Abu Daud dan juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu dan juga mirip dengannya dari hadits Auf bin Malik radhiallahu ‘anhu)
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَإِنَّ بَنِى إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِى عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِى النَّارِ إِلاَّ مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِىَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِى
“Sesungguhnya Bani Israil terpecah menjadi 72 golongan. Sedangkan umatku terpecah menjadi 73 golongan, semuanya di neraka kecuali satu.” Para sahabat bertanya, “Siapa golongan yang selamat itu wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Yaitu yang mengikuti pemahamanku dan pemahaman sahabatku.” (HR. Tirmidzi no. 2641).
Dalil-dalil di atas seringkali disikapi keliru:
- Menganggap seluruh jama’ah (kelompok-kelompok) kaum muslimin yang ada saat ini adalah sesat dan merupakan firqah (kelompok sempalan).
- Menganggap hanya jama’ah (kelompok)-nya yang memenuhi kriteria, sehingga hanya jama’ahnya yang berhak masuk surga. Sedangkan jama’ah lain akan masuk neraka.
Kedua sikap ekstrem tersebut tentu saja sikap yang tidak tepat. Karena ayat beserta hadits di atas, atau yang sejenis dengannya, hanya menunjukkan sifat-sifat golongan yang benar atau kelompok yang sesat. Dalil-dalil tersebut sama sekali tidak menunjukkan suatu nama tertentu. Sehingga setiap kelompok, golongan atau jama’ah yang memenuhi sifat-sifat kebenaran seperti itu masuk dalam golongan yang selamat; apapun namanya. Demikian pula sebaliknya, jika ada kelompok, golongan atau jama’ah yang memenuhi sifat-sifat kesesatan, maka dia akan masuk dalam golongan yang celaka; apapun namanya.
Sehingga, tidak ada organisasi yang benar sendiri tidak pula seluruh organisasi sesat. Kita lihat dulu sifat-sifat organisasi tersebut secara obyektif. Sudut pandang inilah yang Islami dan menghindarkan diri kita dari keengganan untuk bergaul dengan masyarakat ramai yang mengikuti berbagai macam organisasi.
Ketiga, mereka beranggapan bahwa berinteraksi dengan pelaku maksiat dilarang dalam Islam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“Seseorang itu bersama agama temannya. Maka perhatikanlah dengan siapa seseorang itu berteman” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).
Dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini mereka beranggapan bahwa berinteraksi dengan pelaku maksiat itu dilarang. Anggapan seperti ini tidak sepenuhnya benar, karena yang diingatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebenarnya adalah larangan pertemanan, bukan larangan interaksi. Yang dimaksud dengan pertemanan adalah tempat seseorang meletakkan rasa solidaritas, menumpahkan perasaan dan tempat memberikan loyalitas. Pertemanan seperti inilah yang harus tetap dijaga dengan orang-orang yang shalih, bukan dengan para pelaku maksiat. Adapun interaksi, dapat bermakna sangat luas. Karena dakwah itu sendiri adalah sebuah bentuk interaksi terus-menerus antara seorang juru dakwah dengan obyek dakwahnya. Di antara obyek dakwah kita adalah para pelaku maksiat.Tentu saja, interaksi dakwah dengan para pelaku maksiat bukan dalam rangka pertemanan—memberikan rasa solidaritas, menumpahkan perasaan serta menjadikannya tempat memberikan loyalitas; tetapi dalam rangka mengarahkan,meluruskan serta mengurangi intensitas kemaksiatannya.
Seseorang yang menganggap interaksi dengan pelaku maksiat sebagai sesuatu yang terlarang, tentu akan menyebabkan dia mengambil sikap menyendiri dan menyepi serta mengindarkan diri dari bergaul dengan sesama manusia. Sikap inilah yang tidak tepat.
Keempat, mereka beralasan: ‘Sekarang ini adalah masa kerusakan.’
Mereka berdalil dengan hadits-hadits seperti berikut ini,
عَنْ الزُّبَيْرِ بْنِ عَدِيٍّ قَالَ أَتَيْنَا أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ فَشَكَوْنَا إِلَيْهِ مَا نَلْقَى مِنْ الْحَجَّاجِ فَقَالَ اصْبِرُوا فَإِنَّهُ لَا يَأْتِي عَلَيْكُمْ زَمَانٌ إِلَّا الَّذِي بَعْدَهُ شَرٌّ مِنْهُ حَتَّى تَلْقَوْا رَبَّكُمْ سَمِعْتُهُ مِنْ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dari Zubair bin Adiy, dia berkata: “Kami mendatangi Anas bin Malik, kemudian kami mengutarakan kepadanya keluh kesah kami tentang ulah para jamaah haji. Maka dia menjawab: ‘Bersabarlah, sebab tidaklah kalian menjalani suatu zaman, melainkan sesudahnya lebih buruk daripadanya, sampai kalian menjumpai Rabb kalian. Aku mendengar hadit ini dari Nabi kalian shallallahu ‘alaihi wa sallam.’” (HR. Bukhari No.6541)
Hadits di atas serta hadits-hadits yang sejenis dijadikan sebagai alasan mereka untuk menggambarkan kondisi zaman sekarang ini. Sebagian berpendapat sangat ekstrem , yaitu sekarang adalah zaman paling rusak dan sudah tidak mungkin lagi untuk diperbaiki kembali. Sehingga mereka memilih mundur dan menyepi dari keramaian manusia dengan anggapan supaya selamat dunia dan akhirat.
Anggapan seperti ini tentu saja tidak dapat dikatakan benar seratus persen. Karena masih banyak hadits lain yang menunjukkan bahwa akhir zaman ditandai dengan kehadiran Dajjal, Nabi Isa, Imam Mahdi, Ya’juj dan Ma’juj dan lain-lain. Semuanya itu belum terjadi. Belum lagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ
“… Kemudian akan datang lagi masa kekhilafahan yang ditegakkan di atas manhaj kenabian” (HR.Ahmad).
Masa kekhilafahan kedua ini juga belum terwujud. Bagaimana bisa bahwa zaman sekarang ini adalah serusak-rusaknya zaman, sementara ciri-ciri akhir zaman yang disebutkan di atas belum terwujud? Anggapan yang keliru seperti ini menyebabkan manusia mengambil sikap yang tidak tepat pula; di antaranya adalah dengan mengasingkan diri dari masyarakat ramai dan hanya asyik dengan dirinya-sendiri.
Sikap Diri yang Seharusnya
Pertama, empati sebagai sikap dasar pergaulan. Yang dimaksud dengan empati adalah:
- Memandang manusia dengan pandangan rahmah (kasih sayang).
Inilah sikap yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ادْعُ عَلَى الْمُشْرِكِينَ قَالَ إِنِّي لَمْ أُبْعَثْ لَعَّانًا وَإِنَّمَا بُعِثْتُ رَحْمَةً
Dari Abu Hurairah, dia berkata: “Seseorang pernah berkata; ‘Ya Rasulullah, do’akanlah untuk orang-orang musyrik agar mereka celaka! ‘ Mendengar itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: ‘Sesungguhnya aku diutus bukan untuk menjadi pelaknat, tetapi aku diutus sebagai rahmat.'” (HR. Muslim No.4704)
Sebagai contoh, sikap rahmah ditunjukkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada penduduk Thaif walau mereka telah memperlakukannya dengan kasar. Hal ini diceritakan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam saat ditanya oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
هَلْ أَتَى عَلَيْكَ يَوْمٌ كَانَ أَشَدَّ عَلَيْكَ مِنْ يَوْمِ أُحُدٍ قَالَ لَقَدْ لَقِيتُ مِنْ قَوْمِكِ مَا لَقِيتُ وَكَانَ أَشَدَّ مَا لَقِيتُ مِنْهُمْ يَوْمَ الْعَقَبَةِ إِذْ عَرَضْتُ نَفْسِي عَلَى ابْنِ عَبْدِ يَالِيلَ بْنِ عَبْدِ كُلَالٍ فَلَمْ يُجِبْنِي إِلَى مَا أَرَدْتُ فَانْطَلَقْتُ وَأَنَا مَهْمُومٌ عَلَى وَجْهِي فَلَمْ أَسْتَفِقْ إِلَّا وَأَنَا بِقَرْنِ الثَّعَالِبِ فَرَفَعْتُ رَأْسِي فَإِذَا أَنَا بِسَحَابَةٍ قَدْ أَظَلَّتْنِي فَنَظَرْتُ فَإِذَا فِيهَا جِبْرِيلُ فَنَادَانِي فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ قَدْ سَمِعَ قَوْلَ قَوْمِكَ لَكَ وَمَا رَدُّوا عَلَيْكَ وَقَدْ بَعَثَ إِلَيْكَ مَلَكَ الْجِبَالِ لِتَأْمُرَهُ بِمَا شِئْتَ فِيهِمْ فَنَادَانِي مَلَكُ الْجِبَالِ فَسَلَّمَ عَلَيَّ ثُمَّ قَالَ يَا مُحَمَّدُ إِنْ شِئْتَ أَنْ أُطْبِقَ عَلَيْهِمْ الْأَخْشَبَيْنِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَلْ أَرْجُو أَنْ يُخْرِجَ اللَّهُ مِنْ أَصْلَابِهِمْ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ وَحْدَهُ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا
“Apakah pernah datang kepadamu satu hari yang lebih berat dibandingkan dengan saat perang Uhud?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Aku telah mengalami penderitaan dari kaummu. Penderitaan paling berat yang aku rasakan, yaitu saat ‘Aqabah, saat aku meminta perlindungan diri kepada Ibnu ‘Abdi Yalil bin Abdi Kulal, tetapi ia tidak memenuhi permintaanku. Aku pun pergi dengan wajah bersedih. Aku tidak menyadari diri kecuali ketika di Qarnust-Tsa’alib, lalu aku angkat kepalaku. Tiba-tiba aku berada di bawah awan yang sedang menaungiku. Aku perhatikan awan itu, ternyata ada Malaikat Jibril, lalu ia memanggilku dan berseru: ‘Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah mendengar perkataan kaummu kepadamu dan penolakan mereka terhadapmu. Dan Allah Azza wa Jalla telah mengirimkan malaikat penjaga gunung untuk engkau perintahkan melakukan apa saja yang engkau mau atas mereka’. Malaikat (penjaga) gunung memanggilku, mengucapkan salam lalu berkata: ‘Wahai Muhammad! Jika engkau mau, aku bisa menimpakan Akhsabain’ (dua gunung di Makkah dan Thaif).” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “(Tidak) namun aku berharap supaya Allah Azza wa Jalla melahirkan dari anak keturunan mereka orang yang beribadah kepada Allah semata, tidak mempersekutukan-Nya dengan apapun jua”. (HR Imam al-Bukhari dan Imam Muslim).
Begitulah ketika kita berinteraksi dengan masyarakat, kita harus memandang mereka dengan pandangan kasih-sayang, bukan kebencian dan kemarahan. Segala bentuk perilaku masyarakat, baik yang menyenangkan atau menjengkelkan hati kita, kita sikapi dengan tatapan kasih-sayang. Bukan balas-dendam, kemarahan dan kebencian. Sambil kita berdo’a di hadapan Allah Ta’ala, “Ya Allah, ampunilah mereka. Karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tidak mengetahui”
- Berempati atau turut merasakan alunan perasaan orang lain.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada seorang muslim untuk menghargai perasaan orang lain. Turut merasakan rasa senang, sedih, gembira, kecewa, dan susah yang mereka alami.
Jika orang lain bersedih, hendaknya kita turut menampakkan ekspresi kesedihan. Jika orang lain bergembira, maka kita juga semestinya menampakkan ekspresi kegembiraan. Begitu pula dengan perasaan-perasaan yang lain. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Perumpamaan kaum Muslimin dalam cinta, kekompakan, dan kasih sayang bagaikan satu tubuh, jika salah satu anggota tubuhnya mengeluh sakit, maka seluruh anggota tubuh juga ikut terjaga dan demam” (HR Bukhari)
Tentu saja, sikap ini bukan bertujuan untuk memperparah keadaan. Misalkan seseorang yang bersedih menjadi sedih berkepanjangan, atau seseorang yang bahagia melampiaskannya dengan hura-hura berlebihan. Tetapi sikap ini bertujuan untuk melegakan perasaan seseorang, terutama yang tengah dirundung derita. Karena dalam kesedihannya, masih ada orang lain yang menanggapi dan memberi perhatian kepadanya. Dalam suasana seperti itulah, nasihat yang baik akan lebih menghujam di dalam qalbu.
- Perhatian
Perhatian adalah sebuah bentuk pencurahan pikiran dan perasaan seseorang untuk kebaikan orang lain. Lawan dari perhatian adalah tidak peduli dan tidak mau tahu persoalan orang lain. Orang seperti ini biasanya cenderung egois atau hanya asyik dengan dirinya sendiri. Terserah saja apa yang terjadi pada orang lain, asalkan tidak menimpa dirinya.
Sikap perhatian ini tentu saja bukan bertujuan untuk mengorek urusan orang lain. Tetapi perhatian adalah lebih bertumpu kepada komitmen seseorang untuk ikut membantu orang lain bergembira dan berbahagia.
- Berbasa-basi
Berbasa-basi yang dimaksud di sini bukan berarti berbasa-basi tanpa arti. Tetapi berbasa-basi yang dapat melunturkan rasa dengki dan kemarahan.
Di antara bentuk basa-basi itu adalah:
- Mengucapkan Salam.
Ucapan salam kelihatannya terkesan hanya sebuah basa-basi.Tetapi sebenarnya, setiap manusia sangat suka menerima salam dari orang lain; karena merasa mendapat perhatian. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا، وَلاَ تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا، أَوَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوْهُ تَحَابَبْتُمْ؟ أَفْشُوا السَّلاَمَ بَيْنَكُمْ
“Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman, dan tidak akan sempurna iman kalian hingga kalian saling mencintai. Maukah aku tunjukkan kalian pada sesuatu yang jika kalian lakukan kalian akan saling mencintai? Sebarkanlah salam di antara kalian.” (HR. Muslim no. 54)
- Wajah Manis.
Wajah ceria dengan senyum yang tulus merupakan bantuan moril kepada orang lain untuk turut berbahagia menghadapi hari-hari yang dilaluinya. Karena dengan keceriaan wajah dan senyuman kita, seseorang akan terhipnotis untuk turut Rasulullah shalllallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
لاَ تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ
“Janganlah meremehkan kebaikan sedikit pun juga walau engkau bertemu saudaramu dengan wajah berseri” (HR. Muslim no. 2626).
- Jabat Tangan.
Jabat tangan yang ikhlas akan melebur rasa dendam dalam hati dan menggantikannya dengan rasa sayang serta saling memaafkan. Jabat tangan juga mampu menumbuhkan rasa akrab serta mencairkan ketegangan suasana.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا
“Tidaklah dua orang muslim saling bertemu kemudian berjabat tangan, kecuali akan diampuni (dosa-dosa) mereka berdua sebelum mereka berpisah.” (HR. Abu Dawud).
- Memanggil dengan Nama yang Disukai.
Jika kita kenal nama seseorang, kemudian memanggil dengan namanya, maka keakraban akan dengan cepat mudah terjalin. Terlebih lagi bila kita tahu nama kesukaan seseorang atau nama kebanggaannya, lalu kita panggil orang tersebut dengan nama-nama itu; maka perasaan in group akan cepat tumbuh. Yaitu perasaan tidak terpisahkan antara kita dengan dirinya.
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا يَسْخَرْ قَومٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلا تَنَابَزُوا بِالألْقَابِ بِئْسَ الاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الإيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Hujurat, 49: 11)
- Memberi Hadiah.
Hadiah dapat memupus rasa permusuhan dan menggantinya dengan cinta. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تَهَادُوْا تَحَابُّوْا
“Saling menghadiahilah kalian niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 594)
يَا نِسَاءَ الْمُسْلِمَاتِ، لاَ تُحْقِرَنَّ جَارَةٌ لِجَارَتِهَا وَلَوْ فِرْسِنَ شَاةٍ
“Wahai wanita-wanita muslimah, jangan sekali-kali seorang tetangga menganggap remeh untuk memberikan hadiah kepada tetangganya walaupun hanya sepotong kaki kambing.” (HR. Al-Bukhari no. 2566 dan Muslim no. 2376)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu,
يَا أَبَا ذَرٍّ، إِذَا طَبَخْتَ مَرَقَةً فَأَكْثِرْ مَاءَهَا وَتَعَاهَدْ جِيْرَانَكَ
“Wahai Abu Dzar, bila engkau memasak makanan berkuah maka perbanyaklah air/kuahnya dan berikanlah kepada tetanggamu.” (HR. Muslim no. 6631)
Kedua, keteladanan sebagai contoh praktis.
Masyarakat sangat tidak menyukai teori dan konsep yang muluk-muluk dan melangit; terutama sekali masyarakat awam. Mereka lebih membutuhkan contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari yang praktis dan aplikatif. Karena itu, keteladanan merupakan bahasa yang tepat untuk berbicara kepada masyarakat. Pepatah Arab mengatakan: “Lisanul Hal Afsahu Min Lisanil Maqal, Bahasa teladan lebih fasih daripada bahasa lisan”.
Misalnya, dalam masalah ibadah; sebelum kita mengajak masyarakat menegakkan shalat, maka kita harus memulainya dari diri kita dengan berdisiplin menegakkan shalat. Kita mencontohkan kerapihan dan kebersihan dalam penampilan, pakaian dan rumah tinggal serta kendaraan. Kita mencontohkan senantiasa memulai berbuat baik kepada tetangga dengan menyapa, silaturahmi, memberi hadiah dan yang sejenisnya.
Allah Ta’ala mengecam manusia yang hanya berbicara, tetapi tidak berupaya untuk menerapkan ucapannya sendiri dalam praktek amal keseharian.
Firman-Nya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لا تَفْعَلُونَ كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لا تَفْعَلُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. As-Shaf: 2-3)
Ketiga, memberi manfaat.
Dalam berhubungan dengan masyarakat, janganlah mengukurnya dengan untung-rugi secara materi atau ekonomi. Bila kita berperilaku seperti itu, maka masyarakat akan sulit meraba keikhlasan hati kita dalam bekerja atau dalam berhubungan dengan mereka. Sehingga mereka berhati-hati dalam berhubungan dengan kita, atau bahkan akan menghindar. Mereka takut menjadi korban materi dalam berhubungan dengan kita.
Justru sudah semestinya kita selalu berusaha banyak memberi manfaat kepada masyarakat tanpa terbesit dalam diri akan mendapatkan ganti;kecuali hanya mengharap keridhaan Allah Ta’ala semata. Demikian itulah yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hidup bermasyarakat sebelum menjadi Nabi, Khadijah radhiyallahu ‘anha pernah berkata tentang pribadi beliau,
إِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمَ ، وَتَحْمِلُ الْكَلَّ ، وَتَكْسِبُ الْمَعْدُومَ ، وَتَقْرِى الضَّيْفَ ، وَتُعِينُ عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّ .
“Sesungguhnya engkau adalah orang yang suka menyambung tali silaturahim, membantu orang, menyantuni fakir, memuliakan tamu, dan senang membantu”. (HR Bukhari no: 3, Muslim no: 160)
Keempat, teguh pendirian.
Banyak sekali perilaku masyarakat yang belum sesuai dengan nilai-nilai Islam. Bahkan seringkali perilaku itu telah mengakar dan membudaya dalam sebuah masyarakat. Misalnya sesaji ke kuburan, sesaji setelah bersih desa, minuman keras saat ada hajatan, dan lain sebagainya.Tentu saja, kita dilarang untuk ikut-ikutan acara haram tersebut dengan alasan berbaur dengan masyarakat. Bila kita mempunyai kekuasaan di masyarakat, menjadi perangkat desa misalnya; maka kita dapat mengurangi sedikit demi sedikit tradisi tersebut melalui jalur-jalur kekuasaan. Atau kita mengingatkan mereka secara lisan dengan teguran. Tetapi, apabila kita tidak mampu melakukan keduanya, hendaklah kita memiliki pendirian yang kuat untuk tidak mengikutinya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَكُونُوا إِمَّعَةً تَقُولُونَ إِنْ أَحْسَنَ النَّاسُ أَحْسَنَّا وَإِنْ ظَلَمُوا ظَلَمْنَا وَلَكِنْ وَطِّنُوا أَنْفُسَكُمْ إِنْ أَحْسَنَ النَّاسُ أَنْ تُحْسِنُوا وَإِنْ أَسَاءُوا فَلاَ تَظْلِمُوا
“Janganlah kamu menjadi orang yang ikut-ikutan, yang berkata: ‘Bila orang melakukan kebaikan maka aku pun melakukannya. Namun bila orang melakukan keburukan maka aku pun ikut melakukannya juga.’ Akan tetapi tempatkanlah diri kalian! Jika orang melakukan kebaikan maka kamu pun melakukannya. Namun jika orang melakukan keburukan maka (tinggalkan sikap buruk mereka) jangan kamu berbuat zalim.” (HR. Tirmidzi).
Kelima, memaklumi, jangan minta dimaklumi.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan bahwa setiap muslim adalah pemimpin. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا وَالْخَادِمُ رَاعٍ فِي مَالِ سَيِّدِهِ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya. Imam adalah pemimpin yang akan diminta pertanggung jawaban atas rakyatnya. Seorang suami adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban atas keluarganya. Seorang isteri adalah pemimpin di dalam urusan rumah tangga suaminya, dan akan dimintai pertanggung jawaban atas urusan rumah tangga tersebut. Seorang pembantu adalah pemimpin dalam urusan harta tuannya, dan akan dimintai pertanggung jawaban atas urusan tanggung jawabnya tersebut.” (HR. Bukhari No. 844)
Dengan hadits ini ditegaskan bahwa seluruh kaum muslimin adalah pemimpin; baik dalam skala yang luas, yaitu memimpin masyarakatnya; atau dalam skala sedang, memimpin rumah-tangganya; atau dalam skala kecil, yaitu memimpin dirinya sendiri. Mental khas seorang pemimpin adalah responsible (tanggung-jawab) dan sense of belonging (rasa memiliki). Dengan dua setting mental inilah seorang muslim harus bekerja menghadapi masyarakatnya, karena dari sinilah akan tumbuh sikap berusaha memaklumi orang lain dan tidak malah meminta untuk dimaklumi.Tingkah-polah masyarakat yang berada di sekiling kita, direspon dengan sikap maklum. Sehingga kita mampu menghadapi mereka dengan tenang, tidak emosi serta menghilangkan dendam kesumat dalam jiwa. Jika mereka mencela, menghina, mencibir atau yang sejenisnya; cukuplah kita berdo’a sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a untuk penduduk Tha’if, “Ya Allah ampunilah mereka, karena mereka orang yang tidak mengetahui”
Interaksi Sosial
Sebagai seorang muslim, terlebih lagi lagi sebagai seorang da’i, hendaknya kita pandai berinteraksi sosial. Kita tidak boleh terputus dari masyarakat, berdiam diri, atau mengisolasi dakwah hanya di kalangan terbatas karena takut munculnya resiko atau ujian.
Dalam berinteraksi sosial, kita perlu membekali diri dengan pemahaman dan sikap-sikap berikut ini,
Pertama, heterogenitas adalah sunnatullah.
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal …” (Al Hujuraat, 49: 13)
Heterogenitas bukanlah sebuah perkara yang harus kita sesali, tetapi justru merupakan hal yang harus kita syukuri. Setiap suku memiliki tradisi dan cara masing-masing; bahkan setiap orang memiliki perilaku masing-masing meskipun mereka adalah suadara kembar. Tidak mungkin semua orang itu baik akhlaknya serta sehat akalnya; pasti ada diantara mereka yang rusak moralnya serta kacau akalnya. Tidak semua orang mudah menerima kebenaran, tidak semua orang berani berjuang di jalan Allah, tidak semua orang dapat terhindar dari kriminalitas, dan lain sebagainya.
Semua itu merupakan heterogenitas yang ada di muka bumi,yang harus kita sadari sepenuhnya sebagai sunnatullah. Sehingga kita tidak mudah sempit dada melihat perbedaan-perbedaan yang tumbuh di antara manusia, atau juga kita tidak cepat merasa putus-asa dengan menjalarnya kemaksiatan dalam tubuh masyarakat kita. Tugas kita adalah menjalankan perintah Allah Ta’ala untuk terus beramal shalih dan beramar ma’ruf nahi munkar.
Kedua, mengenali obyek dakwah dengan terperinci.
Kita harus berupaya mengenali objek dakwah dengan teliti. Semakin teliti kita mengenali obyek dakwah, akan semakin tepat therapi yang kita berikan kepada mereka, serta semakin kecil tingkat kesalahan kita dalam berhadapan dengan mereka.
Setiap masyarakat memiliki potensi beragam serta tingkat sensitifitas yang berbeda. Permasalahan ini harus kita teliti secara mendalam,sehingga kita dapat menumbuhkan potensi mereka, seiring dengan upaya kita untuk mereduksi perilaku mereka yang negatif.
Ketiga, berbicara sesuai budaya setempat.
Setiap kaum memiliki karakter dan tradisi yang berbeda-beda. Dari sisi bahasa, misalnya, setiap kaum memiliki kosa-kata yang bervariasi serta dialek yang beragam. Sesama bahasa Jawa saja memiliki kosa-kata yang bervariasi serta dialek yang beragam. Antara Bahasa Jawa Timur, Tengah atau Barat terjadi berbagai macam perbedaan. Bahkan antara Bahasa Jawa di Timur, Tengah, atau Barat sendiri terdapat berbagai ragam perbedaan. Belum lagi antara Bahasa Jawa dengan bahasa daerah lainnya. Tentu saja terjadi banyak perbedaan. Apalagi antara bahasa nasional dengan bahasa asing.
Seorang da’i akan sangat mudah diterima masyarakat apabila mengenali bahasa mereka dan adat komunikasi antar mereka. Penerimaan secara pribadi ini akan berdampak terhadap penerimaan nilai-nilai yang kita tawarkan kepada mereka, yaitu nilai-nilai Islam. Maka berbicaralah dengan bahasa masyarakat setempat.
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلا بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ فَيُضِلُّ اللَّهُ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang dia kehendaki. dan Dia-lah Tuhan yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Ibrahim, 14: 4)
Keempat, berbicara sesuai kadar akal.
Kecerdasan setiap orang tentu saja berbeda, demikian pula dengan kecerdasan rata-rata antara masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan supaya kita berbicara disesuaikan dengan kadar akal masyarakat. Apabila mereka lemah akalnya, maka berbicaralah dengan bahasa yangsederhana dan mudah dimengerti oleh akal mereka. Sebaliknya, apabila kitaberbicara dengan masyarakat yang lebih cerdas, maka kita dapat berdiskusi dengan mereka tentang berbagai hal.
Perhatikanlah hadits-hadits berikut ini,
مَا أَنْتَ بِمُحَدِّثٍ قَوْمًا حَدِيثًا لَا تَبْلُغُهُ عُقُولُهُمْ إِلَّا كَانَ لِبَعْضِهِمْ فِتْنَةً
“Tidaklah kamu berbicara kepada suatu kaum suatu pembicaraan yang tidak sampai akal mereka melainkan akan menimbulkan fitnah bagi sebagian mereka” (HR. Muslim)
أُمِرْنَا أَنْ نَكَلَّمَ النَّاسَ عَلَى قَدْرِ عُقُوْلِهِمْ
“Kami diperintahkan agar berbicara kepada manusia sesuai dengan kadar intelektualitas mereka” (HR. Ad-Dailami dari Ibnu Abbas)
لاَ تَحْدُثُوْا أُمَّتِى مِنْ أَحَادِيْثَى إِلاَّ بِمَا تَحْمِلُهُ عُقُوْلُهُمْ
“Janganlah kalian berbicara kepada umatku berbagai pembicaraan kecuali apa yang mampu diterima oleh akal mereka” (HR. Abu Nu’aim dari Ibnu Abbas)
Kelima, tidak mengumbar janji.
Janganlah mudah mengumbar janji kepada masyarakat, karena mereka akan menagih janji kita untuk direalisasikan. Jika kita kemudian memenuhi janji kita, mereka akan menganggap sebagai perkara yang biasa; karena memang janji harus ditepati. Sedangkan bila kita tidak mampu menepati janji, maka masyarakat akan mencemooh kita dan tentu saja kredibilitas kita di hadapan mereka akan jatuh-berantakan.
Lain lagi apabila kita tidak berjanji. Apabila kita tidak melakukannya, masyarakat akan maklum, karena memang kita tidak pernah menjanjikannya. Sebaliknya, jika kita memenuhi sesuatu padahal kita tidak berjanji sebelumnya, masyarakat justru akan salut kepada kita.Untuk itu, fikirkanlah baik-baik sebelum kita menjanjikan sesuatu kepada masyarakat. Allah Ta’ala juga telah berfirman ketika menyebutkan ciri-ciri orang yang beriman,
وَالَّذِينَ هُمْ لأمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ
“Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.” (QS. Al-Mukminun, 23: 8)
Semoga Allah Ta’ala senantiasa menguatkan kita untuk menghimpun umat ini dalam kebaikan dan keridhoan-Nya. Wallahul Musta’an…
Maraji’:
Munir Muhammad Ghadban, Manhaj Haraki
Fathi Yakan, Ke Arah Kesatuan Gerakan Islam
Abbas Asisi, Bagaiman Menyentuh Hati
Hasan al Banna, Memoar Hasan al Banna
Catatan Kaki:
[1] Maksud dari padanya menurut Jumhur Mufassirin ialah dari bagian tubuh (tulang rusuk) Adam a.s. berdasarkan hadis riwayat Bukhari dan muslim. di samping itu ada pula yang menafsirkan dari padanya ialah dari unsur yang serupa yakni tanah yang dari padanya Adam a.s. diciptakan.
[2] Menurut kebiasaan orang Arab, apabila mereka menanyakan sesuatu atau meminta kepada orang lain mereka mengucapkan nama Allah seperti : As aluka billah artinya saya bertanya atau meminta kepadamu dengan nama Allah.