Oleh: KH. Hilmi Aminuddin rahimahullah
Proses pertumbuhan kepemimpinan dalam kehidupan manusia dibagi melalui dua jalur pertumbuhan:
Kepemimpinan Mauhuubah
Ada proses pertumbuhan kepemimpinan yang bersifat mauhuubah atau given, pemberian dari Allah SWT, seperti dalam kisah Thalut:
اَلَمْ تَرَ اِلَى الْمَلَاِ مِنْۢ بَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ مِنْۢ بَعْدِ مُوْسٰىۘ اِذْ قَالُوْا لِنَبِيٍّ لَّهُمُ ابْعَثْ لَنَا مَلِكًا نُّقَاتِلْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۗ قَالَ هَلْ عَسَيْتُمْ اِنْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ اَلَّا تُقَاتِلُوْا ۗ قَالُوْا وَمَا لَنَآ اَلَّا نُقَاتِلَ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَقَدْاُخْرِجْنَا مِنْ دِيَارِنَا وَاَبْنَاۤىِٕنَا ۗ فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقِتَالُ تَوَلَّوْا اِلَّا قَلِيْلًا مِّنْهُمْ ۗوَاللّٰهُ عَلِيْمٌ ۢبِالظّٰلِمِيْنَ
“Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil sesudah nabi Musa, yaitu ketika mereka berkata kepada seorang nabi mereka: ‘Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah’. Nabi mereka menjawab: ‘Mungkin sekali jika kamu nanti diwajibkan berperang, kamu tidak akan berperang’. Mereka menjawab: ‘Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari anak-anak kami?’. Maka tatkala perang itu diwajibkan atas mereka, merekapun berpaling, kecuali beberapa saja di antara mereka. dan Allah Maha mengetahui siapa orang-orang yang zalim.” (Q.S. Al-Baqarah: 246)
وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ اِنَّ اللّٰهَ قَدْ بَعَثَ لَكُمْ طَالُوْتَ مَلِكًا
“Nabi mereka mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu…” (Q.S. Al-Baqarah: 247)
Ketika Thalut dimunculkan oleh Allah sebagai raja, maka Bani Israil tidak melihat indikatotor-indikator kepemimpinannya karena dia tidak muncul di dalam kehidupan elit Bani Israil. Oleh karena itu mereka katakan:
قَالُوْٓا اَنّٰى يَكُوْنُ لَهُ الْمُلْكُ عَلَيْنَا وَنَحْنُ اَحَقُّ بِالْمُلْكِ مِنْهُ وَلَمْ يُؤْتَ سَعَةً مِّنَ الْمَالِۗ
“Mereka menjawab: ‘Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?’” (Q.S. Al-Baqarah: 247)
Sebab indikator kepemimpinan di elit Bani Israil selalu berupa kekayaan, tetapi Nabi mereka mengatakan:
قَالَ اِنَّ اللّٰهَ اصْطَفٰىهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَهٗ بَسْطَةً فِى الْعِلْمِ وَالْجِسْمِ ۗ وَاللّٰهُ يُؤْتِيْ مُلْكَهٗ مَنْ يَّشَاۤءُ ۗ وَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ
“’Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.” Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Allah Maha luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah: 247)
Isthafaahu…menandakan mauhuubah, karena merupakan pilihan Allah, kemudian sang mauhuubah (pemimpin pilihan) dibekali dengan kelebihan berupa kekuatan ilmu dan fisik sebagaimana yang nampak dalam sosok Thalut. Thalut pun kemudian memimpin jihad fii sabiilillah dalam rangka melawan Jalut sebagaimana dikisahkan dalam surat al-Qur’an.
Oleh karena itu hal yang ingin saya garis bawahi adalah bahwa proses penokohan yang pertama adalah mauhuubah yang tidak selalu harus dalam satu garis keturunan. Memang ada mauhuubah yang berasal dari garis keturunan Nabi Sulaiman yang berada di garis keturunan Nabi Daud, namun ada juga yang bukan, seperti tokoh Thalut. Hal yang utama adalah bahwa kemampuan kepemimpinan mereka merupakan mauhuubah atau sesuatu yang given sebagai karunia dari Allah.
Sifat-sifat kepemimpinan jenis mauhuubah ini ditampilkan oleh Allah SWT dalam al-Qur’an dalam beberapa versi di antaranya versi Thalut dan versi Musa.
اِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْاَمِيْنُ
“…karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya”. (Q.S. Al-Qashash: 26)
Kata qawiyy yang diutarakan oleh kedua putri Nabi Syu’aib adalah bentuk pujian kepada Nabi Musa yang mengacu kepada ‘basthatan fil ‘ilmi wal jism’, kekuatan dari segi ilmu dan fisik. Sedangkan kata al-amiin mengacu kepada kekuatan ma’nawiyah, mentalitas dan integritas pribadinya.
Di dalam tafsir dijelaskan bahwa indikasi tersebut mengacu pada sosok Nabi Musa yang membantu kedua putri Nabi Syu’aib mengambil air untuk minuman ternak mereka. Nabi Musa kuat untuk membuka penutup sumur yang di Timur Tengah biasanya ditutup dengan lempengan baru besar dan untuk membuka atau menutupnya harus digotong oleh empat sampai lima orang. Sesuatu yang sebenarnya mustahil dilakukan oleh kedua putri Nabi Syu’aib sehingga selalu tersisih pada saat ingin memberi minum kambingnya. Orang lain tidak ada yang peduli, sehingga setelah selesai memberi minum kambing atau ternaknya, sumur itu mereka tutup kembali dengan batu besar. Namun Nabi Musa bisa membukanya tanpa bantuan orang lain.
Sedangkan indikasi al-amiin mengacu kepada kekuatan ma’nawiyah, mentalitas dan integritas pribadi Nabi Musa yang bisa dipercaya ketika mengantarkan kedua putri Nabi Syu’aib tersebut pulang sesudah memberi minum kambing. Sifat al-amiin Nabi Musa tersebut terlihat ketika ia berkata: “Silahkan kamu berjalang di belakang dan saya berjalan di depan. Tunjukkan saja kemana arah jalan”. Hal tersebut menunjukkan kekuatan ma’nawiyah dan integritas pribadi Nabi Musa karena kalau kedua puteri Nabi Syu’aib berjalan di depan lalu ada angin besar di padang pasir yang menerpanya maka mungkin akan tersingkap bajunya. Untuk menghindari itu, Nabi Musa meminta agar kedua puteri Nabi Syu’aib berjalan di belakangnya sambil menunjukkan jalan.
Selain itu kita juga bisa mengambil kriteria kepemimpinan di dalam kisah Nabi Yusuf yang memiliki titik temu dengan kriteria di kisah Nabi Musa.
قَالَ اجْعَلْنِيْ عَلٰى خَزَاۤىِٕنِ الْاَرْضِۚ اِنِّيْ حَفِيْظٌ عَلِيْمٌ
“Berkata Yusuf: ‘Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan’” (Q.S. Yusuf: 55)
Kata hafiizhun juga mengacu kepada al-amiin (integritasnya yang penuh amanah). Sedangkan kata al-‘aliim mengacu kepada kekuatan ilmu atau bathatan fil ‘lmi. Hafizh sebagaimana al-amiin juga bermakna amanah, tidak korup dan tidak akan menggunakan yang bukan haknya. Sedangkan al-amiin menunjukkan bahwa ia mengetahui masalah dengan betul dan profesional.
Bila dirangkum maka dapat kita simpulkan ada beberapa muwashafat atau kriteria ideal yang seharusnya ada dalam sosok pemimpin sebagaimana Thalut, Nabi Musa, dan Nabi Yusuf yakni sebagai berikut: pertama, integritas pribadi. kedua,kekuatan ilmu, dan ketiga, kekuatan fisik sebagaimana diungkapkan d dalam al-Qur’an: ‘basthatan fil ‘ilmi wal jism, qawiyyun amiin dan hafiizhun ‘aliim.
Kepemimpinan Muktasabah
Di samping jenis kepemimpinan mauhuubah yang merupakan pemberian dari Allah SWT, ada jenis kepemimpinan yang terwujud dalam diri seseorang karena direkayasa atau diusahakan yakni kepemimpinan muktasabah.
Kepemimpinan juga bisa ditumbuhkan, muktasabah melalui jalur pembinaan dan pelatihan. Kemunculan dua jenis pemimpin, yakni mauhuubah dan muktasabah mempunyai karakternya masing-masing. Pada umumnya tipe pemimpin mauhuubah sejak awal telah memiliki kharisma sehingga sosoknya merupakan pemimpin kharismatis yang memiliki aura kepemimpinan. Sementara jenis atau tipe muktasabah, biasanya kharismanya baru akan tumbuh seiring bertambahnya pengalaman dan kebijaksanaannya. Ia akan diakui integritas kepemimpinannya karena pengalaman selama ini.
Tentu saja hal yang terbaik adalah tipe pemimpin mauhuubah dan muktasabah bertemu dalam diri satu orang dan sebenarnya bisa saja tipe mauhuubah dan muktasabah ini bertemu. Sebab tidak berpadu, kedua jenis kepemimpinan ini memiliki kelemahannya masing-masing. Biasanya jenis mauhuubah bila tidak terus digali, dilatih, dan ditingkatkan kemampuannya maka boleh jadi memiliki kelemahan dalam hal manajemen atau tata kelola organisasi.
Sementara jenis pemimpinan muktasabah biasanya memiliki kelemahan dalam syaja’atul adabiyah (keberanian moral) sehingga tidak cepat dalam mengambil keputusan dan kurang berani mengambil resiko. Oleh karena itu alangkah baiknya kalau kita bisa memadukan keduanya yaitu mauhuubah yang terlatih sehingga didapatkan muktasabah dalam tata kelola atau idariyah, karena syaja’ah adabiyah saja tidak cukup di zaman modern ini. Atau sebaliknya pemimpin muktasabah yang meningkat syaja’ah adabiyah karena terus ditempa oleh pengalaman dan juga taushiyah.