Pertama, meninggalkan salah satu sunnah shalat (lihat pembahasan sebelumnya).
Kedua, melipat baju atau rambut tanpa ada udzur. Hal ini seperti disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اُمِرْتُ اَنْ اَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ اَعْظُمٍ وَلاَ اَكُفَّ ثَوْبًا وَلاَ شَعْرًا
“Aku disuruh bersujud atas tujuh tulang, dan agar tidak melipat baju maupun rambut (selagi shalat)” (hadits ini menurut lafadz dari riwayat Muslim).
Ketiga, melihat ke atas –seperti yang diriwayatkan dari Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu yang berkata, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ يَرْفَعُونَ أَبْصَارَهُمْ إِلَى السَّمَاءِ فِى الصَّلاَةِ أَوْ لاَ تَرْجِعُ إِلَيْهِمْ
“Hendaknya kaum-kaum yang mengarahkan pandangan mereka ke langit dalam shalat itu bertaubat atau pandangan mereka terebut tidak akan kembali kepada mereka.” (HR. Al-Bukhari Muslim).
Tambahan dalam riwayat al-Bukhari,
لَيَنْتَهُنَّ عَنْ ذَلِكَ أَوْ لَتُخْطَفَنَّ أَبْصَارُهُمْ
“Hendaknya mereka berhenti dari hal itu atau akan disambar pandangan mereka.”
Keempat, membiarkan diri terganggu oleh hal-hal yang mengganggu konsentrasi shalat.
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَتْ لَهُ خَمِيْصَةٌ لَهَا عَلَمٌ فَكَانَ يَتَشَاغَلُ بِهَا فِي الصَّلاَةِ فَأَعْطَاهَا أَبَا جَهْمٍ وَأَخَذَ كِسَاءً لَهُ أَنْبِجَانِيًّا
“Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu memiliki baju bergaris-garis yang memiliki gambar tanda sehingga beliau tersibukkan dengannya dalam shalat (tidak bisa khusyu’), lalu beliau memberikannya kepada Abu Jahm. Lalu beliau mengambil mantel polos.” (HR. Muslim)
Al-Bukhari (642), dan Muslim (559) telah meriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اِذَا وُضِعَ عَشَاءُ اَحَدِكُمْ وَاُقِيْمَتِ الصَلاَةُ، فَابْدَءُاوا بِالْعَشَاءِ وَلاَيَجْعَلْ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْهُ
“Apabila makan malam seorang dari kamu sekalian telah dihidangkan, sedang shalat telah ditegakkan, maka mulailah dengan makan malam, jangan tergesa-gesa hingga selesai makan.”
لاَصَلاَةَ بِحَضْرَةِ طَعَامٍ، وَلاَ هُوَ يُدَافِعُهُ اْلاَخْبَثَانِ
“Tidaklah sempurna shalat (seseorang) di hadapan makanan, maupun orang yang terganggu oleh dua kotoran (buang air besar dan air kecil).” (HR. Muslim)
Kelima, shalat di tempat sampah, tempat pemotongan hewan, kuburan, jalanan, kamar mandi, peristirahatan onta, di atas ka’bah.
Mengenai hal ini, at-Tirmidzi (346) telah meriwayatkan,
اَنَّ النَّبِيَّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ الصَّلاَةِ فِى الْمَزْبَلَةِ وَالْمَجْزَرَةِ وَالْمَقْبَرَةِ، وَقَارِعَةِ الطَّرِقِ، وَفِى الْحَمَّامِ، وَفِى مَعَاطِنِ اْلاِبِلِ وَفَوْقَ ظَهْرِ الْبَيْتِ
“Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang shalat di tempat sampah, tempat penjagalan, kuburan, tengah jalan, di jamban, di tempat-tempat menderumnya unta, dan di atas Ka’bah”.
Namun menurut at-Tirmidzi, isnad hadits ini tidak begitu kuat. Pengertian Qari’atu ‘th-Thariq dalam hadits ini adalah: tengah jalan, yaitu jalur yang dilewati orang.
Sementara itu, Ibnu Hibban (338) telah mengesahkan pula sebuah hadits:
اْلاَرْضُ مَسْدِدٌ اِلاَّ الْمَقْبَرَةِ وَالْحَمَّامِ
“Seluruh bumi adalah tempat sujud, selain kuburan dan jamban”. Dan pernah pula ia mengesahkan sebuah hadits lain (336):
لاَتُصَلُّوا فِى اَعْطَانِ اْلاِبِلِ
“Janganlah kamu shalat di tempat-tempat menderumnya unta. Yakni, tempat-tempat menderumnya yang ada di sekitar sumber air”. (Demikian diriwayatkan oleh at-Tirmidzi: 348, dan lainnya).
Keenam, memakai baju yang terbuka; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا يُصَلِّيْ أَحَدُكُمْ فِيْ الثَّوْبِ الْوَاحِدِ لَيْسَ عَلَى عَاتِقَيْهِ مِنْهُ شَيْءٌ
“Janganlah salah seorang di antara kalian shalat dengan satu pakaian, sehingga tidak ada sedikitpun pakaian yang menutupi kedua bahunya”. (HR. Bukhari dalam Shahih-nya, dan Muslim dalam Shahih-nya )
Ketujuh, takhashshur – meletakkan tangan di pinggang- para ulama memakruhkannya kecuali imam Ibnu Majah.
Dari Abu Hurairah, beliau berkata,
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ نَهَى أَنْ يُصَلِّىَ الرَّجُلُ مُخْتَصِرًا
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang shalat mukhtashiron (tangan diletakkan di pinggang).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kedelapan, menggunakan lengan tangan untuk tumpuan ketika sujud -makruh menurut jama’ah ulama-
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، قَالَ: سَمِعْتُ قَتَادَةَ، عَنْ أَنَسِ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” اعْتَدِلُوا فِي السُّجُودِ، وَلَا يَبْسُطْ أَحَدُكُمْ ذِرَاعَيْهِ انْبِسَاطَ الْكَلْبِ “
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyaar, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, ia berkata : Aku mendengar Qataadah, dari Anas, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “ Seimbanglah kalian ketika sujud, dan janganlah salah seorang di antara kalian meluruskan (menempelkan) kedua lengan/hastanya seperti anjing meluruskannya” (Shahih Al-Bukhari no. 822).
Kesembilan, merapatkan kedua kaki; seperti diriwayatkan dari Abdurrahman bin Jausyan Al Ghathafani (seorang tabi’in),
عَنْ عُيَيْنَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، قَالَ: كُنْتُ مَعَ أَبِي فِي الْمَسْجِدِ، فَرَأَى رَجُلًا صَافًّا بَيْنَ قَدَمَيْهِ، فَقَالَ: أَلْزِقْ إِحْدَاهُمَا بِالْأُخْرَى، لَقَدْ رَأَيْتُ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ ثَمَانِيَةَ عَشَرَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، مَا رَأَيْتُ أَحَدًا مِنْهُمْ فَعَلَ هَذَا قَطُّ
Dari ‘Uyainah bin Abdirrahman ia berkata, “Pernah aku bersama ayahku di masjid. Ia melihat seorang lelaki yang shalat dengan merapatkan kedua kakinya. Ayahku lalu berkata, ‘Orang itu menempelkan kedua kakinya, sungguh aku pernah melihat para sahabat Nabi shallallahu’alaihi wasallam shalat di masjid ini selama 18 tahun dan aku tidak pernah melihat seorang pun dari mereka yang melakukan hal ini’” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf 2/109 dengan sanad yang shahih).
Kesepuluh, sujud di atas tutup kepala yang menghalangi dahi dan tanah (tempat sujud), ini menurut pendapat mazhab Syafi’i, berdasarkan hadits nabi ;
إِذَا سَجَدْتَ، فَمَكِّنْ جَبْهَتَكَ
“Ketika kamu sujud, tetapkanlah keningmu” (Shahih Ibnu Hibban, no.1887)
Namun ulama yang lain berpendapat tidak wajib meletakkan anggota sujud secara langsung di lantai atau alas shalat. Jadi dibolehkan sujud dalam keadaan anggota sujudnya tertupi pakaian yang dikenakan ketika shalat. Seperti sujud dalam keadaan peci menutupi dahi. Ini adalah pendapat mayoritas ulama –Hanafiyah, Malikiyah, dan Hambali– dan pendapat para ulama masa silam, seperti Atha’, Thawus, an-Nakha’i, asy-Sya’bi, al-Auza’i, dsb.
Pendapat kedua ini insya Allah lebih kuat berdasar hadits dari Anas bin Malik radliallahu ‘anhu, beliau mengatakan:
كُنَّا نُصَلِّي مَع النبيِّ صلّى الله عليه وسلّم في شِدَّة الحَرِّ، فإذا لم يستطع أحدُنا أن يُمكِّنَ جبهتَه مِن الأرض؛ بَسَطَ ثوبَه فَسَجَدَ عليه
“Kami pernah shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di hari yang sangat panas. Jika ada sahabat yang tidak mampu untuk meletakkan dahinya di tanah, mereka membentangkan ujung bajunya, kemudian bersujud.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kesebelas, mengusap bekas sujud dalam shalat. Mu’aiqib mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata pada seseorang yang mengusap debu ketika sujud,
إِنْ كُنْتَ فَاعِلاً فَوَاحِدَةً
“Jika engkau mau mengusapnya, maka cukup sekali saja.” (HR. Bukhari no. 1207 dan Muslim no. 546)
Kedua belas, menguap. Maka disunnahkan menutup mulut dengan tangan ketika menguap, di dalam shalat atau di luar shalat.
عن سُهَيْلُ بْنُ أَبِي صَالِحٍ قَالَ سَمِعْتُ ابْنًا لِأَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ يُحَدِّثُ أَبِي عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا تَثَاوَبَ أَحَدُكُمْ فَلْيُمْسِكْ بِيَدِهِ عَلَى فِيهِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ
Dari Suhail bin Abi Shalih berkata, “Aku mendengar putera Abi Said al-Khudri menceritakan pada ayahku, dari ayahnya dia berkata: ‘Rasulullah saw bersabda; ‘Jika seorang di antaramu menguap maka hendaklah menahan dengan tangannya diletakkan di mulutnya, karena syaitan akan masuk.’” (Shahih Muslim 14/264)
Ketiga Belas, memanjangkan kain sampai ke tanah; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَسْبَلَ إِزَارَهُ فِى صَلاَتِهِ خُيَلاَءَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِى حِلٍّ وَلاَ حَرَامٍ
“Siapa yang shalat dalam keadaan isbal disertai kesombongan, maka Allah tidak memberikan jaminan halal dan haram untuknya.” (HR. Abu Daud no. 637)
Keempat Belas, menutup mulut. Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu– berkata,
نَهَى عَنِ السَّدْلِ فِي الصَّلَاةِ وَأَنْ يُغَطِّيَ الرَّجُلُ فَاهُ
“Sesungguhnya Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- melarang sadl dalam shalat dan seseorang menutupi mulutnya.”. (HR. Abu Dawud (643), At-Tirmidziy (378), Ibnu Khuzaimah (772), Ahmad (2/295 & 341), dan Al-Hakim (1/253).
Syamsul Haq berkata dalam ‘Aunul Ma’buud (II/347): Al-Khaththabi berkata: as-sadl adalah menjulurkan pakaian hingga menyentuh tanah.
Disebutkan dalam an-Nailul Authaar: Abu ‘Ubaidah berkata tentang makna as-sadl adalah menjulurkan pakaian tanpa menyatukan kedua sisinya ke depan. Jika disatukan ke depan, maka tidak dinamakan sadl.
Pengarang kitab an-Nihaayah berkata: Maknanya adalah berkemul dengan pakaiannya dan memasukkan kedua tangan dari dalam lalu ruku’ dan sujud dalam keadaan seperti itu. Ini berlaku pada gamis dan jenis pakaian yang lain. Ada pula yang mengatakan: meletakkan bagian tengah sarung di atas kepala dan menjulurkan kedua tepiannya ke kanan dan ke kiri tanpa meletakkannya di atas kedua bahu.
Al-Jauhari berkata: sadala tsaubahu yasduluhu sadlan, dengan dhammah artinya arkhahu (menjulurkannya). Tidak masalah mengartikan hadits pada semua arti ini, karena sadl mengandung banyak arti. Membawa kalimat yang mengandung banyak arti pada semua maknanya adalah madzhab yang kuat.
2 comments
Assalamu alaikum, terima kasih curahan ilmunya, ijin copy dan sare dalam dakwah, semoga manfaat