Hakikatnya, saat seseorang berpihak kepada al-haq, berarti ia telah berpihak dan mengikatkan dirinya kepada hizbullah (kelompok pengikut Allah, golongan Allah, atau partai Allah)
Al-Hizbu secara bahasa artinya adalah: kelompok atau kumpulan manusia. (Al-Qamus Al-Muhith, Fairuz Abadi hal. 94). Berkata Syaikh Shafiyur Rahman Mubarakfuri rahimahullah: “Al-Hizbu secara bahasa adalah sekelompok manusia yang berkumpul karena kesamaan sifat, keuntungan atau ikatan keyakinan dan iman. Karena kukufuran, kefasikan dan kemaksiatan. Terikat oleh daerah, tanah air, suku bangsa, bahasa, nasab, profesi atau perkara-perkara yang semisalnya, yang biasanya menyebabkan manusia berkumpul atau berkelompok” (Al-Ahzab As-Siyasiyyah fil Islam, hal.7).
Hizbullah artinya penolong-penolong Allah; kelompok orang-orang yang memihak Allah dan dekat kepada-Nya, bersedia berjuang menegakkan agama-Nya. Kelompok inilah yang akan mencapai puncak keberuntungan dan meraih segala yang mereka harapkan.[1]
Hizbullah tidaklah dapat dinisbatkan kepada satu-dua kelompok atau golongan tertentu yang ada di dalam tubuh umat Islam saat ini—dengan berbagai macam nama dan laqab (julukan/panggilan)-nya—seperti: Hizbullah, Hizbut Tahrir, Ansharu Sunnah, Al-Ikhwan Al-Muslimun, Salafi, Jama’ah Tabligh, Muhammadiyyah, Nahdhatul Ulama, Jama’at Islami, Naqsabandiyyah, Tijaniyyah, dan lain-lain; akan tetapi ia dinisbatkan kepada akhlak dan karakter, etika dan moral, yang dimiliki oleh kelompok-kelompok, apa pun nama dan dimana pun mereka berada.
Maka fokus kita sebagai muslim adalah berupaya menetapi al-akhlaqul asasiyyah (akhlak/karakter dasar) hizbullah serta berupaya berhimpun, bekerjasama, atau saling tolong menolong bersama kelompok mana pun yang memiliki karakter dasar tersebut. Allah Ta’ala telah menjelaskannya dengan sangat terang di dua surah: QS. Al-Maidah ayat 54 – 56 dan Al-Mujadilah ayat 22.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ
وَمَنْ يَتَوَلَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْغَالِبُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang – orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.” (QS. Al-Maidah, 5: 54-56).
لاَ تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا ءَابَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ اَلاَ إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung.” (QS Al-Mujadilah, 58: 22)
*****
Al-Akhlaqul Asasiyyah
Dari dua surah di atas kita ketahui karakter dasar hizbullah adalah sebagai berikut.
Pertama, mahabbatullah (mencintai Allah). Dalam Al-Qur’an surah Al-Maidah ayat 54 karakter ini diungkapkan dengan kalimat:
يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُۥٓ
“Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya.”
Makna ungkapan ini adalah: Allah meridhai mereka, dan mereka ikhlas kepada Allah dalam beramal dan menaatinya dalam setiap perintah dan larangan-Nya.[2] Allah mencintai kaum itu dan merekapun mencintai-Nya karena keteguhan hati mereka.[3]
Mereka adalah kaum yang menjauhi perbuatan orang-orang fasiq yang mencintai dunia melebihi cintanya kepada Allah, rasul, dan jihad di jalan-Nya.
قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
“Katakanlah: ‘Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At-Taubah, 9: 24)
Mereka adalah kaum yang kaya jiwanya karena senantiasa mencintai Allah Ta’ala, mengenal-Nya dan mengingat-Nya. Sebagian salaf mengungkapkan hal ini dengan ucapannya,
مَسَاكِيْنُ أَهْلِ الدُّنْيَا خَرَجُوا مِنْهَا وَمَا ذَاقُوا أَطْيَبَ مَا فِيهَا. قِيلَ: وَمَا أَطْيَبُ مَا فِيهَا؟ قَالَ: مَحَبَّةُ اللهِ وَمَعْرِفَتُهُ وَذِكْرُهُ
“Sesungguhnya orang-orang miskin dari ahli dunia adalah mereka yang meninggalkan dunia, namun belum merasakan apa yang terlezat di dunia.” Ditanya, “Kenikmatan apakah yang paling lezat di dunia?” Dijawab, “Kecintaan kepada Allah, mengenal-Nya dan mengingat-Nya.”[4]
Mereka adalah orang-orang yang telah merasakan manisnya iman sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيْمَانِ: أَنْ يَكُونَ اللهُ وَرَسُولُهُ أحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سَوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إلاَّ لِلهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ، كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
“Tiga sifat yang jika ada pada diri seseorang, ia akan meraih manisnya iman: (1) Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya, (2) Ia mencintai seseorang, tidaklah mencintainya melainkan karena Allah, (3) Ia membenci untuk kembali kepada kekafiran -setelah Allah menyelamatkannya darinya- sebagaimana ia benci apabila dilempar ke dalam api.” (Hadits Muttafaq ‘Alaihi)
Oleh karena itu pantaskanlah diri kita agar menjadi bagian dari hizbullah; berusahalah untuk selalu beramal shalih sehingga Allah Ta’ala mengikutkan kita ke dalam barisan kelompok yang dicintai Allah Ta’ala.
Di antara contoh sebab agar dicintai Allah adalah membaca Al Qur’an dengan mentadabburi dan memahami maknanya, mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan amalan sunnah setelah amalan wajib, selalu berdzikr kepada Allah, mendahulukan apa yang dicintai Allah apabila dihadapkan dua hal yang dicintainya, mempelajari nama Allah dan sifat-Nya, memperhatikan nikmat Allah baik yang nampak maupun tersembunyi serta memperhatikan pemberian-Nya kepada kita agar membantu kita bersyukur, pasrah kepada Allah dan menampakkan sikap butuh kepada-Nya, qiyamullail di sepertiga malam terakhir dengan disudahi istighfar dan taubat, duduk bersama orang-orang shalih yang cinta karena Allah serta mengambil nasehat dari mereka dan menjauhi sebab yang menghalangi hati dari mengingat Allah.[5]
Kedua, adillatin ‘alal mu’minin (lemah lembut terhadap mu’minin).
أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
“…bersikap lemah lembut terhadap orang yang beriman…”
Makna ungkapan ini adalah: mereka mengasihi orang-orang mu’min, [6] mereka bersikap lemah lembut kepada orang-orang mu’min,[7] mengungkapkan kelemahlembutan, kasih sayang, dan tawadhu kepada orang-orang beriman,[8] mereka berendah hati dengan saudara mu’min mereka.[9]
Kasih sayang, kelemahlembutan, sikap tawadhu dan rendah hati yang mereka tunjukkan tiada lain karena mereka menyadari bahwa sesama mu’min hakikatnya adalah satu tubuh dan satu bangunan. Hal ini seperti diungkapkan dalam hadits yang diriwayatkan dari An-Nu’man bin Basyir radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Perumpamaan orang-orang beriman dalam cinta, kasih sayang, simpati mereka bagaikan satu jasad, jika salah satu anggota tubuhnya ada yang mengeluh, maka bagian yang lain juga mengikutinya dengan rasa tidak bisa tidur dan demam.” (HR. Muslim No. 2586, Ahmad No. 18373)
Disebutkan pula dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْمُؤْمِنُ للْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضاً وَشَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ .
“Seorang mu’min terhadap mu’min yang lain, ibarat sebuah bangunan yang sebagiannya mengokohkan bagian yang lain” (dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjalinkan antara jari-jarinya)” (Muttafaq ‘alaih).
Mereka adalah kaum yang telah memahami dan berupaya menunaikan hak-hak terhadap sesama muslim sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam,
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ، لَا يَظْلِمُهُ، وَلَا يُسْلِمُهُ، مَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيْهِ كَانَ اللَّهُ فِي حَاجَتِهِ، وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبةً فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ بِهَا كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِماً سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ .
“Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim yang lain. Ia tidak menzaliminya, dan tidak menyerahkannya kepada musuhnya. Barangsiapa memberi pertolongan akan hajat saudaranya, maka Allah selalu menolongnya dalam hajatnya. Dan barangsiapa memberi kelapangan kepada seseorang Muslim dari suatu kesusahan, maka Allah akan melapangkan orang itu dari suatu kesusahan dari sekian banyak kesusahan pada hari kiamat. Dan barangsiapa menutupi aib seorang Muslim, maka Allah akan menutupi aib orang itu pada hari kiamat.” (Muttafaq ‘alaih)
Hadits dari Abu Hurairah menyebutkan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
المُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِم لَا يَخُوْنُه وَلَا يَكْذِبُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ، كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ عِرْضُهُ وَمَالُهُ وَدَمُهُ التَّقْوَى هَاهُنَا، بِحَسْبِ امْرِىءٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ .
“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Ia tidak mengkhianati, tidak mendustai, juga tidak enggan memberikan pertolongan padanya bila diperlukan. Setiap muslim terhadap muslim lainnya itu adalah haram kehormatannya, hartanya dan haram darahnya. Ketakwaan itu di sini (dalam hati). Cukuplah seseorang dikatakan buruk jika sampai ia menghina saudaranya sesama muslim.” (Diriwayatkan oleh al-Tirmizi dan beliau berkata bahwa ini adalah Hadits hasan).
Dalam hadits dari al-Bara’ Ibn ‘Azib radhiyallahu ‘anhu disebutkan,
أمَرَنَا رَسُولُ الله صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعِيَادَةٍ المَرِيضِ، وَاتِّبَاعِ الجَنَازَةِ، وَتَشْمِيتِ العَاطِسِ، وَإِبْرَارِ الْمُقْسِمِ وَنَصْرَ الْمَظْلُوْمِ، وَإِجَابَةِ الدَّاعِي، وَإِفْشَاءِ السَّلَامِ .
“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami menjenguk orang sakit, mengikuti jenazah, menjawab orang bersin, melaksanakan sumpah bagi orang yang bersumpah, menolong orang yang dianiaya, memenuhi undangan orang, dan menyebarkan salam.” (Muttafaq ‘alaih)
Ketiga, a’izzatin ‘alal kafirin (keras/tegas terhadap kafirin).
أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ
“…bersikap keras terhadap orang-orang kafir…”
Makna ungkapan ini adalah: mereka tegas terhadap orang-orang kafir[10], membenci orang-orang kafir, memusuhi mereka, meyakini kekafiran mereka dan memerangi mereka apabila terpenuhi syarat-syarat jihad yang syar’i[11], bersikap keras terhadap musuh dan seterunya.[12] Kata a’izzah adalah bentuk jamak dari kata ‘aziz. Artinya, mereka menunjukkan sikap keras, tegas, dan tinggi atas kaum kafir. Demikian As-Syaukani rahimahullah dalam tafsirnya. Sikap ini sebagaimana juga disebutkan dalam QS. Al-Fath, 48: 29,
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.”[13]
Namun perlu dipahami bahwa sikap keras dan tegas ini tidak menghalangi mereka untuk berbuat baik dan adil kepada orang-orang kafir yang tidak memerangi karena agama dan tidak pula mengusir mereka dari negeri mereka.
Allah Ta’ala berfirman,
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah, 60: 8)
Tegasnya, hizbullah memahami bahwa mereka tidak dilarang untuk menghormati, berlaku adil, berbuat baik, dan berbuat kebajikan kepada orang-orang kafir yang tidak memerangi mereka karena keislaman mereka dan tidak mengusir mereka dari rumah-runah mereka.
Mereka tidak dilarang oleh Allah Ta’ala untuk memberikan kepada orang-orang kafir seperti itu apa yang menjadi hak mereka, sebagaimana yang dilakukan Asma’ binti Abu Bakar aṣ-Shiddiq terhadap ibunya (yang musyrik, red.) ketika ia mengunjunginya setelah minta izin dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau memerintahkannya untuk menyambung silaturahim dengannya.
Hizbullah tidak dilarang melakukan silaturahim, menghormati tetangga non muslim, dan menjamu mereka; menetapi janji, menyampaikan amanat, dan memenuhi pembayaran kepada mereka. Sesungguhnya Allah Ta’ala mewajibkan atas mereka berbuat adil kepada orang-orang kafir dalam perkataan, perbuatan dan hukum.
Sesungguhnya Allah Ta’ala hanya melarang orang-orang beriman menjadikan orang-orang kafir sebagai sahabat dekat lahir batin, yakni orang-orang kafir yang tidak bersedia hidup berdampingan secara damai, bahkan memerangi mereka karena agama, tidak memberi ruang kebebasan dan toleransi beragama; mengusir orang-orang beriman dari tempat tinggal mereka karena pembersihan ras, suku, dan agama serta penguasaan teritorial, juga membantu pihak lain untuk mengusir orang-orang beriman karena kerja sama yang sistemik dan terencana.
Barang siapa yang menjadikan mereka sebagai kawan karena keuntungan ekonomi, politik, dan keamanan; maka mereka itulah orang yang zalim terhadap perjuangan Islam dan kaum muslimin.[14]
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَىٰ إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ ۚ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Mumtahanah, 60: 9)
Ayat ini menegaskan bahwa orang-orang mu’min dilarang memberikan loyalitas, dukungan, dan kasih sayang kepada orang-orang kafir yang memerangi disebabkan oleh agama, mengusir orang-orang Islam dari negeri mereka, dan membantu orang-orang kafir untuk mengusir mereka. Orang-orang kafir seperti itu haram dijadikan teman setia, sekutu, penolong, pemimpin, dan diberi bantuan dengan perkataan maupun perbuatan.[15]
*****
Oleh karena itu, dalam hubungan dengan kaum muslimin, orang kafir terbagi dalam empat kategori,
Kafir Dzimmi
Penjelasan dari para fuqaha:
أَهْل الذِّمَّةِ هُمُ الْكُفَّارُ الَّذِينَ أُقِرُّوا فِي دَارِ اللإسْلاَمِ عَلَى كُفْرِهِمْ بِالْتِزَامِ الْجِزْيَةِ وَنُفُوذِ أَحْكَامِ الإِسْلاَمِ فِيهِمْ
“Kafir dzimmi adalah orang-orang kafir yang menegaskan kekafirannya di negeri Islam, dengan kewajiban membayar jizyah dan diterapkan hukum-hukum Islam pada mereka.” (Jawaahir Al Iklil, 1/105, Al Kasysyaaf Al Qinaa’, 1/704)
Kafir Mu’ahad
هُمُ الَّذِينَ صَالَحَهُمْ إِمَامُ الْمُسْلِمِينَ عَلَى إِنْهَاءِ الْحَرْبِ مُدَّةً مَعْلُومَةً لِمَصْلَحَةٍ يَرَاهَا ، وَالْمُعَاهَدُ : مِنَ الْعَهْدِ : وَهُوَ الصُّلْحُ الْمُؤَقَّتُ
“Mereka adalah yang mau berdamai dengan imam kaum muslimin untuk mengakhiri perang selama waktu tertentu yang diketahui melihat adanya maslahat hal itu. Al Mu’ahad diambil dari Al-‘Ahdu, yaitu damai sementara.” (Fathul Qadir, 4/293; Al Fatawa Al Hindiyah, 1/181; Syarhul Kabir, 2/190; Mughni Al Muhtaj, 4/260; Nihayah Al Muhtaj, 7/235)
Istilah lainnya adalah al-hudnah, atau gencatan senjata.
Kafir Musta’man
الْمُسْتَأْمَنُ فِي الأَصْلِ : الطَّالِبُ لِلأَمَانِ ، وَهُوَ الْكَافِرُ يَدْخُل دَارَ الإْسْلاَمِ بِأَمَانٍ ، أَوِ الْمُسْلِمُ إِذَا دَخَل دَارَ الْكُفَّارِ بِأَمَانٍ
“Berasal dari makna ‘orang yang meminta keamanan’ yaitu orang yang masuk ke negeri Islam dengan aman, atau seorang muslim masuk ke negeri bukan Islam dengan aman.” (Durar Al Hukam, 1/262; Ad–Durul Mukhtar, 3/247; Hasyiah Abi Sa’id, 3/440)
Ini mirip dengan istilah ‘suaka’ dimana seseorang meminta perlindungan politik di negeri lain.
Kafir Harbi
أَهْل الْحَرْبِ أَوِ الْحَرْبِيُّونَ : هُمْ غَيْرُ الْمُسْلِمِينَ الَّذِينَ لَمْ يَدْخُلُوا فِي عَقْدِ الذِّمَّةِ ، وَلاَ يَتَمَتَّعُونَ بِأَمَانِ الْمُسْلِمِينَ وَلاَ عَهْدِهِمْ
“Ahlul Harbi atau harbiyun, mereka adalah non muslim yang tidak masuk dalam perjanjian jaminan, juga tidak mendapatkan perjanjian keamanan dan perdamaian dengan kaum muslimin.” (Fathul Qadir, 4/278; Mawahib Al Jalil, 3/346-350; Asy–Syarhush Shaghir, 2/267; Nihayatul Muhtaj, 7/191; Mughnil Muhtaj, 4/209)
Semuanya kategori kafir di atas tidak diboleh diganggu dan diperangi kecuali kafir harbi.[16]
*****
Keempat, al-jihadu wa ‘adamul khaufi minannas (jihad dan tidak takut kepada manusia). Dalam surah Al-Maidah ayat 54 diungkapkan dengan kalimat,
يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ
“…yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela.”
Dari ayat ini, kita ketahui hizbullah merupakan umat yang selalu siap untuk berjihad—merasakan keletihan, kegentingan, kepedihan, kesulitan, berdaya upaya, mengerahkan kemampuan, dan kerja keras—di jalan Allah; memerangi musuh-musuh Allah, berjuang dengan harta dan jiwa untuk menjunjung tinggi kalimat Allah.
Mereka memahami bahwa jihad adalah martabat tertinggi dalam Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
رَأْسُ هَذَا الأَمْرِ الإِسْلاَمُ، وَمَنْ أَسْلَمَ سَلِمَ، وَعَمُودُهُ الصَّلاَةُ، وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ اْلجِهَادُ، لاَ يَنَالُهُ إِلاَّ أَفْضَلُهُمْ
“Pokok urusan ini adalah Islam, siapa yang masuk Islam pasti ia selamat, tiangnya adalah shalat dan puncaknya adalah jihad yang tidak dapat diraih kecuali orang yang paling utama diantara mereka.” (H.R. Ath-Thabrani).
Pada hadits lain disebutkan:
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ ؟ فَقَالَ: إِيمَانٌ بِاللهِ وَرَسُولِهِ. قِيلَ ثُمَّ مَاذَا ؟ قَالَ: الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ. قِيلَ ثُمَّ مَاذَا ؟ قَالَ: حَجٌّ مَبْرُورٌ.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ditanya, “Apakah amal yang paling utama?” Beliau menjawab, “Iman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Beliau ditanya lagi, “Kemudian amal apalagi?” Beliau menjawab, “Al-jihad fi sabilillah.” Beliau ditanya lagi, “Kemudian amal apalagi?” Beliau menjawab, “Haji yang mabrur.” (HR. Bukhari-Muslim).
Pada hadits lain disebutkan, Abu Hurairah bertanya:
مَا يَعْدِلُ الْجِهَادَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ « لاَ تَسْتَطِيعُونَهُ ». قَالَ فَأَعَادُوا عَلَيْهِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا كُلُّ ذَلِكَ يَقُولُ « لاَ تَسْتَطِيعُونَهُ ». وَقَالَ فِى الثَّالِثَةِ « مَثَلُ الْمُجَاهِدِ فِى سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ الصَّائِمِ الْقَائِمِ الْقَانِتِ بِآيَاتِ اللَّهِ لاَ يَفْتُرُ مِنْ صِيَامٍ وَلاَ صَلاَةٍ حَتَّى يَرْجِعَ الْمُجَاهِدُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ تَعَالَى
“Amal apakah yang dapat menyamai jihad fi sabilillah?” Beliau menjawab, “Kamu tidak akan sanggup melaksanakannya.” Pertanyaan itu diulang sampai tiga kali sedangkan jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap sama, “Engau tidak akan sanggup melaksanakannya.” Kemudian beliau saw bersabda, “Perumpamaan orang yang berjihad fi sabilillah itu seperti orang yang puasa dan shalat, serta membaca ayat-ayat Allah dan ia tidak berbuka dari puasanya dan tidak berhenti dari shalatnya sehingga orang yang berjihad fi sabilillah itu kembali.” (HR. Muslim).
Hizbullah bukanlah orang-orang yang puas dengan kehidupan dunia; mereka mengutamakan kenikmatan yang hakiki di akhirat dibandingkan kenikmatan di dunia; mereka takut akan murka Rabb-nya.
Allah Ta’ala berfirman:
يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مَا لَكُمۡ إِذَا قِيلَ لَكُمُ ٱنفِرُواْ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ ٱثَّاقَلۡتُمۡ إِلَى ٱلۡأَرۡضِۚ أَرَضِيتُم بِٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا مِنَ ٱلۡأَخِرَةِۚ فَمَا مَتَـٰعُ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا فِى ٱلۡأَخِرَةِ إِلَّا قَلِيلٌ إِلَّا تَنفِرُواْ يُعَذِّبۡڪُمۡ عَذَابًا أَلِيمً۬ا وَيَسۡتَبۡدِلۡ قَوۡمًا غَيۡرَڪُمۡ وَلَا تَضُرُّوهُ شَيۡـًٔ۬اۗ وَٱللَّهُ عَلَىٰ ڪُلِّ شَىۡءٍ۬ قَدِيرٌ
“Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kamu: ‘Berangkatlah [untuk berperang] pada jalan Allah’ kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal keni’matan hidup di dunia ini [dibandingkan dengan kehidupan] di akhirat hanyalah sedikit. Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang pedih dan digantinya [kamu] dengan kaum yang lain, dan kamu tidak akan dapat memberi kemudharatan kepada-Nya sedikitpun. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Q.S. At-Taubah, 9: 38-39).
Mereka tidak ingin hidupnya ditimpa kehinaan sebagai akibat meninggalkan jihad. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ
“Bila kamu berjual-beli dengan ‘inah (dengan cara riba’ dan penipuan), mengikuti ekor-ekor lembu, menyukai bercocok-tanam, dan kamu meninggalkan jihad, Allah akan menimpakan kehinaan ke atas kamu yang tidak akan dicabut sehingga kamu kembali kepada agamamu.” (H.R. Abu Dawud).
Mereka tidak ingin ditimpa kefakiran. Terutama kefakiran jiwa. Waspadalah, ketika manusia telah berpaling dari jihad di jalan Allah, dan berganti dengan menghadapkan perhatiannya secara penuh kepada berbagai urusan dunia. Maka, Allah timpakan atas mereka kefakiran hati, terlalu tamak dan sangat bakhil, pelit dan kikir, untuk mengeluarkan hartanya di jalan Allah.
As-Sya’bi rahimahullah berkata,
لَمَّا بويع أَبُوْ بَكْرٍ الصِّدِّيْق صَعَدَ الْمِنْبَرَ فَذَكَرَ الْحَدِيْثَ وَقَالَ فِيْهِ: لاَ يَدَعُ قَوْمٌ الْجِهَادَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ إِلاَّ ضَرَبَهُمُ الله بِالْفَقْرِ
“Ketika Abu Bakar as-Shiddiq naik mimbar, beliau menyebutkan hadits dan di dalam hadits itu beliau mengatakan, ‘Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad di jalan Allah, melainkan Allah timpakan kefakiran terhadap mereka.’” (HR Ibnu ‘Asakir).
Mereka pun tidak ingin mati pada satu cabang kemunafikan sebagaimana disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ مَاتَ وَلَمْ يَغْزُ وَلَمْ يُحَدِّثْ بِهِ نَفْسَهُ مَاتَ عَلَى شُعْبَةٍ مِنْ نِفَاقٍ
“Barangsiapa (seorang Muslim) yang mati, sedangkan ia belum pernah berperang dan tidak pernah tergerak hatinya untuk berperang, maka ia mati pada satu cabang kemunafikan.” (H.R. Muslim).
Mereka akan selalu berupaya terlibat dengan jihad sekecil apa pun peran yang dapat diambilnya. Karena mereka mengetahui orang yang tidak berperang, atau tidak membantu perlengkapan orang yang berperang, atau tidak menjaga keluarga orang yang pergi berperang dengan baik, akan ditimpa kegoncangan sebelum hari kiamat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ لَمْ يَغْزُ أَوْ يُجَهِّزْ غَازِيًا أَوْ يَخْلُفْ غَازِيًا فِى أَهْلِهِ بِخَيْرٍ أَصَابَهُ اللَّهُ بِقَارِعَةٍ
“Siapa yang tidak berperang dan tidak membantu persiapan orang yang berperang, atau tidak menjaga keluarga orang yang berperang dengan baik, niscaya Allah timpakan kepadanya kegoncangan.” (H.R. Abu Dawud).[17]
*****
Hizbullah juga tidak takut kepada siapapun dijalan Allah; tidak takut celaan dan cemoohan yang dilontarkan oleh para pencela; tidak takut pada cibiran saat melakukan tugas agama; mereka teguh dan tak menghiraukan apa yang dilakukan musuh-musuh Islam dan hizbus syaithan, seperti hinaan dan anggapan buruk karena kedengkian dan kemurkaan mereka terhadap al-haq dan orang-orang yang berada didalamnya. Mereka bahkan semakin solid, karena mereka lebih mendahulukan ridha Allah daripada kerelaan makhluk.[18]
Karakter dan sikap mental tidak takut celaan dan cemoohan di jalan Allah adalah sesuatu yang sangat penting karena hal itu menunjukkan teguhnya komitmen dan kokohnya keimanan. Oleh karena itu pantaslah jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikannya sebagai salah satu point janji setia dalam bai’at Aqabah, sebagaimana disebutkan hadits berikut ini.
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى بْنِ أَيُّوبَ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِدْرِيسَ عَنْ ابْنِ إِسْحَقَ وَيَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الْوَلِيدِ بْنِ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ بَايَعْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي الْعُسْرِ وَالْيُسْرِ وَالْمَنْشَطِ وَالْمَكْرَهِ وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ وَعَلَى أَنْ نَقُولَ بِالْحَقِّ حَيْثُ كُنَّا
Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Yahya bin Ayyub, ia berkata: “Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Idris dari Ibnu Ishaq dan Yahya bin Sa’id dari ‘Ubadah bin Al Walid bin Ash Shamit dari ayahya dari kakeknya, ia berkata: ‘Kami membaiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mendengar dan taat dalam keadaan sulit dan mudah, kami senangi maupun kami benci, dan tidak merebut kekuasaan dari pemiliknya, dan melakukan kebenaran dimanapun kami berada, tidak takut kepada celaan orang yang mencela.’” (HR. An-Nasa’i)
*****
Kelima, al-wala-u (kecintaan, kesetiaan, loyalitas, pembelaan) kepada Allah, rasul, dan mu’minin.
Karakter ini diungkapkam dalam surah Al-Mujadilah ayat 22 yang telah dikemukakan sebelumnya,
لاَ تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا ءَابَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ اَلاَ إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung.” (QS Al-Mujadilah, 58: 22)[19]
Orang-orang yang beriman dengan sebenarnya tidak mungkin saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya. Mereka tidak mungkin mencintai dan menjadikan musuh Allah dan Rasul-Nya sebagai sekutu. Sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka sendiri. Sebab keimanan mereka melarang mereka untuk mencintai orang yang menentang Allah dan rasulullah; dan menjaga keimanan lebih utama daripada menjaga hubungan dengan bapak, anak, saudara atau kerabat.[20]
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَوْثَقُ عُرَى اْلإِيْمَانِ:الْمُوَالاَةُ فِي اللهِ، وَالْمُعَادَاةُ فِي اللهِ، وَالْحُبُّ فِي اللهِ، وَالبُغْضُ فِي اللهِ
“Ikatan iman yang paling kuat adalah loyalitas karena Allah dan permusuhan karena Allah, mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.” (HR. Ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir [no.11537], lihat Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah [IV/306, no. 1728]).
Allah Ta’ala telah meneguhkan keimanan dalam hati mereka, dan Dia menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya untuk melawan musuh mereka di dunia. Di ayat ini, Allah Ta’ala menyebutkan pertolongan dari-Nya dengan istilah ‘ruh’ (وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ), karena dengan pertolongan itu urusan mereka dapat berlanjut.
Allah Ta’ala menjanjikan kepada mereka akan dimasukan ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya; selama-lamanya. Hal ini tidak lain karena Allah telah ridha terhadap mereka; menerima amalan mereka dan memberi mereka rahmat-Nya di dunia maupun di akhirat. Merekapun telah merasa puas terhadap limpahan rahmat-Nya; mereka bergembira dengan apa yang diberikan Allah kepada mereka baik itu di dunia maupun di akirat.
Mereka itulah hizbullah, yakni tentara-Nya yang mentaati perintah-Nya, memerangi musuh-musuh-Nya, dan menolong para kekasih-Nya. Mereka itulah orang-orang yang akan meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.
(Bersambung)
Catatan Kaki:
[1] Lihat: Al-Qur’anul Karim wa Tafsiruhu, Depag RI, jilid X, hal. 71
[2] Tafsir Al-Wajiz, Syaikh Wahbah Az-Zuhaili.
[3] Tafsir Al-Mukhtashar
[4] As-Syariah Edisi 079, Jalan Meraih Manisnya Iman, Abu Ismail Muhammad Rijal, Lc.
[5] Hidayatul Insan bitafsiril Qur’an, Marwan Hadidi bin Musa
[6] Tafsir Al-Muyassar
[7] Tafsir Al-Mukhtashar
[8] Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir, Syaikh Muhammad Sulaiman Al-Asyqar.
[9] Tafsir Al-Wajiz, Syaikh Wahbah Az-Zuhaili.
[10] Tafsir Al-Muyassar.
[11] Sifat-sifat Orang yang Beriman dalam Al-Maidah ayat 54, Sofyan Chalid Ruray.
[12] Lihat: Tafsir Ibnu Katsir
[13] Tafsir QS. Al-Maidah, 5: 54, Rokhmat S. Labib, M.E.I.
[14] Lihat: Tafsir Al-Muyassar (Kementerian Agama Saudi Arabia), Tafsir Al-Mukhtashar (Markaz Tafsir), Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir (Syaikh Muhammad Sulaiaman Al-Asyqar), Tafsir Al-Wajiz (Syaikh Wahbah Az-Zuhaili), An-Nafahatul Makkiyah (Syaikh Muhammad bin Shalih Asy-Syawi), Tafsir As-Sa’di (Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di), Hidayatul Insan bi Tafsiril Qur’an (Marwan Hadidi bin Musa), dan Al-Qur’anul Karim wa Tafsiruhu (Depag RI) yang dimuat di tafsirweb.com.
[15] Ibid.
[16] Status dan Kedudukan kaum Kuffar (non muslim) di Negeri Muslim, Farid Nu’man Hasan.
[17] Hadits-hadits jihad yang penulis cantumkan disini dikutip dari artikel berjudul: Keutamaan Jihad di Jalan Allah, ditulis oleh Ali Farkhan Tsani, minanews.net
[18] Lihat: Tafsir Al-Muyassar (Kementerian Agama Saudi Arabia), Tafsir Al-Mukhtashar (Markaz Tafsir), Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir (Syaikh Muhammad Sulaiaman Al-Asyqar), Tafsir Al-Wajiz (Syaikh Wahbah Az-Zuhaili), An-Nafahatul Makkiyah (Syaikh Muhammad bin Shalih Asy-Syawi), Tafsir As-Sa’di (Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di), Hidayatul Insan bi Tafsiril Qur’an (Marwan Hadidi bin Musa), dan Al-Qur’anul Karim wa Tafsiruhu (Depag RI) yang dimuat di tafsirweb.com.
[19] Ibnu Abi Hatim, Thabrani, dan Hakim meriwayatkan: bahwa ayah Abu Ubaidah pada perang Badar selalu mengincarnya, namun Abu Ubaidah selalu menghindarinya; dan ketika ayahnya terus menerus melakukan itu, Abu Ubaidah kemudian mendatanginya dan membunuhnya. Maka turunlah ayat ini.
[20] Dikutip dari Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir, Syaikh Muhammad Sulaiaman Al-Asyqar, hal. 545, Darun Nafais, Yordania.