Banyak dari para da’i yang melihat dakwah hanyalah urusan penyampaian dalil, sehingga terbatas dalam urusan tabligh yang disampaikan di mana saja dan kapan saja, seakan tak mengenal tempat dan waktu.
Secara zahir, pemahaman akan dakwah seperti ini sah-sah saja, namun pada hakikatnya penilaian tersebut masihlah teramat sempit, karena tidak dilakukan dengan jalan bashirah, sebagaimana yang telah difirmankan oleh Allah Swt. dalam QS. Yusuf ayat 108:
قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي ۖ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada Termasuk orang-orang yang musyrik”.
Imam Ar-Razi dalam tafsirnya menjelaskan, bahwa berdakwah kepada Allah Ta’ala merupakan amalan yang sangat mulia, dan hal itu harus dilakukan dengan bashirah atau dengan petunjuk yang jelas dan keyakinan yang mantap.
Ada atau tidak adanya bashirah dalam dakwah seorang da’i, nampak dari sejauh mana ia telah berinteraksi langsung dengan mad’u-nya. Diantaranya dengan mengetahui kondisi mad’u dalam urusan sosialnya, ekonominya, fikrah serta kondisi psikisnya. Karena sudah tidak diragukan lagi bahwa berinteraksi dengan seseorang yang asing merupakan hal yang sangat sulit. Padahal seorang da’i tidaklah boleh merasa atau dirasa asing oleh obyek dakwahnya, maka ia dituntung mengenal mad’u-nya dengan utuh apabila menginginkan dakwahnya itu berakhir sukses.
Ta’aruf dalam Dakwah
Dari sini kita bisa simpulkan, bahwa ta’aruf (berkenalan) dengan mad’u menjadi bagian terpenting dalam tahapan dakwah. Hal pertama yang harus kita kenal dari mad’u adalah namanya, termasuk gelar, entah itu akademis atau pun gelar penghormatan yang disematkan oleh masyarakat kepada dirinya. Disamping itu kita harus pula mengenal nama panggilan akrabnya, memanggilnya dengan nama yang ia sukai, dan jangan sekali-kali memanggil dengan panggilan yang dapat membuatnya kesal.
Diantara indikasi keberhasilan seorang da’i adalah ia mampu menghafal nama-nama para mad’u-nya tanpa terkecuali. Kalau pun ia belum bisa menghafal nama-nama itu secara langsung, minimal ia memiliki pegangan biodata sang mad’u. Karena banyak dari pada mad’u yang menilai sang da’i lupa akan namanya, dan ia pasti akan merasa takjub kalau ternyata dugaannya itu salah dan ternyata sang da’i masih mengingat namanya dengan baik.
Tahap berikutnya adalah mengenal karakter dari setiap mad’u. Mengenal nama mad’u saja tidak lah cukup bagi seorang da’i, ia juga harus mengenal kepribadian dari mad’u-nya. Hal ini pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika terjadi penaklukan kota Makkah. Abu Sofyan, tokoh Quraisy kala itu merupakan sosok yang kepribadiannya dikenal secara utuh oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau paham bahwa Abu Sofyan memiliki karakter ingin disanjung. Kemudian Rasul berkata kala itu, “Barang siapa masuk rumah Abu Sofyan, maka ia akan aman.”
Dengan mengenal karakter mad’u, seorang da’i memiliki peluang lebih untuk memiliki kedekatan dengan mad’u, membuatnya lebih nyaman dan tertarik dengan dakwah yang dilakukan. Hal ini jugalah yang dimaksud berdakwah dengan bashirah, berdakwah dengan hati, tidak mengenal mad’u secara fisik saja, tapi juga mengenal kepribadiannya, kejiwaanya dan hal-hal yang sifatnya lebih kepada pendekatan hati.
Sosok da’i yang sukses diantaranya bisa diidentifikasikan dari sejauh mana pemahaman dia terhadap kondisi masyarakat yang ada di sekitarnya, dan tidak pernah absen dalam memberikan perhatian dalam permasalahan yang tengah terjadi di masyarakat, baik dalam hal perkembangan pemikiran, sosial dan kemasyarakatan. Da’i juga harus mengetahui kapan para mad’u-nya berada dalam kondisi sibuk dan kapan ia berada dalam keadaan senggang. Dan hal-hal seperti ini hanya bisa diketahui ketika da’i banyak berinteraksi dengan mad’u-nya terutama dalam kegiatan-kegiatan sosial. Upayakanlah untuk memanfaatkan setiap kesempatan yang ada, dimana dimungkinkan pada saat itu terdapat peluang mengenal mad’u secara lebih utuh, tentunya dilakukan dengan penuh kelihaian, sehingga tidak menimbulkan kecurigaan di benak mad’u.
Disamping mengetahui hal-hal yang sifatnya prinsip dari mad’u, da’i juga harus tahu kondisi ekonomi dari mad’u, apakah kondisi keuangannya baik-baik saja atau dalam kondisi serba kekurangan. Membantu mad’u yang sedang terlilit masalah ekonomi merupakan hal utama yang harus mendapatkan perhatian lebih dari seorang da’i. Apabila mad’u dalam keadaan sakit, maka kewajiban utama bagi da’i untuk memberikannya arahan berobat secara Islami dan merekomendasikan dokter muslim yang tepat.
Ketika mad’u sedang ada masalah dengan keluarga, tetangga ataupun pasangan hidupnya, maka kewajiban bagi da’i untuk mencarikan jalan tengah agar bisa menyelesaikan segala permasalahan ini dengan baik. Kendati ada mad’u yang selama bermuamalah kerap menyinggung perasaan sang da’i, namun ketika ia didatangi untuk dimintai nasehat, baik urusan dunia ataupun akhirat, maka sudah menjadi kewajiban dari da’I tersebut untuk memberikan nasehat kepadanya, tanpa sekali-kali mengungkit permasalahan yang pernah terjadi di waktu sebelum-sebelumnya. Kalaupun sang da’i tak dapat memberikan solusi, maka bukan menjadi suatu hal yang aib apabila ia merekomendasikan rekannya yang lain yang ia nilai dapat mencarikan solusi terbaik terhadap permasalahan yang menimpa mad’u-nya.
Seorang da’i juga dituntut untuk bisa hadir dalam acara-acara pertemuan baik pertemuan seperti acara malam tasyakuran, duka cita atau pun hari raya Islam, karena kesempatan-kesempatan seperti itu menjadi lahan untuk berdakwah, peluang untuk berinteraksi dan berkenalan dengan banyak orang terbuka lebar, memperpanjang silaturahim dan bisa mengenal obyek dakwahnya secara dekat dari hati ke hati.
Sebagai contoh kecil saja, berapa banyak pertanyaan sederhana yang diberikan kepada orang tua tentang kondisi anaknya yang mungkin sedang sakit, yang pada akhirnya dapat merenyuhkan hati orang tua tersebut dan secara otomatis sedia mendengarkan saran-saran yang kita berikan kepadanya. Cara-cara seperti inilah yang harusnya dilakukan oleh setiap da’i, menyentuh hati para mad’u nya, sehingga yang semula anti pati, jadi berbaik hati, yang semula keras, kemudian menjadi lembut dan bahkan menjadi pejuang di garda terdepan dalam barisan dakwah ini.
Wallahu A’lam Bishawab.
Disarikan dari kita “Qawaidu Ad-Da’wah ila Allah” karya Dr. Hamam Abdurrahim Sa’id, cetakan Darul Wafa’, Manshurah, Mesir.