Fase Al-Inhilal
Ghazwul fikri yang dilancarkan oleh musuh-musuh Islam dilakukan secara bertahap melalui tiga fase: al-inhilal (masa-masa degradasi kekuatan kaum muslimin), al-ihtilal, yaitu fase pendudukan, perampasan, atau penjajahan terhadap umat Islam, dan fase ma ba’dal ihtilal, yaitu masa setelah pendudukan, perampasan, atau penjajahan terhadap umat Islam.
Dalam tuliasan bagian pertama ini marilah kita ulas ghazwul fikri pada fase al-inhilal.
Pada fase ini, mereka melakukan aktivitas al-istisyraq (orientalisme), at-tanshir (kristenisasi), dan taqthi’u aushali daulatil khilafah (memutuskan hubungan umat Islam dengan daulah khilafah).
Al-istisyraq (orientalisme)
Yang dimaksud dengan orientalisme adalah sebuah studi yang dilakukan oleh orang-orang Barat terhadap negara dan bangsa Timur (khususnya Islam-pent.) mengenai budaya, bahasa, sejarah, agama, kondisi sosial, ekonomi, politik, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan bangsa tersebut.[1]
Barat membangun institut dan kelompok studi untuk kaum orientalis yang memberikan perhatian khusus dalam bidang penerbitan manuskrip-manuskrip Islam. Selain itu, mereka juga menerbitkan karya tulis berupa buku-buku yang berhubungan dengan dunia Islam dan keislaman. Mereka memasukkan kritik-kritik terhadap Islam yang bersifat subyektif, jauh dari obyektifitas.
Pada saat dunia Islam melemah pada akhir abad 19 dan awal abad 20, para orientalis menggunakan kesempatan tersebut untuk mentransfer manuskrip-manuskrip Islam dan naskah-naskah dari dunia Arab khususnya dan dunia Islam pada umumnya ke negara-negara Eropa, dengan cara membeli dari tangan orang Islam yang bodoh ataupun mencurinya dari perpustakaan-perpustakaan umum. Sampai abad 19 saja, mereka telah mentransfer sekitar 250.000 jilid manuskrip.[2]
Pada tahun 1873 M, untuk pertama kalinya kaum orientalisme mengadakan Konferensi Internasional I di Paris.
Kaum Orientalisme sekurang-kurangnya memiliki empat motivasi:[3]
- Motivasi imperialisme, yaitu menjadikan orientalisme sebagai langkah awal dari sebuah rencana invasi militer atau penguasaan negara lain.
- Motivasi agama, yaitu menebarkan agama dengan cara melemahkan keyakinan orang lain terhadap agamanya. Mereka menebarkan keraguan terhadap kebenaran risalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka menuduh, “Kitab Al-Qur’an adalah karangan Muhammad,” atau “Islam bukanlah agama langit.”
- Motivasi ilmiah, yaitu ada diantara mereka yang mempelajari Islam dengan motivasi ilmiah semata. Bahkan diantara mereka ada yang masuk Islam setelah menemukan kebenaran dalam studi yang mereka lakukan, misalnya, seorang orientalis Prancis bernama Deney. Setelah masuk Islam namanya diganti menjadi Nashiruddin Deney.[4]
- Motivasi ekonomi, yaitu melakukan studi dengan tujuan untuk menguasai pasar dunia Islam, menguasai lembaga ekonomi, mengeksploitasi sumber daya alam, menjadikan negara-negara kaum muslimin sebagai konsumen produk-produk negara Eropa.
At-tanshir (kristenisasi)
Yang dimaksud dengan kristenisasi adalah semua bentuk usaha orang-orang kristen dalam mengajarkan agama Kristen dan menyebarkannya ke berbagai negara.[5] Namun, kenyataannya kristenisasi ini hanyalah menjadi tujuan sekunder. Tujuan utama mereka adalah imperialisme.
Pencetus gerakan kristenisasi pasca kekalahan pasukan Kristen dalam perang salib adalah Ramon Llull. Kegiatan ini bertambah besar pada abad ke – 18 dan abad ke -19, dan mencapai klimaksnya pada abad ke-20 yaitu setelah berdirinya berbagai organisasi misionaris di negeri-negeri kaum muslimin. Misi zending Kristen ini gencar disebarluaskan pada masa imperialisme Barat terhadap dunia Islam.
Kaum misionaris selalu mengadakan konferensi internasional untuk membahas segala macam kendala yang mereka hadapi selama menjalankan misi kristenisasi. Di antara konferensi yang telah mereka adakan antara lain :
- Konferensi di Cairo ( Mesir ) pada tahun 1906
- Konferensi di Edinburgh ( Skotlandia ) pada tahun 1910
- Konferensi di Lucknow pada tahun 1911
- Konferensi di Beirut pada tahun 1911
- Konferensi di Yurusalem pada tahun 1924, 1925 dan 1928
- Konferensi di Tunis ( Tunisia ) pada tahun 1931
Konferensi tersebut dilaksanakan untuk mempelajari kondisi, karakteristik, dan jumlah kaum muslimin diseluruh dunia. Selain itu, untuk mengetahui kondisi dunia Islam dari segi politik, ekonomi, sosial, maupun budayanya. Konferensi yang mereka adakan selalu dihadiri oleh pakar-pakar di bidang politik, sosial, budaya dan tokoh- tokoh yang berkompeten dalam mendukung kegiatan kristenisasi dan imperialisme.[6]
Taqthi’u Aushali Daulatil Khilafah (memutuskan hubungan umat Islam dengan Daulah Khilafah)
Salah satu kekuatan umat Islam yang tidak dapat dianggap enteng adalah kekuatan wihdah (persatuan) dan ukhuwah (persaudaraan), yaitu kesadaran umat Islam bahwa mereka—dimana pun berada—hakikatnya adalah satu kesatuan yang diikat oleh tali persaudaraan berdasarkan kesamaan aqidah. Simbol persatuan umat Islam tersebut adalah lembaga Daulah Khilafah.
Maka, guna melemahkan kekuatan umat Islam, Barat kemudian mengarahkan makarnya ke arah Daulah Khilafah Utsmaniyah yang saat itu masih tegak berdiri. Barat berupaya memutuskan hubungan umat Islam dengan Daulah Khilafah ini, dengan cara menebarkan ide nasionalisme di wilayah negeri-negeri muslim. Di Beirut muncul Butrus al-Bustani, Mikhail Mishaqa dan Nasif al-Yaziji mendirikan The Syrian Association for The Sciences and Arts pada tahun 1847 atas inisiatif The American Mission. Pada tahun 1850 didirikan Eastern Association, lalu terbentuk pula The Syrian Scientific Association pada tahun 1852 dan The Secret Association pada tahun 1875.
The Secret Association memposisikan diri sebagai partai politik pertama yang fokus pada nasionalisme Arab. Parpol ini membangkitkan permusuhan kepada Daulah Utsmaniyyah dan menyebutnya sebagai Negara Turki. Mereka memperjuangkan pemisahan agama dari negara, menegakkan nasionalisme Arab sebagai dasar persatuan dan mengubah loyalitas pada aqidah Islam menjadi setia pada nasionalisme Arab. Sesuai namanya, parpol ini menerbitkan selebaran-selebaran yang berisi hasutan bahwa Turki telah merampas Khilafah dari bangsa Arab.
Di Istanbul, muncul Gerakan Turki Muda (Young Turk Movement) dibentuk oleh Ahmad Ridha Beik yang memiliki gagasan untuk mengimpor budaya Barat ke Turki. Gerakan ini sungguh terpengaruh Revolusi Prancis dengan semboyannya: liberte, egalite, dan fraternite. Timbulnya kaum terpelajar yang berpaham modern memudahkan proses adopsi liberalisme, nasionalisme dan demokrasi. Tokoh-tokoh mereka seperti Ziya Gokalp tampil sebagai sosok Turki Muda pembawa semangat nasionalisme yang dominan dan fanatik. Nasionalisme yang disebut Gokalp sebagai Turkisme Kultural tidak menuntut keberadaan faktor religius. Ia merekomendasikan Syaikhul Islam sebagai representasi penerapan hukum Islam agar dihapuskan. Pemikiran Gokalp menegaskan pemisahan agama dengan politik. Gerakan Turki Muda membentuk Committee for Union and Progress/CUP (Komite Persatuan dan Kemajuan) sebagai alat untuk memperoleh kekuasaan secara terbuka. CUP menjadi aktor penting dalam Daulah Utsmaniyah sepanjang tahun 1908-1918, termasuk memasok tiga presiden pertama Republik Turki sekular.
Singkat kata, CUP berhasil melancarkan kudeta dan merampas kekuasaan yang diabadikan sejarah sebagai Revolusi Turki Muda (Young Turk Revolution) pada tahun 1908. Pada musim gugur tahun yang sama, CUP mengadakan konferensi di Salanik, Turki, sebagai sarana unjuk kekuatan. Pada saat itu Ahmad Beik menyombongkan kekuatan gerakannya dan memastikan dukungan Eropa kepada mereka. Selanjutnya saat Turki meresmikan pembentukan parlemen, komite ini memperoleh kekuasaan lewat Partai Turki Muda.
Kekuasaan itu mereka manfaatkan sebaik-baiknya untuk mengendalikan angkatan bersenjata. Komite sadar betul bila berhasil mengendalikan angkatan bersenjata, mereka akan mampu mengendalikan seluruh kekuasaan. [7]
Gagasan nasionalisme kemudian menyebar ke seluruh wilayah Daulah Utsmaniyyah hingga bangsa Albania, Sirkasia, Kurdi, Romawi dan Armenia sibuk mendirikan komite demi memerdekakan diri dari kesatuan Khilafah.
Pada tanggal 18 Juni 1913 dengan bantuan Prancis, pemuda-pemuda Arab mengadakan konferensi di Paris. Konferensi itu menjadi deklarasi pertama kaum nasionalis Arab yang bersekutu dengan Inggris dan Prancis guna melawan Daulah Utsmaniyah.
Pada 16 Mei 1916, terjadilah persetujuan rahasia “Sykes-Picot” antara Perancis dan Inggris yang menyepakati pembagian wilayah-wilayah kekuasaan Ustmani yang berhasil mereka rebut. Maka munculah negara-negara kecil bernama: Libanon, Suriah, Irak, Palestina, Yordania, Hijaz dan Yaman. Persetujuan ini dirahasiakan karena bertentangan dengan janji-janji yang diberikan kepada Amir Makkah, Syarif Husein Bin Ali. Kepadanya pemerintah Inggris menjanjikan kemerdekaan bagi negara-negara Arab dan berdirinya Khilafah Islamiyah Arabiyah yang dipimpin tokoh Mekkah atau Madinah, jika mendukung Inggris melawan Kekhalifahan Utsmaniyah. Wilayah kekuasaan yang dijanjikan meliputi Hijaz (Makkah, Madinah, Thaif), Jazirah Arab, Irak, dan Syam.
Pada 10 Juni 1916 Syarif Husein memproklamasikan pemberontakan Arab terhadap kekuasaan Khalifah Turki Utsmani. Ia mengepung kota Madinah dan merebutnya dari kekuasaan Daulah Utsmaniyah. Lalu putranya, Faishal bin Syarif Husain memimpin peperangan pasukan Arab melawan pasukan Turki Utsmani di perbatasan wilayah Palestina.
Pasukan berkuda Arab dipimpin oleh Pangeran Faishal bin Syarif Husain dan agen intelijen Inggris, Lawrence of Arabia, menyerbu pasukan Turki Utsmani di wilayah Jabal Druz, Baklabak, dan Ma’an. Sementara itu, Musthafa Kamal Pasha, Panglima Pasukan Divisi VII Turki Utsmani, telah menjalin kesepakatan rahasia dengan Inggris. Musthafa Kamal Pasha menarik mundur pasukannya tanpa menembakkan sebutir peluru pun terhadap pasukan musuh. Atas pengkhianatannya itu, Inggris menjanjikan Musthafa Kamal Pasha sebagai calon penguasa Turki Utsmani.
Pengkhianatan Musthafa Kamal Pasha membuat pasukan Turki Utsmani yang kelaparan dan kehabisan amunisi di kota Gaza dan Ma’an kewalahan menghadapi serbuan pasukan Arab. Pasukan Turki Utsmani terpaksa ditarik mundur, sehingga kota Gaza dan Ma’an jatuh ke tangan pasukan Arab.
Kemenangan pasukan Arab itu merupakan sebuah kesuksesan besar bagi pasukan Inggris dan Sekutu. Sebab, Palestina jatuh ke tangan pasukan Inggris dan Sekutu tanpa tewasnya seorang pun tentara mereka dalam perang melawan pasukan Turki Utsmani. Dengan mudah dan tanpa perjuangan apapun, Jendral Allenby membawa pasukan Inggris memasuki kota Al-Quds pada tanggal 11 Desember 1917 M (1336 H). Dengan congkak, ia mengeluarkan pernyataannya yang tercatat dalam sejarah “Sekarang telah berakhir perang Salib!”.
Syarif Husain dan bangsa Arab baru mengetahui hal itu setelah isi Perjanjian Sykes-Picot dibocorkan dan dipublikasikan oleh pejuang revolusi komunis Bolshevick, Oktober 1917.
Menteri Penjajahan Inggris, Churchil, pada tahun 1921 M menggelar Konferensi Kairo. Melalui konferensi tersebut, Inggris mendirikan sejumlah negara dan menentukan raja-rajanya:
- Khilafah Islamiyah atau Khilafah Arab berkedudukan di Makkah, dengan khalifahnya Syarif Husain.
- Kerajaan Mesir, dengan rajanya Fuad.
- Kerajaan Irak, dengan rajanya Faishal bin Syarif Husain.
Namun setelah itu, Inggris secara diam-diam juga menjalin kesepakatan dengan penguasa Riyadh dan pemimpin politik gerakan dakwah tauhid Nejed, Pangeran Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Saud. Dengan dukungan Inggris, pasukan Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Saud mengalahkan pasukan Syarif Husain pada perang tahun 1925. Syarif Husain akhirnya lengser dan menyerahkan tahta kerajaannya kepada putranya, Syarif Ali bin Syarif Husain.
Namun, kekalahan perang telah mengakibatkan kota Makkah jatuh ke tangan Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Saud. Hal itu berarti Khilafah Arabiyah Makkah tumbang. Syarif Ali dan keluarganya diberi jaminan untuk bergabung dengan saudaranya, Syarif Faishal bin Syarif Husain di Irak. Sementara Syarif Husain sendiri dibuang ke Cyprus sebagai tahanan politik dan meninggal di pembuangan pada tahun 1931. Makkah, Madinah, Jeddah, dan Riyadh disatukan oleh Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Saud, lalu ia mendirikan Kerajaan Alu Sa’ud.[8]
Bersambung ke materi selanjutnya:
Catatan Kaki:
[1] Dikutip oleh Nabil bin Abdurrahman Al-Muhaisy dalam Al-Ghazwul Fikri lil ‘Alamil Islami dari Ajnihatul Makrits Tsalatsah, hal. 83 karya Abdurrahman Al-Maidani.
[2] Dikutip oleh Nabil bin Abdurrahman Al-Muhaisy dalam Al-Ghazwul Fikri lil ‘Alamil Islami dari Ajnihatul Makrits Tsalatsah, hal. 90, karya Abdurrahman Al-Maidani.
[3] Lihat: Al-Ghazwul Fikri lil ‘Alamil Islami, terjemahan Abu Fahmi, hal. 10
[4] Dikutip oleh Nabil bin Abdurrahman Al-Muhaisy dalam Al-Ghazwul Fikri lil ‘Alamil Islami dari Al-Musytasyriqun Ma Lahum wa Ma ‘Alaihim, hal. 19, karya Musthafa As-Siba’i.
[5] Dikutip oleh Nabil bin Abdurrahman Al-Muhaisy dalam Al-Ghazwul Fikri lil ‘Alamil Islami dari Al-Ghazwul Fikri wa Tiyaratul Mu’adiyah lil Islam, hal. 137, karya Dr. Ali Abdul Halim Mahmud.
[6] Dikutip oleh Nabil bin Abdurrahman Al-Muhaisy dalam Al-Ghazwul Fikri lil ‘Alamil Islami dari Al-Islam fi Wajhi Taghrib Mukhaththatuth Tabsyir wal Istisyraq, hal. 66, 67, karya Anwar Al-Jundi.
[7] Dikutip dari: Khilafah Runtuh Karena Nasionalisme, Pratma Julia Sunjandari (Lajanah Siyasiyah Muslimah HTI).
[8] Lihat: http://www.kiblat.net/2015/11/14/beginilah-cara-penjajah-salibis-barat-menelikung-revolusi-umat-bag-1/