Biografi Singkat
Madzhab Hanafi termasuk salah satu mazhab fiqih yang paling tua, paling luas penyebarannya dan paling banyak pengikutnya, di mana hari ini jumlah pengikutnya mencapai lebih dari sepertiga dari kaum muslimin di seluruh dunia.[1]
Nasab dan Asal Usul Imam Madzhab
Beliau adalah Abu Hanifah, An-Nu’man bin Tsabit bin Zutho bin Mahin At-Timi Al-Kufi. Kakeknya, Zutho, dahulunya adalah seorang budak milik Bani Timillah bin Tsa’labah kemudian masuk Islam lalu dimerdekakan. Dikatakan pula nasabnya adalah An-Nu’man bin Tsabit bin Nu’man bin Al-Murzaban, dari keturunan bangsa Persia yang merdeka.[2]
Mengenai dua pendapat ini, Ibnu Hajar Al-Haitami mengatakan bahwa kemungkinan Zutho adalah An-Nu’man, dan An-Nu’man adalah Zutho, berdasarkan prediksi bahwa ia memiliki dua nama, atau memiliki nama dan julukan, atau Zutho artinya adalah An-Nu’man, dan Al-Marzuban adalah Mahin.
Terdapat perbedaan pendapat mengenai asal-usul Abu Hanifah. Ada yang mengatakan berasal dari Kabul, Babil, Anbar, Tirmidz, dan Nasa. Dari berbagai pendapat dapat disimpulkan bahwa kakeknya berasal dari Kabul, kemudian dari sini berpindah ke negeri-negeri tersebut.[3]
Nama Panggilannya
Beliau dipanggil Abu Hanifah karena senantiasa membawa tempat tinta, yang dalam bahasa Iraq disebut Hanifah. Ada pula yang mengatakan bahwa ia memiliki seorang putri bernama Hanifah, namun pendapat ini dianggap lemah karena ia tidak memiliki anak selain Hammad.[4]
Tahun Kelahirannya
Beliau lahir pada tahun 80 H di Kufah pada masa kekahalifahab Abdul Malik bin Marwan. Ada pula yang mengatakan ia lahir pada 61 H, namun pendapat ini dianggap lemah.
Kalangan Sahabat Nabi yang Dijumpai oleh Abu Hanifah
Karena lahir pada 80 H, pasti ia telah berjumpa dengan sahabat yang yunior, karena sahabat yang terakhir wafat adalah Abu At-Thufail Amir bin Watsilah Al-Kanani Al-Laitsi radiyallahu ‘anhu yang wafat tahun 102 H.[5]
Sebagian ulama memastikan bahwa ia telah bertemu dengan empat sahabat yaitu: Anas bin Malik, Abdullah bin Abi Aufa, Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi, dan Abu At-Thufail Amir bin Watsilah.[6] Meskipun begitu tidak ada satu riwayat pun yang diriwayatkan oleh Abu Hanifah dari salah satu sahabat Nabi tersebut.
Karena telah bertemu dengan para sahabat, maka Abu Hanifah rahimahullah termasuk golongan tabi’in, sebagaimana mayoritas ahli hadits berpendapat bahwa tabi’i adalah siapa saja yang bertemu sahabat meski tidak membersamainya atau meriwayatkan darinya. Hal ini dibenarkan oleh Ibnu Sholah dan An-Nawawi rahimahullah.[7]
Masa Tumbuh Kembang dan Pencarian Ilmu
Pada awalnya beliau sibuk dengan perdagangan dan jual beli, karena profesinya adalah sebagai penjual kain tenun sutra dan toko miliknya terkenal berada di Dar Amr bin Harits, hingga suatu saat ia bertemu dengan Imam As-Sya’bi yang melihat potensi kecerdasan, kepandaian, dan kepiawaian dalam diri Abu Hanifah, lalu ia mengarahkannya untuk menuntut ilmu dan duduk bersama para ulama. Perkataan Imam As-Sya’bi begitu membekas dalam jiwanya sehingga ia menuju ke tempat pencarian ilmu. Hal yang pertama dipelajarinya adalah ilmu kalam hingga sampai pada tingkatan yang sangat tinggi dalam bidang tersebut.
Suatu saat, ketika Abu Hanifah duduk di dekat halaqah Hammad bin Abi Sulaiman rahimahullah, datanglah seorang wanita menanyakan padanya sebuah permasalahan dalam ilmu syar’i dan ia tak menemukan jawabannya. Kemudian wanita tadi mendatangi Hammad dan bertanya kepadanya dan Hammad pun menjawabnya. Lalu wanita itu kembali pada Abu hanifah dan berkata kepadanya, “Kalian menipuku. Aku telah mendengar perkataan kalian, dan ternyata kalian tak bisa apa-apa.” Hal itumenyebabkan Abu hanifah meninggalkan ilmu kalam dan intensif mendatangi halaqah Hammad untuk memperdalam ilmu hingga mencapai tingkat kemasyhurannya.[8]
Guru dan Muridnya yang Paling Masyhur
Guru-guru Abu Hanifah yang paling masyhur adalah Atho’ bin Abi Robah (wafat 114 H), As-Sya’bi (wafat 104 H), Amr bin Dinar (wafat 126 H), Nafi’ maula Ibnu Umar (wafat 117 H), Qatadah bin Du’amah (wafat 118 H), Ibnu Syihab Az-Zuhri (wafat 124 H), Muhammad bin Al-Munkadir (wafat 130 H), Hisyam bin Urwah (wafat 146 H), dan gurunya yang paling berpengaruh, dimana ia belajar intensif darinya selama 18 tahun: Hammad bin Abi Sulaiman (wafat 120 H).[9]
Murid-muridnya yang paling masyhur adalah Qadhi Al-Qudhat, Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim Al-Anshori (wafat 182 H), pakar fiqih, Zufar bin Al-Hudzail At-Tamimi (wafat 158), pakar fiqih, Muhammad bin Al-Hasan As-Syaibani (wafat 189 H), Al-Hasan bin Ziyad Al-Lu’luiy (wafat 204 H), Abdullah bin Al-Mubarak (wafat 181 H), Al-Waki’ bin Al-Jarah (wafat 197 H), Isa bin Aban bin Shodaqoh (wafat 221 H), dan anak laki-lakinya Hammad bin Abi Hanifah (wafat 170 H), dan masih banyak lagi.[10]
Awal Mula Menduduki Posisi Ahli Fatwa dan Pengajar
Itu terjadi setelah gurunya, Hammad bin Abi Sulaiman rahimahullah wafat, dimana kepemimpinan bidang fiqih berpindah kepada gurunya ini setelah wafatnya Ibrahim An-Nakha’i rahimahullah. Ketika Hammad wafat, orang-orang membutuhkan pakar yang mereka datangi, maka mereka mengangkat Ismail putra Hammad, namun mereka tidak puas karena ia lebih menguasai bidang tata bahasa Arab, sehingga mereka sepakat untuk menunjuk Abu Hanifah rahimahullah. Mereka mendatangi halaqahnya secara intensif sehingga menjadi halaqah terbesar yang ada di masjid. Abu Hanifah menjadi terkenal hingga orang-orang berdatangan kepadanya, hingga para pemimpin dan pejabat pun menghormatinya.[11]
Sebagian ulama menyebutkan bahwa Abu Hanifah bermimpi yang menyebabkannya semakin giat bersemangat dan mengajar serta duduk melayani pertanyaan orang banyak, yaitu ia bermimpi membongkar makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada mulanya ia sangat takut, namun setelah ia mengutus seseorang untuk menanyakan perihal mimpi itu kepada Muhammad bin Sirin rahimahullah, ia menjadi lega, “Orang yang bermimpi ini mewarisi ilmu yang belum pernah dimiliki oleh orang lain sebelumnya.” Kata Muhammad bin Sirin.
Karangannya
Meski keilmuannya luas, namun Abu Hanifah kurang memberikan perhatian kepada karangan dan penulisan. Ia lebih menyibukkan dirinya sebagai ahli fatwa, mengajar dan mendidik, serta berdebat dengan para pelaku bid’ah (khawarij dan mu’tazilah), di samping sebab-sebab lainnya.
Namun beliau memiliki beberapa karya tulis sederhana namun besar keutamaan dan manfaatnya. Diantara karyanya yang paling terkenal adalah Al-Fiqhul Akbar membahas bidang aqidah, dan Al-Alim wal Muta’alim. Disebutkan bahwa karangan-karangan yang dinisbahkan pada Abu Hanifah selain kedua kitab tersebut sebenarnya adalah bagian dari diktat dan perkataan Abu Hanifah yang dikumpulkan oleh para pengikutnya, seperti Al-Musnad, Al-Washiyah, dan Al-Hilal.
Ujian dan Cobaan yang Menimpanya
Beliau dipaksa untuk menduduki jabatan kehakiman pada masa Daulah Umawiyah, dan yang lain pada masa pemerintahan Daulah Abbasiyah. Namun beliau menolak karena sikap wara’ (kehati-hatian) dan keselamatan agamanya. Ibnu Mubarak berkata, “Aku tak pernah menjumpai orang yang lebih wara’ dari Abu Hanifah, dia telah dicoba dengan cambuk dan harta.”[12]
Pada masa Daulah Umawiyah, hal itu terjadi pada pemerintahan Marwan bin Muhammad (wafat 132 H), yang merupakan Khalifah terakhir dari Bani Umayyah. Pada waktu itu Yazid bin Amr bin Hubairoh Al-Fazari, gubernur Irak, meminta Abu Hanifah agar menjadi hakim di Kufah dan itu ditolaknya sehingga ia dicambuk sebanyak 110 kali cambukan, setiap hari 10 kali, dan ketika melihat ia tetap menolak, maka kemudian dilepaskan.
Pada masa Daulah Abbasiyah, hal itu terjadi pada masa pemerintahan Abu Ja’far Al-Manshur (wafat 157 H) yang memintanya untuk menjadi hakim tapi ditolaknya, sehingga Al-Manshur memerintahkan untuk memenjarakannya.[13]
Tahun Wafatnya
Abu Hanifah rahimahullah wafat di Baghdad pada bulan Rajab, ada pula yang mengatakan bulan Sya’ban, pada tahun 150 H di usia 70 tahun. Ia dishalatkan sebanyak 6 kali karena begitu ramainya yang datang, dan dikebumikan di pemakaman Al-Khoizuran di Baghdad.[14]
Semoga Allah merahmati Abu Hanifah, dan memberikan ganjaran atas jasanya kepada umat ini dan juga Islam dengan ganjaran yang terbaik.
(Bersambung)
Catatan Kaki:
[1] Lihat: Al-Mazhab ‘inda al-Hanafiyah, Dr. Muhammad Ibrahim Ahmad Ali, hal. 25.
[2] Lihat: Akhbar Abu Hanifah wa Ashabihi, hal. 16; Al-Mukhtashar fi Akhbaril Basyar, Abul Fada bin Syahinsyah, 2/5.
[3] Lihat: Al-Khairatul Hisan, hal. 22; At-Thobaqatus Saniyyah, 1/74.
[4] Lihat: Al-Khairatul Hisan, hal. 23.
[5] Lihat: Usdul Ghabah
[6] Lihat: Thabaqatul Fuqaha, ha. 86; Wafayatul A’yan, 5/406.
[7] Lihat: Muqaddimah Ibnu Sholah, hal. 302; Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim, 1/36.
[8] Lihat: Akhbar Abu Hanifah, hal. 19, 20; Tarikh Baghdad, 15/456; Al-Khairatul Hisan, hal. 27.
[9] Lihat: At-Thabaqatus Sanniyah, 1/79.
[10] Lihat: Al-Intiqo’, hal. 172; Manaqib Abi Hanifah, Al-Muwaffaq Al-Makki, 2/132, 133; Manaqib Abi Hanifah wa Shahibaihi, hal. 19, 20.
[11] Lihat: Akhbar Abu Hanifah wa Ashabihi, hal. 21, 22; Khairatul Hisan, hal. 29.
[12] Lihat: Tarikhul Baghdad, 15/448; Wafayatul A’yan, 5/407.
[13] Lihat: Manaqib Abi Hanifah wa Shahibaihi, hal. 66; An-Nujumuz Zahiroh, 3/13.
[14] Lihat: Al-Khairatul Hisan, hal. 70.