Dasar Umum Istinbath dalam Madzhab
Abu Hanifah rahimahullah tidak menjelaskan secara detail manhaj (metode) yang dijadikan pedoman dalam membangun madzhabnya, tidak juga menjelaskan kaidah terperinci yang menjadi landasan dalam penelitian dan ijtihadnya, namun telah diriwayatkan darinya riwayat yang menjelaskan rambu dan metode umum yang dijadikan sandaran dalam membangun kaidah madzhab dan landasan dasarnya. Diantara riwayat tersebut adalah:
Diriwayatkan oleh As-Shaimari dan Al-Khathib Al-Baghdadi dari Yahya bin Dhurais, ia berkata: “Aku menyaksikan Sufyan yang didatangi oleh seorang laki-laki, dan ia berkata kepadanya: ‘Tidakkah kau membalas Abu Hanifah?’ Sufyan berkata, ‘Ada apa dengannya?’ Laki-laki tadi berkata: ‘Aku mendengarnya berkata, ‘Aku mengambil keputusan dengan Kitabullah, jika tidak aku dapati di dalamnya maka aku mengambil keputusan dengan sunnah Rasulullah. Jika aku tidak mendapatinya dalam Kitabullah dan sunnah Rasulullah, maka aku mengambil pendapat sahabat. Aku mengambil pendapat yang aku kehendaki di antara mereka dan meninggalkan pendapat yang aku kehendaki dari mereka; dan aku tidak akan keluar dari pendapat mereka menuju pendapat selain mereka. Adapun jika urusan pendapat itu berujung atau merujuk kepada Ibrahim, As-Sya’bi, Ibnu Sirin, Al-Hasan, Atha’, Said bin Al-Musayyib…’, dan ia menyebutkan beberapa nama tokoh, ‘…mereka adalah kaum yang melakukan ijtihad, maka akupun berijtihad sebagaimana mereka berijtihad.’” [1]
Al-Muwaffaq Ibnu al-Makki meriwayatkan dari Abdul Karim bin Hilal dari ayahnya ia berkata: “Aku mendengar Abu Hanifah berkata, ‘Jika aku mendapati sebuah perkara dalam Kitabullah Ta’ala atau dalam sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka aku mengambil keputusan dengannya dan tidak berpaling darinya. Dan jika sahabat berbeda pendapat, aku memilih dari perkataan mereka, sedangkan orang yang datang setelah mereka; ada yang aku ambil (pendapatnya) dan ada yang aku tinggalkan (pendapatnya).” [2]
Ibnu al-Makki juga meriwayatkan dari Sahal bin Muzahim ia berkata: “Perkataan Abu Hanifah adalah mngambil pendapat yang meyakinkan dan menghindar dari keburukan, serta mempertimbangkan pola perilaku manusia dan apa yang telah menjadi komitmen dan kebaikan mereka, melihat perkara-perkara tersebut dengan qiyas. Jika dengan qiyas hasilnya buruk, maka dengan istihsan selagi itu memungkinkan. Jika istihsan tidak memungkinkan maka ia kembali kepada apa yang telah menjadi acuan bagi perilaku kaum muslimin, dan ia menghakimi hadits ma’ruf yang telah disepakati penerapannya sebagai hadits maushul kemudian menggunakan kemudian menggunakan qiyas atasnya sepanjang qiyas adalah hal yang lazim, kemudian kembali kepada istihsan, mana yang lebih tepat dari keduanya itulah yang menjadi pilihan rujukan baginya.’ Kemudian Sahal berkata, ‘Inilah ilmu Abu Hanifah rahimahullah, ilmu ulama pada umumnya.” [3]
Ia juga meriwayatkan dari Al-Hasan bin Shalih ia berkata, “Abu Hanifah sangat ketat dalam meneliti nasikh dan mansukh dari sebuah hadits, dan mengamalkan hadits jika terbukti berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dari para sahabatnya. Ia pakar tentang hadits dan fiqih penduduk Kufah, dan sangat telilti mencermati apa yang menjadi kebiasaan orang-orang di negerinya.” [4]
Dari beberapa riwayat di atas para imam madzhab Hanafi mengkristalisasi manhaj ini, menjelaskan rambu-rambunya, dan meletakkan timbangan kaidahnya. Kemudian mereka meletakkan dasar-dasar penentuan kesimpulan (istinbath) hukum menurut Imam, sebagai berikut:
Pertama, al-Kitab; yaitu dasar dari segala dasar, sumber dari segala sumber. Tidak ada sumber hukum melainkan kembali kepadanya.
Kedua, as-sunnah; ia adalah sumber kedua dari sumber-sumber syariat, yang menjelaskan, menerangkan, dan menafsirkan Al-Kitab.
Abu Hanifah hanya mengambil yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika ada dua perkataan yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bertentangan, ia mengambil yang terakhir dari keduanya.[5] Dan ini untuk sunnah-sunnah yang mutawatir dan masyhur, demikian juga hadits ahad, kecuali jika hadits-hadits ahad tersebut bertentangan dengan qiyas yang rajih. Pada kondisi demikian qiyas lebih didahulukan bukan karena hawa nafsu, juga bukan karena berpaling dari hadits shahih, namun lebih karena sikap tanggung jawab dan kehati-hatian.
Sudah dimaklumi sikap ketat Abu Hanifah dalam menerima riwayat, adalah dalam rangka menjaga hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau karena hadits-hadits ahad tersebut bertentangan dengan pokok yang bersifat umum (ushul ammah) dari pokok-pokok syariat yang ketetapannya qath’i/mutlak, dan penerapannya pada hal-hal yang cabang adalah mutlak. Maka saat itu beliau menghukumi lemah pada hadits-hadits tersebut, dan beliau berhukum dengan kaidah umum yang tidak ada keraguan atasnya.[6]
Bukti bahwa kaidah pokok menurut Abu Hanifah rahimahullah adalah mendahulukan hadits ahad atas qiyas adalah sebagaimana dikatakan Abu Ziyad ad-Dabbusi rahimahullah, “Yang pokok menurut para tiga imam kami—yakni Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Muhammad bin Al-Hasan—adalah bahwa kabar yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari jalur ahad (tidak mutawatir) lebih didahulukan daripada qiyas yang shahih.” [7]
Namun kadang ia keluar dari kaidah pokok ini. Imam Abu Hanifah rahimahullah dalam beberapa masalah memakai qiyas padahal pada perkara tersebut ada hadits-nya. Dalam masalah ini, bisa dijawab dengan beberapa jawaban:[8]
Ketat Dalam Menerima Hadits
Yang perlu diketahui sejak awal ialah kita harus menerima kenyataan bahwa pen-statusan sebuah hadits menjadi shahih dan dhaif itu adalah perkara jtihad juga yang di dalamnya terdapat perbedaan. Pada ulama A hadits ini bisa dikatakan shahih, namun pada ulama B hadits itu bisa berubah lagi statusnya.
Imam Abu Hanifah hidup di masa banyaknya muncul pemalsuan hadits. Karena itu beliau sangat ketat sekali dalam menerima hadits. (kecuali hadits mutawatir yang diriwayatkan dari jalur yang qath’i).
Hadits-hadits Ahad yang diterima tidaklah asal terima, semua di cek sehingga tidak meninggalkan keraguan sedikitpun bahwa ini benar hadits shahih yang bisa dijadikan dalil.
Imam Al-Sarakhsi (483 H) dalam kitab Ushul-nya menyebutkan beberapa kriteria hadits yang bisa diterima sebagai dalil dalam madzhab Imam Abu Hanifah, diantara:
- Hadits ahad tidak boleh bertantangan dengan dasar-dasar pokok syariah yang sudah disepakati atau yang ditetapkan dengan jalur qath’i.
- Hadits Ahad tidak boleh menyelisih kandungan umum ayat quran.
- Hadits Ahad tidak boleh menyelisih hadits yang masyhur atau yang diriwayatkan secara mutawatir.
- Perawi Hadits Ahad tidak boleh menyelisih apa yang diriwayatkan. Kalau ada hadits yang perawinya menyelisih apa yang diriwayatkan, hadits itu menjadi tidak terpakai dalam hukum.
- Kalau perkara itu adalah perkara yang terjaid setiap hari dan semua orang tahu, hadits yang menjelaskan tentang itu haruslah mutawatir atau masyhur, kalau tidak maka tidak bisa menjadi dalil.
Apa yang disyaratkan ini bukanlah perkara yang asal jadi, melainkan kesemuanya syarat tersebut dibuat dengan alasan yang objektif dan demi menjaga kemurnian syariah ditengah banyaknya pemalsuan hadits ketika itu.
Jadi, ketika ada suatu masalah yang dihadapi, beliau lebih dulu mencari ayat yang membahas ini. Jika tidak ada, ia mencari dari para sahabatnya dan gurunya yang lain apakah ada hadits yang menerangkan perkara yang sedang dihadapi atau tidak. kalau memang ada, maka parameter yang disebutkan di atas itu tadi menjadi patokan diterima atau tidaknya hadits tersebut. Ketika hadits itu tidak lolos uji, maka yang dilakukan oleh sang Imam adalah berijtihad.
Hadits Shahih Tidak Mesti Jadi Dalil
Dalam menentukan hukum, seorang mujtahid tidak hanya punya satu buah hadits di atas meja beliau, melainkan lebih dari satu bahkan puluhan bahkan juga lebih.
Hadits yang shahih menurut seorang mujtahid bisa saja tidak dijadikan dalil sebuah hukum karena alasan tertentu. Bisa saja ada hadits yang jalurnya lebih kuat yang menyelisih, atau juga hadits shahih ini kandungannya umum dan ada hadits lain yang mengkhususkannya. Atau juga bisa jadi hadits ini sudah di-mansukh oleh hadits lain atau ayat Al-Quran. Jadi banyak kemungkinan.
Nah, begitu juga yang dilakukan oleh Imam Abu Hanifah rahimahullah, beliau bisa saja meninggalkan hadits yang dianggap shahih oleh orang lain, tentu karena sebab yang orang lain tidak mengetahuinya. Dan ini juga kita temui di imam-imam lain selain Imam Abu Hanifah, bahwa banyak hadits-hadits shahih yang mereka tinggalkan karena melihat adanya hadits lain yang mengkhususkannya (takhshis), atau lebih kuat dari segi sanad dan perawinya atau karena hadits itu telah di-mansukh.
Jadi perkara hukum bukanlah perkara hadits saja melainkan bagaimana ber-isitidal dan menyimpulkan suatu hukum dari banyak hadits yang ada.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Al-Harani (278 H) mengomentari tuduhan sembrono yang dialamatkan kepada Imam Abu Hanifah rahimahullah, sebagai berikut:
وَمَنْ ظَنَّ بِأَبِي حَنِيفَةَ أَوْ غَيْرِهِ مِنْ أَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ أَنَّهُمْ يَتَعَمَّدُونَ مُخَالَفَةَالْحَدِيثِ الصَّحِيحِ لِقِيَاسِ أَوْ غَيْرِهِ فَقَدْ أَخْطَأَ
“Siapa yang menganggap bahwa Imam Abu Hanifah atau Imam lainnya menyengaja meninggalkan (menyelisih) hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beralih kepada qiyas atau lainnya, maka ia telah keliru!” [9]
Ketiga, Ijma’ (konsensus), ini dilakukan ketika dalam suatu masalah beliau tidak menjumpai nash dari Al-Qur’an, tidak juga dalam sunnah, kemudian beliau menjumpai ijma, maka beliau mengambilnya dan mendahulukannya.[10]
Beliau mengisyaratkan hal itu ketika menyampaikan pembahasan tentang qiyas: “Inilah qiyas yang sedang kita bicarakan….namun pengamalan itu adalah berdasarkan kitab, sunnah, dan ijma”. [11]
Keempat, perkataan para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Ketika mereka berbeda pendapat dan muncul banyak perkataan dari para sahabat tersebut, maka Imam Abu Hanifah memilih dari pendapat tersebut mana yang menurutnya lebih dekat dengan ruh syariah, dan tidak keluar dari perkataan mereka.[12]
Kelima, qiyas. Hal itu terjadi ketika tidak menemukan dalil dari dasar hukum sebelumnya. Maka saat itu ia berijtihad menggunakan qiyas jika mendapati qiyas adalah hal yang baik dan bisa diterima,[13] dan tidak mendahulukan qiyas atas sumber yang disebutkan terdahulu. Sampai-sampai dalam beberapa permasalahan beliau memandang pendapat dengan qiyas dalam masalah tersebut adalah nyata, namun meninggalkannya demi sebuah nash.
Keenam, istihsan. Ini terjadi jika qiyas tidak bisa dijalankan dengan baik dan lurus, maka saat itu ia menggunakan istihsan.[14]
Namun istihsan menurut beliau adalah sebagaimana dikatakan oleh Abu al-Hasan al-Karkhi, “Seseorang menganulir hukum pada suatu permasalahan (yang seharusnya) berlaku hukum yang telah ditetapkannya pada permasalahan yang semisal dengannya, dan beralih kepada hukum yang berlawanan dengannya karena ada pertimbangan yang lebih kuat dan menuntutnya menganulir hukum yang pertama.” [15]
Ini adalah perkataan terbaik tentang pengertian istihsan sebagaimana dikatakan oleh Abu Zahrah.[16]
Ketujuh, urf. Hal ini dilakukan jika tidak dijumpai nash, tidak juga ijma’, dan tidak pula bisa disandarkan kepada nash-nash dengan cara qiyas ataupun istihsan, maka pada kondisi demikian obyek yang diteliti adalah pola interaksi yang ada dalam masyarakat dan menentukan kesimpulan hukum berdasarkan apa yang telah mnjadi kebiasaan mereka.[17]
(Tamat)
Catatan Kaki:
[1] Akhbar Abi Hanifah wa Ashabihi, hal. 24; Tarikh Al-Baghdadi, 15/502, lihat juga: Al-Intiqa fi Fadhoil at-Tsalatsah al-Aimmah al-Fuqaha, hal. 142; Tahdzibul Kamal, Al-Mizzi, 29/443.
[2] Manaqib al-Imam al- A’dzam, 1/70.
[3] Ibid, hal. 1/82
[4] Ibid.
[5] Lihat: al-Madkhal ila Madzahib al-Imam Abi Hanifah, hal. 118
[6] Lihat: Abu Hanifah; Arauhu wa Fiqhuhu, hal. 337.
[7] Ta’sis an-Nazhar, hal. 99.
[8] Lihat: Imam Abu Hanifah dan Qiyas, Ahmad Zarkasih di https://www.rumahfiqih.com/z-4-imam-abu-hanifah-dan-qiyas.html
[9] Majmu’ Al-fatawa, 20/304
[10] Lihat: Al-Madzhab ‘inda al-Hanafiyah, hal. 42; Al-Madkhal ila Madzhab Abi Hanifah, hal. 118; Abu Hanifah; Arauhu wa Fiqhuhu, hal. 146.
[11] At-Thabaqat as-Saniyah, hal. 146.
[12] Lihat: al-Madkhal ila Madzahib al-Imam Abi Hanifah, hal. 117.
[13] Lihat: Abu Hanifah; Arauhu wa Fiqhuhu, hal. 267.
[14] Lihat: Ibid, hal. 387.
[15] Lihat: Kasyfu al-Asrar, 4/4.
[16] Lihat: Abu Hanifah; Arauhu wa Fiqhuhu, hal. 389.
[17] Lihat: Ibid, hal. 396; al-Madkhal ila Madzahib al-Imam Abi Hanifah, hal. 118.