Beliau adalah Abu Abdillah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Ghaiman bin Khutsail bin Amr bin al-Harits Dzu Ashbah[1] al Himyari[2] al-Ashbahi al-Madani.
Imam Malik dilahirkan pada tahun 93 H di masa kekhalifahan Sulaiman bin Abdul Malik bin Marwan, di desa Dzul Marwah yang berjarak sekitar 160 kilometer sebelah utara kota Madinah.[3]
Ibunya adalah Aliyah binti Syuraik al-Azdiyah, seorang wanita shalihah yang sangat mengagungkan ilmu dan ulama. Imam Malik tumbuh dalam lingkungan keluarga yang mencintai ilmu. Kakek beliau adalah Malik bin Abi amir (wafat 94 H), termasuk tokoh senior dan ulama tabi’in, yang meriwayatkan hadits dari Umar, Utsman, dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhum. Anak-anaknya meriwayatkan darinya, diantara mereka adalah Anas ayah Imam Malik. Paman beliau adalah Abu Suhail Nafi’ bin Malik (wafat 140 H), salah satu guru dari Imam Ibnu Syihab Az-Zuhri.
Tampaknya ayah Imam Malik tidak menyibukkan diri mempelajari hadits, maka dia tidak dikenal. Namun kakaknya, yaitu Nadhr bin Anas, menyibukkan diri dalam menuntut ilmu dari para guru, sehingga Imam Malik pada awal perjalanannya menuntut ilmu dikenal dengan sebutan Malik saudaranya Nadhr. Namun tidak lama kemudian terjadi yang sebaliknya sehingga Nadhr dikenal dengan sebutan An-Nadhr saudara Malik.
Perjalanannya Menuntut Ilmu
Imam Malik memulai perjalanan menuntut ilmunya sejak kecil. Ibnu Wahab meriwayatkan bahwa Imam Malik berkata: “Aku mendatangi Nafi’ maula Umar dan ketika itu aku masih kecil.” [4]
Setelah menghafal Al-Qur’an, Imam Malik kecil mengemukakan maksudnya untuk pergi ke majelis ulama guna mencatat ilmu dan mempelajarinya. Mutharrif meriwayatkan: “Malik berkata: ‘Aku memohon restupada ibuku, ‘Apakah sebaiknya aku pergi untuk mencatat ilmu?’ Maka ibuku berkata, ‘Kemarilah, pakailah pakaian ilmu.’ Lalu ia memakaikan baju yang menjuntai dan meletakkan peci panjang di kepalaku, dan meletakkan sorban di atasnya, kemudian berkata, ‘Pergilah, dan mencatatlah sekarang”. [5]
Imam Malik juga berkata: “Ibuku memakaikan sorban untukku kemudian berkata kepadaku, ‘Pergilah kepada Rabi’ah[6], belajarlah adab darinya sebelum belajar ilmunya.” [7]
Imam Malik kemudian sangat bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, hadits, fiqih, dan ilmu lainnya, serta belajar intensif kepada ulama dan ahli hadits, dan menulis banyak bidang keilmuan. Ibnu Kinanah meriwayatakan bahwa Imam Malik berkata, “Dulu aku memiliki kotak-kotak ilmu yang hilang. Jika masih ada, ia lebih aku cintai daripada keluargaku dan hartaku.” [8] Ia juga berkata, “Aku menulis dengan tanganku sendiri seratus ribu hadits”. [9]
Imam Malik menjadi terkenal sebagai orang yang pandai, hanya saja belum duduk untuk mengajarkan hadits dan memberi fatwa. Abu Mush’ab berkata, “Aku mendengar Malik bin Anas berkata: ‘Aku tidak akan berfatwa kecuali ada 70 ulama bersaksi untukku bahwa aku layak untuk itu.” [10]
Khalaf bin Amr berkata, “Aku mendengar Malik bin Anas berkata: ‘Aku tidaklah menjawab permintaan fatwa hingga aku bertanya kepada orang yang lebih berilmu dariku, apakah ia berpendapat bahwa aku pantas untuk itu? Aku bertanya kepada Rabi’ah dan Yahya bin Sa’id; dan keduanya memerintahkanku untuk melakukannya.’ Maka aku bertanya kepadanya, ‘Wahai Abu Abdillah, jika mereka melarangmu?’ Ia menjawab, ‘Aku akan berhenti; tak layak bagi seseorang memandang dirinya layak untuk suatu hal sampai ia bertanya kepada orang yang lebih berilmu darinya.’” [11]
Guru Imam Malik yang Termasyhur
Imam Malik sangat berhati-hati dalam memilih guru. Ibnu Uyainah berkata, “Alangkah kerasnya kritik Imam Malik untuk tokoh perawi hadits, dan alangkah pahamnya ia tentang kondisi dan keadaan mereka.” [12]
Ibnu Wahab meriwayatkan bahwa Imam Malik berkata, “Aku telah berjumpa di negeri ini dengan suatu kaum yang jika meminta hujan dengan perantaraan mereka pastilah ia akan turun, mereka telah mendengarkan banyak ilmu dan hadits, namun tidaklah aku meriwayatkan suatu hadits pun dari mereka; walaupun mereka adalah orang-orang yang komitmen dengan rasa takut kepada Allah dan zuhud. Karena utrusan ini—yakni hadits dan fatwa—memerlukan orang yang memiliki ketakwaan, wara’, keterjagaan, itqan, ilmu, serta pemahaman, sehingga ia memahami apa yang keluar dari kepalanya dan apa yang akan sampai kepadanya esok hari.” [13]
Oleh karena kehati-hatiannya yang keras terhadap perawi yang ia ambil riwayatnya maka ulama hadits menyatakan kaidah, “Setiap perawi yang darinya Malik mengambil riwayat, maka ia adalah terpercaya.” [14]
Meskipun demikian, jumlah guru Imam Malik tetaplah banyak; ada 300 orang dari kalangan tabi’in, dan 600 orang dari kalangan tabi’ut tabi’in. Diantara gurunya yang paling masyhur, yang sangat berpengaruh dan paling intensif kebersamaannya dengan mereka, serta paling banyak diambil ilmunya adalah:
- Nafi’ maula Umar (wafat 117 H)
- Muhammad bin Syihab Az-Zuhri (wafat 124 H)
- Muhammad bin Al-Munkadir (wafat 130 H)
- Abu Ziyad Abdullah bin Dzakwan (wafat 130 H)
- Ishaq bin Abdillah bin Abi Thalhah (wafat 132 H)
- Abdullah bin Abu Bakar bin Hazm (wafat 135 H)
- Zaid bin Aslam (wafat 136 H)
- Yahya Sa’id Al-Anshori (wafat 143 H)
- Hisyam bin Urwah (wafat 145 H)
- Abdullah bin Yazid bin Hurmuz (wafat 148 H)
Murid-murid Imam Malik yang Termasyhur
Jumlah murid-murid Imam Malik dan yang meriwayatkan darinya demikian banyak. Berasal dari Hijaz, Iraq, Khurasan, Yaman, Syam, Mesir, Maroko, dan Andalus (Spanyol). Al-Hafidz Abu al-Hasan Ali bin Umar Ad-Daruquthni dalam kitabnya Ar-Ruwat ‘an Malik bin Anas berpendapat jumlah mereka mencapai 1000 orang.
Begitu tingginya posisi Imam Malik dalam fiqih dan ilmu serta kedudukannya yang agung dalam hal kekuatan hafalan dan pemahaman, hingga mencapai kondisi dimana sebagian guru Imam Malik mengambil riwayat darinya; seperti Yahya bin Sa’id, pamannya yaitu Abu Suhail, dan beberapa teman sejawatnya; seperti Al-Auza’i (wafat 157 H), Al-Laits bin Sa’d (wafat 175 H), Syu’bah bin al-Hajjaj (wafat 160 H), dan dua Sufyan.
Diantara murid-muridnya yang termasyhur adalah:
- Muhammad bin Al-Hasan as-Syaibani (wafat 189 H)
- Abdurrahman bin Al-Qasim (wafat 191 H)
- Abdullah bin Wahab (wafat 197 H)
- Main bin Isa (wafat 198 H)
- Asyhab bin Abdul Aziz al-Qisi (wafat 204 H)
- Abdullah bin Abdul Hakam (wafat 210 H)
- Asad bin Al-Furad (wafat 213 H)
- Abdul Malik bin Al-Majisyun (wafat 214 H)
- Abdullah bin Maslamah al-Qa’nabi (wafat 221 H)
- Asbagh bin al-Faraj (wafat 225 H)
- Yahya bin Yahya al-Laitsi (wafat 234 H)
- Abu Mus’ab Ahmad bin Abi Bakar Az-Zuhri (wafat 242 H)
Karangan Imam Malik
Tidak ada karangan Imam Malik yang terkenal selain Al-Muwatha’. Namun ada karangan yang diriwayatkan dari Imam Malik diantaranya adalah:
- Risalah untuk Ibnu Wahab tentang qadar, dan bantahan atas paham Qadariyah.
- Kitab dalam ilmu tafsir tentang Gharib Al-Qur’an.
- Risalah tentang Peradilan yang ditulis untuk beberapa hakim.
- Risalah tentang fatwa kepada Abu Ghassan Muhammad bin Mutharrif.
- Risalah kepada Al-Laits bin Sa’d tentang ijma’ penduduk Madinah.
Pujian Para Ulama
Imam Ibnu Syihab Az-Zuhri rahimahullah berkata kepada Imam Malik, “Engkau termasuk lumbung ilmu, dan sungguh, engkau adalah sebaik-baik gudang ilmu.” [15]
Imam Abdurrahman bin Mahdi rahimahullah berkata, “Aku tak pernah melihat orang yang lebih berwibawa dan lebih sempurna akalnya, serta lebih takwa dari Malik.” [16]
Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Jika disebut ulama, maka Malik adalah bintang. Dan tidak seorangpun sampai pada tingkat keilmuan Malik; karena kekuatan hafalan, itqan, dan integritasnya. Dan barangsiapa menginginkan hadits shahih hendaklah menemui Malik.” Ia juga berkata, “Malik bin Anas adalah guruku.” , Dalam riwayat lain: “Ustadzku”, “Tak seorangpun lebih berjasa bagiku melebihi Malik.” [17]
Imam bin Sa’d rahimahullah berkata, “Malik adalah perawi tsiqah, terpercaya, teguh, wara’, pakar, alim, dan punya otoritas.” [18]
Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Malik adalah pemimpin dari jajaran pemimpin ilmuwan. Dan ia imam dalam bidang hadits dan fiqih.” [19]
Wafatnya Imam Malik
Imam Malik rahimahullah wafat pada suatu pagi hari di hari Ahad, tanggal 14 Rabi’ul Awwal 179 Hijriyah dalam usia sekitar 85 tahun, dan dimakamkan di pemakaman Baqi’ di Madinah.
(Bersambung)
Catatan Kaki:
[1] Dzu Ashbah adalah keturunan Qohthon, namun kemudian menjadi nama sebuah kabilah, sehingga Imam Malik dinisbatkan kepadanya.
[2] Nama al-Himyari adalah penisbatan kepada Himyar, ia termasuk kabilah asli yang singgah di ujung negeri Yaman (Al-Ansab, karangan As-Sam’ani, 2/270)
[3] Lihat: Wafa’ul Wafa bi Akhbari Daril Musthofa, karangan As-Samhudi, 3/180, dan Atlas al-Hadits an-Nabawi, karangan Syauqi Abu Kholil, hal. 189.
[4] Al-Ma’rifah wa at-Tarikh, Al-Fasawi, 1/360.
[5] Tartib Al-Madarik, 1/130.
[6] Rabi’ah bin Abdurrahman terkenal dengan sebutan Rabi’ah ar-Ra’iy, wafat tahun 136 H.
[7] Tartib Al-Madarik, 1/130.
[8] Tartib al-Madarik, hal. 137.
[9] Ibid.
[10] Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyah al-Auliya, 6/316, lihat pula: Tazyin al-Mamalik, hal. 26.
[11] Ibid.
[12] Diriwayatkan oleh Abu Hatim dalam Muqaddimah al-Jarh wa at-Ta’dil, 1/23; dan Al-Jauhari dalam kitab Musnad al-Muwatha’, hal. 9.
[13] Tartib al-Madarik, hal. 137.
[14] Lihat: Tahdzib at-Tahdzib, Ibnu Hajar, 10/6.
[15] Lihat: Tartib al-Madarik, 1/148.
[16] Siyar A’lam an-Nubala, 8/113.
[17] Tartib al-Madarik, 1/149.
[18] Thabaqat Ibnu Sa’d, hal. 444.
[19] Tartib al-Madarik, 1/154.