Khalifah Al-Muktafi bernama Ali bin Al-Mu’tadhid bin Abi Ahmad bin Al-Mutawakil. Lahir tahun 263 H / 876 M. Ibunya budak berasal dari Turki bernama Jayjik yang berwajah amat cantik sehingga seringkali disanjung karena kecantikannya.
Al-Muktafi diangkat oleh ayahnya, Khalifah Al-Mu’tadhid, untuk mengantikannya pada saat sakit, kemudian dia diangkat sebagai khalifah pada 19 Rabiul Awwal tahun 289 H / 8 Maret 902 M hingga wafatnya 12 Dzulqa’dah 295 H / 17 Agustus 908 M.
Imam Suyuthi meriwayatkan ucapan dari As-Shuli tentang Khalifah Al-Muktafi: “Tidak ada khalifah yang bernama Ali kecuali Ali bin Abi Thalib dan Ali bin al-Mu’tadhid. Ali putra al-Mu’tadhid ini yang kemudian bergelar al-Muktafi Billah. Dialah khalifah 17 dari Dinasti Abbasiyah, yang berkuasa dari tahun 289 H / 902 M sampai 295 H / 908 M. Dia berusia 25 tahun saat menerima ba’iat sebagai khalifah.”
Imam Thabari, yang hidup pada periode kekuasaannya, mendeskripsikan al-Muktafi sebagai lelaki berperawakan sedang, tampan, dengan rambut yang keren dan jenggot yang menawan.
Pemerintahan yang Semasa
- Maghrib Al-Aqsha: Yahya bin Idris bin Idris (Dinasti Idris)
- Ifriqiya: Ziyadatullah bin Abdullah bin Ibrahim bin Ahmad bin Muhammad bin Al-Aghlab (Dinasti Ablagh). Dia adalah pemimpin terakhir dinasti.
- Mesir: Syaiban bin Ahmad bin Thulun (Dinasti Thulun). Ia adalah pemimpin terakhir dari keluarga ini.
- Zabib Yaman: Ziyad bin Ibrahim bin Muhammad, Abu Jaisy Ishaq bin Ibrahim.
- Samaniyah: Saman Ismail bin Ahmad, Ahmad bin Ismail.
- Romawi: Leon IV dan Charl III.
Peristiwa-peristiwa pada 289 H
Pada masa-masa awal pemerintahannya terjadi gempa besar di Baghdad yang berlangsung selama beberapa hari. Sedangkan di Bashrah, terjadi angin kencang yang menumbangkan pohon-pohon kurma. Kabarnya tujuh ribu pohon kurma tumbang seketika.
Kebijakan Simpatik
Imam As-Suyuthi berkata: “Al-Muktafi merobohkan penjara yang dibangun ayahnya kemudian di atas bekas bangunan penjara itu dia dirikan masjid. Al-Muktafi juga memerintahkan para pembantunya untuk mengembalikan taman dan toko yang telah dirampas ayahnya. Taman dan toko itu dulu dijadikan istana oleh ayahnya. Al-Muktafi telah menunjukkan contoh yang indah. Rakyat menyenanginya dan mendoakannya.”
Menteri yang Jahat
Al-Muktafi mengangkat Abu al-Husein al-Qasim bin Ubaidillah sebagai Menteri. Ia menjabat Menteri sejak masa al-Mu’tadhid, menggantikan ayahnya sendiri, Ubaidillah bin Sulaiman bin Wahab, yang wafat sebagai Menteri.
Al-Qasim sebelumnya sudah menyusun rencana untuk mengangkat orang lain di luar keturunan al-Mu’tadhid sebagai khalifah ketika al-Mu’tadhid sakit. Rencana itu didiskusikan dengan Jenderal Abu Najm Badr. Namun, Badr menolak rencana al-Qasim dan tetap setia pada jalur suksesi putra mahkota yang disiapkan al-Mu’tadhid.
Setelah itu Al-Qasim melakukan sandiwara politik. Saat al-Muktafi masih berada di daerah Raqqa. Al-Qasim segera memenjarakan semua pangeran sampai al-Muktafi tiba di ibu kota negara. Dengan demikian, bukan saja al-Qasim menutup celah adanya konflik di kalangan pangeran, namun juga memberi kesan kepada khalifah yang baru bahwa al-Qasim berjasa melempangkan jalannya menuju takhta kekuasaan.
Al-Qasim bin Ubaidillah pun khawatir kedudukannya akan digantikan oleh Al-Husain bin Amr, Sekretaris Al-Muktafi saat menjabat Gubernur di Raqqa. Al-Husain beragama Kristen, maka Al-Qasim memainkan isu agama untuk mencopot Al-Husain.
Ia juga tega membunuh pihak-pihak yang berpotensi mengganggu posisinya. Ia membunuh Amr Laits (Gubernur Wilayah Shafari) yang disebut-sebut oleh Al-Muktafi akan menjadi Menteri. Ia juga membunuh Jenderal Abu Najm Badr karena khawatir membocorkan rencana busuknya. Ia mengatur konspirasi dengan menggunakan Abu Umar dan Komandan pasukan yang bernama Lu’lu.
Pada 15 Jumadil Akhir 290 H / 20 Mei 903 M, Al-Muktafi pergi menuju ke kota Samarra. Ia berencana hendak membangun kembali dan menjadikannya sebagai ibu kota negara. Namun, kelihatannya al-Qasim dan para pembantu terdekatnya keberatan dengan rencana itu. Mereka lantas memberi estimasi anggaran yang fantastis, setelah terlebih dahulu di-mark-up. Al-Muktafi kaget dengan angka yang diajukan dan akhirnya mengurungkan niatnya untuk membangun kembali kota Samarra dan menjadikannya sebagai ibu kota. Al-Muktafi kembali ke Baghdad.
Perang Melawan Qaramithah
Pada tahun 289 H / 902 M, muncullah Yahya bin Zakrawaih al-Qirmithi yang melakukan pemberontakan sehingga terjadilah peperangan antara para pengikutnya dengan tentara khalifah dalam waktu yang cukup lama sampai akhirnya dia terbunuh pada tahun 290 H / 903 M.
Yahya bin Zakrawaih diganti oleh saudaranya yang bernama Al-Husein. Di wajahnya ada tahi lalat yang dia kira bahwa tahi lalat itu sebagai tanda dirinya adalah Al-Mahdi. Dia dibantu Isa bin Makrawaih, sepupunya, yang mengaku sebagai Al-Muddatstsir, dan anak Al-Husein sendiri yang bergelar Al-Muthawwaq bin Nur.
Mereka muncul di Syam dan melakukan tindakan pengrusakan. Ketiga pemberontak ini dibunuh pada tahun 291 H / 904 M. Namun pemberontakan Qaramithah ini masih berlanjut hingga 294 H / 907 M.
Penaklukkan Anthakiyah
Al-Muktafi berhasil merebut kota Anthakiyah dari pasukan Bizantin Romawi. Peperangan itu memakan korban 5.000 orang Romawi dan 5.000 tawanan. Sementara 5.000 tawanan muslim berhasil diselamatkan
Dalam peperangan ini masing-masing pasukan mendapatkan ghanimah yang cukup besar, yakni 1.000 dinar.
Menjelang Wafatnya
Tatkala sakit, Al-Muktafi pernah berkata, “Tak ada yang lebih aku sedihkan selain harta kaum Muslimin senilai tujuh ratus ribu yang kupergunakan untuk mendirikan bangunan, padahal aku tidak menghajatkannya dan sama sekali tidak berkepentingan dengannya. Aku khawatir hal ini kelak akan ditanyakan, aku beristighfar kepada Allah atas dosa-dosa itu.”
Al-Muktafi wafat pada 12 Dzulqa’dah 295 H / 17 Agustus 908 M. Ia meninggalkan 8 putra dan 8 putri. Di antara putranya adalah Muhammad, Ja’far, Al-Fadhl, Abdullah, Abdul Malik, Abdus Samad, Musa dan Isa.