Problematika Umat
Problematika yang mendera umat Islam saat ini terdiri dari dua jenis: Pertama, al-qadhiyyatu kulli zaman (problematika sepanjang zaman). Kedua, al-qadhiyyatul mu’ashirah (problematika kontemporer).
Al-Qadhiyyatu Kulli Zaman
Ini adalah problematika manusia secara umum yang selalu ada di setiap waktu dan zaman, yaitu problematika yang berkaitan dengan kejiwaan manusia (an-nafsul basyariyah). Sebagaimana diketahui, setiap manusia memiliki kecenderungan dan minat (muyul), tabiat dan karakter (thabi’ah), selera dan keinginan (syahwah), serta naluri dan instink (gharaiz) yang berbeda-beda. Perbedaan ini kerap menimbulkan gesekan atau bentrokan diantara manusia. Hal ini karena diantara mereka ada yang mengambil jalan tazkiyah (pembersihan jiwa), dan adapula yang mengambil jalan tadsiyah (pengotoran jiwa). Allah Ta’ala telah mengilhamkan kepada jiwa manusia mana jalan-jalan kefasikan (al-fujur) dan mana jalan ketakwaan (at-taqwa).
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا
“Demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)nya, maka Dia (Allah) mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya…” (QS. As-Syams, 91: 7 – 8)
Buya Hamka menjelaskan makna ayat di atas sebagai berikut.
“Diberilah setiap diri itu ilham oleh Tuhan, mana jalan yang buruk, yang berbahaya, yang akan membawa celaka supaya janganlah ditempuh, dan bersamaan dengan itu diberinya pula petunjuk mana jalan yang baik, yang akan membawa selamat dan bahagia dunia dan akhirat.
Artinya, bahwa setiap orang diberi akal buat menimbang, diberikan kesanggupan menerima Ilham dan petunjuk. Semua orang diberitahu mana yang membawa celaka dan mana yang akan selamat. Itulah tanda cinta Allah kepada hamba-Nya.”[1]
Ayat selanjutnya menegaskan,
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا
“Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu), dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.” (QS. As-Syams, 91: 9-10)
Al-Qadhiyyatul Mu’ashirah
Yaitu problematika kekinian yang disebabkan: (1) Berbagai penyimpangan yang terjadi dari masa ke masa (inhirafun ‘ushur), (2) Penyakit akibat kolonialisme/penjajahan (amradhul isti’mar/ihtilal), dan (3) Adanya kekuatan penentang (al-quwwa al-mu’adimah).
Inhirafun ‘Ushur
Problematika umat yang ada saat ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari berbagai penyimpangan dan degradasi yang terjadi di masa-masa sebelumnya. Diantaranya adalah munculnya periode mulkan ‘adhan (kerajaan yang menggigit) dalam sejarah umat. Al-Ustadz Iman Santoso dalam tulisannya yang berjudul Hadits Tentang Periodisasi Kekuasaan menjelaskan, “Pada masa ini sistem hukum yang dipakai masih bersandar pada Al-Qur’an dan Sunnah, tetapi sistem pergantian kepemimpinan berubah dari sistem syura’ menjadi sistem kerajaan yang diangkat secara turun temurun. Dan pada masa ini juga ada di antara raja yang zhalim yang menindas rakyatnya, walaupun secara formal mereka masih berpegang pada Al-Qur’an dan Sunnah. Masa ini sesuai dengan perjalanan sejarah berlangsung cukup lama, yaitu dari mulai Muawiyah memimpin yang diteruskan oleh keturunannya dari dinasti Bani Umayyah, kemudian berpindah ke Bani Abbasiyah dan yang terakhir kekuasaan Turki Utsmani yang runtuh pada tahun 1924 M. Sehingga masa ini adalah masa yang cukup lama yaitu dari abad ke 6 sampai abad ke 20, yaitu sekitar 14 abad.” [2]
Setelah masa-masa itu degradasi terus terjadi sebagaimana disebutkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَقَالَ حُذَيْفَةُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ
“Masa kenabian itu ada di tengah-tengah kamu sekalian, adanya atas kehendak Allah. Allah lalu mengangkatnya apabila Ia menghendakinya untuk mengangkatnya. Kemudian masa Khilafah ‘ala minhajin Nubuwwah, adanya atas kehendak Allah. Allah lalu mengangkatnya apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian masa kerajaan yang menggigit (mulkan adhon), adanya atas kehendak Allah. Allah lalu mengangkatnya apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian masa kerajaan yang menyombong (mulkan jabariyyah), adanya atas kehendak Allah. Allah lalu mengangkatnya apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian masa Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah, kemudian beliau diam.“ (Hadits Marfu’ Riwayat Imam Ahmad dari An-Nu’man bin Basyir)
Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dari masa ke masa ini membawa dampak yang memprihatikan kepada umat Islam.
Dengan diabaikannya metode syura dalam masalah kepemimpinan perpecahan politik semakin menjadi-jadi; fanatisme golongan menguat, perebutan kepemimpinan dan jabatan terjadi berlarut-larut.
Menyimpangnya sebagian umat dari kitabullah dan sunnah rasul menimbulkan keburukan yang mencemari kejernihan Islam. Sehingga yang terjadi adalah eksisnya kebaikan namun di dalamnya ada ‘asap’ (khairan alladzi fihi dakhnun); yaitu munculnya sekelompok orang yang memberikan petunjuk bukan dengan petunjuk sunnah Rasulullah; muncul pula para penyeru ke pintu-pintu jahannam (du’atun ila abwabi jahannam).
حُذَيْفَةَ بْنَ الْيَمَانِ يَقُولُ كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْخَيْرِ وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنْ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِي فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا كُنَّا فِي جَاهِلِيَّةٍ وَشَرٍّ فَجَاءَنَا اللَّهُ بِهَذَا الْخَيْرِ فَهَلْ بَعْدَ هَذَا الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ قَالَ نَعَمْ قُلْتُ وَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الشَّرِّ مِنْ خَيْرٍ قَالَ نَعَمْ وَفِيهِ دَخَنٌ قُلْتُ وَمَا دَخَنُهُ قَالَ قَوْمٌ يَهْدُونَ بِغَيْرِ هَدْيِي تَعْرِفُ مِنْهُمْ وَتُنْكِرُ قُلْتُ فَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ قَالَ نَعَمْ دُعَاةٌ إِلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوهُ فِيهَا قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا فَقَالَ هُمْ مِنْ جِلْدَتِنَا وَيَتَكَلَّمُونَ بِأَلْسِنَتِنَا قُلْتُ فَمَا تَأْمُرُنِي إِنْ أَدْرَكَنِي ذَلِكَ قَالَ تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ قُلْتُ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلَا إِمَامٌ قَالَ فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ بِأَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ
Hudzaifah bin Al-Yaman radhiyalahu ‘anhu berkata: “Dahulu manusia bertanya kepada Rasulullah tentang hal-hal yang baik tapi aku bertanya kepada beliau tentang hal-hal yang buruk agar jangan sampai menimpaku. Aku bertanya: ‘Wahai Rasulullah, dahulu kami berada dalam keadaan jahiliyah dan kejelekan lalu Allah mendatangkan kebaikan (Islam) ini, apakah setelah kebaikan ini akan datang kejelekan ?’ Beliau berkata: ‘Ya’ Aku bertanya: ‘Dan apakah setelah kejelekan ini akan datang kebaikan?’ Beliau menjawab: ‘Ya, tetapi didalamnya ada asap’. Aku bertanya: ‘Apa asapnya itu ?’ Beliau menjawab: ‘Suatu kaum yang membuat ajaran bukan dari ajaranku, dan menunjukkan (manusia) kepada selain petunjukku. Engkau akan mengenal mereka dan engkau akan memungkirinya.’ Aku bertanya: ‘Apakah setelah kebaikan ini akan datang kejelekan lagi?’ Beliau menjawab: ‘Ya, (akan muncul) para penyeru yang menyeru ke neraka jahannam. Barangsiapa yang menerima seruan mereka, maka merekapun akan menjerumuskan ke dalam neraka.’ Aku bertanya: ‘Ya Rasulullah, sebutkan ciri-ciri mereka kepada kami ?” Beliau menjawab: ‘Mereka dari golongan kita, dan berbicara dengan bahasa kita.’ Aku bertanya: ‘Apa yang anda perintahkan kepadaku jika aku temui keadaan seperti ini.’ Beliau menjawab: ‘Pegang erat-erat jama’ah kaum muslimin dan imam mereka” Aku bertanya : ‘Bagaimana jika tidak ada imam dan jama’ah kaum muslimin?’ Beliau menjawab: ‘Tinggalkan semua kelompok-kelompok itu, walaupun kau menggigit akar pohon hingga ajal mendatangimu.’” (HR. Bukhari)
Kondisi umat semakin buruk dengan tumbuhnya pemahaman-pemahaman yang menyimpang dari kitabullah dan sunnah; maka terjadilah pertentangan-pertentangan di dalam agama yang dibawa oleh berbagai kelompok: Syi’ah[3], Khawarij[4], Haruriyah[5], Mu’tazilah[6], Murji’ah[7], Mujassimah[8], Jahmiyah[9], Nawashib[10], dan lain-lain. Berikutnya munculah kejumudan dan fanatisme terhadap pendapat, serta sikap gemar berdebat .
Berkenaan dengan munculnya du’atun ila abwabi jahannam (penyeru yang menyeru ke pintu-pintu jahannam) di dalam hadits Hudzaifah di atas, Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam Fathul Baari, 13/36: “Yaitu dari kaum kita dan yang berbicara dengan bahasa kita serta dari agama kita. Didalamnya ada isyarat bahwa mereka itu dari Arab”. Ad-Dawudi berkata: “Mereka itu dari keturunan Adam”. Al-Qabisy berkata: “Maknanya, secara dhahir mereka itu dari agama kita tapi secara batin mereka menyelisihi (agama kita)”.[11]
Berikutnya ikatan ajaran Islam—di tengah-tengah umat yang tenggelam dalam berbagai pertikaian ini—akhirnya terputus (naqdhu ‘ural Islam). Hal ini telah diberitakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَيُنْقَضَنَّ عُرَى الْإِسْلَامِ عُرْوَةً عُرْوَةً فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا وَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا الْحُكْمُ وَآخِرُهُنَّ الصَّلَاةُ
“Tali Islam pasti akan lepas satu per satu. Apabila lepas suatu tali maka diikuti oleh lepasnya ikatan lainnya. Yang pertama lepas adalah hukum (pemerintahan) dan yang terakhir adalah shalat.” (HR Ahmad)
Makna naqdhanil hukmu dalam hadits di atas -menurut Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah– adalah ketiadaan penegakkan hukum dengan syariat Allah, “Inilah keadaan yang terjadi saat ini di negeri-negeri Islam. Padahal diketahui bahwasanya adalah wajib bagi semuanya berhukum dengan syariat Allah dalam segala urusan dan menjauhi undang-undang dan adat kebiasaan yang bertentangan dengan syariat yang suci…” Sedangkan ‘ural Islam (ikatan Islam) yang terakhir akan lepas adalah as-shalah (shalat). Maknanya menurut beliau adalah banyaknya orang yang meninggalkan dan tidak melaksanakannya, “Inipun keadaan yang terjadi di negeri-negeri Islam saat ini…padahal shalat adalah tiang Islam, dia adalah rukun yang kedua dari rukun Islam yang agung…”[12]
Hal-hal itu semua membuat umat semakin tidak memahami Islam dengan baik (jahlul muslimina bil Islam).
Amradhul Ihtilal
Problematika yang diakibatkan sisa-sisa penyimpangan di masa lalu bercampur pula dengan problematika lain, yaitu penyakit yang diakibatkan oleh penjajahan yang mencengkram umat (amradhul ihtilal): lembaga-lembaga kafir (al-muassasatul kafirah) yang bercokol di dunia Islam menebar syubhat-syubhat pemikiran (sekularisme, komunisme, sosialisme, dan lain-lain), umat mengalami keterbelakangan peradaban (at-takhalluf al-madani), tata berpikirnya pun menjadi rusak (tarkiban fikriyyan khothi’an), begitu pula tata kejiwaan mereka (tarkiban nafsiyyan khathi’an).
Oleh karena itu, terjadilah peralihan kekuasaan dari umat Islam kepada musuh-musuhnya (intiqalus sulthah ilal a’da).
Al-Quwwa Al-Mu’adiyah
Tidak sampai disana, problematika umat semakin berat pula dengan adanya kekuatan penentang (al-quwwa al-mu’adiyah) yang selalu mengganggu dan menghalangi upaya-upaya kebangkitan. Mereka memiliki perencanaan (takhthitun), organisasi (tandzimun), dan sarana (wasail) yang sangat memadai untuk melaksanakan penentangannya itu.
Walhasil, di hadapan umat ini kejahiliyyahan yang terkoordinir (al-jahiliyyatul munadzamah) dapat berdiri mengangkang. Sementara umat ini berada dalam kelemahan dengan segala macam problematikanya.
*****
Al-Ghutsaiyyah
Sungguh benar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah bersabda tentang kondisi umatnya di akhir zaman,
يُوْشِكُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُم الأُمَمُ كَمَا تَدَاعَى الأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا” اَوَمِنْ قِلَّةٍ بِنَا يَوْمَئِذٍ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: “بَلْ اِنَّكُمْ يَوْمَئِذٍكَثِيْرُوْنَ، وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَيْلِ، وَقَدْ نَزَلَ بِكُمُ الْوَهْنُ” قِيْلَ: وَمَا الْوَهْنُ يَارَسُوْلَ اللّهِ ؟ قَالَ: “حُبُّ الدُنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ
“Kamu akan diperebutkan oleh bangsa-bangsa lain sebagaimana orang-orang berebut melahap isi mangkok.” Para sahabat bertanya: “Apakah saat itu jumlah kami sedikit ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Tidak, bahkan saat itu jumlah kalian banyak sekali tetapi seperti buih air bah dan kalian ditimpa penyakit wahn.” Mereka bertanya lagi: “Apakah penyakit wahn itu ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Terlalu cinta dunia dan takut kepada mati” (HR. Abu Daud).
Ya, umat kini tenggelam dalam berbagai kecenderungan akan kemewahan dan kenikmatan, suka bersantai-santai dan melampiaskan syahwat. Mereka mengabaikan ilmu pengetahuan dan bersikap lengah terhadap kekuatan musuh-musuhnya. Mereka terlalu cinta kepada dunia sehingga takut akan kematian; tidak mau berjihad dan membina dirinya menjadi pribadi muslim yang sebenarnya.
Al-Hallu
Solusi atas seluruh problematika ini tiada lain adalah dengan jihad (perjuangan) diseluruh aspek kehidupan.
Pertama, al-jihadul qalamiy; jihad dengan pena untuk menyebarkan petunjuk di tengah-tengah umat.
Renungkanlah tiga hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini.
مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ الاَجْرِ مِثْلُ أُجُوْرِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنقُصُ ذَلِكَ مِنْ اُجُوْرِهِمْ شَيْأً
“Barangsiapa yang menyeru kepada petunjuk, maka baginya pahala seperti pahala-pahala orang yang mengikutinya, tanpa dikurangi dari pahala-pahala mereka itu sedikitpun.” (HR. Muslim).
لأ نْيَهْدِيَ اللَّهُ بِكَ رَجُلًا وَحِدًا خَيْرٌ لَكُمْ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ
“Allah memberikan hidayah kepada seorang manusia melalui perantaraanmu, lebih baik nilainya bagimu daripada unta merah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً
“Sampaikanlah oleh kalian (ilmu dariku), sekali pun satu ayat!” (HR. Bukhari)
Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini Rasulullah mengatakan, ‘sekalipun satu ayat’. Tujuannya agar semua pendengar dapat segera menyampaikan ayat-ayat yang telah didengarnya itu kepada orang lain, walaupun sedikit. Sehingga akan berkelanjutanlah penyampaian ayat-ayat yang didakwahkan oleh beliau.” (Fath Al-Bari, jilid 6 hal. 575).
Kedua, al-jihadul maliy; jihad harta di jalan Allah Ta’ala. Sungguh ini adalah ciri orang-orang yang jujur dalam keimanan mereka,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al-Hujurat, 49: 15)
Dalam Tafsir Al-Mukhtashar dijelaskan, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian tidak mencampuri keimanannya dengan keraguan dan berjuang dengan hartanya dan jiwanya di jalan Allah serta tidak kikir dengan sesuatupun darinya. Orang-orang yang mempunyai sifat-sifat demikian ini adalah orang-orang yang jujur dalam keimanan mereka.”[13]
Ketiga, al-jihadul lisani dan Keempat, al-jihadul yadi; jihad dengan lisan dan tangan, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ
“Siapa yang melihat kemunkaran maka rubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka rubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman. “ (HR. Muslim)
Kelima, al-jihadus siyasi; jihad politik untuk mewujudkan kemaslahatan dan menekan kemudharatan sedapat mungkin.
Harus ada di kalangan umat ini yang berani memberi nasihat dan beramar ma’ruf nahi munkar di hadapan penguasa. Perhatikanlah hadits ini,
سَيِّدُ الشُّهَدَاءِ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ ، وَرَجُلٌ قَالَ إِلَى إِمَامٍ جَائِرٍ فَأَمَرَهُ وَنَهَاهُ فَقَتَلَهُ
“Penghulu para Syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthallib dan orang yang berdiri di hadapan penguasa zhalim lalu ia menyuruhnya dan melarangnya, lalau pemimpin itu membunuhnya.” (Hadits Shahih dalam Mustadrak ‘ala shahihain, Imam Al-Hakim no. 4884).
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
“Jihad yang paling afdhal adalah berkata benar di hadapan pemimpin zhalim.” (H.R. Abu Dawud no. 4344, Ibnu Majah no. 4011).
Umat Islam—khususnya para da’i—harus memiliki wa’yu siyasi (wawasan dan kesadaran politik) demi mewujudkan kemaslahatan umat. Ketahuilah, sesungguhnya politik adalah bagian dari ajaran Islam yang tidak boleh diabaikan.
السِّيَاسَةُ مَا كَانَ مِنْ الْأَفْعَالِ بِحَيْثُ يَكُونُ النَّاسُ مَعَهُ أَقْرَبَ إلَى الصَّلَاحِ وَأَبْعَدَ عَنْ الْفَسَادِ ، وَإِنْ لَمْ يُشَرِّعْهُ الرَّسُولُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا نَزَلَ بِهِ وَحْيٌ ؛ فَإِنْ أَرَدْتَ بِقَوْلِكَ ” لَا سِيَاسَةَ إلَّا مَا وَافَقَ الشَّرْعَ ” أَيْ لَمْ يُخَالِفْ مَا نَطَقَ بِهِ الشَّرْعُ فَصَحِيحٌ ، وَإِنْ أَرَدْتَ مَا نَطَقَ بِهِ الشَّرْعُ فَغَلَطٌ وَتَغْلِيطٌ لِلصَّحَابَةِ
“Siyasah (politik) adalah semua tindakan yang dengannya manusia lebih dekat dengan kebaikan dan semakin jauh dari kerusakan meskipun tindakan itu tidak pernah disyariatkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan tidak ada wahyu Al Quran yang turun tentangnya. Jika Anda mengatakan: “Tidak ada siyasah (politik) kecuali yang sesuai dengan syariat atau tidak bertentangan dengan apa yang disebutkan oleh syariat, maka itu adalah benar. Tetapi jika yang anda maksudkan dengan siyasah hanyalah yang dibatasi oleh syariat, maka itu kesalahan dan sekaligus menyalahkan para sahabat nabi.” (Imam Ibnul Qayyim, I’lamul Muwaqi’in, 6/ 26. Mawqi’ Al Islam)
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa langkah awal penanggulangan problematika umat ini adalah dengan melakukan pembinaan kepribadian Islam (bina-us syakhshiyyatil Islamiyyah) di tengah-tengah umat.
Wallahul Musta’an…
Catatan Kaki:
[1] Lihat: Tafsir Al-Azhar, Buya Hamka.
[2] Lihat: http://www.dakwatuna.com/2011/12/01/16954/hadits-tentang-periodisasi-kekuasaan/#ixzz5x73UFowt
[3] Mereka ghuluw (berlebih-lebihan) dalam memuliakan Ali radhiallahu ‘anhu dan Ahlul Bait. Mereka memproklamirkan permusuhan terhadap mayoritas sahabat nabi seperti yang tiga (Abu Bakar, Umar, dan Utsman), mengkafirkan mereka, dan orang-orang yang mengikuti mereka, dan mengkafirkan orang-orang yang berselisih dengan Ali (yakni Aisyah dan pengikutnya ketika perang Jamal, atau Mu’awiyah dan pengikutnya dalam perang Shiffin). Mereka mengatakan sesungguhnya Ali adalah Imam yang ma’shum. Syiah juga dikenal dengan sebutan Rafidhah, karena mereka meninggalkan (rafadhuu) Zaid bin Ali bin al Husein yang tidak memusuhi Abu Bakar dan Umar; orang-orang yang mengikuti Zaid bin Ali bin al-Husein disebut Syiah Zaidiyah.
[4] Terjadi perselisihan antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awwiyah radhiyallahu ‘anhuma tentang masalah kekhalifahan hingga terjadi Perang Shifin; lalu terjadi perundingan penyelesaian urusan itu antara Abu Musa al Asy’ary (utusan dari Ali) dengan Amr bin al Ash (utusan dari Mu’awiyah). Peristiwa ini dikenal dengan istilah peristiwa tahkim. Kedua utusan ini sepakat bahwa kedua-duanya (Ali dan Mu’awiyah) dicopot dari jabatan khalifah, namun tiba-tiba Amr bin al Ash membaiat Mua’wiyah menjadi khalifah dan mengajak orang-orang membaiatnya. Pengikut Ali marah. Mereka itulah yang selanjutnya disebut syi’atu ‘ali (pengikut Ali, Syi’ah).
Kelompok yang keluar dari mereka semua adalah khawarij (dari kata kharaja, keluar), tidak mendukung Ali dan Muawiyah, bahkan mengkafirkan mereka berdua karena –menurut mereka- Ali dan Mu’awiyah tidak menggunakan hukum Allah dalam memutuskan perdamaian. Namun, kisah ‘pengkhianatan’ Amr bin al Ash ini diragukan validitas sanadnya (dhaif).
[5] Mereka adalah orang-orang khawarij yang di nisbatkan kepada daerah Harura’, yaitu daerah dekat Kufah (di Irak). Mereka berkumpul di sana ketika mereka keluar dari pemerintahan Ali radhiallahu ‘Anhu. Diantara pemahaman mereka adalah tidak dinamakan beriman kecuali orang yang menunaikan kewajiban-kewajiban dan menjauhi dosa-dosa besar. Mereka katakan: Sesungguhnya agama dan iman adalah ucapan, amal, dan keyakinan. Tetapi iman itu tidak bisa bertambah dan berkurang. Maka barangsiapa yang melakukan dosa besar maka dia kafir di dunia dan di akhirat serta kekal di neraka jika mati sebelum bertobat. Jadi, menurut khawarij, pelaku dosa besar adalah kafir dan halal darahnya.
Dalam mensikapi para sahabat, mereka menerima sebagian besar sahabat, namun mengkafirkan Ali, Mu’awiyah, dan orang-orang yang bersama mereka berdua dari kalangan sahabat, dan memerangi mereka, menghalalkan darah dan harta mereka. Dalam masalah asma wa shifat, mereka mengatakan bahwa Allah tidak memiliki nama dan sifat, sebab jika memiliki keduanya, maka Allah sama dengan makhluq.
[6] Mereka adalah para pengikut Washil bin ‘Atha dan ‘Amru bin Ubaid. Mereka dinamakan demikian, karena mereka I’tizal (memisahkan diri) dari majelis Imam Hasan al Bashri (seorang Imam Ahlus Sunnah), ada juga yang menyebutkan sebab lainnya. Pemahaman mereka yang terkenal adalah ungkapan tentang orang yang berdosa besar itu berada di manzilah baina al manzilatain (berada dalam kedudukan diantara dua kedudukan; tidak iman dan tidak kafir). Mu’tazilah mengingkari keimanan orang yang melakukan dosa besar, dan menganggap pelaku dosa besar masuk ke neraka kekal selamanya. Tapi mereka tidak berani mencap mereka kafir dan menghalalkan darahnya, karena itulah mereka disebut “bancinya Khawarij” (Mukhanitsul Khawarij). Dalam hal ‘perbuatan manusia’ / takdir mereka adalah Qadariyah yang berpendapat bahwa sesungguhnya manusia menciptakan perbuatannya sendiri bukan karena kehendak Allah, ini terutama dikemukakan oleh para pengikut Ma’bad bin al Juhni .
Mereka menolak semua sifat Allah, menyatakan bahwa Allah tidak dapat dilihat pada hari kiamat, dan menyatakan Al-Qur’an itu makhluk bukan kalamullah. Mereka juga menyatakan Allah bi kulli makan; menurut mereka orang mu’min tidak masuk neraka, cuma mendatangi, karena jika masuk neraka, tak mungkin keluar lagi dari neraka sama sekali. Mereka pun mengingkari siksa kubur (Kibarul Mu’tazilah wa Dhalaluhum, halaman 30 – 31)
Prinsip pemikiran mereka terangkum dalam Ushul Khamsah (lima prinsip): At-Tauhid (keesaan Alllah): meniadakan sifat-sifat Allah; Al-Adlu (keadilan): mengingkari bahwa perbuatan hamba diciptakan oleh Allah;
Manzilah Bayna Manzilatain (kedudukan diantara dua kedudukan); Al-Wa’du wal Wa’id (janji dan ancaman Allah): pelaku dosa besar kekal di dalam neraka; dan Al-Amru bil ma’ruf wa nahyu ‘anil munkar: menghalalkan pemberontakan kepada penguasa zalim.
[7] Bagi mereka, dosa tidaklah berdampak buruk bagi keimanan, sebagaimana ketaatan tidaklah membawa manfaat bagi kekafiran. Menurut mereka, iman itu hanyalah dibenarkan di hati dan lisan saja, tanpa memasukkan amalan. Amalan tidak masuk dalam hakikat iman, juga bukan bagian dari iman. Jika amalan ditinggalkan seluruhnya, iman tidak akan hilang seluruhnya. Para pelaku dosa besar imannya tetap sempurna, dia tidak berhak dimasukkan ke dalam neraka. Maka atas dasar ini, keimanan manusia paling fasiq sama saja dengan keimanan manusia paling sempurna. Menurut mereka Iman tidaklah bertambah dan tidak berkurang. Karena iman hanyalah pembenaran dengan hati yang tidak bisa masuk penambahan ataukah pengurangan.
Tokoh-tokoh mereka: Hasan bin Bilal Muzni, Abu Sallat Samman, dan Diror bin ‘Umar.
[8] Mereka menganggap Allah memiliki jism (wujud) seperti manusia. Mereka melakukan tasybih (penyerupaan) dan tamtsil (perumpamaan) Allah dengan makhluk. Allah memiliki wajah seperti wajah makhluk, tanganNya seperti makhluk, betisNya seperti makhluk, marahNya seperti makhluk, tertawaNya seperti makhluk, bersemayamNya seperti makhluk, dan lain-lain.
[9] Sebutan ini disandarkan kepada Jahm bin Shafwan. Dalam hal asma wa shifat mereka berfaham ta’thil (mengingkari adanya asma wa sifat bagi Allah). Dalam hal perbuatan manusia mereka berfaham Jabr (Jabariyah/fatalis). Dalam hal dosa dan iman mereka berfaham Irja’ (murji’ah), bahwa bagi mereka pelaku dosa besar tetaplah sempurna imannya, dan tidak berhak dimasukkan ke dalam neraka.
[10] Mereka adalah orang-orang yang berkeyakinan bahwa membenci dan memusuhi ‘Ali bin Abi Thalib dan anak cucunya (Ahlul Bait) merupakan bagian dari agama. (Lihat Lisanul ‘Arab dan Minhajus Sunnah, 4/554). Mereka sangat bangga ketika berhasil menyakiti Ahlul Bait, sampai-sampai tokoh kondang mereka yang bernama ‘Imran bin Hiththan melantunkan bait-bait kegembiraannya atas keberhasilan Abdurrahman bin Muljim Al-Muradi dalam operasinya membunuh ‘Ali bin Abi Thalib.
[11] Lihat: Akan Muncul Da’i-da’i yang Menyeru ke Neraka Jahannam, Syaikh Salim bin Ied al-Hilali, https://almanhaj.or.id/2054-akan-muncul-dai-dai-yang-menyeru-ke-neraka-jahannam.html
[12] Lihat: Syarah hadits Latanqudhanna ‘Ural Islam ‘urwatan ‘urwatan, www.binbaz.org.sa
[13] Markaz Tafsir Riyadh di bawah pengawasan Syaikh Dr. Shalih bin Abdullah bin Humaid
1 comment
Alhamdulillah dan makasih