Di dalam pembahasan madah Nafsul Insan, kita sudah mengetahui bahwa Allah Ta’ala telah mengilhamkan kepada jiwa manusia jalan-jalan kefasikan (al-fujur) dan jalan ketakwaan (at-taqwa).
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا
“Demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)nya, maka Dia (Allah) mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya…” (QS. As-Syams, 91: 7 – 8)
Buya Hamka menjelaskan makna ayat di atas sebagai berikut.
“Diberilah setiap diri itu ilham oleh Tuhan, mana jalan yang buruk, yang berbahaya, yang akan membawa celaka supaya janganlah ditempuh, dan bersamaan dengan itu diberinya pula petunjuk mana jalan yang baik, yang akan membawa selamat dan bahagia dunia dan akhirat.
Artinya, bahwa setiap orang diberi akal buat menimbang, diberikan kesanggupan menerima Ilham dan petunjuk. Semua orang diberitahu mana yang membawa celaka dan mana yang akan selamat. Itulah tanda cinta Allah kepada hamba-Nya.”[1]
Ayat selanjutnya menegaskan,
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا
“Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu), dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.” (QS. As-Syams, 91: 9-10)
Dari ayat-ayat Allah Ta’ala di atas kita mengetahui bahwa manusia terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, mereka yang senantiasa melakukan tazkiyah (penyucian jiwa). Kedua, mereka yang senantiasa melakukan tadsiyah (pengotoran jiwa).
*****
Manusia hendaknya selalu melakukan tazkiyah terhadap jiwanya, yakni dengan cara menghiasi dirinya dengan sifat-sifat mulia, di antaranya adalah:
Pertama, banyak bersyukur (syakur).
Hal ini tiada lain karena kita menyadari bahwa seluruh kenikmatan yang dirasakan selama ini adalah berasal dari Allah Ta’ala.
وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللهِ
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya)…” (QS. An-Nahl, 16: 53)
Kenikmatan tersebut tak terhingga banyaknya,
وَإِنْ تَعُدُّوْا نِعْمَةَ اللهِ لاَ تُحْصُوْهَا
“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya.” (QS. An-Nahl, 16: 18)
Maka seorang mu’min hendaknya tidak lepas dari sikap syukur ini, karena kehidupan ibarat roda yang berputar yang harus dihadapi dengan dua sikap: syukur atau sabar.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
عَجَبًا ِلأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَلِكَ ِلأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْراً لَهُ
“Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin, semua urusannya adalah baik baginya. Hal ini tidak didapatkan kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila mendapatkan kesenangan, dia bersyukur, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya. Sebaliknya apabila tertimpa kesusahan, dia pun bersabar, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya.” (HR. Muslim)
Banyak bersyukur adalah sifat para nabi. Nabi Nuh ‘alaihis salam dipuji oleh Allah Ta’ala karena sifat mulia ini,
إِنَّهُ كَانَ عَبْدًا شَكُوْرًا
“Sesungguhnya dia adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur.” (QS. Isra’, 17: 3)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menginginkan dirinya menjadi hamba yang bersyukur. Untuk itulah beliau selalu melaksanakan shalat malam hingga kedua kakinya bengkak. Manakala ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bertanya, ”Mengapa Anda melakukan ini, padahal Allah telah mengampuni dosa-dosa Anda yang dulu maupun yang akan datang?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
أَفَلاَ أَكُوْنُ عَبْدًا شَكُوْرًا
”Tidak pantaskah jika aku menjadi hamba yang bersyukur?” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kedua, penyabar (shabur).
Sebelumnya sudah disebutkan bahwa ada dua sikap yang tidak bisa lepas dari kehidupan seorang mu’min, yaitu syukur dan sabar, sebagaimana telah disebutkan dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas. Oleh karena itu sikap sabar menjadi sebuah keniscayaan bagi seorang mu’min.
Syaikh Yusuf Al Qaradawi dalam bukunya As-Shabru fil Quran membagi sabar menjadi enam macam, yaitu :
- Sabar Menerima Cobaan Hidup. Seperti lapar, haus, rasa sakit dan kerugian harta. Mengenai hal ini Allah Ta’ala berfirman,
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوفْ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الأَمَوَالِ وَالأنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: ‘Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun’” (QS. Al-Baqarah, 2: 155 – 156)
- Sabar dari Keinginan Hawa Nafsu. Yakni keinginan kepada segala macam kenikmatan hidup, kesenangan dan kemegahan dunia. Segala keinginan tersebut harus kita kendalikan dengan kesabaran agar tidak menyebabkan lalai dari mengingat Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” (QS. Al-Munafiqun, 63: 9)
- Sabar dalam Taat Kepada Allah Ta’ala.Yakni bersungguh-sungguh menghadapi rintangan yang menggoda, baik dari dalam maupun dari luar diri kita, seperti rasa malas, mengantuk dan kesibukan yang menyita waktu untuk beribadah.
رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا فَاعْبُدْهُ وَاصْطَبِرْ لِعِبَادَتِهِ هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا
“Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadat kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?” (QS. Maryam, 19: 65)
- Sabar dalam Berdakwah. Hal ini sebagaimana dinasihatkan oleh Luqman kepada anaknya yang disebutkan di dalam Al-Qur’an,
يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ
“Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (QS. Luqman, 31: 17)
- Sabar dalam Perang. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.” (QS. Ali Imran, 3: 200)
- Sabar dalam Pergaulan. Salah satu prinsip yang diajarkan Islam dalam pergaulan disebutkan di dalam ayat berikut,
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
“Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An Nisa’, 4: 19)
Ketiga, belas kasih (ra’ufun) dan keempat, kasih sayang (rahiimun)
Sifat ra’uf dan rahim adalah bagian dari sifat Allah Ta’ala sebagaimana disebutkan dalam ayat berikut ini,
إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya Allah benar-benar amat Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.” (QS. Al-Baqarah, 2: 143)
Kedua sifat ini pun dinisbatkan oleh Allah Ta’ala kepada pribadi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At-Taubah, 9: 128)
Maka, mereka yang berkehendak mentazkiyah jiwanya, tentu akan berupaya menghiasi jiwanya dengan kedua sifat mulia ini.
Kelima, lembut, santun, murah hati, atau toleran (halim).
Al-Halim adalah salah satu nama dan sifat Allah Ta’ala. Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah dalam Syarh Al-Asma’ul Husna menyebutkan bahwa Al-Halim maknanya adalah penyantun yang sempurna, yang sifat santun-Nya juga mencakup orang-orang kafir dan fasiq serta ahli maksiat. Dia menahan hukuman-Nya terhadap orang-orang yang berbuat zalim untuk memberi tempo agar mereka bertaubat.
Al-Halim juga bermakna Yang terus memberikan nikmat-nikmat kepada makhluk-Nya, lahir maupun batin, walaupun mereka berbuat maksiat dan banyak kesalahan. Allah Ta’ala tidak segera membalas orang-orang yang bermaksiat, namun Dia memberi mereka waktu agar bertaubat dan kembali.[2]
Orang-orang yang yang ingin melakukan tazkiyah akan meneladani sifat-sifat Allah Ta’ala tersebut, sehingga mereka senantiasa bersikap lembut, santun, murah hati, dan toleran.
Keenam, suka bertaubat (awwab).
Manusia adalah makhluk yang lemah. Mereka -tanpa kecuali- seringkali berbuat khilaf dan salah. Namun di dalam ajaran Islam, orang yang baik itu bukanlah orang yang tidak pernah berbuat khilaf dan salah; akan tetapi menurut Islam orang yang baik itu adalah orang yang jika terlanjur berbuat salah ia segera bertaubat kepada Allah Ta’ala.
Bahkan salah satu ciri orang bertakwa yang disebutkan di dalam Al-Qur’an adalah:
وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (QS. Ali Imran, 3: 135)
Disebutkan pula di dalam hadits yang diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik , bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَ خَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُونَ
“Setiap anak Adam (manusia) pasti sering berbuat kesalahan, dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang mau bertaubat.” (H.R. Ibnu Majah no. 4251 dan lainnya).
Oleh karena itu, seseorang yang ingin mentazkiyah jiwanya hendaknya berupaya memiliki sifat awwab ini. Mereka selalu sadar terhadap kekurangan dan kesalahan yang diperbuatnya, lalu segera mengiringinya dengan taubat disertai keyakinan bahwa Allah Ta’ala akan mengampuni dosa-dosanya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اللَّهُ أَفْرَحُ بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ مِنْ أَحَدِكُمْ سَقَطَ عَلَى بَعِيرِهِ ، وَقَدْ أَضَلَّهُ فِى أَرْضِ فَلاَةٍ
“Sesungguhnya Allah itu begitu bergembira dengan taubat hamba-Nya melebihi kegembiraan seseorang di antara kalian yang menemukan kembali untanya yang telah hilang di suatu tanah yang luas.” (HR. Bukhari no. 6309 dan Muslim no. 2747).
Ketujuh, berhati lembut (awwah).
Mengenai makna al-awwah, di dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan beberapa riwayat, diantaranya:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَدَّادِ بْنِ الْهَادِ قَالَ: بَيْنَمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسٌ قَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا الْأَوَّاهُ؟ قَالَ: “الْمُتَضَرِّعُ”، قَالَ: {إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لأوَّاهٌ حَلِيمٌ}
Dari Abdullah ibnu Syaddad ibnul Had mengatakan bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang duduk, seorang lelaki bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah makna al-awwah?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “ Orang yang sangat lembut hatinya. Allah Ta’ala telah berfirman: “Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.” (QS. At-Taubah : 114)
Dalam berbagai riwayat lain yang diketengahkan oleh Ibnu Abu Hatim disebutkan bahwa al-awwah artinya: sangat lembut hatinya lagi banyak berdoa, penyayang, mempunyai keyakinan, orang yang beriman lagi banyak bertaubat, orang yang suka bertasbih (shalat), orang yang memelihara diri, yakni seseorang yang berbuat dosa secara sembunyi-sembunyi, lalu ia bertobat dari dosanya itu dengan sembunyi-sembunyi pula.
Dalam riwayat yang disampaikan dari Al-Hasan Ibnu Muslim disebutkan,
أَنَّ رَجُلًا كَانَ يُكْثِرُ ذِكْرَ اللَّهِ وَيُسَبِّحُ، فَذَكَرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: إِنَّهُ أَوَّاهٌ
Bahwa pernah ada seorang lelaki yang banyak berzikir dan bertasbih kepada Allah. Kemudian perihalnya diceritakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Rasul bersabda: “Sesungguhnya dia awwahun (orang yang berhati lembut).”
Adapula riwayat dari Ibnu Abbas yang menyebutkan:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَفَنَ مَيِّتًا، فَقَالَ: “رَحِمَكَ اللَّهُ إِنْ كنتَ لَأَوَّاهًا”! يَعْنِي: تَلاءً لِلْقُرْآنِ
“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengubur jenazah seseorang, lalu beliau bersabda: ‘Semoga Allah merahmati engkau, sesungguhnya engkau adalah orang yang awwah.’ Yakni banyak membaca Al-Qur’an.”
Ibnu Juraij telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: “Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.” (QS. At-Taubah: 114) Yang dimaksud dengan awwah ialah faqih (memahami agama).
Berkaitan dengan konteks surat At-Taubah ayat 114 di atas, Imam Abu Ja’far Ibnu Jarir mengatakan bahwa pendapat yang paling utama ialah yang mengatakan bahwa al-awwah artinya banyak berdoa, ini sesuai dengan konteks, karena Allah Ta’ala telah menyebutkan bahwa Ibrahim tidak sekali-kali memintakan ampun kepada Allah untuk bapaknya, melainkan karena dia telah berjanji akan melakukannya buat bapaknya.
Makna yang manapun yang kita pilih, sungguh semuanya adalah sifat-sifat yang baik yang menjadi ciri orang-orang yang melakukan tazkiyah.
Kedelapan, selalu bersikap jujur (shaduqun).
Mereka yang mentazkiyah jiwanya, pasti akan berusaha menghiasi dirinya dengan kejujuran, sebagaimana diperintahkan oleh Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah, dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang jujur (benar)!” (QS At-Taubah: 119)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memeritahkan kepada umatnya untuk bersikap jujur.
عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِى إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِى إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا
“Kalian wajib berlaku jujur. Sesungguhnya kejujuran akan mengantarkan kepada kebajikan (ketakwaan) dan sesungguhnya ketakwaan akan mengantarkan kepada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan selalu berusaha untuk jujur maka akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang shiddiiq (yang sangat jujur). Kalian harus menjauhi kedustaan. Sesungguhnya kedustaan itu akan mengantarkan kepada perbuatan dosa dan sesungguhnya dosa itu akan mengantarkan kepada neraka. Jika seseorang senantiasa berdusta dan selalu berusaha untuk berdusta, maka akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang kadzdzaab (suka berdusta).” (HR Al-Bukhari no. 6094 dan Muslim no. 2607/6637)
Bersikap jujur tidaklah mudah; ia membutuhkan kekuatan iman yang prima. Diantara upaya melatih kejujuran adalah dengan cara zuhud terhadap dunia dan menahan diri dari mengikuti orang-orang yang ingkar; hal ini karena kedustaan biasanya berawal dari sikap cinta kepada dunia. Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata,
إِنْ أَرَدْتَ أَنْ تَكُوْنَ مَعَ الصَّادِقِيْنَ، فَعَلَيْكَ بِالزُّهْدِ فِي الدُّنْيَا، وَالكَفُّ عَنْ أَهْلِ المِلَّةِ.
“Apabila engkau ingin bersama orang-orang yang jujur, maka engkau wajib berzuhud terhadap dunia dan menahan diri dari (mengikuti) orang kafir.” (Tafsiir Ibnu Katsir IV/234).
Kesembilan, terpercaya (amiinun).
Yakni dapat diandalkan karena jujur dan tidak suka berbuat curang atau menipu. Sifat ini adalah sifat para rasul. Dalam sirah nabawiyah kita mengetahui bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi gelar al-amin, karena memiliki sifat amanah dan terpercaya. Di dalam Al-Qur’an pun dapat kita temukan beberapa ayat dimana para rasul menyipati dirinya sebagai al-amin. Nabi Nuh berkata kepada kaumnya,
أَلا تَتَّقُونَ. إِنِّي لَكُمْ رَسُولٌ أَمِينٌ.
“Mengapa kamu tidak bertakwa? Sesungguhnya Aku adalah seorang Rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu” (QS. Al-Syu’ara, 26 : 106-107).
Nabi Nuh mengatakan hal tersebut di atas sebagai bentuk keheranannya atas kesyirikan yang dilakukan kaumnya, padahal sudah dilarang olehnya dan dia termasuk orang yang dikenal terpercaya dan tidak pernah dicurigai oleh kaumnya.[3]
Nabi Hud mengatakan pula seperti apa yang dikatakan oleh Nabi Nuh,
أَلا تَتَّقُونَ. إِنِّي لَكُمْ رَسُولٌ أَمِينٌ.
“Mengapa kamu tidak bertakwa? Sesungguhnya Aku adalah seorang Rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu” (QS. Al-Syu’ara’, 26: 124-125).
Pada ayat yang lain, Nabi Hud disebutkan sebagai pemberi nasehat yang dapat dipercaya,
يَا قَوْمِ لَيْسَ بِي سَفَاهَةٌ وَلَكِنِّي رَسُولٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ. أُبَلِّغُكُمْ رِسَالَاتِ رَبِّي وَأَنَا لَكُمْ نَاصِحٌ أَمِينٌ
“Hai kaumku, tidak ada padaku kekurangan akal sedikitpun, tetapi aku ini adalah utusan dari Tuhan semesta alam. Aku menyampaikan amanat-amanat Tuhanku kepadamu dan Aku hanyalah pemberi nasehat yang terpercaya bagimu” (QS. Al-A‘raf, 7: 67-68)
Hal yang sama dilakukan pula oleh Nabi Salih, Nabi Luth dan Nabi Syu’aib, mereka mengingatkan kaumnya tentang sifat jujur dan terpercaya yang telah dikenal sejak dahulu.
Di samping nabi-nabi yang telah disebutkan di atas, nabi yang juga disifati sebagai al-amin adalah Nabi Musa. Bahkan ia disebutkan dua kali sebagai al-amin dalam Al-Qur’an. Pertama, disebutkan pada surat al-Dukhan ayat 18.
وَلَقَدْ فَتَنَّا قَبْلَهُمْ قَوْمَ فِرْعَوْنَ وَجَاءَهُمْ رَسُولٌ كَرِيمٌ. أَنْ أَدُّوا إِلَيَّ عِبَادَ اللَّهِ إِنِّي لَكُمْ رَسُولٌ أَمِينٌ.
“Sesungguhnya sebelum mereka telah kami uji kaum Fir’aun dan telah datang kepada mereka seorang Rasul yang mulia (dengan berkata): “Serahkanlah kepadaku hamba-hamba Allah (Bani Israil yang kamu perbudak). Sesungguhnya Aku adalah utusan (Allah) yang dipercaya kepadamu”.
Sedangkan kata al-amin kedua yang diberikan kepada Nabi Musa berkaitan dengan penilaian salah seorang putri Nabi Syu’aib kepada Nabi Musa,
قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الأمِينُ
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: ‘Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya’” (QS. Al-Qashshas, 28 : 26).
Putri Nabi Syu’aib mensifati Nabi Musa sebagai al-amin karena akhlak Nabi Musa yang menjaga pandangannya ketika berjalan dengan wanita. Dalam tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa Umar, Ibnu Abbas, Syuraih Al-Qadi, Abu Malik, Qatadah, Muhammad ibnu Ishaq, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang telah mengatakan bahwa tatkala wanita itu mengatakan: karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya, maka ayahnya bertanya, “Apakah yang mendorongmu menilainya seperti itu?” Ia menjawab, “Sesungguhnya dia dapat mengangkat batu besar yang tidak dapat diangkat kecuali hanya oleh sepuluh orang laki-laki. Dan sesungguhnya ketika aku berjalan bersamanya, aku berada di depannya, namun ia mengatakan kepadaku, “Berjalanlah kamu di belakangku. Jika aku salah jalan, beri tahulah aku dengan lemparan batu kerikil, agar aku mengetahui jalan mana yang harus kutempuh.’”
Itulah diantara sifat-sifat mulia yang harus kita wujudkan dalam rangka melakukan tazkiyah kepada jiwa kita, dan bagi siapa saja yang mau melakukannya tentu akan menjadi orang yang muflihun (beruntung).
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا
“Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu)…” (QS. As-Syams, 91: 9)
Bersambung ke: Shifatul Insan (Bag. 2)
Catatan Kaki:
[1] Lihat: Tafsir Al-Azhar, Buya Hamka.
[2] Dikutip dari http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=792, dengan sedikit perubahan kata yang tidak mengurangi makna.
[3] Muhammad Tahir ibn ‘Asyur, al-Tahrir wa al-Tanwir, Juz. XIX (Tunis: al-Dar al-Tunisiyah li al-Nasyr, 1984 M.), h. 158