Suasana Pasca Pembunuhan Utsman
Pasca pembunuhan Utsman, Kota Madinah dilanda ketegangan. Al-Ghafiqi bin Harb (salah satu pemimpin pemberontakan), mencari-cari orang yang pantas dibaiat sebagai khalifah.
Penduduk Mesir meminta Ali bin Abu Thalib memangku jabatan kekhalifahan; penduduk Kufah mencari-cari Zubair bin Al-Awwam; penduduk Bashrah meminta Thalhah bin Ubaidillah menjadi Khalifah namun mereka menolak. Mereka kemudian mendatangi Sa’ad bin Abi Waqqash, namun beliau juga menolaknya. Mereka lalu mendatangi Ibnu Umar, namun beliau pun menolak.
Para pemberontak ini akhirnya mengulitimatum penduduk Madinah untuk segera mengambil keputusan dengan ancaman akan membunuh para sahabat Nabi tersebut di atas jika tidak segera menunjuk eorang pemimpin.
Orang-orang akhirnya menemui Ali bin Abu Thalib dan mendesaknya agar bersedia dibaiat menjadi khalifah. Hal ini didukung oleh kaum muhajirin dan anshar. Ali bin Abu Thalib akhirnya bersedia dibaiat pada 25 Dzulhijjah 35 Hijriyah (24 Juni 656 M).
Sahabat nabi yang turut membaiat Ali adalah Thalhah, Zubair, Abdullah bin Umar, dan Sa’ad bin Abi Waqqash. Namun sebagian sahabat, termasuk putranya, Hasan, mengkritik keputusan itu.
‘Ali bin Abi Thalib memang sulit mengelak dari pembaiatan. Ia bersedia menerimanya karena ingin mempertahankan kesatuan umat dan memutus fitnah. Terlebih lagi kalangan Muhajirin dan Anshar menyetujui pembaiatannya. Kaum muslimin sepakat akan keutamaan ‘Ali, beliau memang paling layak memimpin menjadi khalifah.
Kebijakan Politik Ali bin Abi Thalib
Fokus kebijakan politik ‘Ali bin Abu Thalib adalah menyatukan umat, merapikan barisan, dan memulihkan keamanan. Meskipun begitu, pada masanya sempat pula dilakukan pembangunan; membuat saluran-saluran air untuk mengairi lembah-lembah dan membuat pemandian umum di jalan-jalan yang dilalui oleh kaum muslimin.[1]
Pada masa pemerintahannya, Ali bin Abu Thalib memberantas merebaknya hadits-hadits palsu; hingga ia melarang pagelaran pendongeng serta menolak kisah-kisah kecuali yang merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Ali bin Abu Thalib juga tegas dalam menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Ia menegur pedagang yang memonopoli tempat di pasar.[2] Ia juga menegur kaum laki-laki yang membiarkan perempuan-perempuannya pergi ke pasar dan mempertontonkan diri.[3]
Ali bin Abu Thalib membentuk badan pengawas keamanan dan transaksi di pasar. Membangun penjara di Kufah untuk menahan para penjahat. Namun, mereka yang berbuat onar karena terdorong oleh kemiskinannya segera ditanggung kebutuhannya oleh Baitul Mal.
Pada masa Ali bin Abu Thalib dibentuk pasukan polisi yang dipimpin beberapa tokoh, diantaranya: Abu Hiyaj Al-Asadi, Qais bin Sa’ad bin Ubadah, Ma’qal bin Qais Ar-Riyahi, Malik bin Khubaib Al-Yarbu’i, Al-Ashbagh bin Nubatah Al-Majasyi’I dan Said bin Sariyah bin Marrah Al-Khaza’i.
Ali bin Abu Thalib tegas dalam memberantas kemaksiatan. Ia tidak segan membakar kampung Zararah yang merupakan kampung produsen arak.[4]
Ali sering berjalan bersama-sama sahabatnya untuk mengingatkan umat agar segera menegakkan shalat, “Wahai manusia, dirikanlah shalat, dirikanlah shalat.” Ia juga sering membangunkan orang-orang untuk melaksanakan shalat fajar.
‘Ali mengutus Abu Al-Hayaj Al-Asadi untuk memberantas sarana-sarana perbuatan syirik. Hal ini disebutkan dalam riwayat berikut.
عَنْ أَبِي الْهَيَّاجِ الْأَسَدِيِّ قَالَ قَالَ لِي عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ أَلَا أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لَا تَدَعَ تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتَهُ وَلَا قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ
Dari Abul Hayyaj Al Asadi ia berkata, Ali bin Abu Thalib berkata; “Maukah kamu aku utus sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengutusku? Hendaklah kamu jangan meninggalkan patug-patung kecuali kamu hancurkan, dan jangan pula kamu meninggalkan kuburan kecuali kamu ratakan.“ (HR. Muslim)
Upaya Menegakkan Stabilitas Politik
Ali bin Abu Thalib memindahkan Ibukota kekhalifahan Islam dari Madinah ke Kufah, dengan pertimbangan bahwa penduduk Irak lebih loyal dalam mendukungnya. Kufah lebih dekat ke wilayah Syiria, sehingga ia lebih mudah memantau situasi disana pasca terbunuhnya Utsman.
Pada masanya, Ali tidak melakukan perluasan wilayah karena fokus pada permasalahan dalam negeri. Guna meredakan suasana yang memanas, Ali mengganti walikota dan Gubernur yang diangkat oleh Utsman bin Affan.
Ali menunujuk Utsman bin Hunaif menjadi Walikota Bashrah; Imarah bin Syihab menjadi Walikota Kufah; Ubaidillah bin Abbas menjadi Walikota Yaman; Qais bin Sa’ad bin Ubadah menjadi Walikota Mesir; dan Sahl bin Hunaif menjadi Gubernur Syam. Namun hanya tiga dari orang-orang tersebut yang dapat langsung menjabat. Imarah bin Syihab ditolak penduduk Kufah, sehingga Ali membiarkan Abu Musa Al-Asy’ari tetap memimpin di Kufah.
Bersikukuh Mengganti Muawiyah
Sejak awal ‘Ali merasa tidak cocok terhadap Muawiyah. Bahkan pada masa Utsman ia pernah mengusulkan pencopotan Mu’awiyah.
Ali bin Abu Thalib juga memiliki pertimbangan, jika ia mempertahankan Muawiyah menjadi gubernur, maka kondisi pasca kerusuhan tidak akan membaik, penerapan qisas pada para pembunuh Utsman tidak dapat dijalankan, karena para pemberontak pasti akan kembali berbuat onar. Berawal dari sinilah terjadi konflik antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abu Sufyan.
Orang-orang yang Menepi dari Konflik
Menurut Muhammad bin Sirin (w. tahun 110 H), tercatat ada 10.000 sahabat yang tidak melibatkan diri dalam konflik yang terjadi antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abu Sufyan.. Sementara yang terlibat konflik adalah sekitar 100 orang, bahkan ada yang mengatakan hanya sekitar 30 orang, yang dimaksud adalah sahabat dari kalangan muhajirin.
Diantara sahabat senior yang menghindari konflik adalah: Sa’ad bin Abi Waqqash, Abu Musa Al-Asy’ari, Abdullah bin Umar, Umran bin Hashin, Muhammad bin Maslamah Al-Anshari, Usamah bin Zaid, dan Abu Hurairah.
Diantara pertimbangan mereka bersikap seperti itu adalah karena ingin menghindari fitnah sebagaimana pernah disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ بَيْنَ يَدَيْ السَّاعَةِ الْهَرْجَ قَالُوا وَمَا الْهَرْجُ قَالَ الْقَتْلُ قَالُوا أَكْثَرُ مِمَّا نَقْتُلُ إِنَّا لَنَقْتُلُ كُلَّ عَامٍ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِينَ أَلْفًا قَالَ إِنَّهُ لَيْسَ بِقَتْلِكُمْ الْمُشْرِكِينَ وَلَكِنْ قَتْلُ بَعْضِكُمْ بَعْضًا قَالُوا وَمَعَنَا عُقُولُنَا يَوْمَئِذٍ قَالَ إِنَّهُ لَتُنْزَعُ عُقُولُ أَهْلِ ذَلِكَ الزَّمَانِ وَيُخَلَّفُ لَهُ هَبَاءٌ مِنْ النَّاسِ يَحْسِبُ أَكْثَرُهُمْ أَنَّهُمْ عَلَى شَيْءٍ وَلَيْسُوا عَلَى شَيْءٍ
Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya menjelang datangnya hari kiamat, akan terjadi banyak sekali Al Haraj.” Mereka (para sahabat) bertanya, “Apa maksud istilah Al Haraj?” Beliau menjawab: “(Yaitu) pembunuhan.” Mereka bertanya: “Apakah lebih banyak dari yang kami lakukan, karena kami setiap tahun membunuh lebih dari tujuh puluh ribu orang?.” Beliau bersabda: “Bukan seperti yang kalian lakukan yaitu (memerangi) kaum musyrikin. Akan tetapi (pembunuhan yang terjadi) antara sebagian kalian dengan sebagian yang lain (peperangan sesama muslimin).” Mereka bertanya lagi, “Apakah pada hari itu, kami masih bersama dengan orang-orang yang berakal?” Beliau menjawab: “Sesungguhnya orang-orang yang berakal pada masa itu telah banyak yang meninggal, lalu digantikan dengan orang yang tidak memiliki kemampuan apa-apa dari manusia, kelompok yang banyak menyangka mereka mempunyai dasar yang kuat, padahal mereka tidak mempunyai pegangan apa-apa.” (HR. Ahmad)
Para sahabat ini sebenarnya mengetahui bahwa Ali bin Abu Thalib lebih dekat kepada kebenaran, namun mereka ingin menghindari pertumpahan darah. Saat terjadinya konflik mereka diliputi kebingungan.
Di kemudian hari sebagian mereka merasa menyesal tidak mendukung ‘Ali bin Abi Thalib. Al-Baihaqi mengatakan bahwa Sa’ad bin Abi Waqqash mengajukan alasan ketidaksertaannya dalam peperangan, namun selanjutnya berkata: “Pendapatku selama ini keliru.” Wallahu A’lam
(Bersambung)
Catatan Kaki:
[1] Mushannif Abdurrazaq, Jilid 10, hal. 72
[2] lihat: Al-Amwal, Abu Ubaid, hal. 123
[3] lihat: HR. Ahmad dalam musnadnya, jilid 2, hal. 254, 255
[4] Al-Amwal, Abu Ubaid, hal. 97 – 98