Sunnah shalat adalah amalan yang dianjurkan untuk diamalkan dalam shalat agar mendapatkan pahala lebih banyak, dan jika ditinggalkan tidak membatalkan shalatnya, yaitu:
Pertama, mengangkat tangan ketika takbiratul ihram, sehingga setinggi daun telinga, atau bahunya, bagian dalam telapak tangan menghadap kiblat.
كانَ رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم إذا افتتحَ الصلاةَ رفع َيدَيهِ حتى تكوناَ حَذْوَ أُذُنَيهِ
“Biasanya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam ketika memulai shalat beliau mengangkat kedua tangannya sampai setinggi kedua telinganya” (HR. Al Baihaqi 2/26)
كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلمَ إذا قام إلى الصلاةِ يرفعُ يديه حتى إذا كانتا حذوَ مِنكَبيه
“Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika shalat beliau mengangkat kedua tangannya sampai setinggi pundaknya” (HR. Ahmad 9/28, Ahmad Syakir mengatakan: “sanad hadits ini shahih”)
“Ibnu Umar biasanya ketika bertakbir beliau menyukai menghadapkan kedua ibu jarinya ke arah kiblat” (HR. Ibnu Sa’ad dalam Ath Thabaqat 4/157, dinukil dari Shifatu Shalatin Nabi, 63)
Mengangkat tangan ini juga disunnahkan ketika hendak ruku’ dan bangun ruku’. Menurut jumhurul ulama.
Imam Al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ إِذَا افْتَتَحَ الصَّلَاةَ وَإِذَا كَبَّرَ لِلرُّكُوعِ وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرُّكُوعِ رَفَعَهُمَا كَذَلِكَ أَيْضًا وَقَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ وَكَانَ لَا يَفْعَلُ ذَلِكَ فِي السُّجُودِ
“Bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam apabila takbir membuka shalat, beliau mengangkat kedua tangannya sejajar dengan kedua bahunya, dan juga mengangkat kedua tangannya apabila bertakbir untuk ruku’…” (Shahih al-Bukhari 1/148 no.735)
Tidak ada yang berbeda kecuali madzhab Hanafi dan sebagian madzhab Maliki.
Kedua, meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri. Ada dua cara. Pertama, meletakkan kanan di atas tangan kiri tanpa melingkari atau menggenggam, seperti disebutkan dalam hadits Wa’il bin Hujr tentang sifat shalat Nabi,
ثم وضَع يدَه اليُمنى على ظهرِ كفِّه اليُسرى والرُّسغِ والساعدِ
“..setelah itu beliau meletakkan tangan kanannya di atas punggung tangan kiri, atau di atas pergelangan tangan atau di atas lengan” (HR. Abu Daud 727).
Kedua, jari-jari tangan kanan melingkari atau menggenggam tangan kiri, seperti disebutkan dalam hadits Wa’il bin Hujr radhiallahu ’anhu:
رأيتُ رسولَ اللَّهِ إذا كانَ قائمًا في الصَّلاةِ قبضَ بيمينِهِ على شمالِهِ
“Aku Melihat Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berdiri dalam shalat beliau melingkari tangan kirinya dengan tangan kanannya” (HR. An Nasa-i 886, Al Baihaqi 2/28, dishahihkan Al Albani dalam Shahih An Nasa-i).
Kedua tangan tersebut diletakkan di dada, atau di bawahnya, atau di bawah pusar. Semua ini bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana melepaskan kedua tangan itu.
Madzhab Hanafi dan Hambali berpendapat bahwa letak sedekap adalah di bawah pusar. Berdasarkan hadits:
أَنَّ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : مِنَ السُّنَّةِ وَضْعُ الْكَفِّ عَلَى الْكَفِّ فِي الصَّلَاةِ تَحْتَ السُّرَّةِ
“Ali radhiallahu’anhu berkata: Termasuk sunnah, meletakkan telapak tangan di atas telapak tangan dalam shalat di bawah pusar” (HR. Abu Daud 758, Al Baihaqi, 2/31)
Namun hadits ini sangat lemah karena ada perawinya yang bernama Ziad bin Zaid Al Kufi statusnya majhul ‘ain, dan Abdurrahman bin Ishaq yang berstatus dhaiful hadits.
Adapun Syafi’iyyah dan Malikiyyah berpendapat di bawah dada dan di atas pusar. Dalilnya hadits Wail bin Hujr:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَضَعُ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى يَدِهِ الْيُسْرَى ثُمَّ يَشُدُّ بَيْنَهُمَا عَلَى صَدْرِهِ وَهُوَ فِي الصَّلَاةِ
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya kemudian mengencangkan keduanya di atas dadanya ketika beliau shalat” (HR,. Abu Daud 759, Al Baihaqi 4/38, Ath Thabrani dalam Mu’jam Al Kabir 3322)
Syafi’iyyah dan Malikiyyah memaknai bahwa maksud lafadz عَلَى صَدْرِهِ adalah bagian akhir dari dada.
Ketiga, membuka shalat setelah takbiratul ihram dengan do’a iftitah yang diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘a;aihi wa sallam, di antaranya:
– « سبحانك اللَّهُمّ وبحمدِك وتَبارك اسمك وتَعالى جَدُّك ولا إله غيرك »، رواه أبو داود والحاكم وصحّحه ووافقه الذهبي.
– « وَجَّهت وجهي لِلَّذي فطر السماوات والأرضَ حنيفاً ومَا أَنَا من المشْركين، إنَّ صلاتي ونسُكِي ومَحْيَاي ومَماتي لِلَّهِ ربِّ العالمين، لا شَريك له، وبذلك أمرت وأنا مِن المسلمِين »، رواه مسلم وأبو داود والنسائي وابن حِبان وأحمد والطَّبراني والشافعي
Keempat, membaca isti’adzah yaitu: (أعوذُ بِالله من الشيطانِ الرجيم) setelah membaca doa iftitah, dan sebelum membaca Al-Fatihah di rakaat pertama. Dan tidak apa-apa jika dibaca setiap rakaat sebelum membaca. Hal ini berdasarkan firman Allah, “Apabila kamu membaca Al Quran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.” (Q.S. An-Nahl: 98)
Kelima, membaca “Aamiin” setelah membaca Al Fatihah, baik menjadi imam, makmum maupun sendirian. Dengan suara keras pada shalat jahriyah, dan pelan pada shalat sirriyah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا صَلَّيْتُمْ فَأَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ ثُمَّ لْيَؤُمَّكُمْ أَحَدُكُمْ فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا وَإِذَا قَالَ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ فَقُولُوا آمِينَ. يُجِبْكُمُ اللَّهُ
“Apabila kalian shalat maka luruskanlah shaf (barisan) kalian kemudian hendaknya salah seorang diantara kalian menjadi imam. Apabila imam bertakbir maka kalian bertakbir dan bila imam mengucapkan ‘Ghairil maghdhûb bi’alaihim walaadh-dhâlîn’ maka ucapkanlah: âmîn, niscaya Allâh mengabulkannya.” (HR Muslim no. 4/119)
Keenam, membaca sebagian Al Qur’an setelah surah Al Fatihah, kecuali pada rakaat ketiga dan keempat, yang cukup hanya dengan surah Al Fatihah saja.
Diantara dalilnya adalah sabda nabi shallallahu’alaihi wasallam dari sahabat Abu Qatadah,
انَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الرَّكْعَتَيْنِ الأُولَيَيْنِ مِنْ صَلاَةِ الظُّهْرِ بِفَاتِحَةِ الكِتَابِ، وَسُورَتَيْنِ يُطَوِّلُ فِي الأُولَى، وَيُقَصِّرُ فِي الثَّانِيَةِ وَيُسْمِعُ الآيَةَ أَحْيَانًا، وَكَانَ يَقْرَأُ فِي العَصْرِ بِفَاتِحَةِ الكِتَابِ وَسُورَتَيْنِ، وَكَانَ يُطَوِّلُ فِي الأُولَى، وَكَانَ يُطَوِّلُ فِي الرَّكْعَةِ الأُولَى مِنْ صَلاَةِ الصُّبْحِ، وَيُقَصِّرُ فِي الثَّانِيَةِ
“Nabi shallallahu’alaihi wasallam membaca Al-Fatihah di dua rakaat pertama shalat zhuhur dan juga membaca dua surat yang panjang pada rakaat pertama dan pendek pada rakaat kedua dan terkadang hanya satu ayat. Beliau membaca Al-Fatihah di dua rakaat pertama shalat ashar dan juga membaca dua surat dengan surat yang panjang pada rakaat pertama. Beliau juga biasanya memperpanjang bacaan surat di rakaat pertama shalat subuh dan memperpendeknya di rakaat kedua” (HR Al-Bukhari 759, Muslim 451).
Membaca Al Qur’an yang disukai sedikit atau banyak. Satu surat sempurna atau sebagiannya. Semua ini bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Disunnahkan membaca pada rakaat pertama lebih panjang daripada rakaat kedua. Diriwayatkan pula bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surah-surah pendek pada shalat maghrib, sebagaimana pernah membaca surah surah Al A’raf, As Shaffat, dan Ad Dukhan.
Disunnahkan pula memperindah suara ketika membaca Al Qur’an, waqaf setiap ayat. Ketika melewati ayat rahmat disunnahkan berdoa meminta anugerah Allah. Dan jika melintasi ayat adzab disunnahkan memohon perlindungan Allah darinya.
Disunnahkan pula mengeraskan bacaan shalat subuh, jum’at, dua rakaat awal maghrib dan isya’, dan tidak bersuara pada shalat selainnya. Sedangkan dalam shalat sunnah disunnahka sirriyah pada shalat siang hari, dan jahriyah waktu tahajjud, qiyamullail. Jahriyyah dan sirriyah pada tempat masing-masing adalah sunnah shalat. Jika ditinggalkan dengan sengaja atau lupa, tidak mempengaruhi shalat.
Sedangkan bagi makmum wajib mendengarkan dan memperhatikan imam yang membaca dengan jahriyyah. Makmum membaca Al Qur’an ketika imam membacanya dengan sirriyah, karena firman Allah, “Dan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al A’raf: 204)
Dan hadits Nabi:
« وإذا كبَّر الإِمام فكبِّروا، وإذا قَرأ فأنصتوا »، صحَّحه مسلم
“Jika ia bertakbir, maka bertakbirlah, dan jika ia membaca (Al Qur’an) maka dengarkanlah.” Dishahihkan oleh imam Muslim.
Ini menurut madzhab Maliki, sedangkan madzhab Syafi’i mewajibkan membaca Al Fatihah setiap rakaat di belakang imam. Sedang madzhab Hanafi melarang membaca di belakang imam, baik dalam shalat jahriyah maupun sirriyah.
Ketujuh, disunnahkan bertakbir setiap turun naik, berdiri dan duduk, kecuali bangun ruku’.
عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِالرَّحْمٰنِ؛ أَنَّ أَباَ هُرَيْرَةَ كَانَ يُصَلِّي لَهُمْ فَيُكَبِّرُ كُلَّماَ خَفَضَ وَرَفَعَ. فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ
وَاللهِ! إِنِّي َلأَشْبَهُكُمْ صَلاَةً بِرَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم.
Dari Abu Salamah bin Abdurrahman bahwa Abu Hurairah shalat mengimami para sahabat. Ia bertakbir tiap kali turun dan bangun. Ketika selesai ia berkata: “Demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling mirip dengan shalat Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam.”
Dalam ruku’ disunnahkan rata antara kepala dan punggung. Abu Humaid As Sa’idiy berbicara mengenai cara ruku’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ يَصُبُّ رَأْسَهُ وَلاَ يُقْنِعُ مُعْتَدِلاً
“Ketika ruku’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membuat kepalanya terlalu menunduk dan tidak terlalu mengangkat kepalanya (hingga lebih dari punggung), yang beliau lakukan adalah pertengahan.” (HR. Ibnu Majah no. 1061 dan Abu Daud no. 730. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Menggunakan kedua tangan bertumpu ke lutut, dengan membentangkan jari-jari. Abu Humaid As Sa’idiy berkata mengenai cara ruku’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَإِذَا رَكَعَ أَمْكَنَ كَفَّيْهِ مِنْ رُكْبَتَيْهِ وَفَرَّجَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ
“Jika ruku’, beliau meletakkan dua tangannya di lututnya dan merenggangkan jari-jemarinya.” (HR. Abu Daud no. 731. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Kemudian disertai dzikir, (سبحانَ ربي العَظيم) tiga kali atau lebih, atau dengan redaksi lain yang bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti:
(سُبُّوحٌ قُدّوس رَبُّ الملائِكَة والرُّوح)،
(اللهمَّ لك ركعتُ، وبكَ آمنت، ولكَ أسلمت، أنت ربي، خَشع لك سَمعي وبَصري، ومُخِّي وعَظمي وعَصبي، وما استقلت به قَدمي لله رب العالمين)
Kedelapan, disunnahkan ketika bangun ruku’ membaca: (سَمع الله لمن حَمِده)
Dan ketika sudah berdiri tegak membaca: (اللّهمّ ربَّنا ولكَ الحمد)
(اللهمَّ ربنا لك الحمد حَمداً كثيراً طيباً مباركاً فيه) Atau kalimat lain yang bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hadits riwayat Ibnu Abi Aufa radhiyallahu ’anhu, ia berkata,
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم، إِذَا رَفَعَ ظَهْرَهُ مِنَ الرُّكُوْعِ قَالَ “سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ اَللّٰهُمَّ! رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ. مِلْءُ السَّمَاوَاتِ وَمِلْءُ اْلأَرْضِ. وَمِلْءُ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ
“Pernah Rasulullah shallallahu alaihi wa salam , ketika mengangkat punggungnya dari ruku’ membaca, ‘Allah mendengar orang yang memuji-Nya. Yaa Allah Tuhan kami (hanya) untukMu lah (segala) puji sepenuh langit dan sepenuh bumi dan sepenuh segala sesuatu sesuai KehendakMu setelahnya’”
Kesembilan, mendahulukan lutut sebelum tangan ketika hendak bersujud,
إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَبْرُكْ كَمَا يَبْرُكُ الْبَعِيرُ
“Janganlah salah satu kalian turun untuk sujud sebagaimana bentuk turunnya unta ketika hendak menderum.” (HR. Abu Daud no. 840 dan An Nasai no. 1092. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).
Namun hadits ini ada tambahan, satu versi mengatakan,
وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ
“Hendaknya dia letakkan tangannya sebelum lututnya.”
Sedangkan versi lain mengatakan,
وَلْيَضَعْ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ
“Hendaknya dia letakkan dua lututnya sebelum dua tangannya.”
Para ulama berbeda pendapat mengenai tambahan kalimat dalam hadits ini.
Dicontohkan di dalam sujud untuk menempelkan hidung, dahi dan kedua telapak tangan ke tanah (alas shalat),
أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ عَلَى الْجَبْهَةِ – وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ – وَالْيَدَيْنِ ، وَالرُّكْبَتَيْنِ وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ
“Aku diperintahkan bersujud dengan tujuh bagian anggota badan: (1) Dahi (termasuk juga hidung, beliau mengisyaratkan dengan tangannya), (2,3) telapak tangan kanan dan kiri, (4,5) lutut kanan dan kiri, dan (6,7) ujung kaki kanan dan kiri.” (HR. Bukhari no. 812 dan Muslim no. 490)
Disunahkan menjauhkan kedua tangannya dari lambung,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا سَجَدَ جَافَى يَدَيْهِ فَلَوْ أَنَّ بَهْمَةً أَرَادَتْ أَنْ تَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ لَمَرَّتْ
“Nabi jika sujud menjauhkan kedua tangannya dari lambung, sekiranya ada anak kambing lewat antara keduanya tangannya, pasti ia akan dapat melewatinya.” (HR. Ibnu Majah No.870).
Juga meletakkan kedua telapak tangan sejajar dengan telinga atau punggung,
عَنْ أَبِى حُمَيْدٍ السَّاعِدِىِّ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا سَجَدَ أَمْكَنَ أَنْفَهُ وَجَبْهَتَهُ مِنَ الأَرْضِ وَنَحَّى يَدَيْهِ عَنْ جَنْبَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ
Dari Abu Humaid as Sa’idi, “Sesungguhnya Nabi jika bersujud beliau menekankan hidung dan dahi beliau di tempat sujud, menjauhkan kedua tangannya dari dua lambungnya dan meletakkan kedua telapak tangannya sejajar dengan bahunya.” (HR Tirmidzi no 270. Hadits ini dinilai sebagai hadits hasan shahih oleh Tirmidzi dan dinilai shahih oleh al Albani).
Juga membuka jari-jari tangannya dan menghadapkanya ke kiblat,
عَنْ أَبُو حُمَيْدٍ السَّاعِدِىُّ :فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَ يَدَيْهِ غَيْرَ مُفْتَرِشٍ وَلاَ قَابِضِهِمَا ، وَاسْتَقْبَلَ بِأَطْرَافِ أَصَابِعِ رِجْلَيْهِ الْقِبْلَةَ
Abu Humaid As Sa’idy rahimahullah berkata (menceritakan shalatnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam): “Maka jika sujud, beliau meletakkan kedua tangannya dengan tidak merebahkannya dan tidak menggengamnya, dan mengarahkan ujung jari-jemari kakinya menghadap kiblat”. (HR. Bukhari)
Minimal yang dibaca dalam sujud adalah (سبحانَ ربي الأعلى) dan diperbolehkan menambah tasbih, dzikir, dan do’a khusus yang bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti:
– اللّهمّ لك سجدتُ وبك آمنت، ولك أسلمت وأنت ربي، سَجد وجهي للذي خَلقه وصوَّره فأحسَن صوره، وشقَّ سَمعه وبصره فتباركَ الله أحسنُ الخالقين. رواه مسلم
Kesepuluh, duduk antara dua sujud dengan duduk iftirasy (duduk di atas kaki kiri) kaki kanan tegak, dan jari-jari kaki kanan menghadap kiblat, dengan membaca do’a ma’tsur (bersumber dari Nabi), antara lain:
(اللهمّ اغفر لي وارحَمني وعافِني واهدِنِي وارزُقني (رواه الترمذي
Menurut madzhab Syafi’i, disunnahkan pula duduk istirahat setelah sujud kedua sebelum bangun, untuk rakaat yang tidak ada tasyahhud.
Kesebelas, tasyahhud awal (wajib menurut madzhab Hannafi) dengan duduk iftirasy, meletakkan tangan kanan di atas paha kanan dan tangan kiri di atas paha kiri, menunjuk dengan jari telunjuk kanan. Disunnahkan agak lebih cepat.
Kedua belas, duduk tawarruk untuk tasyahhud akhir, yaitu dengan mendorong kaki kiri ke depan, mendirikan kaki kanan, dan duduk di tempat shalat. Abu Humaid As-Sa’idi berkata,
أَنَا كُنْتُ أَحْفَظَكُمْ لِصَلاَةِ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – رَأَيْتُهُ إِذَا كَبَّرَ جَعَلَ يَدَيْهِ حِذَاءَ مَنْكِبَيْهِ ، وَإِذَا رَكَعَ أَمْكَنَ يَدَيْهِ مِنْ رُكْبَتَيْهِ ، ثُمَّ هَصَرَ ظَهْرَهُ ، فَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ اسْتَوَى حَتَّى يَعُودَ كُلُّ فَقَارٍ مَكَانَهُ ، فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَ يَدَيْهِ غَيْرَ مُفْتَرِشٍ وَلاَ قَابِضِهِمَا ، وَاسْتَقْبَلَ بِأَطْرَافِ أَصَابِعِ رِجْلَيْهِ الْقِبْلَةَ ، فَإِذَا جَلَسَ فِى الرَّكْعَتَيْنِ جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْيُمْنَى ، وَإِذَا جَلَسَ فِى الرَّكْعَةِ الآخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الأُخْرَى وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِهِ .
“Aku adalah orang yang paling menghafal di antara kalian tentang shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku melihatnya tatkala bertakbir, beliau menjadikan kedua tangannya sejajar dengan kedua pundaknya. Jika ruku’, beliau menetapkan kedua tangannya pada kedua lututnya, lalu meluruskan punggungnya. Jika mengangkat kepalanya, beliau berdiri tegak hingga kembali setiap dari tulang belakangnya ke tempatnya. Jika sujud, beliau meletakkan kedua tangannya tanpa menidurkan kedua lengannya dan tidak pula melekatkannya (pada lambungnya) dan menghadapkan jari-jari kakinya ke arah kiblat. Jika beliau duduk pada raka’at kedua, maka beliau duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan (duduk iftirosy). Jika duduk pada raka’at terakhir, beliau mengedepankan kaki kirinya dan menegakkan kaki yang lain (kaki kanan), dan duduk di atas lantai – bukan di atas kaki kiri- (duduk tawarruk).” (HR. Al Bukhari).
Disunnahkan pula bershalawat kepada Nabi setelah tasyahhud dengan shalawat Ibrahimiyyah. Dari Ka’ab bin Ujrah –radhiallahu anhu– dia berkata,
خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْنَا قَدْ عَرَفْنَا كَيْفَ نُسَلِّمُ عَلَيْكَ فَكَيْفَ نُصَلِّي عَلَيْكَ قَالَ قُولُوا اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
“Rasululllah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar melewati kami, maka kami berkata, ‘Sungguh kami telah mengetahui bagaimana mengucapkan salam kepada anda. Hanya saja bagaimana cara bershalawat kepada anda?’ Beliau bersabda, “Kalian katakanlah: Allahumma shalli ‘alaa Muhammad wa’alaa aali Muhammad, kamaa shallaita ‘alaa aali Ibraahiima innaka hamiidun majiid, Allaahumma baarik ‘alaa Muhammadin wa’alaa aali Muhammadin kamaa baarakta ‘alaa aali Ibraahiima innaka hamiidun majiid (Ya Allah, berilah shalawat atas Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau memberi shalawat atas keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia. Ya Allah, berilah berkah atas Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau memberi berkah kepada keluarga Ibrahim. Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia).” (HR. Muslim no. 406)
Ketiga belas, berdo’a sebelum salam dengan do’a ma’tsur, antara lain:
« اللهمَّ اغفر لي ما قَدَّمتُ وما أخَّرت، وما أسْرَرت وما أعْلنت، وما أسرفْت وما أنتَ أعلم به مني، أنتَ المقدِّم وأنت المؤخِّر لا إله إلّا أنت ». رواه مسلم.
– « اللهمَّ إني أعوذ بك من عذاب جهنَّم، ومن عذاب القبر، ومن فتنةِ المَحيا والمَمات، ومن شَرِّ فتنةِ المسيح الدَّجال»، رواه مسلم.
Keempatbelas, memperbanyak dzikir setelah salam dengan dzikir ma’tsur, antara lain:
– « اللَّهم أنتَ السلام ومنك السلام، تَباركت يا ذا الجلال والإِكرام »، رواه مسلم.
– « من سَبَّح في دُبر كلِّ صلاةٍ ثلاثاً وثَلاثين، وحَمد الله ثلاثاً وثلاثين، وكبَّر الله ثلاثاً وثلاثين، فتلك تِسعة وتِسعون، وقال تمام المائة: لا إله إلا الله وَحده لا شَريك له، لَه الملك ولَه الحمد وهو على كلِّ شيء قَدير، غُفرت خطاياه وإن كَانت مثل زَبد البَحر»، رواه مسلم.
“Barangsiapa bertasbih di akhir shalat tiga puluh tiga kali, bertahmid tiga puluh tiga kali, bertakbir tiga puluh tiga kali, sehingga jumlah (dzikir) keseluruhannya sembilan puluh sembilan, kemudian digenapkan menjadi seratus kali dengan ucapan la ilaha illallahu wahdahu la syarikalah, lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai’in qadir, akan diampuni kesalahannya walaupun sebanyak buih di lautan.” (HR. Muslim)