Pertautan Hati
Di materi-materi sebelumnya, kita telah mengetahui bahwa salah satu pilar takwinul ummah adalah takwinu ruhil jama’ah (membentuk semangat persatuan, kesatuan, atau kebersamaan). Kita telah mengetahui, faktor pertama yang menjadi pengokoh takwinu ruhil jama’ah ini adalah al-i’tisham bi habli-Llah (berpegang teguh pada tali Allah). Faktor selanjutnya yang menjadi pengokoh takwinu ruhil jama’ah adalah ta’liful qulub (pertautan hati). Tanpa persatuan dan pertautan hati, tumbuhnya ruhul jama’ah menjadi sesuatu yang mustahil.
Dalam konteks keumatan atau konteks jama’ah Islamiyah, ta’liful qulub ini maknanya adalah:
Pertama, al-ijtima’u ‘alal mahabbah (berkumpul karena saling mencinta karena Allah).
Salah satu golongan yang disebut dalam hadits ‘tujuh golongan yang akan mendapat naungan Allah di hari kiamat’ adalah:
رَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ
“Dua orang yang saling mencintai karena Allah, keduanya berkumpul di atas dasar (mencintai karena Allah) itu…” (Muttafaq Alaih)
Makna hadits ini adalah mereka bersatu dan bermuamalah semata-mata karena mencintai Allah Ta’ala.
Saling mencinta atau berkasih sayang karena Allah Ta’ala adalah ciri umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini diberitakan langsung oleh Allah Ta’ala melalui firman-Nya,
مُّحَمَّدٌ رَّسُولُ اللَّهِ ۚ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ
“Muhammad itu adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka…..” (QS. Al-Fath, 48: 29)
Hal ini pun merupakan bukti kokohnya ikatan iman. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَوْثَقُ عُرَى اْلإِيْمَانِ:الْمُوَالاَةُ فِي اللهِ، وَالْمُعَادَاةُ فِي اللهِ، وَالْحُبُّ فِي اللهِ، وَالبُغْضُ فِي اللهِ
“Ikatan iman yang paling kuat adalah loyalitas karena Allah dan permusuhan karena Allah, mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.” (HR. Ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir [no.11537], lihat Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah [IV/306, no. 1728])
Kedua, al-iltiqa-u ‘alat-tha’ah (bertemu untuk ketaatan kepada Allah)
Kelanjutan dari potongan hadits berikut ini,
رَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ
adalah kalimat,
وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ
“…dan keduanya bercerai di atas dasar (mencintai karena Allah) itu…” (Muttafaq Alaih)
Maknanya adalah mereka bertemu untuk ketaatan kepada Allah Ta’ala dan akan berpisah jika tidak untuk ketaatan kepada Allah Ta’ala. Kapan pun salah seorang di antara mereka berubah dari sifat mencintai Allah Ta’ala ini, pastilah salah seorang dari mereka akan menjauh.
Ketiga, at-tawahhudu ‘alad da’wah (bersatu karena dakwah)
Hal ini disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ أُولَٰئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah, 9: 71)
Keempat, at-ta’ahudu ‘alal jihad (berjanji untuk perjuangan)
Perjanjian untuk teguh beragama dan kesiapan berjuang dicontohkan kaum Anshar, yakni suku Aus dan Khazraj, ketika berbaiat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berkomitmen menegakkan nilai-nilai ajaran Islam serta berjuang dan berkorban di jalan Allah Ta’ala.
وَٱذْكُرُوا۟ نِعْمَةَ ٱللَّهِ عَلَيْكُمْ وَمِيثَٰقَهُ ٱلَّذِى وَاثَقَكُم بِهِۦٓ إِذْ قُلْتُمْ سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌۢ بِذَاتِ ٱلصُّدُورِ
“Dan ingatlah karunia Allah kepadamu dan perjanjian-Nya yang telah diikat-Nya dengan kamu, ketika kamu mengatakan: “Kami dengar dan kami taati”. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Mengetahui isi hati(mu).” (QS. Al-Maidah, 5: 7)
Inilah ta’liful qulub yang hakiki yang harus dibangun dalam masyarakat Islam dimana pun mereka berada, inilah tautsiqu ribathil qulub (keteguhan dan kekokohan hati-hati) yang sebenarnya.
Dengan tautsiqu ribathil qulub seperti itu masing-masing individu dalam sebuah komunitas, jama’ah, masyarakat atau umat akan mendapatkan keberkahan tak terhingga dari Rabb alam semesta:
Pertama, idamatul mahabbah, keabadian cinta diantara mereka.
Cinta atas dasar iman kekal hingga yaumil akhir. Di akhirat nanti, orang-orang yang saling mencintai karena Allah Ta’ala akan memperoleh kemuliaan yang agung dari Allah Ta’ala.
Dari Umar bin Al-Khathab radhiyallahu ‘anhu; “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
«إِنَّ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ لَأُنَاسًا مَا هُمْ بِأَنْبِيَاءَ، وَلَا شُهَدَاءَ يَغْبِطُهُمُ الْأَنْبِيَاءُ وَالشُّهَدَاءُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، بِمَكَانِهِمْ مِنَ اللَّهِ تَعَالَى»
“Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah terdapat beberapa manusia yang bukan para nabi dan orang-orang yang mati syahid. Para nabi dan orang-orang yang mati syahid merasa iri kepada mereka pada Hari Kiamat karena kedudukan mereka di sisi Allah ta’ala.”
Mereka (para sahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah Anda akan mengabarkan kepada kami siapakah mereka?”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«هُمْ قَوْمٌ تَحَابُّوا بِرُوحِ اللَّهِ عَلَى غَيْرِ أَرْحَامٍ بَيْنَهُمْ، وَلَا أَمْوَالٍ يَتَعَاطَوْنَهَا، فَوَاللَّهِ إِنَّ وُجُوهَهُمْ لَنُورٌ، وَإِنَّهُمْ عَلَى نُورٍ لَا يَخَافُونَ إِذَا خَافَ النَّاسُ، وَلَا يَحْزَنُونَ إِذَا حَزِنَ النَّاسُ»
“Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai dengan ruh dari Allah tanpa ada hubungan kekerabatan di antara mereka, dan tanpa adanya harta yang saling mereka berikan. Demi Allah, sesungguhnya wajah mereka adalah cahaya, dan sesungguhnya mereka berada di atas cahaya, tidak merasa takut ketika orang-orang merasa takut, dan tidak bersedih ketika orang-orang merasa bersedih.”
Kemudian beliau membaca ayat ini.
أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Yunus, 10: 62)” (Sunan Abu Daud: Shahih)
Kedua, hidayatus subul, petunjuk menuju jalan-jalan keselamatan.
Keberkahan ini mereka dapatkan karena mereka selalu berupaya menjalani apa yang diridhai oleh Allah Ta’ala.
يَهْدِى بِهِ ٱللَّهُ مَنِ ٱتَّبَعَ رِضْوَٰنَهُۥ سُبُلَ ٱلسَّلَٰمِ وَيُخْرِجُهُم مِّنَ ٱلظُّلُمَٰتِ إِلَى ٱلنُّورِ بِإِذْنِهِۦ وَيَهْدِيهِمْ إِلَىٰ صِرَٰطٍ مُّسْتَقِيمٍ
“Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (QS. Al-Maidah, 5: 16)
Mereka berhimpun dan mengikatkan diri pada al-haq (kebenaran) dan ahlul haq (pengikut kebenaran), maka mereka selalu dalam keadaan terbimbing dan tidak akan tersesat. Renungkanlah hadits berikut ini.
عن أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ أُمَّتِي لاَ تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلاَلَةٍ فَإِذَا رَأَيْتُمْ اخْتِلاَفًا فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ اْلأَعْظَمِ. (رواه ابن ماجه)
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadinya perselisihan, maka ikutilah sawadil a’dzam (kelompok mayoritas, yakni mereka berpegang kepada kebenaran, red.).” (HR. Ibnu Majah)
Ketiga, mereka mendapatkan imla-un nur (limpahan cahaya)
Mereka yang bertaut hatinya karena Allah Ta’ala dan berkumpul atas dasar cinta dan ketaatan kepada-Nya akan selalu mendapatkan limpahan cahaya Islam,
يَهْدِى ٱللَّهُ لِنُورِهِۦ مَن يَشَآءُ
“Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki.” (QS. An-Nur, 24: 35)
Mereka akan selalu memperoleh limpahan cahaya iman,
اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ ۖ وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَوْلِيَاؤُهُمُ الطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُمْ مِنَ النُّورِ إِلَى الظُّلُمَاتِ ۗ أُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah, 2: 257)
Selalu teringatkan tentang perkara halal dan haram,
فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالنُّورِ الَّذِي أَنْزَلْنَا ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada cahaya (Al-Quran) yang telah Kami turunkan. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. At-Taghabun, 68: 8)
Mengapa ta’liful qulub diantara sesama muslim menjadi cahaya? Tidak lain karena ta’liful qulub itulah yang mendorong mereka saling tolong menolong dalam keadaan mereka berbuat zalim atau dizalimi. Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا
“Tolonglah saudaramu yang berbuat zalim dan yang dizalimi.”
فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنْصُرُهُ إِذَا كَانَ مَظْلُومًا ، أَفَرَأَيْتَ إِذَا كَانَ ظَالِمًا كَيْفَ أَنْصُرُهُ
Kemudian ada seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, kami pasti menolongnya jika mereka terzalimi, lalu jika mereka zalim, bagaimana mungkin kami menolongnya?”
قَالَ « تَحْجُزُهُ أَوْ تَمْنَعُهُ مِنَ الظُّلْمِ ، فَإِنَّ ذَلِكَ نَصْرُهُ »
Beliau menjawab, “Kamu cegah dia dari berbuat zalim, maka sesungguhnya engkau telah menolongnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Keempat, syarhush shadr, kelapangan dada.
Cahaya iman yang melimpah membuat mereka lapang dada, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,
فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ ۖ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ ۚ كَذَٰلِكَ يَجْعَلُ اللَّهُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ
“Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.” (QS. Al-An’am, 6: 125)
Abu Ja’far al-Mada’iny berkata:[1]
وَسُئِلَ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ هَذِهِ الْآيَة ” فَمَنْ يُرِدْ اللَّه أَنْ يَهْدِيه يَشْرَح صَدْره لِلْإِسْلَامِ ” قَالُوا : كَيْفَ يَشْرَح صَدْره يَا رَسُول اللَّه ؟ قَالَ نُور يَقْذِف فِيهِ فَيَنْشَرِح لَهُ وَيَنْفَسِح قَالُوا : فَهَلْ لِذَلِكَ مِنْ أَمَارَة يُعْرَف بِهَا ؟ قَالَ الْإِنَابَة إِلَى دَار الْخُلُود وَالتَّجَافِي عَنْ دَار الْغُرُور وَالِاسْتِعْدَاد لِلْمَوْتِ قَبْل لِقَاء الْمَوْت
“Rasulullah ditannya tentang ayat ini (QS. Al-An’am ayat 125) oleh para sahabat: ‘Ya Rasulullah, bagaimana bisa dadanya menjadi lapang?’ Beliau menjawab: ‘Karena cahaya yang dimasukkan kedalam dadanya sehingga terasa luas dan lapang baginya’. Mereka berkata: ‘Apakah hal itu ada tandanya sehingga bisa diketahui?’. Beliau menjawab: ‘Yakni dengan mendekatkan diri pada negeri yang kekal (akhirat), menjauhi negeri yang penuh tipu daya (dunia), dan menyiapkan kematian sebelum kedatangannya’”. Hadist ini dikeluarkan oleh Abdurrazaq, Ibnu Jarir dan yang lainnya; ini adalah hadist yang dhaif karena termasuk hadist mursal, namun memiliki beberapa penguat.[2]
Kelima, al-ihya-u bil ma’rifah (hatinya hidup karena ilmu, pengetahuan, dan pemahaman yang benar yang dilandasi iman)
Hidup di tengah-tengah umat, jama’ah, komunitas, dan masyarakat yang islami akan membuat hati kita hidup. Ma’rifah kepada Allah, rasul, dan dinul Islam menjadikan hati kita ridho dan merasakan nikmatnya iman.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ذَاقَ طَعْمَ الْإِيمَانِ مَنْ رَضِيَ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولًا
“Akan merasakan kelezatan iman, orang yang ridha Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai Rasul” (HR Muslim)
Malik bin Dinar berkata,
مَسَاكِيْنُ أَهْلِ الدُّنْيَا خَرَجُوا مِنْهَا وَمَا ذَاقُوا أَطْيَبَ مَا فِيهَا. قِيلَ: وَمَا أَطْيَبُ مَا فِيهَا؟ قَالَ: مَحَبَّةُ اللهِ وَمَعْرِفَتُهُ وَذِكْرُهُ
“Sesungguhnya orang-orang miskin dari ahli dunia adalah mereka yang meninggalkan dunia, namun belum merasakan apa yang terlezat di dunia.” Ditanya, “Kenikmatan apakah yang paling lezat di dunia?” Dijawab, “Mahabbah (cinta) kepada Allah, ma’rifah (mengenal) kepada-Nya dan mengingat-Nya.”[3]
Keenam, al-imatahu bisy-syahadah (mematikan dalam syahadah)
Manakala seseorang telah hidup di bawah naungan iman; berkumpul karena Allah Ta’ala, bertemu dalam ketaatan kepada-Nya, dan bersatu dalam perjuangan menolong syariat-Nya, maka layaklah mereka berharap kepada-Nya agar dimatikan dalam syahadah.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا تَعُدُّونَ الشَّهِيدَ فِيكُمْ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ قُتِلَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَهُوَ شَهِيدٌ قَالَ إِنَّ شُهَدَاءَ أُمَّتِي إِذًا لَقَلِيلٌ قَالُوا فَمَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَنْ قُتِلَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَهُوَ شَهِيدٌ وَمَنْ مَاتَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَهُوَ شَهِيدٌ وَمَنْ مَاتَ فِي الطَّاعُونِ فَهُوَ شَهِيدٌ وَمَنْ مَاتَ فِي الْبَطْنِ فَهُوَ شَهِيدٌ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Apa yang dimaksud orang yang mati syahid di antara kalian?’ para sahabat menjawab, ‘Wahai Rasulullah, orang yang meninggal karena berjuang di jalan Allah itulah orang yang mati syahid.’ Beliau bersabda: ‘Kalau begitu, sedikit sekali jumlah umatku yang mati syahid.’ Para sahabat berkata, ‘Lantas siapakah mereka ya Rasulullah?’ beliau bersabda: ‘Barangsiapa terbunuh di jalan Allah maka dialah syahid, dan siapa yang mati di jalan Allah juga syahid, siapa yang mati karena tha’un juga syahid, siapa yang mati karena sakit perut juga syahid.’” (HR. Muslim)
Dalam hadis lain, dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قُتِلَ دُونَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ
“Siapa yang terbunuh karena membela hartanya maka dia syahid.” (HR. Bukhari).
Dari Jabir bin Atik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الشَّهَادَةُ سَبْعٌ سِوَى الْقَتْلِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ: الْمَطْعُونُ شَهِيدٌ، وَالْغَرِقُ شَهِيدٌ، وَصَاحِبُ ذَاتِ الْجَنْبِ شَهِيدٌ، وَالْمَبْطُونُ شَهِيدٌ، وَصَاحِبُ الْحَرِيقِ شَهِيدٌ، وَالَّذِي يَمُوتُ تَحْتَ الْهَدْمِ شَهِيدٌ، وَالْمَرْأَةُ تَمُوتُ بِجُمْعٍ شَهِيدٌ
“Selain yang terbunuh di jalan Allah, mati syahid ada tujuh: mati karena tha’un syahid, mati karena tenggelam syahid, mati karena sakit tulang rusuk syahid, mati karena sakit perut syahid, mati karena terbakar syahid, mati karena tertimpa benda keras syahid, wanita yang mati karena melahirkan syahid.” (HR. Abu Daud).
Semoga Allah Ta’ala melimpahkan seluruh karunia agung ini kepada kita. Aamiin.
Catatan Kaki:
[1] Teks hadits di atas saya ambil dari http://www.quran-for-all.com/t-6-1-125.html
[2] Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir, Muhammad Sulaiman Al-Asyqar, hal. 144, Darun Nafais Yordania
[3] As-Syariah Edisi 079, Jalan Meraih Manisnya Iman, Abu Ismail Muhammad Rijal, Lc.