Oleh: KH. Hilmi Aminuddin
Sebenarnya, soal nasionalisme atau kebangsaan, di PKS biasa kita bahas, bahkan pada pembinaan kader-kader tingkat pemula. Istilah kita kader tamhidiyah. Di tingkat pemula saja pasti diajari tentang doktrin-doktrin masalah cinta. Yaitu cinta yang dibingkai oleh batas-batas geografis ataupun cinta yang dibatasi oleh batas demografis.
Dari sudut pandang kami, yang mudah-mudahan insya Allah ini adalah sudut pandang Islam, nasionalisme atau kebangsaan itu adalah suatu hal yang fitri. Kata orang Malaysia, “yang semula jadi”, dan bersifat universal. Karena cinta kepada bangsa, kepada tanah air itu pasti ada pada makhluk yang bernyawa.
Bahkan Al-Qur’an pun karena sifatnya fitrah, memberikan isyarat-isyarat yang tegas tentang hal itu. Umpamanya ketika kita harus berbuat kebaikan, kata Allah SWT dalam Al-Qur’an,
وَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ
“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya…” (Q.S. Al-Isra’: 26)
Sudah tentu ‘kerabat dekat’ ini bukan hanya kedekatan dalam kaitan darah keturunan. Tapi bisa juga kedekatan geografis-demografis. Jadi menunaikan hak-hak kekerabatan itu, kita dituntut untuk melaksanakannya sebagai perintah Allah.
Begitu juga ayat lain menyebutkan, ketika kita berdakwah, memberi peringatan, beramar ma’ruf nahi munkar, yang didahulukan harus orang yang dekat dulu. Allah SWT berfirman,
وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ
“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (Q.S. Asy-Syu’ara: 214).
Dan, keluarga dekat kita adalah keluarga besar bangsa Indonesia dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Rasulullah SAW ketika hijrah ke Madinah, beliau sangat merindukan untuk kembali ke Makkah. Kerinduan ini dijawab langsung oleh wahyu Allah SWT,
إِنَّ الَّذِي فَرَضَ عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لَرَادُّكَ إِلَى مَعَادٍ
“Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Al Quran, benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali (Makkah)…” (Q.S. Al-Qashash: 85)
Jadi, kecintaan kepada tanah air, kepada bangsa, itu adalah fitrah. Atas dasar ini maka doktrin-doktrin seperti itu, yaitu kecintaan kepada tanah air, kepada bangsa—kita tanamkan pada masa tamhidiyah atau masa kader pemula.
Walaupun begitu, kita tidak menginginkan nasionalisme dan kebangsaan yang super dalam pengertian yang meremehkan, mendiskriditkan, dan merendahkan bangsa lain, atau menyepelekan negeri-negeri lain. Karena semangat kebersamaan dan kerjasama dalam kehidupan nasionalisme dan kebangsaan ini kita kembangkan secara lebih luas dalam konteks semangat kebersamaan dan semangat kerjasama dalam kehidupan kemanusiaan secara global internasional.
Kalau dalam pergaulan internasional itu kita tidak mempunyai basis bingkai kebangsaan dan ketanah-airan, maka kita tidak begitu dihargai. Cenderung dianggap pengungsi, cenderung dianggap wabah yang patut dikasihani. Sehingga tidak bisa tampil dengan mengangkat kepala. Tapi ketika kita tampil mewakili bangsa Indonesia, negara Indonesia, yang luasnya seluas Eropa Barat dan Timur, ketika kita tampil di forum internasional dengan memiliki basis bingkai kebangsaan dan ketanah-airan, niscaya ada kebanggaan dan kita pun dihargai.
Jadi, saya ingin menggaris bawahi, bahwa nasionalisme dan kebangsaan bagi kami adalah sangat fitrah, ‘semula jadi’ dan universal. Sehingga tidak harus menjadi sesuatu yang sangat complicated dan sulit. Masalah ini sudah selesai, karena itu bagian dari fitrah.
Kebersamaan dalam Merespon Arus Perubahan
Kita menghadapi arus perubahan yang terus menerus. Terutama dipacu dan dipicu oleh arus informasi secara global yang demikian deras. Perubahan mendorong kita untuk merespon bahkan mengantisipasi.
Sebetulnya perubahan itu adalah keniscayaan. Ada istilah dalam bahasa Arab, “Dawamul haal minal muhaal.”, artinya, “Keadaan yang tetap itu adalah sesuatu yang mustahil.”
Jadi memang selalu berubah, dan kita diharapkan mampu menjadi agen-agen perubahan. Agar jangan tergerus oleh perubahan yang didorong oleh hegemoni pihak-pihak asing. Tapi perubahan yang dilakukan oleh bangsa sendiri. Dalam merespon arus perubahan itu sudah barang tentu kita tidak mungkin sendirian. Sebab perubahan ini pasti dialami oleh semua komponen bangsa. Oleh karena itu merespon perubahan harus berdasarkan semangat kebersamaan dan semangat kerjasama dari segenap komponen bangsa.
Agar kebersamaan itu bisa terjalin, maka forum-forum dialog, berkomunikasi dan bermusyawarah harus semakin digalakkan. Untuk memudahkan dialog, berkomunikasi dan musyawarah, kita harus mempunyai ijabiyatur ru’yah atau positive thinking antara satu dengan yang lain.
Semua kita punya potensi positif—dan inilah yang harus kita gali, kita bangun, kita jalin, kita koordinasikan dan kita konsolidasikan. Potensi positif yang dimiliki oleh segenap komponen bangsa inilah yang harus kita himpun. Maka modal dasarnya adalah positif thinking. Jangan ada pandangan minor dan mendeskriditkan satu sama lain.
Insya Allah kalau kita sering musyawarah, sering bertemu, sering berembuk, kita bisa melahirkan al-khittah adz-dzakiyah, atau smart planning, perencanaan yang cerdas. Perencanaan yang cerdas yang sudah menghimpun daya inovasi bangsa ini, daya kreatif bangsa ini dan semangat kebersamaan bangsa ini, serta semangat kerjasama bangsa ini. Sehingga perencanaan kita Insya Allah menjadi perencanaan yang cerdas, sebab merupakan hasil urunan, urun rembuk dari seluruh komponen bangsa.
Yang ketiga harus ditindak lanjuti dengan al-a’maal al-qawiyyah (kerja keras). Insya Allah dengan tiga hal ini: positive thinking, smart planning, dan hard working—kita bisa selalu merespon perubahan. Walaupun perubahan itu sulit, didorong juga arus globalisasi, tapi dengan semangat kebersamaan, pandangan positif antara satu dengan yang lain, termasuk juga kepada aspek-aspek perubahan yang datang dari luar, kita bisa meramu dalam perencanaan kita yang cerdas, smart planning. Setelah smart planning, kita bekerja keras untuk merespon arus perubahan dan arus globalisasi. Sehingga bangsa Indonesia akan terus berjaya dalam merespon perubahan dan globalisasi. Tidak menjadi bangsa yang ketakutan melihat perubahan, ketakutan melihat globalisasi. Tapi justeru Insya Allah kita menjadi bangsa yang maju, bisa mewarnai arus perubahan dan arus globalisasi.
Menjadi Bangsa yang Unggul
Sudah tentu, untuk bisa mewarnai arus perubahan dan arus globalisasi, kita harus menjadi bangsa yang unggul. Apalagi bangsa ini secara geografis dan demografis adalah bangsa yang besar. Wilayahnya luas, populasinya besar. Sehingga jika bangsa ini berpegang teguh kepada nilai-nilai yang berakar pada budaya bangsa yaitu bangsa yang religius, insya Allah kita akan mempunyai winning value, nilai yang unggul, yang menang dalam menghadapi arus globalisasi dan arus perubahan apa pun.
Yang kedua, nilai-nilai itu harus dijabarkan dalam bentuk konsep, yang disusun bersama oleh komponen-komponen bangsa. Sehingga kita mempunyai winning concept, konsep yang unggul, yang pantas menang dalam pergaulan internasional.
Yang ketiga, kita juga harus unggul dalam sistem (winning system). Kalau bicara sistem, harus terkait dengan kerja dan kinerja, terkait dengan performa, terkait dengan regulasi, terkait dengan pengaturan-pengaturan, terkait dengan pembagian tugas, terkait dengan sistem komunikasi dan kerja sama antar komponen bangsa. Sistem inilah yang harus kita wujudkan. Sistem yang laik menang dalam pergaulan internasional, winning system.
Yang keempat, kita juga harus menjadi bangsa yang satu dan terpadu. Dengan kesatuan dan keterpaduan bangsa ini, kita bisa menjadi winning team dalam pergaulan antar bangsa. Satu tim. Ketika kita tampil di mana pun adalah merasa mewakili bangsa dan didukung oleh seluruh bangsa dan juga melaksanakan program-program bangsa dan misi-misi bangsa. Agar bangsa ini menjadi satu tim.
Walaupun kita berpartai-partai, saya lihat partai-partai ini hanya sebuah lembaga penataan potensi bangsa. Karena potensi bangsa besar ini tidak mungkin diurus oleh satu partai. Partai apapun tidak bisa sendiri mengurus bangsa ini. Tapi kita juga harus berbagi. Menata potensi bangsa ini, mengelola potensi bangsa ini, dan mengarahkan potensi bangsa ini. Yang kemudian secara sistematis kita padukan, kita konsolidasikan, kita koordinasikan, dan kita mobilisasikan untuk mencapai sebesar-besarnya mashlahat bagi bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia.
Yang kelima, sudah tentu target-target pencapaian perjuangan bangsa ini sangat banyak. Tapi kita harus ambil skala prioritas, mana yang didahulukan.Harus ada winning goal. Dimana seluruh komponen bangsa serentak mencapai kesatuan pencapaian prioritas. Tentu ini perlu ada kesepakatan bersama, sering berkomunikasi, sering bermusyawarah, sering duduk bersama. Agar skala prioritas target-target perjuangan bangsa Indonesia ini bisa kita sepakati tahap demi tahap, sebagai winning goal, atau tujuan yang akan kita unggulkan dan kita menangkan dalam prospek perjuangan bangsa.
Mudah-mudahan apa yang saya sampaikan memperjelas dan bisa menjawab pertanyaan tentang nasionalisme atau kebangsaan dalam benak, pikiran kader-kader PKS. Ini bisa dibilang merupakan jawaban resmi dari PKS.