Sedangkan jiwa kita akan menjadi kotor apabila kita membiarkan sifat-sifat tidak terpuji bersarang di dalamnya, di antara sifat-sifat tidak terpuji itu adalah:
Pertama, tergesa-gesa (‘ajulan).
Allah Ta’ala menyebutkan tentang hal ini dengan firman-Nya,
وَكَانَ الْإِنْسَانُ عَجُولًا
“Dan manusia bersifat tergesa-gesa.” (QS. Al-Isra, 17:11)
Di dalam Al-Qur’anul Karim wa Tafsiruhu disebutkan bahwa yang dimaksud manusia itu mempunyai sifat tergesa-gesa yaitu apabila ia menginginkan sesuatu sesuai dengan kehendak hatinya, maka tertutuplah pikirannya untuk menilai apa yang diinginkannya itu, apakah bermanfaat bagi dirinya, ataukah merugikan. Hal itu semata-mata didorong oleh sifat-sifat tergesa-gesa untuk mencapai tujuannya, tanpa dipikirkan dengan pemikiran yang matang terlebih dahulu. Hal ini menunjukkan bahwa pada umumnya manusia itu tertarik pada keadaan lahiriah dari sesuatu tanpa meneliti hakikat dan rahasia dari sesuatu itu lebih mendalam.[1]
Berkenaan dengan sifat tergesa-gesa ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
التَّأَنيِّ مِنَ اللهِ وَ العُجْلَةُ مِنَ الشَّيْطَانِ
“Sifat perlahan-lahan (sabar) berasal dari Allah. Sedangkan sifat ingin tergesa-gesa itu berasal dari setan.” (HR. Abu Ya’la dan Baihaqi).
Kedua, suka mengeluh (halu’an).
إِنَّ الإنْسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعًا وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعًا
“Sungguh, manusia diciptakan bersifat suka mengeluh. Apabila dia ditimpa kesusahan dia berkeluh kesah, dan apabila mendapat kebaikan (harta) dia jadi kikir.” (QS. Al-Ma’arij, 70: 19-21)
Manusia suka berkeluh kesah ketika mendapatkan musibah seperti kemiskinan, sakit, hilangnya sesuatu yang dicintai baik harta, istri maupun anak dan tidak menyikapinya dengan sikap sabar dan ridha kepada taqdir Allah. Mereka juga tidak menginfakkan harta yang Allah berikan kepadanya dan tidak bersyukur kepada Allah atas nikmat-nikmat-Nya. Dia berkeluh kesah ketika mendapatkan kesusahan dan menjadi kikir ketika mendapatkan kesenangan. [2]
Ketiga, lalai (ghafilan).
Sifat lalai yang dimaksud disini adalah lengah atau tidak memperhatikan apa yang seharusnya diperhatikan untuk kebaikan diri sendiri. Di dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat yang menyebutkan tentang hal ini. Diantaranya disebutkan bahwa manusia akan celaka gara-gara lengah dari memahami ayat-ayat Allah, tidak memperhatikan kekuasaan-Nya, dan tidak mau mendengarkan berbagai perintah dan larangan-Nya.
وَ لَقَدْ ذَرَأْنا لِجَهَنَّمَ كَثيراً مِنَ الْجِنِّ وَ الْإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لا يَفْقَهُونَ بِها وَ لَهُمْ أَعْيُنٌ لا يُبْصِرُونَ بِها وَ لَهُمْ آذانٌ لا يَسْمَعُونَ بِها أُولئِكَ كَالْأَنْعامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولئِكَ هُمُ الْغافِلُونَ
“Dan sesungguhnya Kami ciptakan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari bangsa jin dan manusia. Mereka mempunyai hati, tetapi mereka tidak mempergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), mereka mempunyai mata (tetapi) mereka tidak mempergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) mereka tidak mempergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’raf, 7:179)
Penyebab manusia berada dalam kondisi ghafilan adalah karena mereka hanya mengilmui urusan dunia. Mereka memandang persoalan hidup ini secara pragmatis, yakni memandangnya menurut kegunaan dan manfaat yang lahir saja. Mereka mengetahui tentang hidup ini hanyalah yang nampak di depan mata, seperti bercocok tanam, berdagang, bekerja dan yang lain yang berhubungan dengan urusan dunia.[3] Hal ini menyebabkan mereka lalai terhadap kehidupan akhirat. Allah Ta’ala berfirman,
يَعْلَمُونَ ظاهِراً مِنَ الْحَياةِ الدُّنْيا وَ هُمْ عَنِ الْآخِرَةِ هُمْ غافِلُونَ
“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia ini; sedang mereka lalai tentang (kehidupan) akhirat.” (QS. Al-Rum , 30:7)
Mereka merasa puas dengan kehidupan dunia, tidak percaya kepada hari akhirat dan melalaikan ayat-ayat Allah Ta’ala,
إِنَّ الَّذِينَ لا يَرْجُونَ لِقَاءَنَا وَرَضُوا بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاطْمَأَنُّوا بِهَا وَالَّذِينَ هُمْ عَنْ آيَاتِنَا غَافِلُونَ أُولَئِكَ مَأْوَاهُمُ النَّارُ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan) pertemuan dengan Kami, dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan (kehidupan itu) dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami, mereka itu tempatnya di neraka, karena apa yang telah mereka lakukan.” (QS. Yunus, 10: 7 – 8)
Kotornya jiwa menyebabkan mereka dikuasai oleh setan seperti dikuasainya tubuh manusia oleh virus atau kanker yang ganas, na’udzubillahi min dzalik…
اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمُ الشَّيْطَانُ فَأَنسَاهُمْ ذِكْرَ اللَّهِ
“Setan telah menguasai mereka lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah.” (QS. Al-Mujadilah, 5:19)
Jika mereka tidak segera men-tazkiyah jiwanya, mereka akan tetap dalam kondisi seperti itu, sementara hari penghisaban telah hampir datang,
اقْتَرَبَ لِلنَّاسِ حِسَابُهُمْ وَهُمْ فِي غَفْلَةٍ مُعْرِضُونَ
“Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling (daripadanya).” (QS. Al-Anbiya’, 21:1).
Imam Asy-Syaukani menjelaskan pengertian ghaflah (lalai) dalam ayat ini dengan menyatakan: “Pengertiannya mereka berada dalam kelalaian oleh dunia dan berpaling dari akhirat tidak bersiap-siap dengan kewajiban mereka berupa iman kepada Allah dan melaksanakan kewajiban serta menjauhi semua larangan” (Fathu al-Qadir 3/566)
Keempat, melampaui batas (thaghiyan).
Sifat melampaui batas disini maksudnya adalah melampaui/melanggar rambu-rambu perintah dan larangan Allah Ta’ala. Mereka menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah Ta’ala melalui seruan para rasul.
Allah Ta’ala berfirman,
كَلَّا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَيَطْغَى أَنْ رَآهُ اسْتَغْنَى
“Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup.” (QS. Al-‘Alaq, 96: 6-7)
Allah menyesali manusia karena banyak mereka yang cenderung lupa diri sehingga melakukan tindakan-tindakan yang melampaui batas, yaitu kafir kepada Allah dan sewenang-wenang terhadap manusia. Kecenderungan itu terjadi kepada mereka merasa sudah berkecukupan. Dengan demikian, ia merasa tidak perlu beriman, dan karena itu ia berani melanggar hukum-hukum Allah. Begitu juga karena sudah merasa berkecukupan, ia merasa tidak butuh orang lain dan merasa berkuasa, dan karena itu ia akan bertindak sewenang-wenang terhadap orang lain itu.[4]
Diantara contoh sikap orang-orang yang melampaui batas yang disebutkan di dalam Al-Qur’an adalah sikap para pemilik kebun yang enggan menyisihkan sebagian hasil panennya untuk fakir miskin. Mereka pergi untuk memanen hasil kebunnya di pagi hari dengan berbisik-bisik untuk menghindari orang-orang miskin. Padahal Allah Ta’ala telah memusnahkan kebun-kebun mereka itu di malam harinya. Maka pada saat mereka melihat kebun-kebunnya yang telah musnah ini, barulah mereka sadar terhadap perilaku melampaui batas yang telah mereka kerjakan.
قَالُوا يَا وَيْلَنَا إِنَّا كُنَّا طَاغِينَ
“Mereka berkata: ‘Aduhai celakalah kita; sesungguhnya kita ini adalah orang-orang yang melampaui batas’”. (QS. Al-Qalam, 68: 31)
Contoh lain sifat thagiyan adalah apa yang ditunjukkan oleh Fir’aun la’natullahi ‘alaih yang selalu berbuat kejam dan bengis serta sangat durhaka dan sombong. Allah Ta’ala mengutus Musa kepadanya agar ia mau bertaubat menyucikan jiwanya, mengikuti petunjuk Allah Ta’ala, dan takut kepada-Nya, namun ia malah membangkang dan berlaku sombong. Bahkan mendakwa diri sebagai tuhan yang paling tinggi.
هَلْ أتَاكَ حَدِيثُ مُوسَى (١٥) إِذْ نَادَاهُ رَبُّهُ بِالْوَادِي الْمُقَدَّسِ طُوًى (١٦) اذْهَبْ إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى (١٧) فَقُلْ هَلْ لَكَ إِلَى أَنْ تَزَكَّى (١٨) وَأَهْدِيَكَ إِلَى رَبِّكَ فَتَخْشَى (١٩) فَأَرَاهُ الآيَةَ الْكُبْرَى (٢٠) فَكَذَّبَ وَعَصَى (٢١) ثُمَّ أَدْبَرَ يَسْعَى (٢٢) فَحَشَرَ فَنَادَى (٢٣) فَقَالَ أَنَا رَبُّكُمُ الأعْلَى (٢٤) فَأَخَذَهُ اللَّهُ نَكَالَ الآخِرَةِ وَالأولَى (٢٥) إِنَّ فِي ذَلِكَ لَعِبْرَةً لِمَنْ يَخْشَى (٢٦)
“Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) kisah Musa? Ketika Tuhan memanggilnya (Musa) di lembah suci yaitu lembah Thuwa; “Pergilah engkau kepada Fir’aun! Sesungguhnya dia telah melampaui batas (dalam kekafiran), maka katakanlah (kepada Fir’aun), “Adakah keinginanmu untuk membersihkan diri (dari kesesatan), dan engkau akan kupimpin ke jalan Tuhanmu agar engkau takut kepada-Nya?” Lalu (Musa) memperlihatkan kepadanya mukjizat yang besar. Tetapi dia (Fir´aun) mendustakan dan mendurhakai. Kemudian dia berpaling seraya berusaha menantang (Musa). Kemudian dia mengumpulkan (pembesar-pembesarnya) lalu berseru (memanggil kaumnya). (seraya) berkata, “Akulah tuhanmu yang paling tinggi.” Maka Allah menghukumnya dengan azab di akhirat dan azab di dunia. Sungguh, pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang yang takut (kepada Allah).” (QS. An Nazi’at, 79: 15-26).
Kelima, kikir (qaturan).
Manakala manusia selalu terpaut hatinya kepada dunia dimana orientasi hidupnya adalah kesenangan materi, maka pastilah mereka akan selalu berlomba-lomba mengejar perbendaharaan dunia untuk berbangga diri dan bermegah-megahan. Inilah yang menyebabkan mereka bersifat kikir dan jiwanya menjadi kotor karenanya. Mereka tidak sadar hakikat harta dan kekayaan sebagai pemberian dan titipan Allah Ta’ala.
قُلْ لَوْ أَنْتُمْ تَمْلِكُونَ خَزَائِنَ رَحْمَةِ رَبِّي إِذًا لَأَمْسَكْتُمْ خَشْيَةَ الْإِنْفَاقِ وَكَانَ الْإِنْسَانُ قَتُورًا
“Katakanlah: ‘Kalau seandainya kamu menguasai khazanah rahmat Tuhanku, niscaya khazanah itu kamu tahan, karena takut membelanjakannya’. Dan adalah manusia itu sangat kikir“. (QS. Al-Isra’, 17: 100 )
Di dalam Tafsir At-Thabari disebutkan bahwa menurut Ibnu Abbas, qaturan artinya adalah bakhilan (bakhil/kikir).[5]
Di dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam perilaku kekikiran ini disebut pula dengan istilah as-syuhhu, yang digolongkan oleh beliau sebagai bagian dari as-sab’ul mubiqat (tujul hal yang menghancurkan).
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ» قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا هِيَ؟ قَالَ: «الشِّرْكُ بِاللَّهِ، وَالشُّحُّ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ، وَأَكْلُ الرِّبَا، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ، وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ»
Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, “Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, ‘Jauhillah tujuh kehancuran yang dapat menimpa kalian.’ Lalu (shahabat) bertanya, ‘Apakah itu wahai Rasulullah?’ Lalu beliau menjawab, ‘Menyekutukan Allah, kikir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari peperangan, menuduh zina wanita mukminat yang suci.” (HR. an-Nasa`i).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan orang bakhil adalah orang yang menahan (hartanya) dengan tidak menunaikan (hak dan kewajiban) yang berkaitan dengan harta yang dimilikinya tersebut. Sedangkan orang kikir (as-syuhhu) adalah orang yang tamak/rakus terhadap apa-apa yang sebenarnya bukan miliknya, dan tentu saja ini lebih parah dari bakhil, karena orang yang kikir itu selalu berambisi terhadap apa-apa yang dimiliki oleh orang lain, dan dirinya tidak menjalankan apa-apa yang Allah wajibkan kepadanya, seperti zakat, berinfak, dan hal-hal lain yang sudah selayaknya dia lakukan (dengan harta yang dimilikinya). (Syarh Riyadhus Shalihin, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, penerbit Alfa, Juz ke-2, halaman 234)
Perilaku as-syuhhu (kikir) disebut pula dapat menyebabkan pertumpahan darah dan mencederai kehormatan sesama manusia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِيَّاكُمْ وَالظُّلْمَ، فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَاتَّقُوا الشُّحَّ، فَإِنَّ الشُّحَّ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، حَمَلَهُمْ عَلَى أَنْ سَفَكُوا دِمَاءَهُمْ، وَاسْتَحَلُّوا مَحَارِمَهُمْ
“Berhati-hatilah kalian terhadap perbuatan dzalim, karena sesungguhnya dzalim itu merupakan kegelapan yang paling gulita kelak di hari kiamat. Dan berhati-hatilah kalian dari sifat kikir, karena sifat kikir telah membinasakan orang-orang sebelum kalian. Sifat kikir pulalah yang telah membuat mereka tega menumpahkan darah dan menghalalkan kehormatan sesama mereka.” (HR Muslim)
Keenam, ingkar (kafuran).
Allah Ta’ala telah membimbing manusia ke jalan kebenaran dengan mengutus kepada mereka para rasul-Nya. Akan tetapi sebagian besar manusia malah mengingkarinya.
إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا
“Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.” (QS. Al-Insan, 76: 3).
Diantara bentuk perbuatan kufur yang mereka lakukan adalah menjadikan makhluk-makhluk -yang merupakan hamba-hamba Allah- menjadi bagian dari Allah Ta’ala,
وَجَعَلُوا لَهُ مِنْ عِبَادِهِ جُزْءًا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَكَفُورٌ مُبِينٌ
“Dan mereka menjadikan sebahagian dari hamba-hamba-Nya sebagai bahagian daripada-Nya. Sesungguhnya manusia itu benar-benar pengingkar yang nyata.” (QS. Az-Zukhruf, 43: 15).
Mereka menjadikan berhala-berhala, jin, malaikat, pohon-pohon dan batu-batu sebagai tempat meminta pertolongan. Akan tetapi ketika mereka ditimpa marabahaya yang mengancam jiwanya dimana mereka tidak dapat meminta tolong kecuali kepada-Nya, barulah mereka menyeru-Nya dengan sungguh-sungguh. Namun setelah selamat, mereka kembali berpaling dari-Nya.
وَإِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فِي الْبَحْرِ ضَلَّ مَنْ تَدْعُونَ إِلَّا إِيَّاهُ فَلَمَّا نَجَّاكُمْ إِلَى الْبَرِّ أَعْرَضْتُمْ وَكَانَ الْإِنْسَانُ كَفُورًا
“Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia, maka tatkala Dia menyelamatkan kamu ke daratan, kamu berpaling. Dan manusia itu adalah selalu tidak berterima kasih.” (QS. Al-Israa, 17: 67).
Di ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman,
وَإِنَّا إِذَا أَذَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنَّا رَحْمَةً فَرِحَ بِهَا وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ فَإِنَّ الْإِنْسَانَ كَفُورٌ
“Sesungguhnya apabila Kami merasakan kepada manusia sesuatu rahmat dari Kami, dia bergembira ria karena rahmat itu. Dan jika mereka ditimpa kesusahan disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri (niscaya mereka ingkar) karena sesungguhnya manusia itu amat ingkar (kepada nikmat).” (QS. As-Syura, 42: 48)
Dengan sifat inilah, manusia menjadi kotor jiwanya. Jika diberi kekayaan, dikaruniai kesenangan hidup, kesejahteraan jasmani, perasaan aman sentosa, mereka senang dan gembira atas karunia tersebut, bahkan sering menimbulkan perasaan angkuh dan takabur. Tetapi sebaliknya apabila mereka ditimpa kemiskinan, penyakit, musibah yang bermacam-macam berupa banjir, kebakaran akibat dosa dan maksiat yang dikerjakannya, mereka mengingkari semua karunia yang telah diberikan Allah kepadanya, lupa akan karunia itu, malah mereka lupa mengerjakan kebaikan.
Kafuran adalah sifat syaithan. Hal ini ditegaskan oleh Allah Ta’ala,
وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا
“…dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS. Al-Isra, 17: 27)
Syaithan mengingkari nikmat Allah dan tidak mau mensyukurinya, bahkan setan itu membangkang tidak mau menaati perintah Allah, malah menggoda manusia agar berbuat maksiat.
Ketujuh, suka membantah (jadalan).
Yakni selalu membantah kebenaran, padahal telah datang kepadanya berbagai macam keterangan yang sangat jelas.
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ صَرَّفْنَا فِي هَذَا الْقُرْآنِ لِلنَّاسِ مِنْ كُلِّ مَثَلٍ وَكَانَ الْإِنْسَانُ أَكْثَرَ شَيْءٍ جَدَلًا
“Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulangi bagi manusia dalam Al Qur’an ini bermacam-macam perumpamaan. Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah.” (QS. Al-Kahfi, 18: 54)
Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini sebagai berikut, “Sesungguhnya Kami telah menjelaskan dan menerangkan di dalam Al-Qur’an ini berbagai perkara secara rinci, agar mereka tidak sesat dari perkara yang hak dan agar mereka tidak menyimpang dari jalan petunjuk. Akan tetapi, sekalipun dengan adanya keterangan dan penjelasan ini yang membedakan antara perkara yang hak dan perkara yang batil, manusia itu banyak membantah, suka menentang, dan bersikap oposisi terhadap perkara yang hak dengan mengikuti perkara yang batil, kecuali orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah, dan Allah memperlihatkan kepadanya jalan menuju keselamatan.”
Salah satu contoh perilaku jadalan adalah apa yang ditunjukkan oleh seorang Quraisy bernama Abdullah bin Az-Zab’ari. Sewaktu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan di hadapan orang Quraisy surat Al-Anbiya ayat 98 yang artinya: “Sesungguhnya kamu dan yang kamu sembah selain Allah adalah kayu bakar Jahannam.”, bertanyalah ia kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang keadaan Isa yang disembah orang Nasrani, apakah beliau juga menjadi kayu bakar neraka Jahannam seperti halnya sembahan-sembahan mereka? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terdiam dan merekapun mentertawakannya; lalu mereka menanyakan lagi mengenai mana yang lebih baik antara sembahan-sembahan mereka dengan Isa ‘alaihissalam. Pertanyaan-pertanyan mereka ini hanyalah mencari perbantahan saja, bukan untuk mencari kebenaran. Mereka sebetulnya mengerti, surat Al-Anbiya ayat 98 itu ditujukan kepada berhala dan patung-patung yang mereka sembah, tidak termasuk di dalamnya ‘Uzair, Isa dan malaikat.
مَا ضَرَبُوهُ لَكَ إِلَّا جَدَلًا ۚ بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُونَ
“…Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar…” (QS. Az-Zukhruf, 43: 58)
Mengenai tercelanya sikap jadalan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَبْغَضَ الرِّجَالِ إِلَى اللهِ اْلأَلَدُّ الْخَصِمُ
“Sesungguhnya orang yang paling dibenci Allah adalah orang yang paling keras membantah.” (HR. Bukhari)
Bukan hanya orang kafir yang suka membantah. Seorang muslim pun kadangkala suka membantah dan mengemukakan berbagai alasan agar dapat menunda-nunda perbuatan baik.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ، أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، أَخْبَرَنِي عَلِيُّ بْنُ الْحُسَيْنِ، أَنَّ حُسَيْنَ بْنَ عَلِيٍّ أَخْبَرَهُ، أَنَّ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ أَخْبَرَهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَرَقَهُ وَفَاطِمَةُ بِنْتُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً، فَقَالَ: “أَلَا تُصَلِّيَانِ؟ ” فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّمَا أَنْفُسُنَا بِيَدِ اللَّهِ، فَإِذَا شَاءَ أَنْ يَبْعَثَنَا بَعَثنا. فَانْصَرَفَ حِينَ قُلْتُ ذَلِكَ، وَلَمْ يَرْجع إِلَيَّ شَيْئًا، ثُمَّ سَمِعْتُهُ وَهُوَ مُوَلٍّ يَضْرِبُ فَخِذَهُ [وَيَقُولُ] {وَكَانَ الإنْسَانُ أَكْثَرَ شَيْءٍ جَدَلا}
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abul Yaman, telah menceritakan kepada kami Syu’aib, dari Az-Zuhri, telah menceritakan kepadaku Ali ibnul Husain; Husain ibnu Ali pernah menceritakan kepadanya bahwa Ali ibnu Abu Talib pernah menceritakan kepadanya; disebutkan bahwa pada suatu malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membangunkan dia (Ali) beserta istrinya Fatimah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah kalian berdua shalat (sunat)?” Saya (Ali) berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya jiwa kami berada di dalam genggaman kekuasaan Allah. Maka apabila Dia menghendaki kami bangun, tentulah kami bangun.”. (Ali berkata), “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlalu ketika aku mengucapkan jawaban itu, tanpa menjawab perkataanku barang sepatah kata pun. Kemudian aku mendengar beliau memukul pahanya seraya membacakan firman-Nya: ‘Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah’ (Al-Kahfi: 54).” (HR. Bukhari dan Muslim).
Kedelapan, mengingkari/melupakan kenikmatan (kanudan).
Mengenai sifat tercela ini, Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ الْإِنسَانَ لِرَبِّهِ لَكَنُودٌ
“Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar, tidak berterima kasih kepada Tuhannya” (QS. Al-‘Adiyaat : 6)
Al-Hasan rahimahullah berkata tentang makna kanud dalam ayat ini,
هُوَ الَّذِي يَعُدُّ الْمَصَائِبَ، وَيَنْسَى نِعَمَ رَبِّهِ
“Yaitu orang yang menghitung-hitung musibah (yang sedikit) dan melupakan kenikmatan-kenikmatan dari Rabbnya (yang telah banyak diberikan kepadanya)”. (Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 8/467)
Watak dan sifat seperti ini mengotori jiwa manusia; mereka marah ketika ditimpa penyakit, kehilangan barang, atau ada hajatnya yang tidak terpenuhi; mereka mensikapi musibah-musibah itu seolah-olah telah kehilangan seluruh nikmat yang telah diberikan oleh Allah Ta’ala kepadanya. Mereka kemudian berkata dan bertindak seolah-olah Allah Ta’ala tidak pernah memberikan nikmat kepadanya.
Seharusnya, jika kita terkena musibah, berusahalah mengingat kebaikan-kebaikan Allah Ta’ala kepada kita, agar beban musibah terasa ringan dan kita pun tetap berhusnuzon (berbaik sangka) kepada-Nya. Marilah kita mengambil teladan dari Ayyub ‘alaihissalam; As-Suddiy rahimahullah berkata :
تَسَاقَطَ لَحْمُ أَيُّوْبَ حَتَّى لَمْ يَبْقَ إِلاَّ الْعَصبُ وَالْعِظَامُ، فَكَانَتْ امْرَأَتُهُ تَقُوْمُ عَلَيْهِ وَتَأْتِيْهِ بِالزَّادِ يَكُوْنُ فِيْهِ، فَقَالَتْ لَهُ امْرَأَتُهُ لَمَّا طَالَ وَجْعُهُ: يَا أَيُّوْبُ، لَوْ دَعَوْتَ رَبَّكَ يُفَرِّجُ عَنْكَ؟ فَقَالَ: قَدْ عِشْتُ سَبْعِيْنَ سَنَةً صَحِيْحًا، فَهَلْ قَلِيْلٌ للهِ أَنْ أَصْبِرَ لَهُ سَبْعين سنة؟
“Daging nabi Ayub berjatuhan (karena sakit parah) maka tidak tersisa di tubuhnya kecuali urat dan tulang. Istrinya mengurusnya dan membawakan makanan diletakkan di sisi nabi Ayub. Maka istrinya berkata tatkala lama sakitnya nabi Ayub : ‘Wahai Ayub, kenapa engkau tidak berdoa kepada Robmu untuk menghilangkan sakitmu?’ Maka nabi Ayub ‘alaihis salam berkata, ‘Aku telah hidup selama 70 tahun dalam kondisi sehat, maka bukankah perkara yang sedikit karena Allah jika aku bersabar karena-Nya 70 tahun pula?’” (Tafsir Ibnu Katsir : 5/360)
Disebutkan bahwa nabi Ayub sakit selama 7 tahun atau 18 tahun –sebagaimana disebutkan dalam buku-buku tafsir-, maka bagi beliau itu ringan dibandingkan kenikmatan kesehatan yang Allah telah berikan kepadanya selama 70 tahun.[6]
Kesembilan, zalim (dzaluman); Kesepuluh, bodoh (jahulan).
Penyebutan sifat dzaluman jahulan kepada manusia dimuat dalam firman Allah Ta’ala berikut ini,
إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (QS. Al-Ahzaab, 33: 72)
Ayat ini sudah kita ulas dalam pembahasan madah Haqiqatul Insan yang menyebutkan bahwa Allah Ta’ala telah mengemukakan amanat -yaitu tugas-tugas ibadah- pada langit, bumi dan gunung-gunung. Seumpamanya Allah menciptakan pada masing-masing makhluk itu pemahaman dan dapat berbicara, maka semuanya pasti enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir, yakni merasa takut akan mengkhianatinya; lalu dipikullah amanat itu oleh Nabi Adam sesudah terlebih dahulu ditawarkan kepadanya. Sungguh manusia itu amat zalim terhadap dirinya sendiri -disebabkan apa yang telah dipikulnya itu- dan amat bodoh, yakni tidak mengerti tentang apa yang dipikulnya itu.[7]
Manusia menyanggupi amanat yang ditawarkan kepadanya -apabila dikerjakan akan mendapat pahala, dan apabila ditinggalkan akan disiksa- karena itulah ia disebut jahula, karena tidak mengetahui kemampuan dirinya sendiri.
Berkata Ibnu Abbas tentang makna dzaluman jahulan.
ظَلُومًا لِنَفْسِهِ جَهُولًا بِأَمْرِ اللَّهِ وَمَا احْتَمَلَ مِنَ الْأَمَانَةِ
“Dzalim terhadap dirinya sendiri, jahil terhadap perintah Allah dan amanah yang dipikulkan kepada mereka” (Tafsir Al Baghawi, 4/491).
*****
Itulah diantara sifat-sifat tidak terpuji yang harus kita tinggalkan. Mereka yang membiarkan sifat-sifat itu tumbuh di dalam jiwanya berarti telah melakukan tadsiyah (mengotori jiwa), dan menjadi orang-orang yang kha’ibun (rugi) sebagaimana diperingatkan oleh Allah Ta’ala dengan firman-Nya,
وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا
“…dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.” (QS. As-Syams, 91: 10)
Wallahul A’lam.
Catatan Kaki:
[1] Lihat: Al-Qur’anul Karim wa Tafsiruhu, Jilid V, Hal. 444.
[2] Lihat: Hidayatul Insan bi tafsiril Qur’an, Al Ustadz Abu Yahya Marwan bin Musa di www.tafsir.web.id
[3] Lihat: Al-Qur’anul Karim wa Tafsiruhu, Jilid VII, Hal. 462.
[4] Lihat: Al-Qur’anul Karim wa Tafsiruhu, Jilid X, Hal. 722.
[5] Lihat: Aplikasi Tafsir At-Thabari, Golden Soft.
[6] Ulasan mengenai hal ini dikutip dari tulisan berjudul: Melawan Lupa, karya: Ust. Firanda Andirja.
[7] Uraian dengan makna seperti ini dirujuk dari Tafsir Jalalain. Lihat Tafsir Jalalain, Hal. 427, Penerbit: Darut Taqwa