Allah Ta’ala telah menciptakan manusia berada dalam keadaan fitrah (Islam/bertauhid). Hal ini dijelaskan melalui firman-Nya,
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ أَوْ تَقُولُوا إِنَّمَا أَشْرَكَ آبَاؤُنَا مِنْ قَبْلُ وَكُنَّا ذُرِّيَّةً مِنْ بَعْدِهِمْ ۖ أَفَتُهْلِكُنَا بِمَا فَعَلَ الْمُبْطِلُونَ
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab: ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi’. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)’, atau agar kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu?’” (QS. Al-A’raf, 7: 172 – 173)
Syaikh As-Sa’di berkata tentang ayat ini, “Maksud dari ayat ini adalah Alah mengeluarkan manusia dari sulbi mereka. Ketika Allah mengeluarkan mereka dari perut ibunya, mereka dimintai kesaksian tetang rububiyah Allah dan mereka mengakui itu. Allah juga memberikan fitrah kepada mereka untuk mengetahui kebenaran”.
Sebagian mufassir menyatakan bahwa ketika benih manusia keluar dari sulbi bapak dan tertanam dalam rahim ibu, Allah Ta’ala telah menanamkan fitrah keimanan dan keinginan untuk mencari kebenaran kepada-Nya dan fitrah ini diberikan oleh Allah kepada semua manusia.
Mengenai penciptaan manusia berada dalam keadaan fitrah ini, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
“Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah; orangtuanyalah yang menjadikan ia yahudi, nasrani, atau majusi.” (HR. Bukhari).
Oleh karena manusia yang meninggal pada saat masih bayi, mereka akan berada di jannah (surga), karena mereka meninggal masih berada dalam keadaan fitrah. Sebuah hadits dari Samurah bin Jundab yang cukup panjang mengemukakan hal ini, bahwa ketika Ibrahim Al khalil ‘alaiissalam dilihat oleh Nabi Muhammad shallahu ‘alaihi wa sallam di jannah, di sekitarnya terdapat anak-anak. Potongan hadits tersebut adalah sebagai berikut,
وَأَمَّا الرَّجُلُ الطَّوِيلُ الَّذِي فِي الرَّوْضَةِ فَإِنَّهُ إِبْرَاهِيمُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَمَّا الْوِلْدَانُ الَّذِينَ حَوْلَهُ فَكُلُّ مَوْلُودٍ مَاتَ عَلَى الْفِطْرَةِ قَالَ فَقَالَ بَعْضُ الْمُسْلِمِينَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَأَوْلَادُ الْمُشْرِكِينَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَوْلَادُ الْمُشْرِكِينَ
“….adapun laki-laki jangkung dalam taman, ia adalah Ibrahim ‘alaihissalam, adapun anak-anak di sekitarnya adalah bayi yang mati diatas fitrah.” Lantas sebagian sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, juga anak orang-orang musyrik?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Juga anak-anak orang-orang musyrik!” (HR. Bukhari No. 6525)
*****
Karena kasih sayang kepada hamba-hamba-Nya, Allah Ta’ala kemudian mengutus para rasul di sepanjang zaman untuk menyeru umat manusia kepada fitrahnya, yakni tauhid dan Islam.
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ رَسُولٌ فَإِذَا جَاءَ رَسُولُهُمْ قُضِيَ بَيْنَهُمْ بِالْقِسْطِ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ
“Tiap-tiap umat mempunyai rasul; maka apabila telah datang rasul mereka, diberikanlah keputusan antara mereka dengan adil dan mereka (sedikitpun) tidak dianiaya.” (Yunus, 10: 47).
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّىٰ نَبْعَثَ رَسُولًا
“Dan Kami tidak akan mengadzab sebelum Kami mengutus seorang Rasul” (QS. Al Isra’, 17: 15).
Mengenai jumlah para nabi dan rasul yang telah ditus oleh Allah Ta’ala kepada umat manusia, dijelaskan dalam hadits dari Abu Umamah bahwa Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Berapa tepatnya jumlah para nabi.” Beliau menjawab:
مِائَةُ أَلْفٍ وَأَرْبَعَةٌ وَعِشْرُونَ أَلْفًا الرُّسُلُ مِنْ ذَلِكَ ثَلَاثُ مِائَةٍ وَخَمْسَةَ عَشَرَ جَمًّا غَفِيرًا
“Jumlah para nabi 124.000 orang, 315 diantara mereka adalah rasul. Banyak sekali.” (HR. Ahmad no. 22288 dan sanadnya dinilai shahih oleh al-Albani dalam al–Misykah).
Hakikat mengenai diutusnya para rasul kepada setiap umat mengandung dua hikmah penting,
Pertama, menegaskan tentang kewajiban dakwah kepada seluruh umat manusia.
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah nabi dan rasul terakhir bagi umat manusia hingga akhir zaman. Setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, pewarisan tugas untuk menyerukan tauhid dan Islam yang diembannya jatuh kepada seluruh umatnya, wa bil khusus kepada kalangan ulama dan para da’i.
Oleh karena itu, menjadi kewajiban bagi para da’i untuk bersungguh-sungguh menyampaikan dakwah seluas-luasnya kepada seluruh manusia sehingga tidak ada lagi di antara mereka yang tidak mendapat informasi yang benar tentang ajaran tauhid.
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran, 3: 104)
Mereka yang menjalankan pewarisan tugas dakwah ini akan memperoleh kebaikan yang demikian besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ وَأَهْلَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرَضِينَ حَتَّى النَّمْلَةَ فِي جُحْرِهَا وَحَتَّى الْحُوتَ لَيُصَلُّونَ عَلَى مُعَلِّمِ النَّاسِ الْخَيْرَ
“Sesungguhnya Allah, para malaikat-Nya, para penghuni langit dan bumi hingga semut-semut di sarangnya, juga ikan di lautan benar-benar mendoakan para pengajar kebaikan untuk orang lain.” (HR. Tirmidzi dari Abu Umamah Al-Bahili).
Kewajiban dakwah ini harus terus dijalankan; bahkan kepada umat yang paling ingkar sekalipun.
وَإِذْ قَالَتْ أُمَّةٌ مِنْهُمْ لِمَ تَعِظُونَ قَوْمًا اللَّهُ مُهْلِكُهُمْ أَوْ مُعَذِّبُهُمْ عَذَابًا شَدِيدًا قَالُوا مَعْذِرَةً إِلَى رَبِّكُمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
“Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata: ‘Mengapa kamu menasehati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras?’ Mereka menjawab: ‘Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu, dan supaya mereka bertakwa’”. (QS. Al-A’raf, 7: 164)
Sebaliknya, betapa besar dosa dan murka Allah Ta’ala kepada siapa saja yang menyembunyikan kebenaran yang sangat dibutuhkan oleh manusia,
إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُولَئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللَّاعِنُونَ إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا وَأَصْلَحُوا وَبَيَّنُوا فَأُولَئِكَ أَتُوبُ عَلَيْهِمْ وَأَنَا التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat melaknati. Kecuali mereka yang telah taubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itulah Aku menerima taubatnya dan Akulah yang Maha menerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah, 2: 159-160)
Kedua, menegaskan tentang kewajiban bagi setiap manusia untuk berusaha semaksimal kemampuannya dalam mencari informasi serta pengetahuan tentang kebenaran Islam.
Sebagaimana telah disebutkan di awal, Allah Ta’ala telah memberi bekal naluri keimanan dengan meminta kesaksian atas diri mereka di alam ruh. Allah juga telah membekali mereka dengan pendengaran, penglihatan dan hati untuk memahami ayat-ayat-Nya.
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالأبْصَارَ وَالأفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (QS. An-Nahl, 16: 78)
Pendengaran dan penglihatan adalah sarana yang telah Allah Ta’ala berikan kepada manusia untuk belajar, sedangkan hati dan akal adalah tempat memutuskan apakah mereka mau menerima kebenaran yang telah diketahuinya atau tidak. Apapun pilihannya, ada tanggung jawab yang harus mereka persiapkan di hadapan keadilan Allah Ta’ala kelak di hari akhir.
Hanya saja, Allah Ta’ala amat murka kepada manusia yang tidak menggunakan pendengaran, penglihatan, dan hatinya untuk memahami ayat-ayat-Nya.
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالإنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالأنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia; mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi; mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’raf, 7: 179)
Semoga Allah Ta’ala senantiasa membimbing kita, menjadi golongan manusia yang berdakwah di jalan-Nya serta berpegang teguh kepada keimanan.
Waallahu A’lam bis-shawab