Ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ajaran yang bersifat umum dan universal.
Pertama, ia adalah ar-risalatu linnasi kafah (risalah untuk seluruh umat manusia).
Risalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak hanya untuk umat tertentu, suku tertentu, atau bangsa tertentu; akan tetapi ia adalah risalah untuk seluruh umat manusia di muka bumi. Hal ini dijelaskan oleh Allah Ta’ala,
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Dan kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (QS. Saba, 34: 28)
Sebagai sebuah risalah yang diperuntukkan bagi seluruh umat manusia, risalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki karakteristik yang unik, yaitu insaniyyah (kemanusiaan). Hal ini ini terbukti dengan adanya prinsip persamaan manusia (al-musawah) dan persaudaraan (al-ikha).
Al-Musawah
Menurut pandangan Islam, manusia tidak dibedakan oleh warna kulit, suku, bahasa, dan atau perbedaan-perbedaan lainnya.
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat, 49: 13)
Wujud nyata dari prinsip persamaan ini adalah Islam mengikis habis rasialisme. Di dalam Islam, tidak akan diterima sama sekali anggapan bahwa bangsa kulit putih lebih unggul ketimbang bangsa kulit hitam, sehingga bangsa kulit putih harus menjadi tuan bagi bangsa kulit hitam, dan bangsa kulit hitam menjadi budaknya.
Islam pun mengikis habis diskriminasi keturunan (kasta-kasta). Tidak ada kasta atas atau kasta bawah, tidak ada keturunan berdarah biru (ningrat) atau jelata. Islam pun mengikis habis pembedaan berdasarkan status ekonomi, pangkat, profesi, dan atau hal-hal lain yang melekat pada diri seseorang.
Oleh karena itu, kekayaan dan kemiskinan, jenderal dan kopral, pemerintah dan rakyat biasa, dokter dan petugas cleaning service; tidaklah menjadi pembeda atau menjadi penentu kemuliaan seseorang, kecuali dengan taqwanya. Seorang dokter adalah manusia, seorang petugas cleaning service pun manusia. Seorang jenderal adalah manusia, seorang kopralpun manusia. Seorang yang kaya adalah manusia, seorang yang miskinpun manusia.
Pendek kata, semua orang sama atas kemanusiaannya. Dan yang akan menjadi penentu prestasi manusia di hadapan Allah adalah tingkat ketaqwaannya. Dan ketaqwaan adalah sesuatu yang setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk memperolehnya.
Bilal bin Rabbah tadinya adalah seorang budak—berkebangsaan Habasyah, berkulit hitam legam—yang karena ketaqwaannya kemudian menjadi orang yang mendapatkan posisi mulia di hadapan Allah Ta’ala, yang sampai-sampai terompahnya sudah terdengar di syurga disaat Bilal masih mengembara di dunia.
Contoh lain bisa dilihat dari kisah Hablah bin Al-Aiham—seorang Amir Ghassan—dengan seorang Arab Badui yang mengadukan kepada Umar Amiril Mukminin bagaimana Hablah telah menamparnya tanpa alasan yang benar, maka Umar tidak dapat berbuat apapun kecuali menghadirkan Hablah dan menuntutnya supaya orang Arab Badui itu dapat membalasnya (menerapkan qishash); satu tamparan untuk satu tamparan, kecuali dia mau memaafkan dan mengampuninya. Namun Amir Ghassan itu merasa keberatan untuk melakukan hal itu seraya mengatakan secara terus terang kepada Umar, “Bagaimana ia melaksanakan qishash pada diriku padahal saya adalah seorang raja dan dia hanya seorang rakyat biasa?”. Lalu Umar menjawab, “Sesungguhnya Islam telah menyamakan antara kamu berdua.”
Hablah tidak menyadari nilai agung ini, lalu ia kabur dari Madinah dalam keadaam murtad dari Islam yang mewajibkan persamaan antara seorang raja dan rakyat jelata.
Al-Ikha’
Risalah Islam yang dibawa oleh Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan persaudaraan antara sesama manusia yang diikat oleh tali aqidah; apapun suku, bangsa, kedudukan sosial, dan strata ekonominya.
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara, sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Hujurat, 49: 10)
Di dalam hadits pun disebutkan
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ
“Orang muslim yang satu merupakan saudara bagi muslim yang lain…” (HR. Bukhari)
Kedua, ia adalah khatamur risalah (risalah terakhir).
Risalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan risalah terakhir, tidak akan datang risalah lain setelahnya. Kalau pun ada yang mencoba mendatangkannya—tentu buatan manusia—maka tidak akan pernah sanggup menandingi terangnya Islam; ibarat cahaya bulan di siang hari yang tak akan sanggup menunjukkan cahayanya, bahkan dia akan tenggelam oleh terangnya sinar matahari. Maka, yang datang kemudian—baik yang mengatasnamakan agama atau bukan, yang lama maupun yang baru, yang lokal maupun yang global, didukung dengan teknologi ataupun tidak—tidak akan menggantikan Risalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Lihat saja yang mutakhir; ilmu pengetahuan telah dijadikan ‘agama’ oleh sebagian manusia di dunia. Padahal ilmu pengetahuan tidak akan bisa menggantikan agama sampai kapanpun. Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi hafizhahullah berkata: “Ilmu pengetahuan sama sekali bukanlah alternatif pengganti agama dan keimanan, karena ruang lingkup ilmu pengetahuan bukan ruang lingkup agama. Yang saya maksud dengan ‘Ilmu Pengetahuan’ di sini adalah ilmu pengetahuan menurut versi Barat yang terbatas, bukan menurut persepsi Islam yang komfrehensif—yang mencakup ilmu pengetahuan tentang objek fisik partikel alam dan ilmu pengetahuan tentang hakekat eksistensi kehidupan yang besar—yaitu ilmu pengetahuan yang mencakup ilmu dunia dan ilmu agama, bukan sekedar ilmu pengetahuan tentang materi dan karakter partikelnya saja, melainkan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan alam, kehidupan, manusia dan Penciptanya Yang Maha Suci.”
Ilmu pengetahuan dengan persepsi Barat tidak pantas menjadi pengganti agama, karena fungsi ilmu pengetahuan—dalam versi mereka—hanyalah sekedar mewujudkan kemudahan fasilitas hidup bagi manusia, namun tidak menginterpretasikan (menafsirkan) kepada manusia rahasia kehidupan itu sendiri.
Oleh karena itu kita melihat negeri-negeri kontemporer yang paling besar tingkat kemajuannya dalam ilmu pengetahuan dan pencapaian teknologinya, justru warganya banyak mengeluhkan kekosongan rohani, stress kejiwaan, kekalutan pikiran, dan perasaan minder, serta perasaan sengsara. Dan kita saksikan para generasi mudanya terjerumus dalam berbagai kontroversi ekstrimitas pemikiran dan perilaku, dengan berontak kepada mekanisme kehidupan dan materialisme peradaban.
Takamuliyah (kesempurnaan)
Sebagai risalah terakhir, risalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki karakteristik takamuliyah (kesempurnaan) sebagaimana yang Allah Ta’ala tegaskan dalam firman-Nya:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada hari Ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu…” (QS. Al-Maidah, 5: 3)
Risalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam akan bisa menjawab dan bahkan mengantisipasi permasalahan dan perkembangan kehidupan manusia hingga akhir zaman.
Kesempurnaan risalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diperkuat oleh masih otentiknya sumber utama risalah ini, yaitu al-Quran dan as-Sunnah yang telah sempurna pula turunnya, tidak ada yang belum turun dan tidak yang disembunyikan. Keduanya telah selamat dari tangan-tangan jahil yang akan merubahnya, dengan masih terdapat—dari masa ke masa—ulama-ulama ahli dalam bidang keduanya, sehingga deteksi atas kesalahan-kesalahan dan kekeliruan dapat dilakukan dengan akurat.
Kedua sumber utama risalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memuat hal-hal pokok tentang bagaimana menyelesaikan dan mengantisipasi masalah manusia; telah memberikan prinsip-prinsip yang tetap tidak berubah (tsawabit) sampai akhir zaman untuk dijadikan rujukan; juga telah memberikan pijakan atas penyelesaian masalah yang berubah (mutaghayyirat), yaitu menyangkut metodelogi dan sarana-sarananya.
Ketiga, ia adalah ar-risalah rahmatan lil ‘alamin (risalah yang menjadi karunia bagi seluruh alam)
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diturunkan sebagai rahmat untuk seluruh alam, sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya, 21: 107)
Wasathiyah atau Tawazun
Karakter rahmatan lil ‘alaimin ini terlihat dari prinsip wasathiyah (pertengahan) atau tawazun (seimbang) yang dikandung ajaran Islam. Risalah Islam mengajarkan sikap pertengahan dan seimbang antara dua kutub yang berlawanan dan bertentangan.
Ajaran Islam menentang tasyadud (sikap ketat dan menyusahkan dalam menjalankan agama), namun menentang pula tasahul (sikap longgar dan menggampangkan). Jika Islam bersifat tasyadud, tentu akan hilanglah nuansa rahmatnya, karena orang yang melaksanakan Islam akan mengalami kesulitan, padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pembawanya memerintahkan untuk mempermudah dan jangan mempersulit. Sementara itu sikap tasahul juga akan membuat nuansa rahmat hilang, karena aturan Islam menjadi tidak jelas batasannya. Sedangkan hidup tanpa aturan yang jelas akan membuatnya carut marut.
Wasathiyah dalam Ibadah dan Praktek Ritual
Nilai wasathiyah dalam ibadah diantaranya diungkap dalam firman Allah Ta’ala berikut ini,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli; yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jumuah, 62: 9-10)
Terlihat betul pertengahan dalam ibadah dan rahmatnya Islam pada ayat-ayat di atas ini. Islam tidak mengharuskan umatnya untuk memutuskan sama sekali aspek duniawi (dalam hal ini aktivitas jual beli) atas ibadah. Sebelum shalat Jum’at, umat Islam melakukan perdagangan. Setelah itu melaksanakan shlat Jum’at. Setelah shalat Jum’at, umat Islam melakukan perdagangan kembali, dengan selalu berzikir kepada Allah, yang berarti kehidupan berdangangnya pun tidak lepas dari aktivitas ibadah.
Wasathiyah dalam Moral
Islam bersikap moderat di antara kaum idealis ekstrim—yang membayangkan manusia sebagai malaikat atau menyerupai malaikat, dimana mereka meletakkan untuknya nilai-nilai dan adab susila yang tidak mungkin baginya untuk dapat melaksanakannya—dengan kaum pragmatis (realis) ekstrim—yang menyangka manusia adalah bagaikan hewan, maka mereka menginginkan tata perilaku yang tidak pantas bagi manusia.
Sementara manusia menurut pandangan Islam, adalah sebagaimana yang Allah Ta’ala sampaikan lewat firman-Nya,
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا
“Demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)nya, maka Dia (Allah) mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya, Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu), dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.” (QS. As-Syams, 91: 7-10)
Demikianlah penjelasan ringkas mengenai keumuman dan keuniversalan risalah Islam yang dibawa oleh Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Wallahu a’lam…