Perintah puasa Ramadhan diturunkan pada tahun 2 Hijriyah. Sebelum diwajibkan puasa Ramadhan, kaum muslimin melakukan puasa Asyura, seperti yang dilakukan orang-orang Yahudi.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدِمَ الْمَدِينَةَ فَوَجَدَ الْيَهُودَ صِيَامًا ، يَوْمَ عَاشُورَاءَ ، فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” مَا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِي تَصُومُونَهُ ؟ ” فَقَالُوا : هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ ، أَنْجَى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَقَوْمَهُ ، وَغَرَّقَ فِرْعَوْنَ وَقَوْمَهُ ، فَصَامَهُ مُوسَى شُكْرًا ، فَنَحْنُ نَصُومُهُ ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” فَنَحْنُ أَحَقُّ وَأَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ فَصَامَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ “
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat datang di Madinah mendapati orang-orang Yahudi melakukan shaum pada hari ‘Asyura. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada mereka, “Hari apakah ini dimana kalian melakukan shaum di dalamnya?” Mereka menjawab, “Ini adalah hari yang agung. Pada hari ini Allah menyelamatkan nabi Musa dan kaumnya, dan menenggelamkan Fir’aun dan kaumnya. Maka nabi Musa melakukan shaum sebagai wujud syukur kepada Allah. Oleh karena itu kami juga melakukan shaum.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kami lebih wajib dan lebih layak mengikuti shaum Musa daripada kalian.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shaum ‘Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk melakukan shaum ‘Asyura juga.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, dengan lafal Muslim)
Pada awalnya kaum muslimin memang selalu membersamai kalangan ahli kitab: kiblat yang sama (Baitul Maqdis), melaksanakan shaum asyura, dan dalam berpenampilan pun awalnya lebih senang menyesuaikan dengan ahli kitab (contohnya: cara menyisir rambut).
Diriwayatkan dari Suwaid bin Nashr dari ‘Abdullah bin Al-Mubarok dari Yunus bin Yazid dari Az-Zuhri dari ‘Ubaidillah bin ‘Abdullah bin ‘Utbah bersumber dari ‘Abdullah bin ‘Abbas r.a. : “Sungguh Rasulullah s.a.w. dulunya menyisir rambutnya ke belakang, sedangkan orang-orang musyrik menyisir rambut mereka ke kiri dan ke kanan dan Ahlul kitab menyisir rambutnya ke belakang. Selama tidak ada perintah lain, Rasulullah s.a.w. senang menyesuaikan diri dengan ahlul kitab. Kemudian Rasulullah s.a.w. menyisir rambutnya ke kiri dan ke kanan”
Namun, pada awal bulan Sya’ban (16 bulan setelah hijrah), turunlah syariat pemindahan kiblat dari Baitul Maqdis ke Masjidil Haram.
كَانَ أَوَّلُ مَا نُسِخَ مِنَ الْقُرْآنِ الْقِبْلَةُ، وَذَلِكَأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا هَاجَرَ إِلَى الْمَدِينَةِ، وَكَانَ أَهْلُهَا الْيَهُودَ، أَمَرَهُ اللَّهُ أَنْ يَسْتَقْبِلَ بَيْتَ الْمَقْدِسِ، فَفَرِحَتِ الْيَهُودُ، فَاسْتَقْبَلَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِضْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا، وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يحب قبلة إبراهيم، وكان يَدْعُو وَيَنْظُرُ إِلَى السَّمَاءِ
“Yang pertama kali di-naskh dalam Al-Qur’an ialah kiblat, bahwasanya Rasulullah SAW ketika hijrah ke Madinah, sementara penduduk madinah mayoritas adalah Yahudi, Allah memerintahkan untuk menghadap Baitul Maqdis (ketika shalat), maka berbahagialah orang Yahudi. Rasulullah menghadap Baitul Maqdis (ketika shalat) selama lebih dari 10 bulan, padahal beliau lebih senang pada kiblatnya Nabi Ibrahim (Ka’bah), maka beliau seringkali berdoa dan menghadap ke langit” (Imam Abu al-Fida Ismail Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1419H, juz I, hal. 272)
Selanjutnya sejak bulan Sya’ban itu pula turun perintah puasa Ramadhan (Lihat: Tarikh At-Thabari), lalu turun pula perintah berzakat. Dengan demikian, sejak saat itu umat Islam benar-benar telah menjadi umat yang memiliki jatidiri tersendiri.
Hikmah dan spirit dari perspektif histori ini adalah kita harus menyadari kemuliaan dan kesempurnaan syariat agama Islam. Umat ini telah memiliki sistem atau konstruksi keagamaan tersendiri. Seorang muslim tidak boleh berpaling dari ‘gaya hidup Islam’ yang sempurna ini.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ , قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ : فَمَنْ
“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang sempit sekalipun, -pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” (HR. Muslim no. 2669)
Imam Nawawi –rahimahullah– ketika menjelaskan hadits di atas menjelaskan, “Yang dimaksud dengan syibr (sejengkal) dan dzira’ (hasta) serta lubang dhab (lubang hewan tanah yang penuh lika-liku), adalah permisalan bahwa tingkah laku kaum muslimin sangat mirip sekali dengan tingkah Yahudi dan Nashrani. Yaitu kaum muslimin mencocoki mereka dalam kemaksiatan dan berbagai penyimpangan, bukan dalam hal-hal kekafiran mereka yang diikuti. Perkataan beliau ini adalah suatu mukjizat bagi beliau karena apa yang beliau katakan telah terjadi saat-saat ini.” (Syarh Muslim, 16: 219)