Salah satu makna dan konsekuensi yang terkandung dalam kalimat syahadatain adalah munculnya sikap al-wala’ dan al-bara’.
Al-Bara’
Sikap al-bara’ (berlepas diri), adalah manifestasi dari pernyataan: “La Ilaha” (Tidak ada sesembahan). Kata La adalah an-nafy, yaitu kata penolakan. Sedangkan kata Ilah (sesembahan) adalah al-manfiy, yaitu kata yang ditolak.
Jadi, kata La Ilaha mengandung makna al-bara’ (menolak/berlepas diri), seperti sikap berlepas dirinya Nabi Ibrahim alaihissalam terhadap kekufuran dan kemusyrikan. Hal ini diungkapkan dalam firman Allah Ta’ala berikut,
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّىٰ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: ‘Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dan daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja…” (QS. Al-Mumtahanah, 60: 4)
Dalam kata al-bara’ terkandung makna: al-kufr (mengingkari), al-‘adawah (permusuhan), al-mufashalah (pemisahan), dan al-bughdu (kebencian).
Sikap al-bara’ juga biasanya diiringi sikap al-hadamu (menghancurkan/memerangi). Dalam hal ini, maksudnya adalah menghancurkan/memerangi apa-apa yang dibenci oleh Allah Ta’ala secara terus-menerus dan penuh komitmen.
Al-Wala’
Sedangkan sikap al-wala (loyal), adalah manifestasi dari pernyataan: “Illa-Llah” (kecuali Allah). Kata Illa adalah al-itsbat (kata peneguhan/pengecualian). Sedangkan kata Allah adalah al-mutsbat (yang diteguhkan/dikecualikan). Artinya kepada Allah Ta’ala sajalah ditujukan al-wala’ (loyalitas). at-tha’ah, (ketaatan), an-nushrah (pertolongan), al-qurbu (pendekatan), dan al-mahabbah (kecintaan).
Sikap seperti inilah yang hendaknya senantiasa dibangun (al-bina). Yakni mencintai apa yang dicintai oleh Allah Ta’ala secara terus-menerus dan penuh komitmen.
Tentang al-wala’ dan al-bara’ ini Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَوْثَقُ عُرَى اْلإِيْمَانِ:الْمُوَالاَةُ فِي اللهِ، وَالْمُعَادَاةُ فِي اللهِ، وَالْحُبُّ فِي اللهِ، وَالبُغْضُ فِي اللهِ
“Ikatan iman yang paling kuat adalah loyalitas karena Allah dan permusuhan karena Allah, mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.” (HR. Ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir [no.11537], lihat Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah [IV/306, no. 1728])
Dari penjelasan di atas, al-wala’ dan al-bara’ dapat didefinisikan sebagai penyesuaian diri seorang hamba terhadap apa yang dicintai dan diridhai oleh Allah Ta’ala serta apa yang dibenci dan dimurkai oleh-Nya dalam hal perkataan, perbuatan, kepercayaan dan orang. Dari sini kemudian kaitan-kaitan al-wala’ dan al-bara’ dibagi menjadi empat:
- Perkataan; dzikir dicintai Allah, sedangkan mencela dan memaki dibenci Allah Ta’ala.
- Perbuatan; shalat, puasa, zakat, sedekah dan berbuat kebajikan, mengerjakan sunnah-Sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dicintai Allah sedangkan tidak shalat, tidak puasa, bakhil, riba, zina, minum khamr dan berbuat bid’ah dibenci Allah Ta’ala.
- Kepercayaan; iman dan tauhid dicintai Allah Ta’ala sedang kufur dan syirik dibenci Allah Ta’ala.
- Orang yang muwahhid (mengikhlaskan ibadah semata-mata karena Allah) dicintai Allah Ta’ala, sedangkan orang kafir dan musyrik, munafiq dibenci Allah Ta’ala.
Konsekuensi Ucapan: Muhammadur Rasulullah
Berkenaan dengan al-wala’ wal bara’, ucapan Muhammadur Rasulullah dalam kalimat syahadatain bermakna bahwa dalam mempraktikkan al-wala’ wal bara’, setiap kita harus merujuk kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau harus dijadikan minhajul wala wal bara’ (pedoman dalam berloyalitas dan berlepas diri). Jadi, Allah Ta’ala adalah mashdaran, sumber nilai, sedangkan Rasulullah menunjukkan kaifiyat (contoh pelaksanaannya), dan kita selaku mu’min menjadi tanfidan (pelaksananya).
Ringkasnya al-wala’ dan al-bara’ dapat dilaksanakan dengan sempurna jika kita bersikap ittiba’ (mengikuti rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam).
Pembagian Manusia Berdasarkan Al-Wala’ Dan Al-Bara’
Dalam Al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidah al-Islaamiyyah (hal. 195), disebutkan bahwa manusia, dari sudut al-wala’ dan al-bara’, terbagi menjadi tiga bagian:
Pertama, orang yang berhak mendapatkan wala’ (loyalitas) mutlak, yaitu orang-orang mukmin yang beriman kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mereka melaksanakan kewajiban-kewajiban mereka dalam agama mereka dan meninggalkan larangan-larangan agama dengan ikhlas semata-mata karena Allah Azza wa Jalla.
Kedua, orang yang berhak mendapatkan wala’ di satu sisi dan berhak mendapatkan bara’ (pemutusan loyalitas) di sisi lain. Artinya, seorang muslim yang melakukan maksiat, yang melalaikan sebagian kewajiban agamanya dan melakukan sebagian perbuatan yang diharamkan Allah, namun tidak menyebabkan ia menjadi kufur dengan tingkat kufur besar.
Dasarnya adalah riwayat Imam al-Bukhari dari sahabat ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu bahwasanya ada seseorang pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama ‘Abdullah, diberi laqab (gelar) dengan ‘himar’, dan ia sering membuat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam tertawa. Ia pernah didera dengan sebab minum khamr. Kemudian pada suatu hari ia dibawa lagi kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (dengan sebab minum khamr), lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk didera. Lalu ada seseorang dari kaum itu berkata, “Ya Allah, laknat (kutuk)lah dia, betapa sering ia dibawa menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (untuk didera).” Maka Rasulullah shallalllahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَلْعَنُوْهُ فَوَاللهِ مَا عَلِمْتُ أَنَّهُ يُحِبُّ اللهَ وَ رَسُوْلَهُ
“Janganlah kamu mengutuknya, sesungguhnya ia (masih tetap) mencintai Allah dan Rasul-Nya.” (H.R. Bukhari)
Ketiga, orang yang berhak mendapatkan bara’ mutlak, yaitu orang musyrik dan kafir, baik ia dari golongan Yahudi atau Nasrani maupun Majusi dan lainnya.
Penerapan Al-Wala’ wal Bara’ dalam pergaulan dengan Non Muslim
Untuk melengkapi pembahasan al-wala’ wal bara’, perlu kiranya dibahas tentang bagaimana sikap yang proporsional yang harus ditunjukkan seorang muslim dalam bergaul dengan non muslim (kafir/musyrik).
Muhammad Al-Ghazali menyatakan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah menetapkan aturan-aturan yang sangat toleran, melampaui kebiasaan yang berlaku di zaman yang penuh dengan fanatisme kesukuan dan kecongkakan ras. Ketika itu dunia mengira bahwa Islam adalah agama yang tidak dapat menerima prinsip hidup berdampingan dengan agama lain dan mengira bahwa kaum muslimin tidak merasa puas sebelum menjadi umat satu-satunya yang ada di dunia dan menindas setiap manusia yang dianggap keliru, lebih-lebih orang yang berani mencoba hendak melawan!
Ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau menyaksikan orang-orang Yahudi telah lama bermukim di kota itu dan hidup bersama-sama kaum musyrikin. Beliau sama sekali tidak berpikir hendak mengatur siasat untuk menyingkirkan, atau memusuhi mereka. Bahkan dengan niat baik, beliau dapat menerima kenyataan adanya orang-orang Yahudi itu dan adanya paganisme di kota itu. Beberapa waktu kemudian beliau menawarkan perjanjian perdamaian kepada dua golongan itu atas dasar kebebasan masing-masing pihak memeluk agamanya sendiri.[1]
Dalam Al-Mitsaaq al-Islamiy yang disusun oleh Al-Ittihad al-Alamiy li Ulama al-Muslimin (Persatuan Ulama Islam Sedunia) dimuat tentang dasar pijakan hubungan muslim dengan non muslim adalah dua ayat berikut,
لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Mumtahanah, 60: 8-9)
Ayat di atas telah merangkum dua perkara, yaitu berbuat baik dan adil. Berbuat baik adalah memberi lebih dari apa yang menjadi haknya. Sedangkan adil adalah memberi hak kepada pemiliknya tanpa mengurangi. Kedua hal itu dituntut dari setiap muslim dalam bersikap kepada semua manusia meskipun mereka kafir selama tidak menentang dan memerangi orang Islam, serta menindas pemeluknya.
Dua ayat di atas tidak perlu dipertentangkan dengan potongan ayat berikut,
لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah…” (QS. Ali Imran, 3: 28)
Karena kelanjutan kalimat dalam ayat ini adalah,
إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ
“….kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan hanya kepada Allah kembali (mu).” (QS. Ali Imran, 3: 28)
Tentang ayat di atas, Ahmad Musthafa Al-Maraghi berkata bahwa Allah Ta’ala melarang kaum mu’min memihak orang-orang kafir, baik untuk urusan keluarga, persahabatan jahiliyah, karena tetangga, dan sebagainya, yang sifatnya persahabatan atau teman sepergaulan.
Tetapi jika ternyata memihak dan berteman dengan kaum kafir itu mengandung kemaslahatan bagi kaum mu’min, hal itu dibolehkan. Sebab Nabi Muhammad sendiri pernah bersekutu dengan Bani Khuza’ah, padahal mereka tetap dalam kemusyrikannya. Dibolehkan pula orang Islam mempercayai pemeluk agama lain dan bermu’amalah dengan baik dalam masalah-masalah keduniaan.[2]
Selanjutnya Al-Maraghi menegaskan: “Sesungguhnya orang-orang mu’min meninggalkan orang-orang kafir dalam hal bersekutu adalah suatu keharusan, dalam kondisi bagaimana pun, kecuali jika merasa takut terhadap sesuatu yang mereka khawatirkan dari orang-orang kafir. Dalam keadaan seperti itu, diperbolehkan berjaga-jaga terhadap mereka sesuai dengan rasa kekhawatiranmu, sebab kaidah syariat mengatakan, bahwa menolak kerusakan (mafsadah) hendaklah didahulukan daripada menarik manfaat. Bila mengambil orang-orang kafir hanya sebagai teman, dibolehkan, demi menolak bahaya. Tentunya, dibolehkan dalam rangka mengambil kemanfaatan-kemanfaatan bagi kaum muslimin. Jika demikian tidak ada yang mencegah suatu negara Islam bersahabat dengan negara non muslim, selama dapat menarik keutamaan-keutamaan bagi kaum muslimin, yang terkadang untuk menolak bahaya atau menarik kemanfaatan…”[3]
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling memahami al-wala’ wal bara’. Sikap bara’-nya tidak menghalangi beliau untuk berbuat baik kepada non muslim dan mengambil manfaat dari mereka.
Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memanfaatkan perlindungan Abu Thalib -pamannya yang musyrik- di masa-masa dakwahnya di Makkah? Pernah pula meminta perlindungan Muth’am bin Adiy -yang juga musyrik- saat masuk Makkah sepulang dakwah dari Thaif? Atau pernah pula menggunakan jasa Abdullah bin Uraiqith -seorang musyrik- sebagai penunjuk jalan dalam perjalanan hijrahnya dari Makkah ke Madinah?
Abu Bakar pun pernah memanfaatkan pelindungan Ibnu Daghnah -juga seorang musyrik- agar ia dapat beribadah dengan bebas di kota Makkah. Berkenaan dengan fakta ini, Syaikh Munir Al-Ghadban berkata, “Sesungguhnya, Muth’am bin Adi dan Ibnu Daghnah adalah seorang kafir yang berlainan aqidah dengan kaum muslimin sebagaimana orang Quraisy lainnya. Abu Jahal dan Abu Lahab adalah juga kafir sebagaimana Muth’am bin Adi dan Ibnu Daghnah. Tetapi, ada perbedaan besar antara kedua jenis manusia kafir tersebut. Yang satu adalah golongan kafir yang suka damai dan mendukung kaum muslimin, sedangkan yang lain adalah golongan kafir yang memusuhi dan memerangi kaum muslimin.”[4]
Wallahu A’lam.
Catatan Kaki:
[1] Fiqhus Sirah, hal. 313 – 314
[2] Tafsir Al-Maraghy (terjemahan), hal. 244
[3] Tafsir Al-Maraghi (terjemahan), hal. 244 – 245
[4] Lihat: Manhaj Haraki, Jilid 1, Rabbani Press.