Adhrarul Ghazwil Fikri
Setelah kita memahami uraian sebelumnya, maka dapat kita pahami demikian halusnya perang gaya baru ini dilakukan oleh musuh-musuh Islam. Bahaya yang timbul darinya bukanlah rasa sakit atau luka fisik, akan tetapi rusaknya moral, hancurnya pemahaman, larutnya kepribadian, dan pembangkangan dari ajaran agama:
Pertama, al-ightirar (tertipu atau terpedaya) oleh musuh-musuh Islam.
Umat menjadi silau pada kekuatan dan kemajuan materi serta konsep-konsep dan pemikiran ataupun peradaban asing. Mereka menghirupnya tanpa filter seraya bersikap tak mau tahu bagaimana pandangan agama terhadapnya. Mereka mengadopsi konsep, sistem, atau pemikiran di bidang ekonomi, pendidikan, politik dan budaya; menelannya bulat-bulat dengan penuh kebanggaan karena merasa itulah yang paling baik bagi mereka.
Padahal seharusnya, bagi seorang muslim, wajib bagi mereka untuk menimbang segala urusan dengan hukum dan syariat Allah Ta’ala. Apa yang sesuai dengannya dapat kita terima, namun apa yang bertentangan dengannya harus kita tolak mentah-mentah.
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ ۗ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ
“…dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Maidah, 5: 49)
Apa yang bertentangan dengan hukum dan syariat Allah Ta’ala harus kita waspadai, bahkan harus kita musuhi karena ia pasti berasal dari syaitan—musuh bebuyutan manusia.
إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا ۚ إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ
“Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu), karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS. Fatir, 35: 6)
Islam sama sekali tidak anti kepada hikmah dan kebaikan darimana pun ia berasal, asalkan tidak bertentangan dengan nilai-nilai hukum dan syariat-Nya. Dalam sebuah hadits disebutkan,
الْحِكْمَةُ ضَالَّةُ الْمُؤْمِنِ، حَيْثُمَا وَجَدَهَا أَخَذَهَا
“Hikmah itu adalah suatu yang hilang dari seorang mukmin, dimana saja ia mendapatkannya maka ia mengambilnya” [1]
Kedua, ar-rukun (kecenderungan) kepada orang-orang kafir yang memusuhi Islam.
Kekaguman terhadap orang-orang kafir dan tumbuhnya sikap inferior menyebabkan umat cenderung pada kekafiran. Padahal sikap seperti ini telah diperingatkan oleh Allah Ta’ala,
وَلَا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ أَوْلِيَاءَ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ
“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolongpun selain daripada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan.” (QS. Hud, 11: 113)
Allah Ta’ala melarang hamba-hamba-Nya untuk condong hati, menyukai, atau berbasa-basi terhadap orang-orang zalim yang melanggar hukum-hukum Allah atau menyenangi perbuatan mereka. Jangan sampai mereka bergantung kepada orang-orang itu atau menganggap baik jalan yang mereka tempuh.[2]
Ketiga, al-mawaddah (mencintai dan berkasih sayang) kepada orang-orang kafir yang memusuhi Islam.
Perhatikanlah betapa bahayanya ghazwul fikri ini. Orang-orang kafir yang memusuhi Islam yang seharusnya mereka lawan, malah mereka jadikan kawan. Mereka mencintai dan berkasih sayang kepada orang-orang kafir dan musuh-musuh Islam itu, namun benci dan memusuhi saudara-saudaranya sendiri sesama muslim. Lalu menganggap sikap ini sebagai sikap bijak dan moderat.
Seharusnya mereka memperhatikan firman-Nya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لَا يَأْلُونَكُمْ خَبَالًا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ ۚ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْآيَاتِ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.” (QS. Ali Iman, 3: 118)
Keempat, at-tha’ah (taat) kepada keinginan orang-orang kafir yang memusuhi Islam.
Karena telah terperdaya, cenderung, dan mencintai mereka, wajar saja jika sebagian umat ini ada yang senang hati taat dan patuh kepada keinginan-keinginan orang-orang kafir yang memusuhi Islam. Perilaku seperti ini mirip dengan perilaku munafikin pada masa lalu.
ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا لِلَّذِينَ كَرِهُوا مَا نَزَّلَ اللَّهُ سَنُطِيعُكُمْ فِي بَعْضِ الْأَمْرِ ۖ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِسْرَارَهُمْ
“Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka (orang-orang munafik) itu berkata kepada orang-orang yang benci kepada apa yang diturunkan Allah (orang-orang Yahudi): ‘Kami akan mematuhi kamu dalam beberapa urusan’, sedang Allah mengetahui rahasia mereka.” (QS. Muhammad, 47: 26)
Pada masa lalu orang-orang munafik mengikuti keinginan orang musyrik dan Yahudi, untuk membantu mereka dalam memerangi dan memusuhi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terus menyeru kepada Islam.[3]
Pada masa kini tidak jarang kita menyaksikan orang-orang yang mengaku dirinya sebagai muslim yang mau mengikuti apa yang diinginkan orang-orang kafir dan musuh-musuh Islam untuk memberangus saudara-saudaranya sendiri sesama muslim dengan berbagai macam pembenaran-pembenaran atas tindakan mereka tersebut.
Kelima, al-ittiba’ (mengikuti) kepada petunjuk-petunjuk mereka.
Padahal Allah Ta’ala telah mengingatkan umat ini dengan firman-Nya,
وَلَنْ تَرْضَىٰ عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ ۗ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَىٰ ۗ وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ ۙ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: ‘Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)’. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (QS. Al-Baqarah, 2: 120).
Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ , قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ : فَمَنْ
“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang sempit sekalipun, -pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” (HR. Muslim no. 2669)
Imam Nawawi –rahimahullah– ketika menjelaskan hadits di atas menjelaskan, “Yang dimaksud dengan syibr (sejengkal) dan dzira’ (hasta) serta lubang dhab (lubang hewan tanah yang penuh lika-liku), adalah permisalan bahwa tingkah laku kaum muslimin sangat mirip sekali dengan tingkah Yahudi dan Nashrani. Yaitu kaum muslimin mencocoki mereka dalam kemaksiatan dan berbagai penyimpangan, bukan dalam hal-hal kekafiran mereka yang diikuti. Perkataan beliau ini adalah suatu mukjizat bagi beliau karena apa yang beliau katakan telah terjadi saat-saat ini.” (Syarh Muslim, 16: 219)[4]
Keenam, at-tasyabbuh (menyerupai) orang-orang kafir.
Karena selalu mengikuti orang-orang kafir dan musuh-musuh Allah, akhirnya umat ini betul-betul menyerupai mereka baik dalam corak pemikiran, perilaku, dan tampilan fisik. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang mereka melakukan hal seperti itu.
Dari Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Daud).
Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا
“Bukan termasuk golongan kami siapa saja yang menyerupai selain kami” (HR. Tirmidzi).
Ketujuh, al-wala’ (loyalitas) kepada orang-orang kafir dan musuh-musuh Islam.
Inilah akhirnya yang terjadi. Muncul dalam tubuh umat ini orang-orang yang menyerahkan loyalitasnya kepada orang-orang kafir dan musuh-musuh Islam; mereka mencintai, menolong, mengikuti dan mendekat kepada mereka. Padahal Allah Ta’ala telah melarangnya.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَىٰ أَوْلِيَاءَ ۘ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Maidah, 5: 51)
Ayat ini dengan jelas dan tegas melarang umat Islam bergantung kepada orang-orang kafir yang memusuhi Islam, atau berakrab-akrab dengan intim, saling menolong dan memberikan loyalitas (kesetiaan); mengikuti dan mencintai serta meminta pertolongan dan bantuan kepada mereka.
Hendaknya mereka merenungi sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini,
أَوْثَقُ عُرَى اْلإِيْمَانِ:الْمُوَالاَةُ فِي اللهِ، وَالْمُعَادَاةُ فِي اللهِ، وَالْحُبُّ فِي اللهِ، وَالبُغْضُ فِي اللهِ
“Ikatan iman yang paling kuat adalah loyalitas karena Allah dan permusuhan karena Allah, mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.” (HR. Ath-Thabrani).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ghazwul fikri akan menyebabkan seseorang terserang adz-dzullu (rasa inferior/rendah diri), at-taba’iyyah (sikap mengekor), al-la’nah (mendapat laknat/cela), adz-dzauban (selalu menurut), asy-syirku (terjerumus perbuatan syirik), bara-atun minallah (lepas dari naungan Allah), ar-riddah (terancam kemurtadan), dan mendapat al-adzab (adzab Allah).
Ringkasnya, ghazwul fikri akan menyeret seseorang kepada al-hayatul jahiliyyah (kehidupan jahiliyyah). Dimana sifat, sikap, kondisi, dan perilaku mereka tidak sejalan dengan nilai-nilai ajaran Islam.
Catatan Kaki:
[1] Diriwayatkan oleh Ar-Ruyaniy (w.307H) dalam musnadnya 1/75 no.33, dan Qadhiy Al-Marastaan (w.535H) dalam kitabnya Ahaadiits Asy-Syuyuukh Ats-Tsiqaat no.2/746. Banyak hadits-hadits lain yang senada dengan hadits ini, namun seluruhnya dinilai dhaif. Meskipun demikian, makna hadits ini shahih. Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 26/357, menyebutkan: “Adapun makna hadits ini, maka dikuatkan oleh keumuman nahs (Al-Qur’an dan Hadits), yaitu bahwasanya kalimat (ucapan) yang bermanfaat yang tidak bertentangan dengan nash syari’at lainnya, yang terkadang diucapkan oleh orang yang bukan ahlinya kemudian diterima oleh ahlinya, maka tidak sepantasnya bagi seorang mukmin untuk meninggalkannya, bahkah seutamanya ia mengambil manfaat dari ucapan tersebut dan mengamalkannya tanpa melihat siapa yang menyampaikannya.”
[2] Lihat: Tafsir Jalalain dan Tafsir Al-Mishbah.
[3] Lihat: Tafsir Al-Wajiz, Syaikh Wahbah Az-Zuhaili.
[4] Dikutip dari: https://rumaysho.com/3076-mengikuti-gaya-orang-kafir-tasyabbuh.html