الدعوة إلى الله سبيل النجاة في الدنيا و الآخرة
“Berdakwah kepada Allah adalah jalan keselamatan di dunia dan akhirat”
Seorang da’i, selayaknya memahami betul hakekat dari sebuah penciptaan manusia di atas muka bumi. Dengan pemahaman yang matang tentang hal ini, para da’i dapat dengan sempurna menjalankan tugasnya. Sebagaimana yang telah dicontokan oleh para nabi dan rasul.
Firman Allah Ta’ala dalam Al Quran surat Adz-zariyat, ayat: 56, mengabarkan kepada kita akan arti dari hakekat penciptaan.
ومَا خَلَقْتُ الجِنَّ والإنسَ إلاَّ لِيَعْبُدُونِ
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”
Ibadah, dalam hal ini tak akan pernah terealisasikan secara sempurna, tanpa diawali dengan kesadaran yang dalam (‘ala al-bashirah). Dalam Tafsir al-Baidhowi dituliskan, makna ‘ala al-bashirah berarti; melakukan sesuatu hal dengan penuh kesadaran, memiliki argument yang kuat serta dapat dipertanggungjawabkan.
Dan kesadaran dalam beribadah seperti ini tak akan bisa terpupuk dengan baik, tanpa mengikuti risalah yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para nabi lainnya. Sehingga dalam beribadah, sholat misalnya, bukan lagi menjadi sebuah rutinitas belaka, tapi menjadi sebuah kebutuhan yang dilakukan dengan penuh sadar, yang begitu dalam dipahami maknanya.
Apa yang dilakukan oleh nabi dan rasul selaku hamba Allah yang diutus di atas muka bumi ini, pada hakekatnya merupakan pengejawantahan dari ayat yang difirmankan Allah kepada para malaikat, yaitu ketika awal pertama kali Adam ‘alaihissalam diciptakan,
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأرْضِ خَلِيفَةً
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat, ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi.’” (QS. Al-Baqarah, 2: 30)
Dengan demikian, makna hakekat penciptaan manusia secara garis besar adalah berfungsi sebagai khalifah dan untuk beribadah kepada Allah Ta’ala sebagaimana yang termaktub dalam dua ayat di atas tadi.
Imam Ar-Razi dalam tafsirnya menjelaskan, bahwa maksud dari kata ibadah yang tertera dalam Surat Adz-Zariyat adalah, pertama; menaati perintah Allah Ta’ala dan yang kedua; berlaku kasih sayang terhadap sesama makhluk Allah Ta’ala.
Dan “berdakwah” merupakan amalan ibadah yang menempati posisi puncak, sebagai bentuk aplikasi dari dua definisi ibadah yang disampaikan oleh Imam Ar-razi dalam tafsirnya tadi. Hal ini dikarenakan, pertama; berdakwah memiliki makna menyeru manusia menuju Allah. Tugas yang sama seperti yang diemban oleh para nabi dan rasul. Dalam Surat Al Fushilat ayat 33, Allah Ta’ala telah berfirman,
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?”
Kedua, di dalam berdakwah pula, tercermin rasa kasih sayang antar sesama makhluk ciptaan Allah. Hal ini bener adanya, karena seorang da’i, melihat obyek dakwah (mad’u) dengan penuh harapan, dapat menjadikan dirinya wasilah hidayah menyelamatkan mad’u-nya dari kesia-siaan dalam menjalani hidup. Sang da’i kemudian mendekatinya, dan terus berusaha memberikan arahan, memberikannya pengajaran akan hakekat dari sebuah kehidupan.
Seseorang yang terkukung dalam system hidup duniawi misalnya, yang hari-harinya disibukkan untuk mengejar materi belaka. Berkat sentuhan seorang da’i, cara pandangnya terhadap dunia kemudian bisa berubah, obsesinya berganti bukan lagi materi, namun bagaimana kini ia bisa beramal sebanyak-banyaknya agar bisa menjadi bekal hidupnya di akhirat kelak.
Para nabi dan rasul, telah memberikan kita teladan selama dalam perjuangan mereka mengemban risalah mulia ini, mereka berdakwah siang dan malam, demi mengajak umat manusia menuju Allah, sekalipun cacian dan makian serta intimidasi tak henti-hentinya mereka dapatkan.
Al-Quran sangat banyak menceritakan kisah perjuangan para nabi dan rasul, yang tetap tegar berdakwah di tengah kaumnya yang zalim. Namun demikan, Allah selalu memenangkan mereka dan menyelamatkan para utusan-Nya dari kejahatan kaumnya yang durhaka.
Seperti dalam kisah Nabi Nuh ‘alaihissalam dengan kaumnya,
فَكَذَّبُوهُ فَنَجَّيْنَاهُ وَمَنْ مَعَهُ فِي الْفُلْكِ وَجَعَلْنَاهُمْ خَلَائِفَ وَأَغْرَقْنَا الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُنْذَرِينَ
“Lalu mereka mendustakan Nuh, maka Kami selamatkan dia dan orang-orang yang bersamanya di dalam bahtera, dan Kami jadikan mereka itu pemegang kekuasaan dan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang diberi peringatan itu.” (QS. Yunus: 73)
Kisah nabi Hud ‘alaihissalam dan kaumnya,
وَلَمَّا جَاءَ أَمْرُنَا نَجَّيْنَا هُودًا وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ بِرَحْمَةٍ مِنَّا وَنَجَّيْنَاهُمْ مِنْ عَذَابٍ غَلِيظٍ
“Dan tatkala datang azab Kami, Kami selamatkan Hud dan orang-orang yang beriman bersama dia dengan rahmat dari Kami; dan Kami selamatkan (pula) mereka (di akhirat) dari ‘azab yang berat.” (QS. Huud: 58)
Dan kisah nabi Shaleh ‘alaihissalam dengan kaumnya,
فَلَمَّا جَاءَ أَمْرُنَا نَجَّيْنَا صَالِحًا وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ بِرَحْمَةٍ مِنَّا وَمِنْ خِزْيِ يَوْمِئِذٍ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ الْقَوِيُّ الْعَزِيزُ
“Maka tatkala datang azab Kami, Kami selamatkan Saleh beserta orang-orang yang beriman bersama dia dengan rahmat dari Kami dan (Kami selamatkan) dari kehinaan di hari itu. Sesungguhnya Tuhanmu Dia-lah Yang Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. Huud: 66)
Serta kisah nabi Luth ‘alaihissalam dengan kaumnya,“Para utusan (malaikat) berkata: “Hai Luth, sesungguhnya kami adalah utusan-utusan Tuhanmu, sekali-kali mereka tidak akan dapat mengganggu kamu, sebab itu pergilah dengan membawa keluarga dan pengikut-pengikut kamu di akhir malam dan janganlah ada seorang di antara kamu yang tertinggal, kecuali istrimu. Sesungguhnya dia akan ditimpa azab yang menimpa mereka karena sesungguhnya saat jatuhnya azab kepada mereka ialah di waktu subuh; bukankah subuh itu sudah dekat? Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Lut itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi.”. (QS. Huud: 81-82)
Dan masih banyak kisah anbiya’ dan rasul lainnya, yang pada intinya menguatkan pernyataan, bahwa kemenangan selalu berpihak kepada para da’i yang menyeru kepada Allah Ta’ala. Dalam Al Quran surat Yunus, ayat 103 Allah Swt. telah berfirman, “Kemudian Kami selamatkan rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman, demikianlah menjadi kewajiban atas Kami menyelamatkan orang-orang yang beriman.” Imam Ar-razi kemudian menafsirkan ayat ini dengan mengatakan, bahwa keselamatan atas Rasul dan orang yang beriman, merupakan kebenaran yang telah dijanjikan oleh Allah Ta’ala.
Sayyid Quthub dalam tafir Fi Zilalil Qur’an-nya menuliskan, “Hal ini merupakan sunatullah yang terjadi di atas muka bumi, dan ini merupakan janji Allah kepada para wali-nya. Apabila jalan juang ini terasa panjang, maka sadarilah, bahwa inilah sebenar-benarnya jalan juang itu. Dan jangan tanya lagi berapa besarnya ganjaran yang dijanjikan untuk orang beriman. Dan janganlah ia terburu-buru untuk mendapatkannya, karena jalan juang masih harus ia rentasi. Allah tidak akan pernah mengkhianati janji untuk para wali-nya, dan tidak akan melemahkan bantuan terhadapnya, dan Ia tidak pula akan membiarkan para wali-nya dikalahakan oleh para musuh-Nya. Namun Allah justru akan memberikannya sebuah pengajaran, melatih dan menambah ujian bagi para wali-Nya, dengan memanjangkan jalan dakwah yang harus ia tapaki.”
Umat nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah umat paling istimewa diantara umat yang lain. Banyak ayat yang menceritakan, bagaimana umat terdahulu yang membangkang, langsung mendapatkan azab pada saat itu juga, hingga tak tersisa lagi dari jiwa dan raga mereka, bahkan dilenyapkan hingga satu generasi. Sebagaimana yang termaktub dalam kisah para nabi dan Rasul ketika menghadapi sikap keras kaumnya.
Namun demikian, berbeda hal nya dengan umat nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, para kafir Quraisy tidak serta merta diazab atas sikap penentangannya terhadap risalah kenabian. Namun semua itu ditangguhkan hingga waktunya. Hal serupa yang kita rasakan sekarang. Tatkala penekanan terhadap umat Islam terjadi dimana-mana, pelecehan dan intimidasi karena akidah merebak di berbagai belahan dunia, namun azab untuk mereka musuh-musuh Allah tak kunjung datang. Pertanyaannya adalah mengapa? Jawabannya, hal itu dikarenakan satu hal, yaitu masih bekerjanya para da’i hingga detik ini dalam menyebarkan risalah Islam, sehingga azab yang ditimpakan kepada kaum pembangkang dahulu itu pun kini ditangguhkan.
Kemulian berdakwah inilah sesungguhnya yang Allah berikan kepada kita, selaku umat nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para da’i bahkan menjadi tolok ukur, hingga detik kapan bumi ini hancur dan kiamat terjadi. Dikarenakan sangkakala kiamat tak akan ditiupkan, hingga tak ada satu makhluk pun di atas muka bumi ini yang menyebut-nyebut asma Allah Ta’ala.
Beberapa hadis yang menyebutkan tanda-tanda terjadinya hari kiamat mengabarkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ إِلاَّ عَلَى شِرَارِ الْخَلْقِ
“Tidak akan terjadi kiamat kecuali kepada manusia durjana (yang paling jahat)” (HR. Muslim)
Dalam hadis lainnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتىَّ لاَ يُقَالَ فِي الأَرْضِ اللهَ اللهَ
“Tidaklah akan datang hari kiamat selama masih ada yang mengucapkan Allah.., Allah…” Dalam riwayat yang lain, “sampai tidak terucap lagi kalimah Allah.., Allah…” (HR. Muslim)
Dalil hadis di atas mengisyaratkan, bahwa kiamat terjadi ketika tak ada lagi yang menyeru kepada Allah, dalam artian, tak ada lagi dakwah dan para pengembannya. Oleh karena itu keberadaan seorang da’i sangatlah penting. Keeksistensiannya menentukan akhir dari perjalanan panjang usia bumi.
Disamping itu, ganjaran yang dijanjikan juga sangatlah besar. Karena ia merupakan pelanjut estafet dari apa yang dilakukan oleh para nabi dan rasul. Mereka selalu berada dalam lindungan Allah, mereka pula yang dijanjikan keselamatan baik di dunia mau pun di akhirat; pada hari tak adalagi naungan, melainkan naungan dari-Nya. Dan itu hanya diberikan kepada hamba-hamba pilihan, yang menjalankan sunnah dari hakekat penciptaan dirinya, yaitu menjadi khalifah dan beribadah di setiap sisi masa hidupnya di dunia kepada Allah Swt.. Wallahu a’lam bishawab
– Disarikan dari kitab “Qawaidu ad-da’wah ilallah” karya Dr. Hamam Abdurrahim Sa’id, cetakan Dârul wafa’, Manshurah, Mesir.