Pengertian Wahyu
Tinjauan Bahasa
Dikatakan wahaitu ilaih dan auhaitu, bila kita berbicara kepada orang kedua agar tidak diketahui orang lain. Wahyu artinya isyarat yang cepat. Ia disampaikan melalui pembicaraan berupa rumus dan lambang, atau terkadang melalui suara semata serta melalui isyarat dengan sebagian anggota badan.
Al-wahy atau wahyu adalah kata masdar (infinitif); dan materi kata itu menunjukkan dua pengertian dasar, yaitu: tersembunyi dan cepat. Oleh sebab itu pengertian wahyu adalah: “Pemberitahuan secara tersembunyi, cepat dan khusus; ditujukan kepada orang yang diberitahu tanpa diketahui orang lain.”
Tinjauan Istilah
Secara istilah wahyu didefinisikan sebagai: “Kalam Allah yang diturunkan kepada seorang Nabi”. Definisi ini menggunakan pengertian maf’ul, yaitu al–muha (yang diwahyukan).
Ustadz Muhammad Abduh membedakan antara wahyu dengan ilham. Ilham itu intuisi yang diyakini jiwa sehingga terdorong untuk mengikuti apa yang diminta, tanpa mengetahui dari mana datangnya. Hal sepeti itu serupa dengan rasa lapar, haus, sedih dan senang.
Cara Wahyu Turun Pada Malaikat
Di dalam Al-Quranul Karim terdapat nash mengenai kalam Allah kepada para malaikat-Nya; diantaranya sebagai berikut,
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi’. Mereka berkata: ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?’ Tuhan berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui’”. (QS. Al-Baqarah, 2: 30).
إِذْ يُوحِي رَبُّكَ إِلَى الْمَلَائِكَةِ أَنِّي مَعَكُمْ فَثَبِّتُوا الَّذِينَ آمَنُوا ۚ
“(Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkan (pendirian) orang-orang yang telah beriman’”. (QS. Al-Anfal, 8: 12 ).
Nash-nash diatas dengan tegas menunjukkan bahwa Allah Ta’ala berbicara kepada para malaikat tanpa perantaraan dan dengan pembicaraan yang dipahami oleh para malaikat itu. Hal ini diperkuat oleh hadis dari Nawwas bin Sam’an radhiyallahu ‘anhu, bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا أَرَادَ اللهُ تَعَالَى أَنْ يُوحِيَ بِالْأَمْرِ تَكَلَّمَ بِالْوَحْيِ أَخَذَتِ السَّمَاوَاتِ مِنْهُ رَجْفَةٌ. أَوْ قَالَ: رَعْدَةٌ شَدِيدَةٌ خَوْفًا مِنَ اللهِ عَزَّوَجَلَّ ، فَإِذَا سَمِعَ ذَلِكَ أَهْلُ السَّمَاوَاتِ صَعِقُوا وَخَرُّوا سُجَّدًا فَيَكُونُ أَوَّلَ مَنْ يَرْفَعُ رَأْسَهُ جِبْرِيلُ، فَيُكَلِّمُهُ اللهُ مِنْ وَحْيِهِ بِمَا أَرَادَ، ثُمَّ يَمُرُّ جِبْرِيلُ عَلَى الْمَلَائِكَةِ، كُلَّمَا مَرَّ بِسَمَاءٍ سَأَلَهُ مَلَائِكَتُهَا مَاذَا قَالَ رَبُّنَا يَا جِبْرِيلُ؟ فَيَقُولُ جِبْرِيلُ: قَالَ الْحَقُّ وَهُوَ الْعَلِّيُّ الْكَبيرُ. فَيَقُولُونَ كُلُّهُمْ مِثْلَ مَا قَالَ جِبْرِيلُ. فَيَنْتَهِي جِبْرِيلُ بِالْوَحْيِ إِلَى حَيْثُ أَمَرَهُ اللهُ عَزَّوَجَلَّ
“Apabila Allah Ta’ala hendak mewahyukan perintah-Nya, Dia memfirmankan wahyu itu maka langit-langit bergetar -atau beliau berkata, ‘Berdentum dengan keras,’- karena takut kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Tatkala mendengar firman tersebut, para (malaikat) penghuni langit pun lunglai dan bersimpuh sujud (kepada Allah). Jadilah Jibril sebagai malaikat yang pertama kali mengangkat kepalanya maka Allah memfirmankan kepadanya berupa wahyu-Nya sesuai dengan kehendak-Nya. Kemudian Jibril melewati para malaikat. Setiap melewati satu langit, dia ditanyai oleh malaikat penghuni (langit) tersebut, ‘Apa yang telah difirmankan oleh Rabb kita, wahai Jibril?’ Jibril menjawab, ‘(Perkataan) yang benar, dan Dia-lah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.’ Seluruh malaikat pun mengucapkan seperti ucapan Jibril itu. Demikianlah sehingga Jibril menyampaikan wahyu tersebut sesuai dengan perintah Allah ‘Azza wa Jalla.” (HR. Thabrani)
Hadits di atas menjelaskan bagaimana wahyu turun: Allah berbicara dan para malaikat mendengar-Nya. Hadis tersebut menjelaskan cara turunnya wahyu secara umum.
Cara Wahyu Allah Turun Kepada Para Rasul
Allah menurunkan wahyu kepada para rasul-Nya dengan dua cara:
Pertama, tanpa melalui perantaraan.
- Mimpi yang benar didalam tidur.
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
أَوَّلُ مَا بُدِئَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – مِنَ الْوَحْىِ الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ فِى النَّوْمِ ، فَكَانَ لاَ يَرَى رُؤْيَا إِلاَّ جَاءَتْ مِثْلَ فَلَقِ الصُّبْحِ
“Pertama turunnya wahyu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah melalui mimpi yang benar waktu beliau tidur. Biasanya mimpi itu terlihat jelas oleh beliau, seperti jelasnya cuaca pagi.…” (HR. Bukhari)
Di antara dalil yang menunjukkan bahwa mimpi yang benar bagi para Nabi adalah wahyu yang wajib diikuti, ialah mimpi Nabi Ibrahim ‘alaihis salam agar menyembelih anaknya, Ismail (Lihat: QS. As-Saffat ayat 101-112).
Mimpi yang benar tidaklah khusus bagi para rasul, tetapi juga berlaku pada kaum mukminin. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنْقَطَعَ الْوَحْيُ وَبَقِيَتِ الْمُبَشِّرَاتُ رُؤْيَا الْمُؤْمِنِ
“Wahyu telah terputus, tetapi berita-berita gembira tetap ada, yaitu mimpi orang mukmin.” (Muttafaq ‘Alaih)
Mimpi yang benar bagi para nabi merupakan salah cara dari sekian macam cara yang Allah Ta’ala gunakan untuk berbicara kepada mereka. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلَّا وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولًا فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ ۚ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ
”Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.” (QS. As-Syuraa, 42: 51 ).
- Kalam Ilahi dari balik tabir tanpa melalui perantara.
Yang demikian itu terjadi kepada Nabi Musa ‘alaihis salam sebagaimana dikisahkan melalui firman Allah Ta’ala berikut,
وَلَمَّا جَاءَ مُوسَىٰ لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ ۚ قَالَ لَنْ تَرَانِي وَلَٰكِنِ انْظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي ۚ فَلَمَّا تَجَلَّىٰ رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَىٰ صَعِقًا ۚ فَلَمَّا أَفَاقَ قَالَ سُبْحَانَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: ‘Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau’. Tuhan berfirman: ‘Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku’. Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: ‘Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman’”. (QS. Al-A’raf, 7: 143).
Demikian pula menurut pendapat yang paling sah, Allah Ta’ala pun telah berbicara secara langsung kepada Rasul kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pada malam isra dan mi’raj. Yang demikian ini yang termasuk berkata-kata dari balik tabir.
Kedua, melalui perantaraan malaikat.
Ada dua cara penyampaian wahyu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
- Datang kepadanya suara seperti gemerincing lonceng, dan cara seperti ini adalah cara yang paling berat bagi
- Malaikat datang kepada rasul dalam bentuk manusia, yakni sebagai seorang laki-laki. Cara ini lebih ringan dari pada yang sebelumnya.
Keduanya cara di atas disebutkan dalam hadis berikut,
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ الْحَارِثَ بْنَ هِشَامٍ سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَيْفَ يَأْتِيكَ الْوَحْيُ قَالَ كُلُّ ذَاكَ يَأْتِينِي الْمَلَكُ أَحْيَانًا فِي مِثْلِ صَلْصَلَةِ الْجَرَسِ فَيَفْصِمُ عَنِّي وَقَدْ وَعَيْتُ مَا قَالَ وَهُوَ أَشَدُّهُ عَلَيَّ وَيَتَمَثَّلُ لِي الْمَلَكُ أَحْيَانًا رَجُلًا فَيُكَلِّمُنِي فَأَعِي مَا يَقُولُ
Dari ‘Aisyah radliallahu ‘anha bahwa Al Harits bin Hisyam bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Bagaimana caranya wahyu datang kepada Tuan?”. Beliau menjawab: “Terkadang datang kepadaku seperti suara gemerincing lonceng lalu terhenti sebentar namun aku dapat mengerti apa yang disampaikan. Dan cara ini yang paling berat buatku. Dan terkadang datang Malaikat menyerupai seorang laki-laki lalu berbicara kepadaku maka aku ikuti apa yang diucapkannya”. (HR. Bukhari)
‘Aisyah juga meriwayatkan apa yang dialami Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat turun wahyu,
وَلَقَدْ رَأَيْتُهُ يَنْزِلُ عَلَيْهِ الْوَحْىُ فِى الْيَوْمِ الشَّدِيدِ الْبَرْدِ ، فَيَفْصِمُ عَنْهُ وَإِنَّ جَبِينَهُ لَيَتَفَصَّدُ عَرَقًا
“Aku pernah melihatnya tatkala wahyu sedang turun kepadanya pada suatu hari yang amat dingin, lalu malaikat itu pergi. Sedangkan keringat mengucur dari dahi Rasulullah”. (HR. Bukhari)
Tuduhan dan Jawaban Singkat Seputar Wahyu
Permasalahan wahyu sering menjadi sasaran tuduhan kaum jahiliyah dari dulu hingga sekarang dalam rangka mengkaburkan keyakinan kaum muslimin dan menjauhkan mereka dari Al-Quran, diantaranya sebagai berikut:
Pertama, meraka mengira bahwa Al-Qur’an ini berasal dari pribadi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam; mereka menuduh beliaulah yang menciptakan maknanya dan beliau pula yang menyusun ‘gaya bahasanya’; jadi menurut mereka Al-Qur`an bukanlah wahyu.
Kita jawab: Lalu bagaimanakah dengan ayat-ayat Al-Quran yang jelas-jelas ‘memperingatkan’ dan ‘menyalahkan’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beberapa momentum seperti ketika beliau mendahulukan mendakwahi pembesar Quraisy dan tidak begitu mempedulikan Abdullah bin Ummi Maktum? (Lihat: QS. Abasa ayat 1-10), atau saat turun ayat Al-Qur’an menyalahkan beliau yang memutuskan untuk menyerahkan tawanan perang Badar dengan tebusan? Maka jika itu benar buatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sungguh mustahil beliau berbuat sesuatu lalu menegur dirinya sendiri.
Begitu pula pada saat momentum lain, yakni yang dikenal sebagai peristiwa haditsul ifki, bukankah kehormatan keluarga nabi tercoreng dengan isu yang melanda seisi kota tentang ketidaksetiaan ibunda Aisyah? Kasus ini cukup lama membuat Madinah bergejolak, tapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bergeming dan menunggu jawaban tuntas dari Allah Ta’ala melalui Al-Quran untuk membebaskan Aisyah dari tuduhan tersebut. Sekiranya nabi sendiri yang membuat al-Quran, maka mestinya ia tidak perlu repot-repot menunggu turunnya wahyu dengan kondisi yang segenting itu.
Kedua, mereka menyangka bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mempunyai ketajaman otak, kedalaman pandangan, kekuatan firasat, kecerdikan yang hebat, kejernihan jiwa dan renungan yang benar yang menjadikannya memahami ukuran-ukuran perkara yang baik dan yang buruk, benar dan salah, melalui ilham (inspirasi), serta mengenali perkara-perkara yang rumit melalui kasyaf. Sehingga Al-Qur`an itu tidak lain hanyalah hasil penalaran intelektual dan pemahaman yang diungkapkan oleh beliau dengan gaya bahasa dan retorika.
Kita Jawab: jika kita mencermati konten informasi yang dimuat di dalam Al-Qur’an, maka tidak diragukan lagi bahwa apa yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘aaihi wa sallam tersebut hanyalah berdasarkan kepada penerimaan dan pengajaran wahyu dari Allah Ta’ala. Al-Qur`an menyebutkan berita-berita tentang umat terdahulu sekalipun masa yang dilaluinya sudah amat jauh. Bahkan di dalamnya terdapat informasi tentang kejadian pertama alam semesta ini. Begitupula terdapat ayat yang menjelaskan tentang hari kiamat serta gambaran surga dan neraka yang demikian lengkap. Hal-hal tersebut tentu tidak dapat diketahui dengan mengandalkan pikiran dan kecermatan firasat. Secerdas apapun manusia, bahkan hingga hari ini, tetap tidak bisa menyentuh pemberitaan-pemberitaan ghaib tersebut.
Ketiga, mereka menyangka bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerima ilmu-ilmu Qur’an dari seorang guru.
Kita jawab: Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tumbuh dan hidup dalam keadaan buta huruf dan tak seorang pun diantara masyarakatnya yang membawa simbol ilmu dan pengajaran. Hal ini adalah kenyataan yang disaksikan oleh sejarah, dan tidak dapat diragukan. Bahkan kita juga menyaksikan bahwa beliau di masa kecilnya tidak tumbuh dengan bimbingan khusus dari ayahandanya atau kakeknya. Oleh pamannya Abu Thalib, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam justru lebih diarahkan untuk menjadi pedagang, hingga beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ikut serta dalam perjalanan dagangnya ke Syam yang akhirnya bertemu dengan pendeta Bukhaira. Tetapi, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang pada waktu itu masih kecil, tidak sekalipun menimba ilmu dari pendeta tersebut.
Wallahu A’lam…