Legislasi Fiqih Islami
Ditulisan sebelumnya, kita sudah menyampaikan bagaimana era stagnasi disiplin ilmu fiqih yang salah satunya ditandai dengan nge-trendnya diantara fuqoha penulisan kitab-kitab kecil berbentuk ringkasan (matan) yang sampai pada bentuk yang menciderai makna, tersembunyinya maksud dari ungkapan tersebut bahkan ungkapannya menjadi teka-teki, lalu penjelasannya (syarah) dan komentar-komentar terhadap syarah tersebut (hawasyi). Metode penulisan disiplin ilmu fiqih dalam bentuk matan, syarah dan hawasyi ini oleh sebagian fuqoha kemudian sampai dianggap sebagai metode baku yang tak boleh ‘dilangkahi’.
Di pertengahan abad ke 19 H misalnya, penguasa Mesir Khadewi Ismail Pasya pernah meminta ulama Al-Azhar untuk menyusun hukum-hukum fiqih baik perdata dan pidana dalam satu buku dengan redaksi yang mudah dan sesuai dengan era modern sebagaimana undang-undang Eropa saat itu. Permintaan Ismail Pasya tersebut kemudian diutarakan kepada Syeikh Rifa’ah Al-Tahtawi yang juga merupakan seorang ulama Al-Azhar dan dianggap sebagai bapak modernisme Islam agar disampaikan kepada para masyaikh Al-Azhar saat itu serta meyakinkan mereka betapa pentingnya ‘melegislasi’ hukum-hukum fiqih ke dalam bentuk undang-undang modern. Namun Syeikh Rifa’ah Al-Tahtawi menolak permintaan Ismail Pasya karena takut para ulama Al-Azhar akan mengkafirkannya karena berusaha merubah metode penulisan ilmu fiqih dalam bentuk undang-undang modern yang tak dikenal sebelumnya.
Syeikh Muhammad Rasyid Ridha menceritakan bahwa putra Syeikh Rifa’ah Al-Tahtawi (Ali Pasya) pernah mengabarkan kepadanya bagaimana Khadewi Ismail Pasya meminta ayahnya meyakinkan ulama Al-Azhar. Khadewi Ismail berkata:
“Anda (Al-Tahtawi) adalah bagian dari mereka (ulama Al-Azhar) dan tumbuh bersama mereka, karenanya anda lebih mungkin untuk meyakinkan mereka. Katakan kepada mereka bahwa Eropa memaksaku untuk menerapkan syariat Napoleon jika mereka tidak mau melegislasi fiqih.”
Syeikh Al-Tahtawi menjawab:
“Wahai Tuanku, sesungguhnya aku sudah tua, sebelumnya tak seorangpun pernah mencela (meragukan) agamaku. Karenanya aku memohon padamu agar anda tidak membuatku dikafirkan oleh ulama Al-Azhar di akhir umurku. Tolong bebaskan aku dari tugas ini.”[1]
Penolakan ulama Al-Azhar saat itu terhadap legislasi fiqih kemudian menjadi sebab diterapkannya peradilan sipil (umum) di Mesir disamping mahkamah syari’ah. Namun, setelah berlalunya waktu, masyarakat awam mulai membanding-bandingkan antara dua pengadilan ini dan justru kemudian menganggap bahwa peradilan umum yang berasal dari undang-undang Perancis lebih adil ketimbang peradilan syari’ah yang bersumber dari wahyu. Bahkan, sebagian Masyaikh Al-Azhar pun lebih memilih melayangkan gugatan-gugatan mereka ke peradilan sipil.
Sikap kaku sebagian para ulama Al-Azhar (di pertengahan abad ke 19 M) yang menolak legislasi fiqih dengan dalih tidak sesuai dengan metode penulisan azhari yang turun-temurun ini dikritik pedas oleh Sayyid Rasyid Ridha. Disatu sisi, mereka membid’ahkan legislasi fiqih dalam bentuk undang-undang modern dan menyindir orang-orang yang berhukum dengan peradilan sipil dengan ayat Qur’an: “Wa man lam yahkum bima anzalallah faula-ika humul kafirun”, namun terkadang mereka justeru mendatangi peradilan sipil untuk berhukum dengannya ketika mereka membutuhkannya.
Yang lebih miris adalah penolakan mereka terhadap legislasi fiqih tersebut beralasan demi menjaga syari’ah dari apa yang mereka sebut sebagai bid’ah pembukuan fiqih dengan metode baru yang tak dikenal.
Meskipun Syeikh Rifa’ah Al-Tahtawi dikenal sebagai tokoh reformis yang menyeru kepada ijtihad dan mengkritisi kembali penafsiran-penafsiran ulama salaf terhadap teks agama,[2] beliau kemudian wafat pada tahun 1873 tanpa berhasil ‘mentaqnin’ fiqih islami. Untungnya, Dinasti Ottoman pada akhir abad ke 13 H menyadari pentingnya kodifikasi dan legislasi fiqih islami khususnya yang terkait dengan mu’amalat. Kesultanan Utsmani lalu membentuk tim yang terdiri dari para fuqoha dan diketuai oleh menteri kehakiman untuk menyusun undang-undang mu’amalat berdasarkan fiqih hanafi. Proyek ini dimulai tahun 1869 dan berakhir tahun 1876. Undang-undang ini dikenal dengan “Majallah Al-ahkam Al-‘adliyah” yang merupakan undang-undang perdata yang diambil dari pendapat yang rajih dari mazhab hanafi serta beberapa pendapat marjuh yang sesuai dengan zaman modern dan lebih memudahkan masyarakat.[3] Keberhasilan kodifikasi dan legislasi ini (walaupun hanya berdasarkan satu Mazhab) dianggap sebagai salah satu cikal bakal ‘kebangkitan’ fiqih dan tajdid kontemporer.
Kodifikasi fiqih Dinasti Ottoman melalui “Majallah Al-ahkam Al-‘adliyah” juga mempengaruhi mahakim syar’iyah di Mesir yang menerapkan fiqih Hanafi dan dikritisi oleh sebagian ulama karena beberapa kekurangan, baik yang menyangkut teknis ataupun substansi. Usulan agar undang-undang yang menyangkut keluarga dikodifikasikan berdasarkan pendapat yang rajih dari semua mazhab (bukan hanya berdasarkan satu mazhab tertentu) mengemuka di awal abad ke 20. Pada tahun 1915, dibentuklah sebuah komite yang terdiri dari ulama besar empat mazhab untuk mendiskusikan dan menyusun undang-undang keluarga tersebut. Draftnya kemudian diserahkan ke sejumlah tokoh ulama, hakim dan lainnya untuk dikoreksi. Sayangnya, proyek tersebut dikritisi dan ditolak oleh sejumlah ulama yang hati mereka sempit dengan sesuatu yang baru. Mereka menganggap bahwa hanya pendapat dan sikap merekalah cara beragama yang sejati. Kondisi negara yang kacau serta perang dunia pertama yang sedang berkecamuk membuat proyek tersebut mandeg di kementerian kehakiman.[4]
Dan pada Oktober 1926 dibentuklah sebuah tim yang terdiri dari para ulama yang berani (mayoritas mereka merupakan murid dari Al-Ustadz Al-Imam Muhammad Abduh). Mereka mengusulkan undang-undang keluarga/perkawinan yang tidak terikat dengan (salah satu) dari empat mazhab. Bahkan mereka mengusulkan untuk mengambil pendapat para fuqoha Islam diluar empat mazhab dan menyerukan istinbath dari Al-Qur’an dan sunnah meskipun itu bertentangan dengan sejumlah pendapat para ulama terdahulu. Dalam beberapa kasus, mereka mengusulkan untuk mengambil pendapat Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnul Qayyim. Rancangan undang-undang keluarga ini kemudian menimbulkan kontroversi besar di parlemen hingga kemudian draftnya kembali ‘tertidur’ di kementerian kehakiman.[5]
Proyek ini baru ‘terbangun’ di tahun 1929, dan dilegislasi melalui titah kerajaan. Semua pasal-pasalnya berdasarkan mazhab yang empat, kecuali fatwa Ibnu Taimiyah tentang talak tiga jatuh satu. Ketika itu para ulama Al-Azhar berijtihad dan melegislasi pendapat talaq tiga jatuh satu (yang sebelumnya dianggap syadz dan diklaim melanggar ijma’) ke dalam undang-undang ahwal syakhsiyah di Mesir. Pendapat ini juga telah dipegang oleh Dar Al-Ifta Mesir selama lebih dari 90 tahun sampai saat ini.[6]
Berturut-turut setelahnya lahirlah “Majallah Al-ahkam As-Syar’iyah” berdasarkan mazhab Hambali karya Syeikh Ali Al-Qari, Qadhi Makkah. Lalu “Majallah Al-Iltizamat wa Al-‘Uqud” Tunisia, lalu legislasi mazhab Maliki yang dilakukan oleh Syeikh Muhammad Amir di Libya, kemudian legislasi syari’at islam di Al-Azhar pada setiap mazhab dari empat mazhab. Ditingkat formal, beberapa undang-undang ahwal syakhsiyah terbit di beberapa negara Arab, kebanyakannya tidak terikat dengan salah satu mazhab yang empat. Sebagaimana sejumlah undang-undang perdata yang terbit di Kuwait, Jordania, Sudan dan UEA.[7]
Legislasi fiqih yang sempat ditolak habis-habisan di pertengahan abad ke 19 kemudian mulai diterima dan dibolehkan oleh banyak para ulama Al-Azhar meskipun tetap mendapatkan penolakan oleh sejumlah ulama khususnya ulama Saudi. Penolakan ini berakar (salah satunya) dari isu lama terkait apakah boleh memaksa seorang qadhi untuk berfatwa atau memutuskan suatu perkara dengan pendapat atau mazhab tertentu? Sebab legislasi mengharuskan seorang qadhi atau hakim untuk mengikuti pendapat yang telah diundangkan walaupun pendapat tersebut bersebrangan dengan Ijtihadnya (jika dia seorang mujtahid).
Para ulama Malikiyah dan yang rajih menurut fuqoha Syafi’iyah serta hanabilah menolak pendapat yang membolehkan memaksa seorang qadhi dengan pendapat tertentu. Di era kontemporer, pendapat ini diikuti oleh Syeikh Muhammad Al-Amin As-Syinqithy, Syeikh Bakr Abu Zaid dan lain-lain serta Hai’ah Kibar Ulama di KSA. Adapun para ulama Hanafiyah, dan sebagian ulama Malikiyah serta Imam As-Subki dkk dari Syafi’iyah mereka membolehkan “ilzam Qadhi bimazhab mu’ayyan”. Di era kontemporer, pendapat ini diikuti oleh Syeikh Muhammad Abduh, Sayyid Rasyid Ridha, Syeikh Muhammad Abu Zahrah, Syeikh Ali At-tantawi, Syeikh Yusuf Al-Qaradhawi, Syeikh Wahbah Zuhaili dan mayoritas ulama Al-Azhar hingga era Syeikhul Azhar sekarang Dr. Ahmad Thayyib.
Meskipun hukum-hukum fiqih yang menyangkut perdata (dan perkawinan) berhasil di legislasi di banyak negara Islam, hukum pidana islami (qanun jinayah/uqubat/hudud) justru gagal di legislasi di mayoritas negara Islam. Menurut Syeikhul Azhar Al-Imam Al-Akbar Syeikh Abdul Halim Mahmud, tidak dilegislasinya fiqih islami terutama yang menyangkut dengan hukum jinayat erat hubungannya dengan kolonialisme Barat di negara-negara Islam yang mendirikan banyak kulliyatul huquq (fakultas hukum) yang berkiblat ke Eropa. Fakultas hukum ini dibuat dan dibiayai oleh negara untuk mempelajari undang-undang Eropa hingga melahirkan sarjana-sarjana hukum, para hakim, pengacara, anggota parlemen dst. Fakultas hukum ini mengkhususkan 20 pertemuan dalam seminggu untuk mempelajari undang-undang Eropa dan hanya 2 pertemuan untuk mengkaji hukum-hukum syariat Islam. Syeikh Abdul Halim Mahmud membantah semua syubhat-syubhat yang disampaikan para penolak qanun jinayah dan menjelaskan bahwa kewajiban menerapkan (syariat) Islam baik yang umum maupun parsial adalah kewajiban setiap muslim tergantung posisinya di masyarakat.[8] Bahkan beliau membentuk panitia dari para ulama Al-Azhar untuk menyusun draft undang-undang syariat Islam (yang utuh) yang sayangnya tidak ‘digubris’ oleh pemerintah Mesir.
Hal yang sama juga diutarakan oleh Syeikh Wahbah Zuhaili. Beliau berkata: “Kita semua menunggu penerapan syari’at Islam di semua negara Arab dan Islam sebagai implementasi dari perintah syariah. Baik yang terkait dengan undang-undang sipil, jinayat dan lainnya. Dan ketika itu, bergembiralah kaum muslimin dengan pertolongan Allah dalam pengamalan dan penerapan sesungguhnya syari’at yang benar, adil dan reformatif. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.”[9] Maka, sejatinya, seruan untuk diterapkannya Qanun Jinayah bukan hanya permintaan gerakan Islam sebagaimana yang digembor-gemborkan sebagian orang.
Wallahu A’lam.
Catatan Kaki
[1] Tarikh Al-Ustadz Al-Imam Syeikh Muhammad Abduh, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, Juz1, Hal 621, Cet Al-Manar, tahun 1931.
[2] Rifa’ah Al-Tahtawi, Raid At-Tanwir Fi Al-Ashr Al-Hadits, Dr. Muhammad Imarah, hal 362, cet 3 Dar Shourouk, tahun 2007.
[3] Al-Madkhal Ila Dirasah Al-Mazaahib Al-Fiqhiyah, Dr. Ali Gomaa, hal 443-444, Cet Ke 4 Dar Al Salam, Tahun 2012.
[4] Al-Ahwal Al-Syakhsiyah, Al-Imam Muhammad Abu Zahrah, Hal: 10-11, Cet Dar El-Fikr Al-Arabi, Mesir.
[5] Ibid. Hal: 13-15.
[6] Al-Qaul At-Thayyib, Dr Ahmad Thayyib, Hal 134, juz 1, cet 1 Dar Al Hokama Abu Dhabi, tahun 2021.
[7] Qadhaya Al-Fiqh Wa Al-Fikr Al-Mu’ashir, Dr. Wahbah Zuhaili, hal 62, juz 3, cet pertama Dar El-Fikr Damaskus, tahun 2011.
[8] Alhamdulillah Hadzihi Hayati, Al-Imam Dr. Abdul Halim Mahmud, Hal 64-71, cet ke 3 Dar El-Maarif.
[9] Qadhaya Al-Fiqh Wa Al-Fikr Al-Mu’ashir, Dr. Wahbah Zuhaili, hal 62, juz 3, cet pertama Dar El-Fikr Damaskus, tahun 2011.