(Islam Sebagai Akhlak)
Al-Islam sebagai ajaran yang turun dari Allah Sang Pencipta (Al-Khaliq) telah memberikan bimbingan kepada manusia (al-insan) sebagai makhluk ciptaan-Nya, agar memiliki karakter, watak, dan sikap (khuluqun) yang baik. Sikap-sikap diri (al-akhlak) tersebut terdiri dari:
Pertama, akhlak kepada Allah Ta’ala (al-akhlaqu ma’allah).
Diantara akhlak kepada Allah Ta’ala adalah memenuhi perintah (istijabah), iman, dan bersyukur kepada-Nya,
فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
“…maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al-Baqarah, 2: 186)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.” (Al-Baqarah, 2: 172).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata tentang akhlak kepada Allah Ta’ala, “Akhlak yang baik mencakup mu’amalah dengan sesama makhluk dan juga mu’amalah seorang hamba dengan Allah. Ini harus dipahami oleh kita semua. Akhlaq yang baik dalam bermuamalah dengan Allah mencakup tiga perkara: (1) Membenarkan berita-berita yang datang dari Allah, (2) Melaksanakan hukum-hukumNya, (3) Sabar dan ridha kepada takdirNya” (Dinukil dari Makarimul Akhlaq, hal: 16)
Kedua, akhlak terhadap diri sendiri (al-akhlak ma’an nafsi).
Dr. Muhammad ‘Ali Hasyimi dalam bukunya Syakhshiyatul Muslim menyebutkan bahwa Akhlak seorang muslim terhadap diri sendiri itu mencakup tiga aspek, yaitu: fisik, akal, dan ruhnya.
Fisik harus diberi makan dan minum dengan cukup dan tidak berlebih-lebihan. Hal ini seperti yang difirmankan oleh Allah Ta’ala,
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
“Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf, 7: 31)
Termasuk akhlak muslim terhadap fisiknya adalah membiasakan berolah raga. Menurut Hasyimi, seseorang dikatakan muslim sejati adalah jika sudah merasa badannya sehat dan fisiknya bugar. Terhindar dari hal-hal yang menyebabkan sakit, selamat dari makanan dan minuman yang buruk dan membahayakan. Karenanya, untuk menambah kesehatan fisiknya, ia mesti membiasakan olahraga yang sesuai dengan kemampuan badannya. Sehingga olahraga tersebut dapat menghilangkan berbagai macam penyakit dan juga menambah semangat dalam beraktivitas.[1]
Seorang muslim juga harus bersih badannya. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
حَقٌّ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ أَنْ يَغْتَسِلَ فِى كُلِّ سَبْعَةِ أَيَّامٍ يَوْمًا يَغْسِلُ فِيهِ رَأْسَهُ وَجَسَدَهُ
“Wajib bagi setiap muslim untuk mandi di setiap tujuh hari, sehari dia membasuh kepala dan badannya di dalamnya.” (HR. Ibnu Hibban dan Bukhari)
Dari Al Miqdam bin Syuraih dari ayahnya, dia berkata,
سَأَلْتُ عَائِشَةَ قُلْتُ بِأَىِّ شَىْءٍ كَانَ يَبْدَأُ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا دَخَلَ بَيْتَهُ قَالَتْ بِالسِّوَاكِ.
Aku bertanya pada Aisyah, “Apa yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan ketika mulai memasuki rumah beliau?” Aisyah menjawab, “Bersiwak.” (HR. Muslim)
Islam menyenangi kebersihan dan kerapihan. Oleh karena itu, dalam hadits dari Atha bin Yasir disebutkan,
أَتَى رَجُلٌ النَّبِيَّ ص٠م ثَائِرُ الرأْسِ وَاللِّحْيَةِ فَأَشَارَ إِلَيْهِ الرَّسُوْلُ٬ كَأَنَّهُ يَأْمُرُهُ بِإِصْلاَحِ شَعْرِهِ ٬ فَفَعَلَ ثُمَّ رَجَعَ ٬ فَقَالَ ׃ أَلَيْسَ هَذَا خَيْرًا مِنْ أَن يَأْتِيَ أَحَدُكُمْ ثَائِرُ الرَأسِ كَأَنَّهُ شَيْطَانٌ٠
“Datanglah seseorang menemui Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan rambut acak-acakan dan jenggot amat semrawut tak teratur. Lantas Nabi memberi isyarat kepadanya seolah-olah menyuruhnya untuk menyisir rambutnya. Ia pun berpaling memperbaiki rambutnya, lantas sesaat kemudian datang lagi menemui Rasulullah saw. Maka berkomentarlah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Bukankah berpenampilan menarik seperti ini lebih baik daripada salah seorang di antaramu menghadap dengan rambut acak-acakan seperti setan?”‘ (HR. Malik)
Islam tidak membenarkan seseorang yang berpenampilan kotor, lusuh, dan kumuh dengan alasan zuhud dan tawadhu. Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ يُحِبَّ أَنْ يُرَى أَثَرُ نِعْمَتِهِ عَلَى عَبْدِهِ
“Sesungguhnya Allah suka melihat tampaknya bekas nikmat Allah kepada hamba-Nya.” (HR. Tirmidzi no. 2819 dan An Nasai no. 3605. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Selain menjaga keseimbangan fisiknya, seorang muslim juga harus menjaga keseimbangan akalnya sebagai bagian dari berakhlak terhadap dirinya sendiri. Seorang muslim wajib mencari ilmu, seperti yang disabdakan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam,
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Mencari ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah)
Mencari ilmu harus dilakukan sepanjang hayat agar terus bertambah. Allah Ta’ala berfirman,
وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا
“…katakanlah: ‘Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.’” (QS. Thaha, 20: 114)
Berkenaan dengan ilmu, insya Allah akan kita ulas juga di madah Thabi’atul Islam.
Berikutnya, seorang muslim pun harus menjaga keseimbangan jiwanya. Yakni dengan cara melembutkan hatinya dengan ibadah agar terhindar dari bisikan syaitan. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ اتَّقَوْا إِذَا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُوا فَإِذَا هُمْ مُبْصِرُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.” (QS. Al-A’raf, 7: 201)
Karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada para sahabatnya,
جَدِّدُوْا اِيْمَانَكُمْ, قِيْلَ : يَارَسُوْلَ اللهِ ! وَكَيْفَ نُجَدِّدُ اِيْمَانَنَا ؟ قَالَ : اَكْثِرُوْا مِنْ قَوْلِ لا اِلهَ اِلا اللهُ.
“Perbaharuilah iman kalian!” Beliau ditanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana kami memperbaharui iman kami?” Beliau bersabda: “Perbanyaklah oleh kalian ucapan laa ilaaha illallah”. (H.R. Ahmad dan Thabrani, sedang isnad Ahmad adalah hasan – At-targhib II/415)
Sangat dianjurkan bagi setiap muslim untuk mendekati orang-orang shalih dan berkumpul bersama mereka. Adalah Abdullah bin Rawahah ketika menemui sahabat yang lainnya, ia berkata,
تَعَالَ نُؤْمِنْ بِرَبِّنَا سَاعَةً
“Marilah kita berkumpul sesaat untuk saling menguatkan keimanan.”
Hal ini sampai pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
يَرْحَمُ اللَّهُ ابْنَ رَوَاحَةَ ، إِنَّهُ يُحِبُّ الْمَجَالِسَ الَّتِي تتَبَاهَى بِهَا الْمَلَائِكَةُ
“Semoga Allah merahmati Ibnu Rawahah. Sesungguhnya dia menyukai majelis yang di dalamnya berkumpul para malaikat.” (HR. Ahmad)
Dalam rangka menjaga jiwanya, seorang muslim hendaknya memperbanyak zikir dan membaca do’a-do’a ma’tsur (yang dicontohkan Nabi).
Ketiga, akhlak kepada sesama manusia (al-akhlaqu ma’al insan).
Pembahasan mengenai hal ini sangat luas, diantaranya adalah akhlak kepada kedua orang tua, istri, anak-anak, kerabat, tetangga, sesama muslim, dan masyarakat di sekitarnya.
Diantara perintah berbuat baik kepada kedua orang tua adalah firman Allah Ta’ala berikut ini,
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa…” (QS. An-Nisa, 4: 36)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي قَالَ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أَبُوكَ
Dari Abu Hurairah berkata; “Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lalu dia bertanya, ‘Siapakah orang yang paling berhak dengan kebaktianku?’ Jawab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Ibumu!’ Dia bertanya lagi; ‘Kemudian siapa?’ Beliau menjawab: ‘Ibumu!’ Dia bertanya lagi; ‘Kemudian siapa?’ Beliau menjawab: ‘Kemudian Ibumu!’ Dia bertanya lagi; ‘Kemudian siapa?’ Dijawab: ‘Kemudian bapakmu!’” (HR. Muslim No. 4621)
Sedangkan perintah berbuat baik kepada isteri diantaranya disebutkan dalam nash-nash berikut.
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
“Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa, 4: 19)
اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْراً، فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ، وَإِنَّ أَعْوجَ مَا فِي الضِّلعِ أَعْلَاهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهُ، وَإِنْ تَرَكْتَهُ، لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ، فَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ .
“Berbuat baiklah kalian kepada kaum wanita, sebab sesungguhnya wanita itu diciptakan dari tulang rusuk dan sesungguhnya selengkung-lengkungnya tulang rusuk ialah bagian yang teratas. Maka jika engkau mencoba meluruskannya, maka engkau akan mematahkannya dan jika engkau biarkan saja, maka ia akan tetap lengkung selama-lamanya. Oleh sebab itu, maka berbuat baiklah kepada kaum wanita.” (Muttafaq ‘alaih).
Seorang muslim juga diperintahkan untuk berbuat baik kepada anak-anaknya. Anas bin Malik berkata,
مَا رَأَيْتُ أَحَدًا كَانَ أَرْحَمَ بِالْعِيَالِ مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ»، قَالَ: «كَانَ إِبْرَاهِيمُ مُسْتَرْضِعًا لَهُ فِي عَوَالِي الْمَدِينَةِ، فَكَانَ يَنْطَلِقُ وَنَحْنُ مَعَهُ فَيَدْخُلُ الْبَيْتَ وَإِنَّهُ لَيُدَّخَنُ، وَكَانَ ظِئْرُهُ قَيْنًا، فَيَأْخُذُهُ فَيُقَبِّلُهُ، ثُمَّ يَرْجِعُ»
“Aku tidak pernah melihat seorangpun yang lebih sayang kepada anak-anak dari pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Putra Nabi yang bernama Ibrahim memiliki ibu susuan di daerah Awaali di kota Madinah. Maka Nabipun berangkat (ke rumah ibu susuan tersebut) dan kami bersama beliau. lalu beliau masuk ke dalam rumah yang ternyata dalam keadaan penuh asap. Suami Ibu susuan Ibrahim adalah seorang pandai besi. Nabipun mengambil Ibrahim lalu menciumnya, lalu beliau kembali” (HR Muslim no 2316)
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,
جَاءَ أَعْرَابِى إِلَى النَّبِى صلى الله عليه وسلم فَقَالَ : تُقَبِّلُونَ الصِّبْيَانَ ، فَمَا نُقَبِّلُهُمْ ، فَقَالَ النَّبِى صلى الله عليه وسلم أَوَأَمْلِكُ لَكَ أَنْ نَزَعَ اللَّهُ مِنْ قَلْبِكَ الرَّحْمَةَ
“Datang seorang arab badui kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, ‘Apakah kalian mencium anak-anak laki-laki? Kami tidak mencium mereka’. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Aku tidak bisa berbuat apa-apa kalau Allah mencabut rasa rahmat/sayang dari hatimu’” (HR Al-Bukhari no 5998 dan Muslim no 2317)
Bersikap baik dan lemah lembut kepada anak-anak harus dilakukan dalam kondisi apa pun, termasuk jika mereka mengganggu shalat kita. Suatu hari Rasulullah sedang bersujud dalam shalatnya mengimami para sahabat, kemudian datanglah Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib, lalu sebagaimana tingkah anak-anak, Al-Hasan pun menaiki pundak Nabi yang saat itu dalam kondisi sujud. Nabi pun kemudian memanjangkan sujudnya.
Hal ini menjadikan para sahabat heran. Mereka berkata,
هَذِهِ سَجْدَةٌ قَدْ أَطَلْتَهَا، فَظَنَنَّا أَنَّهُ قَدْ حَدَثَ أَمْرٌ، أَوْ أَنَّهُ يُوحَى إِلَيْكَ
“Wahai Rasulullah, engkau telah memperpanjang sujudmu, kami mengira telah terjadi sesuatu atau telah diturunkan wahyu kepadamu”,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada mereka,
ذَلِكَ لَمْ يَكُنْ، وَلَكِنَّ ابْنِي ارْتَحَلَنِي، فَكَرِهْتُ أَنْ أُعَجِّلَهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ
“Bukan, akan tetapi cucuku ini menjadikan aku seperti tunggangannya, maka aku tidak suka menyegerakan dia hingga ia menunaikan kemauannya” (HR Ahmad no 16033 dengan sanad yang shahih dan An-Nasai no 1141 dan dishahihkan oleh Al-Albani).
Kemudian, seorang muslim pun diperintahkan berbuat baik kepada kerabatnya. Allah Ta’ala berfirman,
وَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ
“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya…” (QS. Al-Isra, 17: 26)
Hak yang harus ditunaikan itu ialah mempererat tali persaudaraan dan hubungan kasih sayang, mengunjungi rumahnya dan bersikap sopan santun, serta membantu meringankan penderitaan-penderitaan yang mereka alami.
Menghubungkan kasih sayang kepada kerabat adalah bagian ajaran Islam yang terpenting. Amr bin Unaisah berkata,
دَخَلْتُ عَلَيْهِ بِمَكَّةَ فَقُلْتُ لَهُ مَا أَنْتَ قَالَ أَنَا نَبِيٌّ فَقُلْتُ وَمَا نَبِيٌّ قَالَ أَرْسَلَنِي اللَّهُ فَقُلْتُ وَبِأَيِّ شَيْءٍ أَرْسَلَكَ قَالَ أَرْسَلَنِي بِصِلَةِ الْأَرْحَامِ وَكَسْرِ الْأَوْثَانِ وَأَنْ يُوَحَّدَ اللَّهُ لَا يُشْرَكُ بِهِ شَيْءٌ
“Saya mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau di Makkah, lalu aku bertanya, ‘Siapa tuan?’ Beliau menjawab: ‘Seorang Nabi.’ Aku bertanya lagi, ‘Apakah Nabi itu?’ Beliau menjawab: ‘Allah telah mengutusku.’ Aku bertanya lagi, ‘Engkau diutus dengan apa?’ Beliau menjawab: ‘Aku diutus untuk menyambung tali silaturahmi, menghancurkan berhala, dan agar Allah ditauhidkan dan tidak dipersekutukan.’” (HR. Muslim No. 1374)
Berikutnya, tentang berbuat baik kepada tetangga, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia muliakan tetangganya” (HR. Bukhari 5589, Muslim 70)
Dalam hadits lain disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ ، وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ ، وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ . قِيْلَ: وَ مَنْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: الَّذِيْ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
“Demi Allah, tidak beriman, tidak beriman, tidak beriman.” Ada yang bertanya: “Siapa itu wahai Rasulullah?’. Beliau menjawab: “Orang yang tetangganya tidak aman dari bawa’iq-nya (kejahatannya)” (HR. Bukhari 6016, Muslim 46)
Ulasan tentang hal ini sudah kita bahas di madah Minhajul Hayah, silahkan dirujuk kembali point Islam sebagai minhajul hayah dalam aspek al-ijtima’i (kemasyarakatan).
Selanjutnya, akhlak terhadap sesama muslim dijelaskan dalam hadits Nabi berikut,
لاَ يُؤمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidak beriman salah seorang kalian sampai dia mencintai saudaranya, seperti dia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Diantara bentuk akhlak kepada sesama muslim adalah menunaikan kewajiban kepada mereka seperti disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ قِيلَ مَا هُنَّ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ إِذَا لَقِيتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ وَإِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْ لَهُ وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللَّهَ فَسَمِّتْهُ وَإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ وَإِذَا مَاتَ فَاتَّبِعْهُ
“Kewajiban seorang muslim atas muslim yang lain ada enam.” Lalu ada yang bertanya, “Apa itu ya Rasulullah.” Maka beliau menjawab, “Apabila kamu bertemu dengannya maka ucapkanlah salam kepadanya, apabila dia mengundangmu maka penuhilah undangannya, apabila dia meminta nasehat kepadamu maka berilah nasehat kepadanya, apabila dia bersin lalu memuji Allah maka doakanlah dia -dengan bacaan yarhamukallah-, apabila dia sakit maka jenguklah dia, dan apabila dia meninggal maka iringilah jenazahnya.” (HR. Muslim)
Akhlak yang baik juga harus ditujukan kepada manusia/masyarakat secara umum. Dalam bukunya yang berjudul Syakhshiyatul Muslim, Dr. ‘Ali Hasyimi merinci akhlak seorang muslim kepada masyarakatnya dengan akhlak seperti jujur, tidak menipu, tidak mengingkari janji, tidak berkhianat, menjauhi sifat dengki, memberi nasihat, menepati janji, berbudi pekerti yang baik, pemalu, lemah lembut, penyayang, pemaaf, luwes, wajah yang berseri, mudah bergaul, menahan diri, menghindari penghinaan dan ucapan kasar, tidak menuduh orang lain fasik atau kafir tanpa kebenaran, menutup aib orang lain, menghindari hal-hal yang tidak penting, jauh dari ghibah, menjauhi perkataan palsu, menghindari prasangka buruk, menjaga rahasia, tidak berbisik-bisik dengan seseorang ketika bertiga, tidak sombong, rendah hati, tidak mengejek orang lain, menghormati orang yang lebih tua dan berjasa, bergaul dengan orang baik, suka memberi manfaat dan menghindarkan mudharat, berusaha mendamaikan perselisihan, menganjurkan kebenaran, menyeru kebaikan dan mencegah kemunkaran, cerdas dan bijaksana dalam dakwah, tidak munafik, jauh dari sifat riya, istiqamah, menjenguk orang sakit, mengurus jenazah, membalas kebaikan orang lain dan berterima kasih, berbaur dengan masyarakat dan bersabar atas perlakuan mereka, menyenangkan hati, menunjukkan jalan kebaikan, memudahkan dan tidak menyulitkan, memberi keputusan yang adil, tidak berbuat zalim, menyukai perkara-perkara yang penting, tidak memfasih-fasihkan ucapan, tidak melecehkan orang lain, dermawan, tidak mencela orang yang diberi, suka menerima tamu, mengutamakan orang lain, meringatkan orang yang terlilit hutang, menjaga diri tidak meminta-minta, ramah dan bersahabat, menjadikan Islam sebagai penimbang adat istiadatnya, menjaga etika makan-minum, menyebarkan salam, tidak memasuki rumah orang lain kecuali setelah minta izin, duduk di tempat yang tersedia di Majelis, berusaha tidak menguap di Majelis, menunjukkan adab ketika bersin, tidak mengedarkan pandangan di rumah orang lain, tidak bergaya menyerupai perempuan.
Perbuatan baik juga ditujukan kepada non muslim. Allah Ta’ala berfirman,
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah, 60: 8)
Dalam Al-Mitsaq Al-Islami yang dikeluarkan Persatuan Ulama Islam Sedunia disebutkan bahwa ayat di atas telah merangkum dua perkara, yaitu berbuat baik dan adil. Kedua hal tersebut dituntut dari seorang muslim dalam bersikap kepada sesama manusia meskipun mereka kafir selama tidak menantang dan memerangi orang Islam, serta menindas pemeluknya. Pengertian adil adalah hendaknya kita memberi hak kepada pemiliknya tanpa mengurangi. Sementara berbuat baik adalah memberi lebih dari apa yang menjadi haknya sebagai bentuk kebaikan dari dirimu. Adil adalah mengambil hakmu dan tidak lebih, sementara berbuat baik adalah mengalah sedikit dari hak yang kamu miliki.[2]
Keempat, akhlak kepada alam (al-akhlaq ma’al kauni). Yakni kepada benda-benda mati maupun makhluk hidup selain manusia.
Akhlak kepada alam ditunjukkan dengan menjaga dan memelihara kelestariannya sebagai wujud syukur kita kepada Allah Ta’ala.
الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الأرْضَ مَهْدًا وَسَلَكَ لَكُمْ فِيهَا سُبُلا وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِنْ نَبَاتٍ شَتَّى كُلُوا وَارْعَوْا أَنْعَامَكُمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لأولِي النُّهَى
“…yang telah menjadikan bagimu bumi sebagai hamparan dan yang telah menjadikan bagimu di bumi itu jalan-ja]an, dan menurunkan dari langit air hujan. Maka Kami tumbuhkan dengan air hujan itu berjenis-jenis dari tumbuh-tumbuhan yang bermacam-macam.Makanlah dan gembalakanlah binatang-binatangmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu, terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang berakal”. (QS. Thaha, 20: 53-54)
Islam melarang dan tidak menyenangi perbuatan manusia yang melakukan kerusakan di muka bumi. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya.” (QS. Al-A’raf, 7: 56)
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan ayat ini sebagai berikut, “…Allah melarang tindakan perusakan dan hal-hal yang membahayakan alam, setelah dilakukan perbaikan atasnya. Sebab apabila berbagai macam urusan sudah berjalan dengan baik lalu setelah itu terjadi perusakan, maka hal itu lebih membahayakan umat manusia. Oleh karena itu, Allah Azza wa Jalla melarang hal itu dan memerintahkan para hamba-Nya agar beribadah, berdoa, dan tunduk serta merendahkan diri kepada-Nya.”
Sedangkan dalam Al-Qur’anul Karim Wa Tafsiruhu (Depag RI) disebutkan: Dalam ayat ini Allah Ta’ala melarang jangan membuat kerusakan di permukaan bumi. Larangan membuat kerusakan ini mencakup semua bidang: merusak pergaulan, merusak jasmani dan rohani orang lain, merusak penghidupan dan sumber-sumber penghidupan, (seperti bertani, berdagang, membuka perusahaan dan lain-lainnya). Padahal bumi tempat hidup ini sudah dijadikan Allah cukup baik. Mempunyai gunung-gunung, lembah-lembah, sungai-sungai, lautan, daratan dan lain-lain yang semuanya itu dijadikan Allah untuk manusia agar dapat diolah dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, jangan sampai dirusak dan dibinasakan. Selain dari itu untuk manusia-manusia yang mendiami bumi Allah ini, sengaja Allah menurunkan agama dan diutusnya para nabi dan rasul-rasul supaya mereka mendapat petunjuk dan pedoman dalam hidupnya, agar tercipta hidup yang aman dan damai.
Akhlak kepada alam juga ditunjukkan dengan berbuat baik seluruh makhluk hidup. Diantaranya disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
بَيْنَا رَجُلٌ يَمْشِي فَاشْتَدَّ عَلَيْهِ الْعَطَشُ فَنَزَلَ بِئْرًا فَشَرِبَ مِنْهَا ثُمَّ خَرَجَ فَإِذَا هُوَ بِكَلْبٍ يَلْهَثُ يَأْكُلُ الثَّرَى مِنْ الْعَطَشِ فَقَالَ لَقَدْ بَلَغَ هَذَا مِثْلُ الَّذِي بَلَغَ بِي فَمَلَأَ خُفَّهُ ثُمَّ أَمْسَكَهُ بِفِيهِ ثُمَّ رَقِيَ فَسَقَى الْكَلْبَ فَشَكَرَ اللَّهُ لَهُ فَغَفَرَ لَهُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَإِنَّ لَنَا فِي الْبَهَائِمِ أَجْرًا قَالَ فِي كُلِّ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ
“Ada seorang laki-laki yang sedang berjalan lalu dia merasakan kehausan yang sangat sehingga dia turun ke suatu sumur lalu minum dari air sumur tersebut. Ketika dia keluar dia mendapati seekor anjing yang sedang menjulurkan lidahnya menjilat-jilat tanah karena kehausan. Orang itu berkata, ‘Anjing ini sedang kehausan seperti yang aku alami tadi’. Maka dia (turun kembali ke dalam sumur) dan diisinya sepatunya dengan air, dan sambil menggigit sepatunya dengan mulutnya dia naik keatas lalu memberi anjing itu minum. Karenanya Allah berterima kasih kepadanya dan mengampuninya”. Para sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah kita akan dapat pahala dengan berbuat baik terhadap hewan?’ Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Terhadap setiap makhluk bernyawa diberi pahala”. (HR. Al-Bukhari no. 2363 dan Muslim no. 2244)
Demikianlah ringkasan pembahasan tentang akhlak Islam. Intinya adalah at-takhalli ‘anir radzail (membersihkan diri dari sifat-sifat tercela) dan at-tahalli bil-fadhail (menghiasainya dengan sifat-sifat terpuji).
Wallahu A’lam.
Catatan Kaki:
[1] Syakhshiyatul Muslim, hal. 38
[2] Al-Mitsaq Al-Islami, hal. 183, terjemah: Bukhori Yusuf, Lc., MA, dkk.