Muqaddimah
Apa pun yang terjadi di dunia dan yang menimpa diri manusia pasti telah digariskan oleh Allah Yang Mahakuasa dan Yang Mahabijaksana. Semua telah tercatat secara rapi dalam sebuah Kitab pada zaman azali. Kematian, kelahiran, rizki, nasib, jodoh, bahagia, dan celaka telah ditetapkan sesuai ketentuan-ketentuan ilahiah yang tidak pernah diketahui oleh manusia. Dengan tidak adanya pengetahuan manusia tentang ketetapan dan ketentuan Allah ini, maka ia memiliki peluang atau kesempatan untuk berlomba-lomba menjadi hamba yang saleh-muslih, berusaha keras untuk mencapai yang dicita-citakan tanpa berpangku tangan menunggu takdir, dan berupaya memperbaiki citra diri.
Dengan bekal keyakinan terhadap takdir yang telah ditentukan oleh Allah Ta’ala, seorang mukmin tidak pernah mengenal kata frustrasi dalam kehidupannya, dan tidak berbangga diri dengan apa-apa yang telah diberikan Allah Ta’ala kepadanya. Ia akan berubah menjadi batu karang yang tegar menghadapi segala gelombang kehidupan dan senantiasa sabar dalam menyongsong badai ujian yang silih berganti. Ia juga selalu bersyukur apabila kenikmatan demi kenikmatan berada dalam genggamannya. Perhatikan beberapa ayat Allah dan hadits Rasul berikut ini.
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul-Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri,” (Al-Hadid, 57: 22-23)
وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz).” (Al-An’am, 6: 59)
عَنْ عَلِىٍّ – رضى الله عنه – قَالَ كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – فِى جَنَازَةٍ فَأَخَذَ شَيْئًا فَجَعَلَ يَنْكُتُ بِهِ الأَرْضَ فَقَالَ « مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلاَّ وَقَدْ كُتِبَ مَقْعَدُهُ مِنَ النَّارِ وَمَقْعَدُهُ مِنَ الْجَنَّةِ » . قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلاَ نَتَّكِلُ عَلَى كِتَابِنَا وَنَدَعُ الْعَمَلَ قَالَ « اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ ، أَمَّا مَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ السَّعَادَةِ فَيُيَسَّرُ لِعَمَلِ أَهْلِ السَّعَادَةِ ، وَأَمَّا مَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الشَّقَاءِ فَيُيَسَّرُ لِعَمَلِ أَهْلِ الشَّقَاوَةِ » . ثُمَّ قَرَأَ ( فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى * وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى ) الآيَةَ .
Ali radhiyallahu ‘anhu berkata: “Pernah Nabi shallallahu ‘alaihi wasalllam mendatangi jenazah, lalu beliau mengambil sesuatu, kemudian beliau menusuk-nusuk tanah dengan dan bersabda:“Tidak ada seorangpun dari kalian melainkan telah ditetapkan tempatnya di neraka dan tempatnya di surga”. Para shahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, kenapa kita tidak bersandar saja atas ketetapan yang telah dituliskan atas kita dan meninggalkan amal?”, beliau menajwab: “Tetaplah kalian beramal, karena setiap sesuatu akan dimudahkan terhadap (ketetapan) yang ia diciptakan untuknya, siapa yang termasuk orang yang ditakdirkan bahagia, maka akan dimudahkan untuk mengamalkan amalan penghuni surga, adapun siapa yang ditakdirkan termasuk dari dari orang yang ditkadirkan sengsara, maka ia akan dimudahkan untuk mengamalkan amalan penghuni neraka”. Kemudian beliau membaca ayat:
فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى
“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa”. “Dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga)”. “Maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah”. QS. Al Lail: 5-7. (HR. Bukhari)
عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Sungguh menakjubkan perkaranya orang yang beriman, karena segala urusannya adalah baik baginya. Dan hal yang demikian itu tidak akan terdapat kecuali hanya pada orang mukmin; yaitu jika ia mendapatkan kebahagiaan, ia bersyukur, karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut merupakan yang terbaik untuknya. Dan jika ia tertimpa musibah, ia bersabar, karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut merupakan hal terbaik bagi dirinya.” (HR Muslim)
Definisi Qadha dan Qadar
Secara bahasa qadar berasal dari kata qaddara yuqaddiru taqdiiran, sedangkan qadha berasal dari qadhaa yaqdhii qadhaa-an wa taqdhiyyatan yang berarti:
- Penentuan. Pengertian ini bisa kita lihat dalam ayat:
وَجَعَلَ فِيهَا رَوَاسِيَ مِنْ فَوْقِهَا وَبَارَكَ فِيهَا وَقَدَّرَ فِيهَا أَقْوَاتَهَا فِي أَرْبَعَةِ أَيَّامٍ سَوَاءً لِلسَّائِلِينَ
“Dan dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya.” (Fushilat, 41: 10)
- Pemutusan, hukuman. Pengertian ini terdapat di ayat:
وَاللَّهُ يَقْضِي بِالْحَقِّ وَالَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ لَا يَقْضُونَ بِشَيْءٍ إِنَّ اللَّهَ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Dan Allah memutuskan dengan kebenaran. Sedangkan mereka yang disembah selainNya tidak mampu memutuskan dengan sesuatu apa pun. Sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Al-Mu’min, 40:20)
- Perintah, kita bisa temukan pengertian ini pada ayat:
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (Al-Israa, 17:23)
- Pemberitaan, bisa kita temukan dalam ayat:
وَقَضَيْنَا إِلَيْهِ ذَلِكَ الْأَمْرَ أَنَّ دَابِرَ هَؤُلَاءِ مَقْطُوعٌ مُصْبِحِينَ
“Dan telah Kami wahyukan kepadanya (Luth) perkara itu, yaitu bahwa mereka akan ditumpas habis di waktu subuh.” (Al-Hijr, 15: 66)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata tentang qadha dan qadar: “Para ulama’ berbeda pendapat tentang perbedaan antara kedua istilah tersebut. Sebagian mengatakan bahwa Qadar adalah kententaun Allah sejak zaman azali (zaman yang tak ada awalnya), sedangkan Qadha’ adalah ketetapan Allah terhadap sesuatu pada waktu terjadi.” Beliau kemudian menegaskan: “Pendapat yang dianggap rajih (unggul/kuat) adalah bahwa kedua istilah tersebut bila dikumpulkan (Qadar-Qadha’), maka mempunyai makna berbeda, tapi bila dipisahkan antara satu dengan yang lain maka mempunyai makna yang sama.” (Lihat: kitab Al-Qadha’ wal Qadar).
Ma’na Beriman Kepada Qadha dan Qadar
Makna beriman kepada qadha dan qadar adalah beriman kepada pengetahuan Allah yang Maha Dahulu dan beriman kepada kehendak Allah yang telah terjadi serta kekuasaanNya yang menyeluruh (الإيمان بعلم الله القديم والإيمان بمشيئة الله النافذة وقدرته الشاملة) atau beriman kepada pengetahuan Allah yang Maha Dahulu dan sesungguhnya Dia mengetahui amal perbuatan para hamba sebelum dilakukan oleh mereka.
Beriman kepada Qadha dan Qadar menurut Ibnu Taimiyah mencakup:
- Beriman kepada ilmu Allah yang Maha Dahulu bahwa Dia mengetahui perbuatan-perbuatan hamba-hambaNya sebelum perbuatan-perbuatan tersebut dilakukannya.
- Beriman kepada catatan tentang hal tersebut di Lauh Mahfuzh.
- Beriman kepada kehendak Allah yang telah terjadi dan kekuasaanNya yang menyeluruh
- Beriman kepada ciptaan Allah terhadap setiap makhluk dan bahwa Dia adalah Khalik sedang selainnya adalah makhluk.
Dalil-dalil Wajibnya Beriman Kepada Qadha dan Qadar
Beriman kepada qadha dan qadar merupakan salah satu rukun iman, dimana tidaklah sempurna dan sah iman seseorang kecuali beriman kepada perkara ini. Ibnu Abbas pernah berkata, “Qadar adalah nidzam (aturan) tauhid. Barangsiapa yang mentauhidkan Allah dan beriman kepada qadar, maka tauhidnya sempurna. Dan barangsiapa yang mentauhidkan Allah dan mendustakan qadar, maka pendustaannya itu merusakkan tauhidnya” (Majmu’ Fataawa Syaikh al-Islam, 8/258).
Oleh karena itu, iman kepada qadha dan qadar ini merupakan faridhah dan kewajiban yang harus dilakukan setiap muslim dan mukmin. Hal ini berdasarkan beberapa ayat al-Qur’an dan hadits berikut ini.
Dalil-dalil Al-Qur’an:
قُلْ لَنْ يُصِيبَنَا إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلَانَا وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ
“Katakanlah, ‘Tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah bagi kami. Dialah pelindung kami, dan hanya kepada Allah bertawakkalah orang-orang yang beriman.” (At-Taubah, 9:51).
وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا عِنْدَنَا خَزَائِنُهُ وَمَا نُنَزِّلُهُ إِلَّا بِقَدَرٍ مَعْلُومٍ
“Dan tidak ada sesuatu pun, melainkan pada sisi Kamilah khazanahnya; Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran tertentu.” (Al-Hijr, 15:21)
أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِكُكُمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ وَإِنْ تُصِبْهُمْ حَسَنَةٌ يَقُولُوا هَذِهِ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَقُولُوا هَذِهِ مِنْ عِنْدِكَ قُلْ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ فَمَالِ هَؤُلَاءِ الْقَوْمِ لَا يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ حَدِيثًا
“Dimanapun kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu berada di dalam benteng yang tinggi dan kokoh. Jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan, ‘Ini dari sisi Allah’, dan jika mereka ditimpa suatu keburukan mereka mengatakan, ‘Ini dari engkau (Muhammad)’. Katakanlah, ‘Semuanya (datang) dari sisi Allah’. Maka mengapa orang-orang itu (orang-orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan (sedikit pun).” (4:78)
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
“Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh yang demikian itu mudah bagi Allah.” (Al-Hadid, 57:22)
اللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَحْمِلُ كُلُّ أُنْثَى وَمَا تَغِيضُ الْأَرْحَامُ وَمَا تَزْدَادُ وَكُلُّ شَيْءٍ عِنْدَهُ بِمِقْدَارٍ
“Allah mengetahui apa yang dikandung oleh setiap perempuan, apa yang kurang sempurna dan apa yang bertambah dalam rahim. Dan segala sesuatu ada usuran di sisiNya.” (13:8)
Dalil-dalil As-Sunnah:
وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ
“dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk“ (H.R. Muslim)
وَاعْلَمْ أَنَّ اْلأُمَّةَ لَوْ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَكَ. وَإِنْ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ. رُفِعَتْ اْلأَقْلاَمُ، وَجَفَّتِ الصُّحُفُ
“…dan ketahuilah jika umat bersatu padu untuk memberi manfaat kepadamu dengan sesuatu, maka tidak akan sampai manfaat itu kecuali yang telah ditetapkan Allah untukmu; jika mereka bersatu padu untuk mencelakaimu, maka engkau tidak akan celaka kecuali yang telah ditetapkan Allah untukmu. Pena sudah diangkat dan lembaran catatan sudah kering.” (HR. Tirmidzi)
Rukun-rukun Iman Kepada Qadha dan Qadar
Beriman kepada qadha dan qadar berarti mengimani rukun-rukunnya. Rukun-rukun ini ibarat satuan-satuan anak tangga yang harus dinaiki oleh setiap mukmin. Dan tidak akan pernah seorang mukmin mencapai tangga kesempurnaan iman terhadap qadar kecuali harus meniti satuan anak tangga tersebut.
Iman terhadap qadha dan qadar memiliki empat rukun sebagai berikut.
Pertama, Ilmu Allah Ta’ala (Al-Ilmu). Beriman kepada qadha dan qadar berarti harus beriman kepada Ilmu Allah yang merupakan deretan sifat-sifat-Nya sejak azali. Dia mengetahui segala sesuatu. Tidak ada makhluk sekecil apa pun di langit dan di bumi ini yang tidak Dia ketahui. Dia mengetahui seluruh makhluk-Nya sebelum mereka diciptakan. Dia juga mengetahui kondisi dan hal-ihwal mereka yang sudah terjadi dan yang akan terjadi di masa yang akan datang oleh karena ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu. Dialah Tuhan Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata.
Hal ini bisa kita temukan dalam beberapa ayat Al-Qur’an dan hadits nabi berikut ini.
اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ الْأَرْضِ مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ الْأَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا
“Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” (At-Thalaq, 65: 12)
هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ
“Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (59: 22)
وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz).” (Al-An’am, 6: 59)
Kedua, Penulisan Takdir (Al-Kitabah). Di sini mukmin harus beriman bahwa Allah Ta’ala menulis dan mencatat takdir atau ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan kehidupan manusia dan sunnah kauniah yang terjadi di bumi di Lauh Mahfuzh—“buku catatan yang dijaga”. Tidak ada suatu apa pun yang terlupakan oleh-Nya. Perhatikan beberapa ayat di bawah ini.
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul-Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri,” (al-Hadiid: 22-23)
أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ إِنَّ ذَلِكَ فِي كِتَابٍ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (22: 70)
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا طَائِرٍ يَطِيرُ بِجَنَاحَيْهِ إِلَّا أُمَمٌ أَمْثَالُكُمْ مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ يُحْشَرُونَ
“Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.” (Al-An’am, 6: 38)
إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللهُ الْقَلَمَ، قَالَ لَهُ: اُكْتُبْ! قَالَ: رَبِّ وَمَاذَا أَكْتُبُ؟ قَالَ: اُكْتُبْ مَقَادِيْرَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى تَقُوْمَ السَّاعَةُ
“Yang pertama kali diciptakan Allah adalah pena (al-qalam). Kemudian Dia berfirman kepadanya, ‘Tulislah….’ Ia bertanya, ‘Rabb, apa yang harus aku tulis?’ Dia berfirman, ‘Tulislah ketetapan-ketetapan tentang segala sesuatu (apa yang ada dan yang bakal ada) sampai hari kiamat.” (HR Ahmad)
Ketiga, Masyi`atullah (Kehendak Allah) dan Qudrat (Kekuasaan Allah). Seorang mukmin yang telah mengimani qadha dan qadar harus mengimani masyi`ah (kehendak) Allah dan kekuasaan-Nya yang menyeluruh. Apa pun yang Dia kehendaki pasti terjadi meskipun manusia tidak menginginkannya. Begitu pula sebaliknya, apa pun yang tidak dikehendaki pasti tidak akan terjadi meskipun manusia memohon dan menghendakinya. Hal ini bukan dikarenakan Dia tidak mampu,melainkan karena Dia tidak menghendakinya. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُعْجِزَهُ مِنْ شَيْءٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَلَا فِي الْأَرْضِ إِنَّهُ كَانَ عَلِيمًا قَدِيرًا
“Dan tiada sesuatu pun yang dapat melemahkan Allah baik di langit maupun di bumi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (Fathir, 35: 44)
Adapun dalil-dalil tentang masyi`atullah sangat banyak kita temukan dalam Al-Qur’an, di antaranya sebagai berikut.
وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (81: 29)
وَالَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا صُمٌّ وَبُكْمٌ فِي الظُّلُمَاتِ مَنْ يَشَأِ اللَّهُ يُضْلِلْهُ وَمَنْ يَشَأْ يَجْعَلْهُ عَلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami adalah pekak, bisu dan berada dalam gelap gulita. Barangsiapa yang dikehendaki Allah (kesesatannya), niscaya disesatkan-Nya. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah (untuk diberi-Nya petunjuk), niscaya Dia menjadikan-Nya berada di atas jalan yang lurus.” (Al-An’am, 6: 39)
إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
“Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, ‘Jadilah!’ maka terjadilah ia.” (36: 82)
مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
“Siapa yang dikehendaki Allah menjadi orang baik, maka Dia akan menjadikannya faqih (memahami) agama ini.” (HR Bukhari)
Simaklah apa jawaban Imam Syafi’i ketika ditanya tentang qadar berikut ini.
“Maka, apa-apa yang Engkau kehendaki pasti terjadi meskipun aku tidak berkehendak
Dan apapun yang aku kehendaki—apabila Engkau tidak berkehendak—tidak akan pernah ada
Engkau menciptakan hamba-hamba ini sesuai yang Engkau ketahui
Maka dalam (bingkai) ilmu ini, lahirlah pemuda dan orang tua renta
Kepada (hamba) ini, Engkau telah memberikan karunia dan kepada yang ini Engkau hinakan
Yang ini Engkau tolong dan yang ini Engkau biarkan (tanpa pertolongan)
Maka, dari mereka ada yang celaka dan sebagian mereka ada yang beruntung
Dari mereka ada yang jahat dan sebagian mereka ada yang baik
Keempat, Penciptaan-Nya (Al-Khalqu). Ketika beriman terhadap qadha dan qadar, seorang mukmin harus mengimani bahwa Allah-lah pencipta segala sesuatu, tidak ada Khaliq selain-Nya dan tidak ada Rabb semesta alam ini selain Dia. Hal ini berdasarkan dalil-dalil berikut ini:
اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ
“Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.” (Az-Zumar, 39: 62)
الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَلَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًا وَلَمْ يَكُنْ لَهُ شَرِيكٌ فِي الْمُلْكِ وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا
“Yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan(Nya), dan dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukuranya dengan serapi-rapinya.”(Al-Furqan, 25: 2)
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.“ (As-Shafat, 37: 96)
إِنَّ اللَّهَ يَصْنَعُ كُلَّ صَانِعٍ وَصَنْعَتَهُ
“Sesungguhnya Allah menciptakan semua (makhluk) yang ber-buat dan juga sekaligus perbuatannya.” (HR. Bukhari dalam Khalq Af’aalil ‘Ibaad, hal. 25)
Inilah empat rukun beriman kepada qadha dan qadar yang harus diyakini setiap muslim. Maka, apabila salah satu di antara empat ini diabaikan atau didustakan, niscaya ia tidak akan pernah sampai kepada gerbang keimanan yang sesungguhnya. Sebab, mendustakan satu di antara empat rukun tersebut berarti merusak bangunan iman terhadap qadha dan qadar, dan ketika bangunan iman terhadap qadar rusak, maka akan menimbulkan pula kerusakan pada bangunan tauhid itu sendiri.
Macam-macam Takdir
Takdir ada empat macam. Namun, semuanya kembali kepada takdir yang ditentukan pada zaman azali dan kembali kepada Ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu. Keempat macam takdir tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama, Takdir Umum (Takdir Azali). Takdir yang meliputi segala sesuatu dalam lima puluh ribu tahun sebelum diciptakannya langit dan bumi. Di saat Allah Ta’ala memerintahkan al-Qalam (pena) untuk menuliskan segala sesuatu yang terjadi dan yang belum terjadi sampai hari kiamat. Hal ini berdasarkan dalil-dalil berikut ini.
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul-Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (Al-Hadid, 57: 22)
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ – قَالَ – وَعَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ»
Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Aku telah mendengar Rasulullahshallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Allah telah menuliskan seluruh takdir makhluk-makhluk, 50 ribu tahun sebelum menciptakan langit dan bumi dan Asy-Nya di atas air”. (HR. Muslim)
Kedua, Takdir Umuri. Yaitu takdir yang diberlakukan atas manusia pada awal penciptaannya ketika pembentukan air sperma (usia empat bulan) dan bersifat umum. Takdir ini mencakup rizki, ajal, kebahagiaan, dan kesengsaraan. Hal ini didasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini.
ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ، وَأَجَلِهِ، وَعَمَلِهِ، وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ
“…Kemudian Allah mengutus seorang malaikat yang diperintahkan untuk meniupkan ruhnya dan mencatat empat perkara: rizki, ajal, sengsara, atau bahagia… .” (HR Bukhari)
Ketiga, Takdir Samawi. Yaitu takdir yang dicatat pada malam Lailatul Qadar setiap tahun. Perhatikan firman Allah Ta’ala berikut ini:
فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ أَمْرًا مِنْ عِنْدِنَا إِنَّا كُنَّا مُرْسِلِينَ
“Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah. (yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah Yang mengutus rasul-rasul” (Ad-Dukhan, 44: 4 – 5)
Ahli tafsir menyebutkan bahwa pada malam itu dicatat dan ditulis semua yang akan terjadi dalam setahun, mulai dari kebaikan, keburukan, rizki, ajal, dan lain-lain yang berkaitan dengan peristiwa dan kejadian dalam setahun. Hal ini sebelumnya telah dicatat pada Lauh Mahfudz.
Keempat, Takdir Yaumi. Yaitu takdir yang dikhususkan untuk semua peristiwa yang akan terjadi dalam satu hari; mulai dari penciptaan, rizki, menghidupkan, mematikan, mengampuni dosa, menghilangkan kesusahan, dan lain sebagainya. Hal ini sesuai dengan firman Allah,
يَسْأَلُهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ
“Semua yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan.” (Ar-Rahman, 55: 29)
Ketiga takdir yang terakhir tersebut, kembali kepada takdir azali: takdir yang telah ditentukan dan ditetapkan dalam Lauh Mahfudz.
Memperdalam Masalah Qadar Dilarang
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang terlalu dalam (berkutat terus-menerus) pada masalah qadar. Sikap kita tiada kecuali taslim dan iman kepadanya. Hal ini tergambar dari hadits berikut ini,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ نَتَنَازَعُ فِي الْقَدَرِ فَغَضِبَ حَتَّى احْمَرَّ وَجْهُهُ حَتَّى كَأَنَّمَا فُقِئَ فِي وَجْنَتَيْهِ الرُّمَّانُ فَقَالَ أَبِهَذَا أُمِرْتُمْ أَمْ بِهَذَا أُرْسِلْتُ إِلَيْكُمْ إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ حِينَ تَنَازَعُوا فِي هَذَا الْأَمْرِ عَزَمْتُ عَلَيْكُمْ أَلَّا تَتَنَازَعُوا فِيهِ
Dari Abu Hurairah dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar menemui kami sementara kami sedang berselisih dalam masalah taqdir, kemudian beliau marah hingga wajahnya menjadi merah sampai seakan akan pipinya seperti buah delima yang dibelah, lalu beliau bertanya, ‘Apakah kalian diperintahkan seperti ini atau apakah aku diutus kepada kalian untuk masalah ini? Sesungguhnya binasanya orang-orang sebelum kalian adalah lantaran perselisihan mereka dalam perkara ini. Karena itu, aku tekankan pada kalian untuk tidak berselisih dalam masalah ini.'” (HR. Tirmidzi)
عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ هَارُونَ بْنِ عَنْتَرَةَ ، عَنْ أَبِيهِ ، عَنْ جَدِّهِ ، قَالَ : أَتَى رَجُلٌ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ كَرَّمَ اللَّهُ وَجْهَهُ ، فَقَالَ : أَخْبِرْنِي عَنِ الْقَدَرِ ؟ فَقَالَ: طَرِيقٌ مُظْلِمٍ فَلا تَسْلُكْهُ ، قَالَ: أَخْبِرْنِي عَنِ الْقَدَرِ ؟ قَالَ : بَحْرٌ عَمِيقٌ فَلا تَلِجْهُ ، قَالَ: أَخْبِرْنِي عَنِ الْقَدَرِ ؟ قَالَ: سِرُّ اللَّهِ فَلا تُكَلَّفْهُ
Abdul Malik bin harun bin ‘Antharah mendapatkan riwayat dari bapaknya dari kakeknya, beliau berkata: “Seseorang mendatangi Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah, lalu bertanya: ‘Beritahukan kepadaku tentang takdir?’, beliau menjawab: ‘Jalan yang gelap janganlah engkau jalani’, orang ini mengulangi pertanyaannya: ‘Beritahukan kepadaku tentang takdir?’, dijawab oleh beliau: ‘Laut yang dalam maka janganlah engkau menyelam ke dalamnya’, orang ini mengulangi pertanyaannya, ‘Beritahukan kepadaku tentang takdir?’ Beliau menjawab: ‘Rahasia Allah maka jangan engkau membebani dirimu’”. (Lihat kitab Asy Syari’ah, karya Al Ajurry, 1/476).
Berkata Imam Thahawi, “Prinsip qadar adalah rahasia Allah terhadap makhlukNya yang tidak diketahui rahasia tersebut oleh malaikat yang terdekat dan juga oleh Nabi yang diutus. Terlalu memperdalam masalah ini akan mengantarkan sikap pasifisme, tangga yang menghalangi hidayah dan sederajat dengan orang yang melampaui batas. Sebagaimana firman Allah,
لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ
“Allah tidak ditanya terhadap apa yang Dia lakukan akan tetapi merekalah yang akan ditanya (Al-Anbiya, 21:23).”
Muhammad bin Wasi’ (seorang tabi’in) pernah ditanya oleh Bilal bin Abi Burdah (Wali Bashrah): “Bagaimana pendapatmu tentang qadha’ dan qadar, wahai Abu Abdillah?” Maka beliau menjawab dengan jawaban yang singkat padat tegas: “Wahai Amir, Allah Ta’ala tidak akan menanyai hambaNya tentang qadha’ dan qadar pada hari kiamat nanti. Namun Dia akan bertanya tentang amal mereka.”
Batalnya Berhujjah Dengan Qadar
Allah menolak argumentasi orang-orang musyrik dengan alasan qadar Allah dan kehendakNya terhadap kemusyrikan dan kemaksiyatan mereka. Firman Allah,
سَيَقُولُ الَّذِينَ أَشْرَكُوا لَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا أَشْرَكْنَا وَلَا آبَاؤُنَا وَلَا حَرَّمْنَا مِنْ شَيْءٍ كَذَلِكَ كَذَّبَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ حَتَّى ذَاقُوا بَأْسَنَا قُلْ هَلْ عِنْدَكُمْ مِنْ عِلْمٍ فَتُخْرِجُوهُ لَنَا إِنْ تَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ أَنْتُمْ إِلَّا تَخْرُصُونَ قُلْ فَلِلَّهِ الْحُجَّةُ الْبَالِغَةُ فَلَوْ شَاءَ لَهَدَاكُمْ أَجْمَعِينَ
“Orang-orang musyrik akan berkata, “Jika Allah menghendaki, tentu kami tidak akan mempersekutukanNya, begitu pula nenek moyang kami, dan kami tidak akan mengharamkan apa pun.” Demikian pula orang-orang sebelum mereka yang telah mendustakan (para Rasul) sampai mereka merasakan azab Kami. Katakanlah, “Apakah kamu mempunyai pengetahuan yang dapat kamu kemukakan kepada kami? Yang kamu ikuti hanya persangkaan belaka, dan kamu hanya mengira.” Katakanlah, “Alasan yang kuat hanya pada Allah. Maka kalau Dia menghendaki, niscaya kamu semua mendapat petunjuk.” (Al-An’am, 6:148-149)
Batalnya berhujjah dengan taqdir dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah di dalam bukunya Majmu’atur Rasail Libni Taimiyah: Al-Qadha wal-Qadar wal-Ihtijaaju bil Qodri sebagai berikut:
- Sebagian di antara mereka adakalanya berpendapat bahwa takdir merupakan hujjah (alasan) bagi seorang hamba (dalam hal berbuat sesuatu keburukan, red.), dan adakalanya tidak. Apabila takdir merupakan hujjah bagi seorang hamba (sebagaimana sangkaan mereka, red.), berarti ia juga merupakan hujjah bagi hamba lainnya, karena semua manusia sama-sama terkena takdir. Konsekuensinya, ia (orang yang berfaham taqdir sebagai hujjah terhadap perbuatan buruknya, red) tidak lagi perlu mencegah orang yang menzhaliminya, memakinya, merampas hartanya, merusak kehormatan istrinya, memenggal lehernya, atau melakukan perusakan terhadap ladang atau keturunannya. Kalau demikian, niscaya akan binasalah dunia. Jelaslah bahwa perbuatan mereka itu batil menurut akal dan kufur menurut syara’.
- Bahwa semua itu membawa konsekuensi pemahaman: Iblis, Fir’aun, kaum Nuh, kaum Hud serta seluruh kaum yang dibinasakan oleh Allah karena dosa-dosanya; adalah orang-orang yang termaafkan (dosanya). Padahal ini merupakan kekufuran yang disepakati oleh semua kalangan pemeluk agama.
- Hal itu juga membawa akibat bahwa tidak ada perbedaan antara wali-wali Allah dan musuh-musuh Allah, antara kaum mukminin dan kaum kuffar, antara ahli surga dan ahli neraka. Ini bertentangan dengan firman Allah (lihat: 35:19-22, 38:28, 45:21)
- (Yang benar), Bahwa takdir (hanya boleh) diimani dan tidak boleh dijadikan sebagai alasan. Barangsipa yang berhujjah dengan takdir, hujjahnya tertolak, dan barangsiapa yang berudzur dengan takdir, udzurnya tidak bisa diterima. Bila hujjah dengan takdir bisa diterima, maka Allah tidak akan mengazab seorang pun baik di dunia maupun di akhirat: pencuri tidak bisa dihukum potong, pembunuh tidak boleh dihukum bunuh, tidak perlu ada jihad fi sabilillah dan tidak perlu ada amar ma’ruf nahi munkar.
- Bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang ini, ‘Ya Rasulallah, tidakkah kita tinggalkan saja amal, selanjutnya kita bergantung kepada takdir?’ Beliau menjawab, Tidak. Beramallah, maka masing-masing akan dimudahkan menuju apa yang dia diciptakan (ditetapkan) untuknya.” (HR. Bukhari). Di hadits lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya: Ya Rasullah, apakah pendapat Anda mengenai apa yang diperbuat dan diusahakan oleh seorang manusia, adakah itu termasuk apa yang pena-pena telah menjadi kering dan lembaran-lembaran telah dilipat padanya? Kemudian ditanyakanlah pada beliau: Lalu untuk apakah amal perbuatan? Maka Nabi menjawab: Berbuatlah, maka masing-masing akan dimudahkan menuju apa yang dia dicipta untuknya.”
- Bahwasanya harus dikatakan, sesungguhnya Allah mengetahui segala perkara dan telah menetapkan ketentuannya sesuai dengan yang semestinya. Jadi Allah sudah menetapkan bahwa si Fulan beriman dan mengerjakan amal shaleh, kemudian dia masuk surga. Sedangkan si Fulan yang lain fasik dan berbuat maksiat, kemudian dia masuk neraka. Begitu pula Allah mengetahui dan menetapkan bahwa si Fulan beristri seorang wanita yang kemudian digaulinya, akhirnya lahirlah baginya seorang anak. Si Fulan makan dan minum kemudian kenyang dan puas. Maka barangsiapa mengatakan: “Jika aku memang (ditakdirkan) menjadi penghuni surga, tentu aku masuk kedalamnya dengan tanpa mengerjakan amal sholeh.” Jelas ini adalah perkataan batil yang melukiskan betapa ingkarnya ia terhadap ilmu Allah dan takdir Allah. Ini ibarat orang yang mengatakan: “Saya tidak akan menggauli istri, jika Allah mentakdirkan saya mempunyai anak, niscaya anak itu akan lahir.”
Beriman Kepada Qadha dan Qadar Tidak Menghalangi Untuk Berusaha
Sesungguhnya iman kepada qadar adalah wajib sebagaimana berusaha juga wajib. Keduanya tidak saling menghilangkan. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabatnya beriman kepada qadha dan qadar akan tetapi mereka tidak meninggalkan usaha.
Hidayah adalah qadar dari qadar-qadar Allah untuk manusia. Allah memberi hidayah kepada siapa yang dikehendaki dan menyesatkan orang yang dikehendaki. Dengan pengetahuan seperti ini Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabatnya mendakwahi manusia kepada Allah, berjihad dan terbunuh (berperang) di jalanNya.
Rizki juga merupakan qadar dari qadar-qadar Allah. Dengan pengetahuan seperti ini mereka bekerja dalam mencari rizki. Kesehatan dan sakit adalah qadar dari qadar-qadar Allah. Dengan keyakinan ini Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang-orang beriman untuk berobat.
Dampak Beriman Kepada Qadha dan Qadar dalam Kehidupan Muslim
Muslim yang meyakini akan qadha dan qadar Allah Ta’ala secara benar akan melahirkan buah-buah positif dalam kehidupannya. Ia tidak akan pernah frustrasi atas kegagalan atau harapan-harapan yang lari darinya, dan ia tidak terlalu berbangga diri atas kenikmatan dan karunia yang ada di genggamannya. Sabar dan syukur adalah dua senjata dalam menghadapi setiap permasalahan hidup.
Umar Sulaiman al-Asyqar dalam kitab Al-Qadha wa Al-Qadar dan DR. Muhammad Nu’aim Yasin dalam bukunya Al-Iman: Arkanuhu, Haqiqatuhu, wa Nawaqidhuhu menyimpulkan buah beriman terhadap qadar sebagai berikut.
Pertama, jalan yang membebaskan kesyirikan. Dia mengetahui bahwa segala urusan ada di Tangan Pencipta langit dan bumi dengan segala isinya. Bagaimana ia akan tunduk kepada hamba yang terbuat dari tanah? Ibnu Rajab mengatakan, “Barangsiapa yang memahami dengan jelas bahwa setiap makhluk yang ada di atas tanah adalah tanah, maka tidak akan mendahulukan ketaatan kepada tanah dari pada kepada Rabbnya “tuhan-tuhan” itu. Bagaimana ia membuat senang tanah dengan membuat murka Raja Yang Maha Pemberi? Sungguh ini sesuatu yang aneh.”
Kedua, tetap istiqamah.
إِنَّ الْإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعًا وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعًا إِلَّا الْمُصَلِّينَ
“Sesungguhnya, manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat.” (Al-Ma’arij, 69: 19-22)
Ketiga, selalu berhati-hati.
أَفَأَمِنُوا مَكْرَ اللَّهِ فَلَا يَأْمَنُ مَكْرَ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ
“Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiada yang merasa aman dan azab Allah kecuali orang-orang yang merugi.” (Al-A’raf, 7: 99)
Keempat, sabar dalam menghadapi segala problematika kehidupan. Karena jiwa yang beriman itu mengetahui bahwa Allah yang telah menentukan kebaikan dan keburukan itu Maha Bijaksana dan Maha Penyayang. Karenanya, ia tidak congkak saat mendapat satu kenikmatan dan tidak akan berkeluh kesah manakal mendapat musibah. Ia akan senantiasa bersyukur saat mendapatkan kebahagiaan dan bersabar ketika mendapatkan penderitaan. Segala urusannya menjadi kebajikan sebagaimana sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Muslim dan Ahmad tentang kondisi seorang mukmin (yang telah dikemukakan di atas, red.)
Kelima, berani dan siap berkorban, sebagaimana ungkapan Salman Al-Farisi ketika ditanya tentang makna ”hingga kamu beriman kepada qadar”, beliau menjawab, ”Hingga kamu berimana kepada qadar adalah kamu mengetahui bahwa yang tidak ditetapkan bagimu tidak akan menimpamu dan apa yang akan menimpamu tidak akan meleset.”
Maraji’
- Yasin, Dr. Muhammad Nu’aim, Iman: Rukun, Hakikat dan Yang Membatalkannya, Asy-Syamil, Bandung, 2001, halaman 145 – 166
- Basya, Dr. Abdurrahman Ra’fat, Jejak Para Tabi’ien, At-Tibyan, Solo, halaman 214
- Ibnu Taimiyyah, Qodho dan Qodar, Pustaka Mantiq, 1996, halaman 14 – 19
3 comments
Beriman Kepada Qadha dan Qadar Tidak Menghalangi Untuk Berusaha
Sesungguhnya iman kepada qadar adalah wajib sebagaimana berusaha juga wajib. Keduanya tidak saling menghilangkan. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabatnya beriman kepada qadha dan qadar akan tetapi mereka tidak meninggalkan usaha.
Hidayah adalah qadar dari qadar-qadar Allah untuk manusia. Allah memberi hidayah kepada siapa yang dikehendaki dan menyesatkan orang yang dikehendaki. Dengan pengetahuan seperti ini Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabatnya mendakwahi manusia kepada Allah, berjihad dan terbunuh (berperang) di jalanNya.
Rizki juga merupakan qadar dari qadar-qadar Allah. Dengan pengetahuan seperti ini mereka bekerja dalam mencari rizki. Kesehatan dan sakit adalah qadar dari qadar-qadar Allah. Dengan keyakinan ini Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang-orang beriman untuk berobat.