Oleh: Khozin Abu Faqih, Lc.
Sebuah perubahan tidak akan terjadi tiba-tiba, namun membutuhkan proses sesuai dengan sunnatullah yang berlaku di alam raya ini. Siapa yang tidak sabar mengikuti proses tersebut, maka ia tidak akan pernah sampai pada perubahan yang diinginkan.
Setiap perubahan yang terjadi di alam semesta ini berjalan melalui proses sebagai suatu ketentuan yang terikat oleh sunnatullah, bahkan Allah swt. sendiri pun, yang mempunyai kekuasaan tidak terbatas, dan mampu menciptakan segala sesuatu dengan hanya menyebutkan ‘kun fayakun’ (jadilah, maka sesuatu itu pun terjadi), tidak begitu saja menciptakan alam raya ini dengan sekaligus, tetapi melalui tujuh tahapan. Begitupun pada saat Dia swt. menciptakan manusia secara bertahap, sebagaimana firman-Nya,
“Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (ada pula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah serta menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah.” (Al-Hajj: 5)
Rasulullah saw. yang mendapat mukjizat dan mendapat jaminan kemenangan dari Allah swt., tekun dan sabar berjuang selama 13 tahun lebih di Makkah, tanpa keluh kesah dan tidak mengenal lelah, walaupun hasilnya belum menyejukkan mata. Padahal dengan jaminan yang beliau miliki, beliau bisa saja berdo’a kepada Allah swt. untuk meminta kemenangan kepada-Nya. Akhirnya, beliau Hijrah ke Madinah dan membangun territorial base atau daerah dimana beliau membangun pemerintahan di sana. Bahkan ketika ada shahabat yang tidak sabar menapaki tahapan-tahapan perubahan, diingatkan secara tegas oleh beliau.
روى البخاري في ” صحيحه ” عَنْ خَبَّابِ بْنِ الْأَرَتِّ رضي الله عنه قَالَ: شَكَوْنَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ مُتَوَسِّدٌ بُرْدَةً لَهُ فِي ظِلِّ الْكَعْبَةِ، قُلْنَا لَهُ: ” أَلَا تَسْتَنْصِرُ لَنَا ؟، أَلَا تَدْعُو اللَّهَ لَنَا ؟ “، قَالَ: ” كَانَ الرَّجُلُ فِيمَنْ قَبْلَكُمْ يُحْفَرُ لَهُ فِي الْأَرْضِ، فَيُجْعَلُ فِيهِ، فَيُجَاءُ بِالْمِنْشَارِ فَيُوضَعُ عَلَى رَأْسِهِ فَيُشَقُّ بِاثْنَتَيْنِ وَمَا يَصُدُّهُ ذَلِكَ عَنْ دِينِهِ، وَيُمْشَطُ بِأَمْشَاطِ الْحَدِيدِ مَا دُونَ لَحْمِهِ مِنْ عَظْمٍ أَوْ عَصَبٍ وَمَا يَصُدُّهُ ذَلِكَ عَنْ دِينِه،ِ وَاللَّهِ لَيُتِمَّنَّ هَذَا الْأَمْرَ حَتَّى يَسِيرَ الرَّاكِبُ مِنْ صَنْعَاءَ إِلَى حَضْرَمَوْتَ لَا يَخَافُ إِلَّا اللَّهَ أَوْ الذِّئْبَ عَلَى غَنَمِهِ، وَلَكِنَّكُمْ تَسْتَعْجِلُونَ
Bukhari meriwayatkan bahwa Khabbab Ibnul Arat ra. berkata, “Kami mengadu kepada Rasulullah saw., yang saat itu sedang berbaring di bawah naungan Ka’bah dengan berbantal burdahnya. Kami berkata kepada beliau, ‘Tidakkan engkau memohon kemenangan untuk kami, tidakkah engkau berdoa kepada Allah untuk kami?!’ Beliau menjawab, ‘Seseorang sebelum kalian digalikan lobang di tanah, kemudian ia dimasukkan ke dalamnya, lalu diletakkan gergaji di kepalanya, sehingga tubuhnya terbelah menjadi dua, namun hal itu tidak menghalanginya untuk komitmen pada agamanya. Juga ada seseorang yang disisir dengan besi, sehingga daging dan tulangnya, atau uratnya terpisah, namun itu tidak menghalanginya untuk komitmen pada agamanya. Demi Allah, urusan agama ini akan sempurna (menang), sehingga pengendara dari Shan’a ke Hadlramaut tidak merasa takut, kecuali kepada Allah, atau takut serigala atas kambingnya. Akan tetapi, kalian kaum yang tergesa-gesa.”
Biasanya orang yang tidak sabar menapaki tahapan-tahapan perubahan dan tergesa-gesa ingin memetik hasil perjuangan, adalah orang-orang yang paling awal berguguran ketika menghadapi tantangan. Hal tersebut sebagaimana yang Allah swt. di dalam firman-Nya,
“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka, ‘Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat!’ Setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebahagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih sangat dari itu takutnya. Mereka berkata, ‘Ya Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami? Mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban berperang) kepada kami beberapa waktu lagi?’ Katakanlah, ‘Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa dan kamu tidak akan dianiaya sedikit pun’.” (An-Nisaa: 77)
Sayyid Quthb memberikan komentar, “Allah swt. heran pada orang-orang yang didorong semangat untuk berperang dan tergesa-gesa ingin perang, sementara mereka masih berada di Makkah dalam keadaan mendapatkan siksaan, penindasan, dan fitnah dari kaum musrikin. Saat itu mereka belum mendapatkan izin untuk berperang karena hikmah tertentu yang dikehendaki oleh Allah. Akan tetapi, ketika waktu yang tepat telah ditetapkan oleh Allah, situasi dan kondisi yang pas telah tercipta, dan mereka diwajibkan berperang, ternyata mereka kaget, berkeluh kesah dan takut menghadapi orang-orang musyrik, seperti takut kepada Allah swt., atau bahkan lebih takut.”
Orang yang memahami ayat-ayat Allah swt., baik yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, maupun yang terbentang di alam raya, akan memahami bahwa sebuah perubahan tidak akan terjadi sekaligus, apalagi perubahan sebuah bangsa atau umat, tidak mungkin terjadi dalam sehari semalam. Oleh karena itu, dia akan tetap berupaya melakukan perubahan secara bertahap, sejalan dengan kaidah-kaidah yang ada. Ia tidak akan bermalas-malasan, karena Allah swt. menuntutnya untuk bersungguh-sungguh semaksimal mungkin dengan kekuatan yang ia miliki. Akan tetapi, tidak akan tergesa-gesa ingin menikmati hasil, sebab siapa pun yang tergesa-gesa di dalam memetik hasil dari setiap yang diusahakann, akan diganjar dengan tidak mendapatkannya. Sebagaimana seorang anak, karena ia ingin cepat mendapat warisan, maka ia membunuh ayahnya. Akhirnya, ia malah dihukum dan tidak mendapatkan warisan dari peninggalan ayahnya yang dibunuh.
Setiap anggota masyarakat pasti mengharapkan negerinya aman, tenteram, sejahtera, bermartabat, para pemimpinnya jujur, adil, peduli, melayani masyarakat, tidak korup, cerdik, professional dan bijaksana serta betul-betul mengabdi kepada amanat rakyat. Setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan haknya masing-masing, kebutuhan mereka tercukupi, kebebasan mereka di dalam menjalankan perintah agama dan keyakinannya terjamin, kehormatan mereka terlindungi dari ancaman penodaan, akal mereka terjaga dari penelantaran dan perusakan, harta mereka aman dari pencurian dan pengambilan dengan yang cara yang tidak benar, dan fisik mereka terpelihara dari upaya-upaya jahat yang dapat merusaknya, dan berbagai idealisme lainnya yang saat ini begitu didambakan yang merujuk pada ketentraman hidup sendiri dan bermasyarakat.
Tentu saja, kondisi seperti di atas tidak akan muncul dengan tiba-tiba, tetapi harus diupayakan dengan mengubah sikap individu masing-masing dan mengubah cara berfikir serta sikap orang-orang di sekitarnya. Hal tersebut dapat dilakukan dengan melalui beberapa tahapan dan rentang waktu.
Apabila perubahan sudah digulirkan, perbaikan sudah dilakukan, dan pengorbanan sudah diberikan, maka serahkan hasilnya kepada Allah swt. Jangan tergesa-gesa ingin menikmati hasil perjuangan di dunia. Sebab kenyataannya, kita telah menikmati hasil jerih payah dan pengorbanan para pendahulu kita. Oleh karena itu, sangat layak kalau kita beramal untuk kebaikan anak cucu kita, sehingga mereka tidak menjadi generasi bobrok seperti yang digambarkan oleh Allah swt.,
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (Maryam: 59)
Mari melakukan perubahan, meski hasil dari upaya perubahan itu belum nampak di masa kita. Yakinlah pahala dari Allah swt. pasti akan kita dapatkan, jika ikhlas karena-Nya. Dengan demikian, perubahan pun akan terjadi dengan izin Allah. Semua karena kerja keras dan sabar di dalam prosesnya.
Al-Qur’an telah menceritakan kisah tujuh pemuda yang berupaya melakukan perubahan di negerinya, namun mereka mendapatkan jalan buntu, akhirnya mereka semua masuk ke dalam goa dan ditidurkan oleh Allah swt. selama 309 tahun. Ternyata, upaya perubahan yang mereka rintis berlanjut dan bergulir di tengah masyarakat, sehingga perubahan pun terjadi (Baca surat Al-Kahfi ayat 9 sampai 26)
Ahmad meriwayatkan dalam Musnadnya bahwa Rasulullah saw. bersabda,
إِنْ قَامَتْ السَّاعَةُ وَبِيَدِ أَحَدِكُمْ فَسِيلَةٌ فَإِنْ اسْتَطَاعَ أَنْ لاَ يَقُومَ حَتَّى يَغْرِسَهَا فَلْيَفْعَلْ
“Apabila hari kiamat telah tiba sedang seorang dari kamu memegang tunas kurma, maka jika ia masih mampu menanamnya, sebelum terjadi kiamat, maka hendaklah menanamnya.”
Hadits ini menggambarkan bahwa kita hanya dituntut untuk beramal, dan amal itulah yang akan dibalas oleh Allah swt., baik membuahkan hasil di dunia atau tidak. Bahkan andai harapan hasil dari amal sudah tidak ada, karena kiamat sudah datang, maka tetaplah beramal, jika kesempatan beramal masih ada. Dengan demikian, amal atau usaha yang harus ditempuh di dalam menciptakan perubahan yang didambakan adalah kegigihan dan kerja keras di dalam berusaha tanpa mengenal waktu dan kondisi, selama ada kesempatan, meskipun sambil berbaring, atau kiamat di depan mata, selama mampu berbuat, maka semua itu bukanlah sebuah halangan.
Imam Hasan Al-Banna berkata, “Sesungguhnya aktivis itu beramal pertama untuk menunaikan kewajiban, kedua untuk mengharap pahala akhirat, kemudian ketiga untuk mendapatkan manfaat (dunia). Apabila ia telah beramal, berarti telah menunaikan kewajiban, dan pasti akan mendapatkan pahala dari Allah swt., jika terpenuhi syarat-syaratnya. Sedangkan manfaat itu menjadi rahasia Allah swt. Terkadang hadir sebuah peluang yang tidak diperhitungkan, namun dapat mengantar amal pada hasil yang paling berkah. Sebaliknya, jika ia tidak beramal, maka akan mendapatkan dosa keteledoran, pahala jihad akan terlewatkan dan manfaat pun tidak akan diraih. Lantas kelompok manakah yang lebih baik dan lebih mulia kedudukannya? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Al-Qur’an telah memberikan sinyal kuat dengan firman-Nya,
“Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata, ‘Mengapa kamu menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras?’ Mereka menjawab, ‘Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu, dan supaya mereka bertakwa”.
Sebab siapapun yang beramal untuk menunaikan kewajiban kepada Allah, kemudian mengharap pahala dari-Nya, jika terpenuhi syarat-syaratnya, setelah itu ia mungkin mendapatkan manfaat dunia, bahkan terkadang manfaat itu melebihi apa yang diharapkannya. Akan tetapi, jika ia tidak beramal, maka akan mendapatkan dosa meninggalkan kewajiban, pahala pasti tidak dapat didapatkan, dan manfaat dunia pun tentu sangat jauh darinya.