Matan Hadits:
عنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: “لَوْ يُعْطَى النَّاسُ بِدعوَاهُمْ لادَّعَى رِجَالٌ أَمْوَال قَومٍ وَدِمَاءهُمْ، وَلَكِنِ البَينَةُ عَلَى المُدَّعِي، وَاليَمينُ عَلَى مَن أَنكَر” حديث حسن رواه البيهقي هكذا بعضه في الصحيحين.
Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Seandainya semua manusia dipenuhi semua dakwaannya, niscaya akan ada seseorang yang akan menuntut sebuah kaum darah dan hartanya, tetapi orang yang mendakwakan (menuduh) mesti memberikan bukti, dan orang yang mengingkari mesti bersumpah.” (Hadits hasan, diriwayatkan Al Baihaqi, sebagiannya diriwayatkan pula dalam Shahihain)
Takhrij Hadits:
- Imam Bukhari dalam Shahihnya No. 1711
- Imam Muslim dalam Shahihnya No. 4552
- Imam Al Baihaqi dalam As Sunan Ash Shaghir 2412, 2413, juga As Sunan Al Kubra No. 10585, 20990
- Imam Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir 11224, 11225
- Imam Ad Daruquthni dalam Sunannya, 4/157
- Imam Ibnu Hibban dalam Shahihnya No. 5082, 5083
Makna hadits secara global:
Hadits ini memiliki beberapa pelajaran yang berharga dalam kaidah-kaidah dasar syariat Islam. Di antaranya:
- Hendaknya tidak boleh sembarang melemparkan tuduhan kepada manusia, sebab tuduhan itu berdampak pada jatuhnya kewibawaan dan kehormatan seseorang. Inilah yang umumnya banyak terjadi hari ini. Tanpa bukti dan hanya dugaan semata, langsung menuduh seseorang dan menyebarkan tuduhan itu ke khalayak ramai. Sedangkan manusia langsung mempercayai tuduhan tersebut tanpa peduli benar atau tidaknya.
Jika tidak terbukti atau buktinya tidak cukup kuat, maka justru hukuman tersebut diberikan kepada yang menuduhnya. Apalagi yang dituduh adalah orang baik-baik, sebagaimana dalam hal tuduhan zina terhadap wanita baik-baik yang diceritakan dalam Al Quran.
Allah Ta’ala berfirman:
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik. (QS. An Nuur (24): 4)
Ayat lainnya:
إِنَّ الَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ لُعِنُوا فِي الدُّنْيَا وَالْآَخِرَةِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena la’nat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar. (QS. An Nuur (24): 23)
Dalam dua ayat ini kita mendapatkan beberapa poin penting:
- Menuduh orang yang berbuat zina mesti mendatangkan saksi 4 orang
- Jika tidak bisa mendatangkan, maka si penuduhlah yang mendapat hukuman.
- Yaitu dihukum dengan 80 kali dera dan ditolak kesaksiannya
- Si penuduh disebut orang fasik, dia bukan orang yang adil, baik di sisi Allah Ta’ala dan manusia
- Si penuduh juga mendapatkan laknat di dunia dan akhirat
- Azab bagi mereka juga pedih
- Ada dua hal penting dalam hadits ini, yang kemudian oleh para ulama dijadikan sebagai kaidah-kaidah penting dalam Islam, yakni:
Pertama, seorang yang menuduh, atau mendakwakan sesuatu harus memberikan bukti atas tuduhan dan dakwaaannya itu. Jika dia tidak mampu mendatangkan bukti, maka tuduhannya batal alias tertolak.
Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:
وَهَذَا الْحَدِيث قَاعِدَة كَبِيرَة مِنْ قَوَاعِد أَحْكَام الشَّرْع ، فَفِيهِ أَنَّهُ لَا يُقْبَل قَوْل الْإِنْسَان فِيمَا يَدَّعِيه بِمُجَرَّدِ دَعْوَاهُ ، بَلْ يَحْتَاج إِلَى بَيِّنَة أَوْ تَصْدِيق الْمُدَّعَى عَلَيْهِ
Hadits ini merupakan kaidah besar di antara kaidah dalam hukum-hukum syariat, di dalamnya menunjukkan bahwa ucapan manusia tidaklah diterima jika sekedar tuduhan semata, tetapi hendaknya dia mendatangkan bukti atau pembenaran dari orang yang tertuduh. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 12/3)
Maka, tidak cukup si penuduh (pelapor) mengatakan: “Si fulan telah mencuri, si fulan telah berzina …” tetapi dia tidak bisa membawa bukti yang menguatkan tuduhannya.
Kedua, seorang yang dituduh hendaknya dia bersumpah untuk mengingkari tuduhan tersebut jika memang dia meyakini kekeliruan tuduhan tersebut. Baik yang menuduh itu pernah bergaul dengannya atau tidak.
Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan:
وَفِي هَذَا الْحَدِيث دَلَالَة لِمَذْهَبِ الشَّافِعِيّ وَالْجُمْهُور مِنْ سَلَف الْأُمَّة وَخَلَفهَا : أَنَّ الْيَمِين تَتَوَجَّه عَلَى كُلّ مَنْ ادُّعِيَ عَلَيْهِ حَقّ . سَوَاء كَانَ بَيْنه وَبَيْن الْمُدَّعِي اِخْتِلَاطٌ أَمْ لَا ، وَقَالَ مَالِك وَجُمْهُور أَصْحَابه وَالْفُقَهَاء السَّبْعَة ، فُقَهَاء الْمَدِينَة : إِنَّ الْيَمِين لَا تَتَوَجَّه إِلَّا عَلَى مَنْ بَيْنه وَبَيْنه خُلْطَة لِئَلَّا يَبْتَذِل السُّفَهَاء أَهْل الْفَضْل بِتَحْلِيفِهِمْ مِرَارًا فِي الْيَوْم الْوَاحِد ، فَاشْتَرَطَتْ الْخُلْطَة دَفْعًا لِهَذِهِ الْمَفْسَدَة
Dalam hadits ini terdapat petunjuk bagi madzhab Abu Hanifah dan Asy Syafi’i, serta mayoritas kalangan salaf dan khalaf (terkemudian) dari umat ini, bahwa sumpah yang ada pada setiap orang yang didakwa (dituduh) adalah hak, sama saja apakah antara dirinya dan si penuduh itu pernah berinteraksi atau tidak. Berkata Malik dan mayoritas pengikutnya serta tujuh ahli fiqih Madinah, bahwa sumpah tidaklah menjadi haknya kecuali bagi orang yang antara dirinya dan si penuduh ada perkawanan-interaksi (Khulthah), hal bertujuan agar jangan sampai ada orang bodoh yang menelanjangi kehormatan orang-orang mulia dengan bersumpah berkali-kali dalam sehari, maka syarat adanya khulthah ini dalam rangka mencegah kerusakan tersebut. (Ibid)
- Hadits ini juga menunjukkan betapa berharganya kehormatan, harga diri, dan reputasi seorang muslim, apalagi jika dia shalih dan ulama, yang terkenal memiliki rangkaian kebaikan yang amat banyak. Hendaknya tidak mencemari nama baik mereka dengan tuduhan yang tidak benar, berbaik sangka kepada mereka, dan mencoba memberikan uzur dan ta’wil kepada perbuatan mereka jika memang melakukan kesalahan.
Bukankah air jika sudah dua qullah maka najis tidak mempengaruhinya? Oleh karenanya kesalahan yang dilakukan oleh seorang muslim – apalagi jika dia dikenal kebaikan dan perjuangannya terhadap agama, mujahid, dan ‘alim- tetaplah dinilai sebagai sebuah kesalahan yang mesti dikoreksi, tetapi tidak diposisikan sebagai alat untuk menjatuhkan wibawanya, mencemari namanya, dan melempar semua kebaikannya ke tong sampah. Hendaknya kita menempatkannya sebagaimana najis yang tidak berdampak apa pun bagi air yang sudah dua qullah, itu jika air sebanyak dua qullah …… lalu apalagi jika air tersebut sebanyak samudera? Tentu kesalahan tersebut mesti kita maafkan, sebab itu tidak bisa menenggelamkan banyaknya kebaikan yang dia lakukan.
Islam sangat melarang saling menjatuhkan citra dan kehormatan sesama muslim, dan nabi menyebutnya sebagai perbuatan yang haram. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika haji wada’, berkhutbah saat di Mina, di antara khutbah Beliau adalah:
فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ
Sesungguhnya darah kalian, harta, dan kehormatan kalian adalah haram bagi kalian (untuk saling mengganggu, pen). (HR. Bukhari No. 1739, Bab Al Khutbah Ayyam Mina)
Sikap menghargai kehormatan umat Islam dan menyayangi mereka, hendaknya perlu dipupuk oleh umat Islam sendiri. Sebab, harapan-harapan lahirnya kekuatan umat juga hanya lahir dari umat ini sendiri. Mustahil kita mengharapkan kehormatan umat Islam bisa dihargai secara sempurna oleh – dan datangnya dari- umat lain yang keras permusuhannya dengan Islam dan kaum muslimin. Al Ashmu’i Rahimahullah berkata:
سمعت اعرابيا يقول إذا أردت أن تعرف الرجل فانظر كيف تحننه إلى أوطانه وتشوقه إلى إخوانه وبكاؤه على ما مضى من زمانه
Aku mendengar orang A’rabi berkata: “Jika engkau hendak mengetahui jati diri seorang laki-laki, lihatlah bagaimana kasih sayangnya kepada tanah airnya dan kerinduannya terhadap saudara-saudaranya, dan kesedihannya atas peristiwa yang berlalu dari zamannya.” (Al Maqashid Al Hasanah, 1/297)
- Terakhir, hadits ini menunjukkan kelengkapan agama Islam, bahwa dia bukan hanya agama yang gagah ketika membicarakan urusan ritual ibadah dan dzikir saja, tetapi juga tentang perkara pidana. Agama dikatakan benar jika dia telah menutupi dan mengatur semua kebutuhan hidup manusia, dari yang kecil hingga yang kompleks, termasuk perkara pidana pengadilan.
Oleh karenanya Allah Ta’ala berfirman;
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu. (QS. Al Maidah (5): 3)
Imam Al Baidhawi Rahimahullah berkata:
{ اليوم أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ } بالنصر والإظهار على الأديان كلها ، أو بالتنصيص على قواعد العقائد والتوقيف على أصول الشرائع وقوانين الاجتهاد
(Hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu) yaitu dengan pertolongan dan kemenangan atas semua agama-agama, atau dengan penetapan kaidah-kaidah aqidah, dasar-dasar syariat, dan undang-undang ijtihad. (Anwarut Tanzil, 2/47)
Makna Kata dan Kalimat
عنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا : dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma
Tentang Abdullah bin Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, sudah kita bahas biografinya pada syarah hadits ke-19, silahkan merujuk kembali.
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda
لَوْ يُعْطَى النَّاسُ بِدعوَاهُمْ : seandainya semua manusia dipenuhi semua dakwaannya
Yakni seandainya semua manusia diberikan dan dibenarkan semua tuntutan dan tuduhannya. Siapa yang memberikan dan membenarkan tuntutan mereka? Yaitu hakim.
Berkata Imam Al Munawi Rahimahullah tentang makna kalimat ini:
أي بمجرد اخبارهم عن لزوم حق لهم على آخرين عند حاكم
Yaitu semata-mata dengan laporan mereka saja dihadapan hakim lalu mereka dinilai pada posisi yang benar dibanding pihak lainnya. (At Taisir bisy Syarhi Al Jaami’ Ash Shaghiir, 2/607)
Selanjutnya:
لادَّعَى رِجَالٌ أَمْوَال قَومٍ وَدِمَاءهُمْ : niscaya akan ada seseorang yang akan menuntut sebuah kaum darah dan hartanya
Yaitu niscaya dengan mudah ada manusia yang menuntut kepada orang lain –yang dituduh- balasan dan hukumannya, baik berupa harta dan darah mereka.
Syaikh Ismail Al Anshari Rahimahullah mengatakan:
فلا يتمكن المدعى عليه من صون دمه وماله
Maka, orang yang dituduh (Al Mudda’a ‘Alaih) menjadi tidak bisa melindungi darah dan hartanya. (At Tuhfah Ar Rabbaniyah, Syarah hadits No. 33)
Nah, yang seperti ini tidak boleh begitu mudahnya terjadi dalam masyarakat muslim, jika belum ada dasar yang kuat dan bukti yang nyata.mOleh karenanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:
وَلَكِنِ البَينَةُ عَلَى المُدَّعِي : tetapi orang yang mendakwakan (menuduh) mesti memberikan bukti
Yaitu mesti mendatangkan bukti dan bukan hanya laporan dan penceritaan, sebab laporan dan penceritaan bisa dibuat-buat dan dusta. Bukti itu bisa berupa barang, saksi mata, sidik jari, foto, video, rekaman suara, dan semisalnya, tergantung kasusnya masing-masing.
Apakah makna Al Bayyinah (bukti)? Disebutkan dalam Taajul ‘Arus:
والبينة دلالة واضحة عقلية كانت أو محسوسة وسميت شهادة الشاهدين
Al Bayyinah adalah petunjuk yang jelas baik secara akal maupun inderawi dan juga dinamakan kesaksian orang yang menjadi saksi. (Taajul ‘Arus, Hal. 7984. Mawqi’ Al Warraq)
Siapakah Al Mudda’i (pendakwa/penuduh)?
المدعى : هو من يذكر أمرا خفيا يخالف الظاهر .
Al Mudda’i adalah orang yang menceritakan perkara yang masih samar, dan perkara itu berselisih dengan kenyataannya. (At Tuhfah Ar Rabbaniyah, Syarah No. 33)
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Asy Syaikh Hafizhahullah mengatakan:
أنها اسم عام جامع لكل ما يُبِينُ الحق، ويظهره
Dia (Al Bayyinah) adalah kata benda yang umum yang menghimpun apa saja yang dapat menjelaskan dan menampakkan kebenaran. (Syarh Matn Al Arbain An Nawawiyah, Syarah hadits No. 33)
Beliau juga mengatakan:
وأجمع أهل العلم على ما دل عليه هذا الحديث: من أن البينة على المدعي، وأن المدعي لا تؤخذ دعواه، ولا يلتفت لها من حيث مطالبتُه بشيء، حتى يأتي ببينة تثبت له هذا الحق.
Para ulama telah ijma’ atas apa yang ditunjukkan oleh hadits ini, bahwa bukti mesti disodorkan oleh pihak yang menuduh, dan penuduh tidak akan diambil tuduhannya, dan tidak dianggap tuntutannya itu, sampai dia bisa mendatangkan bukti yang menguatkan kebenaran tuduhannya. (Ibid)
Kenapa dibutuhkan bukti? Imam Ash Shan’ani Rahumahullah menjelaskan hikmahnya:
قال العلماء والحكمة في كون البينة على المدعي أن جانب المدعي ضعيف لأنه يدعي خلاف الظاهر فكلف الحجة القوية وهي البينة فيقوى بها ضعف المدعي
Berkata para ulama: hikmah tentang keberadaan bukti bagi si pendakwa (penuduh) adalah karena posisi penuduh itu lemah, lantaran dia mendakwakan sesuatu yang berbeda dengan keadaan yang tampak, maka dia dibebani untuk memiliki hujjah yang kuat, dan itu adalah bukti, yang dengannya bisa menguatkan kelemahan si penuduh. (Subulus Salam, 4/132)
Selanjutnya:
وَاليَمينُ عَلَى مَن أَنكَر : dan orang yang mengingkari mesti bersumpah
Yaitu pihak tertuduh (Al Mudda’a ‘Alaih) mesti bersumpah untuk mengingkari tuduhan tersebut.
Al Yamiin –اليَمينُ jamaknya adalah aymunun – اَيْمُن dan aymaanun – اَيْمَان , yang artinya Al Qasamu – القَسَمdan Al Halfu – الحَلْفُ, yaitu sumpah.
Berbeda dengan pihak yang menuduh, maka pihak yang dituduh adalah pada posisi yang kuat, sebab pada dasarnya semua manusia tidak boleh dihukumi salah jika tanpa bukti. Oleh karenanya cukup baginya bersumpah, dan sumpah sebenarnya bukanlah hujjah yang kuat, karena sumpah pun bisa palsu (yamiin ghamuus), sebagaimana tuduhan juga bisa palsu (fitnah).
Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah mengatakan:
وَجَانِب الْمُدَّعَى عَلَيْهِ قَوِيّ لِأَنَّ الْأَصْل فَرَاغ فِي ذِمَّته فَاكْتُفِيَ مِنْهُ بِالْيَمِينِ وَهِيَ حُجَّة ضَعِيفَة
Pada sisi pihak tertuduh adalah posisi kuat, karena pada dasarnya dia telah terjamin keadaannya, maka cukup baginya dengan bersumpah, dan itu merupakan hujjah yang lemah. (Fathul Bari, 5/283)
Sebagian ulama mengatakan bersumpah mesti dilakukan secara umum oleh siapa pun yang menjadi pihak tertuduh, baik dia pernah berinteraksi dengan si penuduhnya atau tidak. Ulama lain mengsyaratkan, sumpah hanya wajib jika dia pernah berinteraksi dengan si penuduh, artinya jika si penuduh adalah orang asing, tidak pernah bergaul dengannya, maka tidak wajib baginya sumpah, cukup si penuduh saja yang mendatangkan buktinya. Namun, pendapat yang paling kuat – Wallahu A’lam– adalah pendapat yang pertama bahwa sumpah wajib secara mutlak baik sudah atau belum pernah bergaul di antara kedua pihak, sesuai keumuman bunyi hadits ini: dan orang yang mengingkari mesti bersumpah ….
Imam Al Munawi Rahimahullah mengatakan:
وفيه حجة لمذهب الشافعي من توجه اليمين على كل من ادعى عليه بحق مطلقا ورد لاشتراط مالك المخالطة
Dalam hadits ini terdapat hujjah bagi madzhab Imam Asy Syafi’i bahwa secara mutlak pihak yang tertuduh mesti bersumpah dan merupakan sanggahan bagi pensyaratan mukhaalathah (yaitu: kedua pihak pernah bergaul) yang disebutkan Imam Malik. (Faidhul Qadir, 5/425)
Imam An Nawawi Rahimahullah juga menguatkan pendapat jumhur dengan mengatakan:
ولا أصل لاشتراط الخلطة في كتاب ولا سنة ولا إجماع .
Tidak ada dasarnya syarat khulthah tersebut baik dalam Al Quran, As Sunnah, dan ijma’. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/136)
Kemudian ….
Jika si penuduh berhasil menunjukkan bukti yang kuat, valid, dan autentik, dan sudah diakui kebenarannya oleh para ahli, dan diakui pula oleh hakim, sementara pihak yang tertuduh tidak bisa mengingkari bukti itu, dan juga tidak memiliki bukti dari sisi dirinya sendiri untuk mementahkan tuduhan tersebut, sehingga dia hanya bisa menggunakan sumpah saja padahal sumpah itu merupakan hujjah yang lemah, maka dia bisa dihukumi terbukti bersalah atas perbuatannya itu.
Wallahu A’lam