Oleh: Ahmad Madany | Diedit oleh: Ibnu Rusmana
Jika kita membicarakan salah satu tokoh diantara tokoh ummat yang pernah hidup dalam perjalanan sejarah, kita akan menemukan persamaan antara tokoh yang satu dengan tokoh lainnya. Persamaan itu dapat kita ambil titik temunya, mereka adalah orang-orang yang memiliki quwwatur-ruh, dan quwwatul qalb.
Dengan kekuatan ini, kuat pula segala hal lain yang mereka miliki.
Benar apa yang diungkapkan oleh Bisyr Al Khathib yang dikutip oleh Syekh Ahmad Rasyid dalam kitabnya, katanya: “Cukuplah bagimu, engkau melihat orang-orang yang telah mati yang ketika sejarah hidupnya dipelajari hati menjadi hidup, sebagaimana ada pula manusia-manusia yang hidup diantara kita yang dengan melihatnya hati kita menjadi mati”.
Muhaddatsun
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda dalam sebuah hadits shahih yang banyak dikutip dalam buku-buku sirah, ketika para sahabat menceritakan kepribadian Umar radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَقَدْ كَانَ فِيمَا قَبْلَكُمْ مِنَ الْأُمَمِ مُحَدَّثُونَ، فَإِنْ يَكُ فِي أُمَّتِي أَحَدٌ فَإِنَّهُ عُمَرُ
“Sungguh dahulu di antara umat sebelum kalian ada beberapa Muhaddatsun (yaitu orang-orang yang diberi ilham / firasat yang benar). Seandainya ada seseorang di antara umatku, maka sesungguhnya dia adalah Umar.” (HR al-Bukhari no. 3486)
Jika kita membaca sejarah hidup Umar radhiyallahu ‘anhu, kita akan menemukan bahwa beliau adalah orang yang memiliki banyak keistimewaan. Salah satunya adalah ilham yang dimilikinya. Suatu ketika, ketika beliau berdiri di mimbarnya, Allah Ta’ala memperlihatkan kepadanya perjalanan pertempuran antara Sariyyah dan Romawi, dari jarak ratusan, bahkan ribuan mil, Umar memerintahkan: “Wahai sariyyah, berlindunglah ke balik gunung, berlindunglah ke gunung”. Para sahabat yang mendengar kebingungan, tapi diantara mereka tidak ada yang berprasangka bukan-bukan terhadap Umar. Ketika sariyyah pulang dari pertempuran dengan membawa kemenangan, mereka bertanya: “Apakah kalian mendengat seruan Umar?”. Jawab mereka: “Kami mendengar dan kami mentaatinya”.
Dalam kesempatan lain, dalam kesendiriannya, Umar berkata: “Barang siapa dari keturunanku nanti memiliki luka di wajahnya, dia akan meramaikan dunia dengan keadilannya”.
Ketika Umar bin Abdul Aziz lahir, di wajahnya tidak ada luka. Tapi ketika ia masih kecil, dia pernah terluka di wajahnya ketika sedang bermain-main. Ini sekaligus sebagai bukti kebenaran ilham Umar radhiyallahu ‘anhu.
Ketika Abdul Aziz bin Marwan (Bapaknya Umar bin Abdul Aziz) melihat hal itu, ia mengatakan: “Kalau engkau adalah orang yang diungkapkan oleh kakekmu dulu, engkaulah pemakmur dunia ini dengan keadilan”. Kebenaran ini terbukti kemudian.Tahun 99 H, Umar bin Abdul Aziz diangkat menjadi khalifah. Meskipun ia hanya menjabat sebagai khalifah selama dua tahun lima bulan, namun hasil kekhalifahannya terlihat jelas.
Ilham Imam As-Syafi’i
Dalam sejarah kita pun menemukan pula kejadian serupa dalam diri imam Syafi’i. Beliau adalah orang yang mendapatkan ilham. Memiliki empat murid: Ar-Rabi’ bin Sulaiman, Al Buwaithi, Al Muzani dan Ibnu Abdil Hakam. Sebelum meninggal, Imam Syafi’i mengungkapkan kepada murid-muridnya, kamu akan menjadi ini, kamu akan menjadi ini dan sebagainya. Semua ucapan Imam Syafi’i ini kemudian terbukti kebenarannya.
*****
Pada dasa warsa ini, salah satu tokoh yang insya Allah mendapatkan ilham adalah Asy-Syahid Imam Hasan Al Banna rahimahullah. Beberapa kisah dalam perjalanan hidupnya menunjukkan hal itu.
Ilham Hasan Al-Banna tentang Sayyid Qutub
Dalam buku Ikhwanul Muslimin; Ahdats Shana’at-Tarikh, diceritakan bahwa dahulu di Mesir terbit majalah sastra yang menjadi ajang pertemuan 20 sastrawan. Salah satu kubunya adalah para tokoh aliran sastra bebas yang dikomandani oleh Abbas Mahmud Al Aqqad, dan kubu lainnya adalah sastrawan muslim yang dikomandani oleh Musthofa Shadiq Ar-Rafi’i. Saat itu Sayyid Qutub adalah murid pilihan Al Aqqad. Ketika Musthofa Shadiq meninggal, Al Aqqad naik karena tidak ada saingan, murid-muridnya kemudian diberi rangsangan untuk menulis.
Dalam sebuah surat kabar mingguan, Sayyid Qutub menulis makalah di mana dia menyerukan kepada para wanita muslimah untuk membuka auratnya, karena menutup aurat dianggap olehnya sebagai penghambat kemajuan wanita. Tulisan ini dibaca oleh Ustadz Abdul Halim Mahmud dan beliau membuat tanggapan. Tapi sebelum tanggapan ini dimuat di media massa, Ustadz Abdul Halim mendiskusikannya terlebih dahulu dengan Imam Al Banna.
Kata Imam Al Banna: “Saya menyetujui 100 % tulisanmu, tapi saya memiliki perasaan lain tentang orang ini, Pertama, dia masih muda, dan apa yang ditulisnya bukanlah dari otaknya sendiri, tapi dari lingkungannya. Kedua, anak muda biasanya menyenangi sensasi dan mencari musuh, apa yang dilakukan Sayyid Qutub hanyalah upaya mencari eksistensi diri. Ketiga, karena dia masih muda, kita masih memiliki harapan, siapa tahu dia akan menjadi pemikul beban dakwah.”
Pertimbangan yang lain kata Imam Al-Banna, “Dia menulis di surat kabar yang tidak terlalu terkenal di Mesir ini. Kalaupun dikenal, makalah atau kolom, umumnya tidak terlalu menarik perhatian orang banyak untuk membacanya, apalagi kalau ditulis oleh seorang pemula yang belum memiliki nama. Kalau kita menanggapinya, orang-orang yang semula tidak tahu menjadi ingin mengetahuinya, dan orang-orang yang mungkin pernah membaca secara selintas akan mengulang kembali membacanya untuk mengenali muatan tulisan tersebut. Tujuan anak muda ini menulis adalah untuk mendapatkan serangan atau tantangan dari khayalak yang dengan serangan itu akan menaikkan dan mengangkat namanya.”
Imam Al-Banna berkata lagi: “Kalau kita bantah tulisan itu, kita berarti menutup kesempatan diri pemuda itu untuk bertobat karena orang cenderung untuk membela diri jika kesalahannya diluruskan, apalagi bila pelurusan itu dilakukan di depan umum, ia akan membela dirinya mati-matian, meskipun dalam hati kecilnya ia menyadari kesalahan atau kekeliruannya. Dengan demikian, kalau tanggapan itu ita lakukan, berarti kita telah menutup kesempatan bertaubat bagi dirinya”.
Akhirnya Imam Al Banna mengatakan: “Wahai Mahmud, inilah pandanganku tentang orang ini, akan tetapi, kalau engkau tetap ingin mengirimkannya, silahkan saja”.
Ustadz Abdul Halim Mahmud setuju untuk meninjau kembali rencana pengiriman tulisan itu, sehingga akhirnya tulisan itu tidak jadi dikirim. Dan pada akhirnya, terbuktilah kebenaran perasaan Imam Al-Banna, sebab pada akhir perjalanan hidupnya, Sayyid Qutub menjadi penopang dan pemikul beban dakwah dan Ia pun bergabung dengan jama’ah Ikhwanul Muslimin.
*****
Sepenggal kisah di atas menggambarkan firasat seorang mukmin yang dimiliki oleh Imam Hasan Al Banna. Untuk lebih jelasnya, mari kita ikuti perjalanan beliau sejak kecil hingga beliau meninggalkan dunia yang fana ini.
Hasan Al-Banna lahir di Lingkungan yang Baik
Imam Al-Banna dilahirkan pada tahun 1906 M, di suatu wilayah yang bernama Al-Mahmudiyah. Beliau dilahirkan dari keluarga yang gemar kepada ilmu. Ayahnya seorang ulama’ yang bernama Asy-Syaikh Ahmad bin Abdur-Rahman As-Sa’ati, seorang tukang jam. Diantara karya besarnya adalah menertibkan kitab hadits musnad Imam Ahmad sesuai dengan urutan tema fiqih, kitab itu diberi nama Al Fathu Ar-Rabbani fi Tartibi Musnadil Imami Ahmad Asy-Syaibani.
Ketika kecil, Imam Al-Banna mendapatkan pendidikan di Madrasah Ar-Rasyad Ad-Diniyyah yang diasuh oleh Asy-Syaikh Az-Zahrani. Disekolah SD itulah beliau menghafal Al Qur’an kurang lebih 15 juz. Rupanya sekolah ini tidak lama umurnya, karena Asy-Syaikh Az-Zahrani ditarik oleh departemen pendidikan di sana, dan bubarlah sekolahan itu. Beliau kemudian melanjutkan sekolahnya di Al I’dadiyyah. Disana beliau membagi waktunya menjadi empat bagian: belajar di pagi hari, kemudian sepulang sekolah beliau belajar memperbaiki jam hingga sore hari, dan di malam harinya beliau mempersiapkan diri untuk sekolah besok paginya, dan pagi harinya setelah shalat Shubuh, beliau menghafalkan Al-Qur’an. Dengan kebiasaan inilah beliau hampir menamatkan hafalan Al Qur’annya.
Setelah tamat di Al I’dadiyyah, Hasan Al Banna kecil melanjutkan sekolahnya ke Madrasah Al Mu’allimin Al Awwaliyyah di Damanhur. Disana beliau tamat menghafalkan Al Qur’an. Setelah itu beliau mendapatkan dua peluang belajar, di Al Azhar atau di Darul ‘Ulum. Kalau melanjutkan di Darul ‘Ulum ia akan menjadi guru. Dan kalau melanjutkan di Al Azhar beliau bisa melanjutkan dan biasanya menjadi ulama’ besar. Namun beliau lebih memilih Ma’had Darul ‘Ulum program diploma tiga tahun. Lalu pindahlah beliau ke Kairo.
Tertarik pada Tarekat Al-Hashafiyyah
Pada masa mudanya –bahkan sejak masih duduk di bangku SD- Hasan Al Banna tertarik kepada salah satu tarekat yang memang tumbuh menjamur pada masa itu. Tarekat yang diminatinya bernama tarekat Al-Hashafiyyah, yang didirikan oleh seorang ulama’ besar bernama Syaikh Al Hasanain Al Hashafi, seorang tamatan Al Azhar.
Dalam buku yang ditulis oleh Imam Al-Banna; Mudzakkiratud-Da’wah Wad-Da’iyah, disebutkan, tarekat yang didirikan oleh Syaikh Al-Hashafi berbeda dengan tarekat-tarekat lain yang ada pada masa itu. Syaikh Al-Hashafi gemar menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar. Imam Al-Banna bercerita tentang Syaikh Al Hashafi, meskipun beliau belum pernah bertemu langsung dengannya. Kata beliau, pada saat berkunjung kepada Syaikh Khudhari Bik, seorang penguasa Mesir, beliau menyampaikan salam yang kemudian dijawab oleh Hudhari Bik dengan isyarat. Dengan berang Al Hashofi mengatakan:
رَدُّ السَّلاَمِ وَاجِبٌ، وَلاَ يَكْفِي بِاْلإِشَارَةِ
Menjawab salam hukumnya wajib dan tidak cukup dengan isyarat.
Akhirnya Khudhari Bik malu sendiri dan menjawab:
وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Kemudian ketika beliau diundang oleh seorang perdana menteri Mesir bersama ulama’-ulama’ yang lain, beliau melihat ulama’-ulama’ tersebut menundukkan kepala kepada perdana menteri karena mengikuti seorang ulama’ yang menundukkan kepalanya kepada sang perdana menteri itu. Ketika melihat hal itu syekh Al Hashafi memukul dan berkata kepada para ulama’ itu:
يَا هَذَا! اَلرُّكُوْعُ للهِ فَقَطْ، وَلاَ يَحِلُّ الرُّكُوْعُ لِلنَّاسِ
“Wahai orang ini! Ruku’ itu hanya untuk Allah semata, dan tidak halal ruku’ kepada manusia!”
Inilah diantara kisah kepribadian Syekh Hasanain Al Hashafi yang membuat Hasan Al Banna tertarik kepadanya dan ingin berhubungan lebih jauh dengan tarekat yang didirikannya.
Beliau mengikuti tarekat Al Hashafiyah semasa dipimpin oleh putra Syekh Hasanain Al Hashafi, namanya Syaikh Abdul Wahhab bin Hasanain Al Hashafi. Diceritakan oleh Imam Al-Banna bahwa Syaikh Abdul Wahhab tidak sekeras dan setegas bapaknya. Namun beliau orang bersih, lurus dan dikenal sebagai ahli suluk. Beliau juga bisa dikatakan sebagai orang yang mulham.
Ilham Syaikh Abdul Wahhab tentang Hasan Al-Banna
Suatu ketika Hasan Al-Banna bersama seorang sahabatnya yang bernama Ahmad Affandi As-Sakari bertemu dengan Syaikh Abdul Wahhab, beliau berkata kepada keduanya:
أَنَّنِيْ أَتَوَسَّمُ أَنَّ اللهَ سَيَجْمَعُ عَلَيْكُمُ الْقُلُوْبَ وَيَنْضَمُّ عَلَيْكُمْ كَثِيْرًا مِنَ النَّاسِ، فَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ سَيَسْأَلُكُمْ عَنْ أَوْقَاتِ هَؤُلاَءِ الَّذِيْنَ سَيَجْتَمِعُوْنَ عَلَيْكُمْ، أَفَدْتُمُوْهُمْ فِيْهَا، وَيَكُوْنُ لَهُمْ الثَّوَابُ، وَلَكُمْ مِثْلُهُمْ، أَمْ اِنْصَرَفَتْ هَبَاءً فَيُؤَاخَذُوْنَ وَتُؤَاخَذُوْنَ.
Aku melihat dari wajah kalian bahwa Allah akan menghimpun hati manusia kepada kalian dan Allah akan menyatukan mereka kepada kalian. Dan ketahuilah bahwa Allah akan bertanya kepada kalian atas waktu mereka yang berkumpul kepada kalian itu, apakah kalian memberikan kepada mereka manfaat dan tentunya mereka akan mendapat pahala dan demikian pula kalian, atau waktu mereka itu hilang percuma, maka mereka akan dimintai pertanggung jawaban dan demikian pula kalian.
Inilah yang diungkapkan oleh Syaikh Abdul Wahhab kepada Hasan Al Banna dan Ahmad Affandi As-Sakari.
Aktif Berorganisasi
Dari pengalamannya di tarekat inilah Al-Banna mulai berorganisasi dengan membentuk satu organisasi yang diberi nama Jam’iyyah Al Khairiyyah Al Hashafiyyah. Dalam organisasi ini yang menjadi ketuanya adalah Ahmad Affandi As-Sakari –yang nantinya dalam jama’ah Ikhwanul Muslimin dia menjadi wakil- dan yang menjadi sekretarisnya adalah Hasan Al Banna.
Aktifitas organisasi ini ada dua:
- Menyebarkan dakwah kepada akhlaq yang mulia dan memerangi berbagai kemunkaran dan hal-hal yang diharamkan dan tersebar luas di masyarakat, seperti: judi, minuman keras, dan bid’ah-bid’ah yang ada pada perayaan-perayaan.
- Menghadapi propaganda missi Zending Kristen yang ada di Mesir pada waktu itu.
Mimpi yang Ajaib
Setelah beliau selesai dari Mu’allimin Al Awwaliyyah dan setelah beliau memilih Darul ‘Ulum sebagai sekolah kelanjutannya, beliau terpaksa harus berpisah dengan keluarga dan sahabat yang dicintainya. Disana, di Kairo, beliau hidup sendirian dan tidak mengandalkan kiriman wesel dari orang tuanya, beliau benar-benar mandiri. Karena kemandiriannya ini, beliau menjadi sangat sibuk, sampai-sampai ketika menjelang ujian masuk Darul ‘Ulum beliau tidak sempat belajar.
Dalam kitab Ahdats Shana’at-Tarikh diceritakan kisah Imam Al-Banna saat belajar di Darul Ulum Kairo. Di malam ujian sekolah, beliau melakukan shalat tahajjud seperti biasanya, dan memohon serta mengadu kepada Allah. Dalam do’anya beliau berkata: “Ya Allah! Sesungguhnya Engkau tahu betapa rindunya diriku kepada ilmu dan betapa cintaku kepada-Mu, tapi Engkau juga tahu betapa sibuknya diriku dalam mencari ma’isyah untuk mempertahankan hidup di kota ini, berilah jalan keluar bagiku”.
Beliau akhirnya tertidur malam itu dan bermimpi kedatangan seseorang yang membawa buku dan membuka-buka buku itu dan dia turut membuka dan membacanya. Ketika ujian tiba, ternyata apa yang dia baca dalam mimpi itulah yang diujikan esok harinya. Beliau lulus dan mendapatkan nilai istimewa. Ini juga salah satu tanda bahwa beliau termasuk seorang yang muhaddats dan mulham karena ketaqwaannya, insya Allah.
Kekaguman Dosen Penguji
Beliau selanjutnya belajar di Darul ‘Ulum dengan lancar. Selain mencintai Al Qur’an dan As-Sunnah, beliau juga menyenangi syi’ir-syi’ir Arab. Setiap mendapatkan syi’ir beliau mencatatnya hingga buku-bukunya tentang syi’ir bertumpuk.
Ketika ujian kelulusan dari Darul ‘Ulum, saat tes lisan, beliau bawa buku-buku itu. Salah satu dari dua orang penguji bertanya tentang apa yang dihafalnya dari syi’ir-syi’ir itu. Al-Banna menjawab: “Semuanya aku hafal”. Yang satunya lagi bertanya: “Bait mana yang paling engkau senangi dari syi’ir-syi’ir itu?” Al Banna mengatakan: “Bait Syi’ir yang diucapkan oleh Thorfah bin Al ‘Abd, salah seorang penyair di zaman jahiliyyah.
إِذَا الْقَوْمُ قَالُوْا مَنْ فَتَى؟ خِلْتُ أَنَّنِيْ عُنِيْتُ فَلَمْ أَكْسَلْ وَلَمْ أَتَبَلَّدِ
Bila orang bertanya : “Siapa pemuda? Saya membayangkan akulah yang dimaksud, karenanya, saya tidak bermalas-malas dan tidak membodohi diri.
Mendengar jawaban itu, sang penguji mengatakan: “Wahai anakku, dengan demikian aku nyatakan engkau lulus dari Darul ‘Ulum, dan yang memiliki jawaban seperti ini hanya engkau dan ustadz Muhammad Abduh. Aku melihat bahwa engkau akan memiliki masa depan yang gemilang”.
Ada syi’ir lain yang selalu beliau kumandangkan, yaitu:
قَدْ رَشَّحُوْكَ لأَمْرٍ لَوْ فَطِنْتَ لَهُ فَارْبَأْ بِنَفْسِكَ أَنْ تَكُوْنَ مَعَ الْهَمَلِ
Orang-orang telah mencalonkan kamu untuk suatu urusan, kalau saja kamu tahu. Maka jagalah dirimu jangan sampai engkau termasuk orang-orang yang lalai.
Dialog Bersama Para Ulama
Imam Hasan Al-Banna lulus dari Darul ‘Ulum tahun 1926 M dan langsung memilih mengajar di sebuah SD di Isma’iliyyah. Ketika beliau hidup di tengah masyarakat, mulailah beliau berkomunikasi dan berbaur dengan masyarakat dan mendekati tokoh-tokoh agama.
Pada suatu malam di bulan Ramadhan, beliau berkumpul bersama tokoh-tokoh ‘ulama’ di rumah salah seorang ‘ulama’ senior yang bernama Syaikh Yusuf Ad-Dajawiy. Di masa itu, orang-orang sosialis komunis, kapitalis dan palangis telah merajalela dalam pengrusakan umat, sehingga kemungkaran tersebar ke mana-mana. Dalam kesempatan tersebut Iman Hasan Al-Banna mengutarakan keresahan hatinya dan meminta kepada para ulama’ itu untuk melakukan sesuatu demi amar ma’ruf nahi munkar. Jawaban Syaikh Yusuf pada waktu itu: “Sesungguhnya Allah tidak membebani seseorang yang melebihi kemampuannya”.
Mendengar jawaban seperti itu Hasan Al Banna tidak puas, ia kemudian berkata: “Wahai Syaikh! Andaikan ucapan ini diucapkan oleh selain Anda, mungkin kami bisa menerimanya, tapi bila Anda yang mengucapkannya, maka sulit bagi kami untuk menerimanya. Ucapan ini terkesan lebih merupakan pembelaan diri, sementara tidak ada sesuatu-pun yag Anda lakukan untuk membendung kemungkaran ini”.
Rupanya ucapan Hasan Al Banna ini membuat marah hadirin yang lain. Tapi beliau didukung oleh salah seorang hadirin yang bernama Syaikh Bik Kamil. Hasan Al Banna sebenarnya baru pertama kali bertemu dengan Syaikh Ahmad Bik Kamil ini, namun karena pembelaannya yang tepat pada waktunya itu –di saat Al Banna dalam posisi tersudut- membuat Al Banna tertarik kepadanya dan berharap dapat berjumpa kembali dengannya pada masa yang akan datang.
Karena pembicaraan itu terus berkepanjangan, sementara mereka yang hadir juga diundang di majlis yang lain, maka Syaikh Yusuf mengajak tamu-tamunya untuk pergi. Hasan Al Banna yang sebenarnya tidak diundang untuk acara tersebut, ikut pula bersama mereka. Mereka semua berkunjung ke rumah salah seorang ulama’ yang bernama Syaikh Muhammad Sa’ad.
Di rumah Syaikh Muhammad Sa’ad, Hasan Al Banna sengaja memilih tempat duduk persis di sebelah Syaikh Yusuf yang merupakan ulama’ yang dituakan, agar perhatian turut pula ditujukan kepadanya. Benar saja, tuan rumah tidak lama kemudian bertanya kepada Syaikh Yusuf tentang pemuda yang ada di sebelahnya, yang tidak lain adalah Hasan Al-Banna, yang saat itu usianya baru 21 tahun.
Di rumah Syaikh Sa’ad mereka disuguhi aneka makanan lezat. Melihat semuanya itu, Hasan Al Banna merasa tidak senang hatinya. Beliau kemudian berkata: “Apakah kalian kira Allah tidak akan menghisab kalian dengan apa yang kalian perbuatan seperti ini? Jika kalian tahu bahwa Islam memiliki ulama’-ulama’ selain kalian, tolong tunjukkan aku kepada mereka, mungkin aku akan mendapatkan sesuatu dari mereka yang tidak aku dapatkan pada kalian!”
Mendengar ucapan Hasan Al Banna ini, Syaikh Sa’ad menangis, lalu ia berkata: “Idzan, madza af’al (kalau begitu, apa yang harus saya lakukan?)”. Al-Banna menjawab: “Masalah umat ini adalah masalah yang berat. Sebagaimana mereka menyerang umat ini dengan tulisan-tulisan, kita hadapi pula tindakan mereka dengan tulisan, kalian adalah ulama’-ulama’ besar dan memiliki hubungan yang luas. Kumpulkan orang-orang kaya untuk menyokong dana dan kalian para ulama’ menyiapkan tulisan-tulisan untuk menghadapi serangan mereka”.
Mendengar jawaban Hasan Al Banna, Syaikh Sa’ad segera memerintahkan menyingkirkan makanan dan minuman, dan kemudian mengambil pena dan kertas. Malam itu juga mereka menginventarisir siapa ulama’ yang harus mereka hubungi untuk membuat tulisan dan siapa orang-orang kaya yang akan mereka mintai bantuan dananya.
Kelompok ini pada saat itu agak berseberangan jalan dengan kelompok Syaikh Rasyid Ridha dan kawan-kawannya. Namun pada malam itu Syaikh Sa’ad memerintahkan untuk melibatkan Syaikh Rasyid Ridha dan kawan-kawan. Diantara yang hadir mengatakan: “Bukankah mereka berbeda dengan kita?” Jawab Syaikh Sa’ad: “Masalah sekarang ini lebih besar daripada masalah yang kita perselisihkan selama ini, lupakan semua perbedaan itu dan kita cari apa yang kita sepakati”.
Dari pertemuan inilah kemudian berdiri satu jam’iyyah, yaitu: Jam’iyyah Syubbanul Muslimin. Tidak lama setelah itu terbitlah majallah Syubbanul Muslimin yang bernama Al Fath Al Islami.
Mendirikan Al-Ikhwan Al-Muslimun
Hasan Al Banna sebelumnya, semasa di Kairo, selain belajar, beliau juga aktif berdakwah. Ketika di Al Isma’iliyyah, beliau kembali melakukannya. Beliau mendatangi kedai-kedai kopi. Dakwah beliau begitu indahnya. Meskipun hanya beberapa menit saja, mampu mengundang simpati orang-orang yang kurang terpelajar.
Suatu ketika datanglah beberapa orang kepada Hasan Al Banna. Mereka berkata: “Wahai Ustadz! Kami sudah tidak sabar. Kami hanyalah orang yang tidak mengerti apa-apa, hendak engkau bawa kemana-pun kami, kami akan ikuti. Sekarang, apa yang harus kami lakukan?”
Dari pembicaraan-pembicaraan seperti ini, kemudian pada bulan Maret 1928 M terjadilah pembai’atan—janji setia untuk membela Islam yang dilakukan oleh enam orang laki-laki kepada Hasan Al-Banna. Mereka adalah: Hafizh Abdul Halim, Ahmad Al Hushari, Fuad Ibrahim, Abdur-Rahman Hasbullah, Isma’il Izz, dan Zakkiy Al Maghribi.
Setelah keenam orang ini berbai’at, salah seorang diantara mereka bertanya: “Sekarang kita sudah berkumpul, hendak kita namakan apa kelompok kita ini? Apakah kita perlu membentuk organisasi atau klub atau salah satu tarekat atau yang lainnya dan kita mengambil bentuk yang formal?”
Hasan Al Banna menjawab: “Sesungguhnya kita tidak termasuk yang ini atau yang itu dan kita tidak terlalu peduli masalah formal seperti ini. Hendaknya kita menjadikan awal dan dasar pertemuan ini karena kesamaan fikrah, perasaan dan kesamaan untuk beramal. Kita bersaudara dalam berkhidmah kepada ummat Islam. Berarti kita adalah Al-Ikhwanul Muslimun (IM)”.
Syaikh Thanthawi Jauhari: Hasan Al-Banna Ahlul Hajb
Ada beberapa sisi lain dari kehidupan Hasan Al Banna yang dapat kita pelajari. Diantaranya adalah sebagaimana yang diungkapkan oleh Ustadz Abdul Halim Mahmud ketika beliau berjumpa dengan seorang ulama’ Al Azhar yang dikenal dengan sebutan Hakimul Islam, yaitu: Syaikh Thanthawi Jauhari. Beliau adalah seorang ulama’ yang berusaha menggabungkan ilmu qauli dengan ilmu kauni, menulis kitab tafsir berjudul: Al Jawahir. Dalam usianya yang sudah tua, beliau rela dipimpin oleh seorang yang masih muda dan hanya seorang guru SD. Padahal beliau adalah Syaikh yang dituakan dan ulama’ terkenal.
Suatu saat, ketika Ustadz Abdul Halim sedang menulis di kantor Ikhwanul Muslimin, Syaikh Thanthawi bertanya kepada Ustadz Abdul Halim: “Apa yang sedang engkau tulis?”
Dijawab oleh ustadz Abdul Halim: “Saya sedang menulis syi’ir yang dipesankan oleh Imam Hasan Al Banna”. Syi’ir itu kemudian dibaca oleh Syaikh Thanthawi dan beliau kemudian meminta Ustadz Abdul Halim membacakanya untuknya. Ustadz Abdul Halim yang hanya lulusan teknik dan bukan lulusan syari’ah serta tidak memahami cara membaca syi’ir, kemudian membaca syi’ir itu. Kata Syaikh Thanthawi: “Bukan begitu cara membaca syi’ir”.
Ustadz Abdul Halim bertanya: “Apakah ada bagian yang keliru saya baca?” Jawab Syaikh Thanthawi, “Tidak, tidak ada satupun bagian yang keliru, akan tetapi bukan begitu cara membaca syi’ir”. Kemudian Syaikh Thanthawi menambahkan lagi: “Dulu, di masa jahiliyyah, ada sebuah pasar bernama Ukazh, di sana orang-orang jahiliyyah mengambil syi’irnya, seandainya syi’ir itu dibaca dengan cara hafal membacanya, tidak ada daya tariknya, akan tetapi, syi’ir itu harus dibaca sesuai dengan ruhnya”. Maka syekh Thanthawi kemudian mencontohkan cara membacanya dengan demikian indahnya.
Kemudian Syaikh Thanthawi melanjutkan: “Wahai anakku, manusia dalam hidup ini membutuhkan riyadhah (latihan), sebagaimana fisik itu harus dilatih, ruh itupun harus dilatih. Orang-orang yang biasa berlatih akan memiliki satu tingkat dari orang-orang yang tidak pernah berlatih.
Di dalam tarekat ada satu tingkatan yang paling tinggi, yaitu al-kasyf, yaitu kemampuan mengetahui apa-apa yang tidak diketahui oleh orang lain, bi-idznillah, suatu tingkatan bagi orang-orang yang memiliki tingkat latihan ruhiyyah paling tinggi.
Syekh Thanthawi kemudian bertanya: “Adakah orang lain yang kedudukannya lebih tinggi lagi dari ahlul al kasyf wahai anakku?” Kata ustadz Abdul Halim, “Saya kira tidak ada wahai Syaikh!”.
Dijawab oleh Thanthawi: “Tidak wahai anakku”. Abdul Halim bertanya lagi, “Kedudukan mana lagi yang lebih tinggi dari itu?”. Jawab Syaikh Thanthawi: “Kedudukan yang lebih tinggi dari itu adalah kedudukan para rijal yang dibentuk oleh Allah dan dipilih diantara makhluq-Nya, mereka dipilih oleh Allah untuk memusnahkan kerusakan, menghilangkan kezhaliman, menghidupkan api keimanan di dalam hati setiap orang, serta menyebarkan ukhuwwah diantara orang-orang yang beriman, hingga dakwah ini menjadi kuat dan mampu mengangkat nama Allah di atas bumi dan mampu menghadapi orang-orang zhalim yang membuat kerusakan”.
Selanjutnya syekh Thanthawi mengatakan: “Ketahuilah anakku, misi ini, yang Allah pilih mereka untuk mengemban-Nya, menuntut mereka menjadi ahlul hajb, menjadi orang yang tidak nampak kekuatan spiritualnya (tidak bisa jalan di air, tahan dibakar api, dsb) –akan tetapi kedudukan mereka lebih tinggi dari ahlul kasyf, mengapa? Sebab, ilmu ahlul kasyf tidak dapat dipelajari, sedangkan ilmu ahlil hajb dapat dipelajari dan dapat berpindah dari satu generasi ke generasi berikutnya hingga akhir zaman”.
Tambah syekh Thanthawi, “Termasuk di antara ahlil hajb adalah para rasul, Nabi Musa (ahlul hajb) kedudukannya lebih tinggi dari Nabi Khidhir (ahlul kasyf), sebab nabi Musa termasuk ulul ‘azmi minar-rasul, hanya lima dari sekian banyak nabi dan rasul yang mendapatkan gelar ini, meskipun di dalam Al Qur’an secara sepintas seolah nabi Khidhir lebih tinggi daripadanya.”
“Demikian pula dengan Nabi Sulaiman, ketika burung pelatuk kecil menemukan kerajaan Bilqis, berkata nabi Sulaiman: ‘Siapa yang dapat memindahkan singgasana ratu Bilqis kemari sebelum mereka datang ke sini?’ Berkata salah satu jin Ifrith: ‘Aku mampu memindahkan singgasana itu sebelum engkau bangkit dari tempat dudukmu’. Berkatalah seseorang yang diberi ilmu kitab, Asyif namanya: ‘Aku mampu memindahkan singgasana itu sebelum matamu berkedip’. Meskipun ilmu ahli kitab (ahlul kasyf) itu lebih tinggi dibanding nabi Sulaiman, akan tetapi kedudukan Nabi Sulaiman tetap lebih mulia, sebab dia adalah seorang rasul Allah, sedangkan Asyif bukan”.
Lanjut Syaikh Thanthawi: “Diantara ahlul hajb adalah sahabat-sahabat yang besar, seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Al Khaththab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, dan lain-lain. Diantara mereka yang lain adalah kibarul mushlihin (para reformer besar) yang diantaranya adalah Hasan Al Banna”.
Bertanya Ustadz Abdul Halim: “Begitukah engkau melihat Hasan Al Banna?”.
Dijawab: “Ya”.
Ditanya lagi: “Bagaimana engkau dapat mengenalnya?”
Jawab Syaikh Thanthawi, “Ketika aku mendangar namanya disebut-sebut orang, aku datangi dia dan aku duduk bersamanya, aku tanya dia: ‘Apa yang engkau da’wahkan?’. Sebagaimana banyak orang yang yang pernah aku jumpai dia menjawab: ‘Aku mendakwahi orang kepada Al Qur’an’. Maka aku katakan kepadanya: ‘Masing-masing kelompok mengaku bernisbat kepada Al Qur’an, tidak ada satu kelompokpun di dalam dakwah Islamiyyah ini –termasuk yang sesat sekalipun- kecuali mereka mengatakan: mengajak kepada Al Qur’an. Jawablah pertanyaan saya dengan rinci tentang dakwah yang engkau serukan itu pada setiap aspek kehidupan! Kemudian ia menerangkan dakwahnya dan aku dapati dakwahnya tidak keluar dari kitabullah dan sunnatur-rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam”.
Diceritakan pula, ketika Thanthawi akhirnya terkesan dan tertarik serta ingin bergabung dengan IM, Imam Hasan Al-Banna bertanya: “Wahai Ustadz! Engkau adalah ustadz kami, dan ustadz semua orang di Mesir ini, Andalah Hakimul Islam, kulihat Anda lebih berhak untuk menduduki kepemimpinan di dalam dakwah ini, ini tanganku, aku siap berbai’at kepadamu”.
Syaikh Thanthawi menjawab, “Tidak, wahai shahibud-da’wah, engkau lebih mampu untuk memikul beban da’wah ini dan engkau lebih pantas, dan ini tanganku”.
Ketika Syaikh Thanthawi bergabung dengan IM, teman-teman seangkatan beliau meledeknya dengan mengatakan: “Anda seorang ulama’ besar dan seorang syekh, mengapa Anda mau menjadi kelompok yang dipimpin seorang anak muda dan Anda hanya menjadi seorang pemimpin redaksi?”
Dijawab oleh Syaikh Thanthawi: “Seandainya Anda mengetahui siapa Al-Banna, Anda akan lebih dahulu bergabung daripada saya, sayang anda tidak mengetahuinya”.
Dari apa yang diungkapkan oleh Ustadz Abdul Halim Mahmud, kita dapat melihat bahwa Hasan Al Banna adalah orang yang dapat secara akrab menjalin hubungan dengan anggota setiap kelompok masyarakat tanpa membedakan satu dengan lainnya.
Bersama Thaha Husain
Kearifan Imam Hasan Al Banna pun dapat kita ketahui ketika beliau menghadapi Thaha Husain, gembong kerusakan di bidang pemikiran yang membuka cakrawala pemikiran sesat di kalangan para pemikir Islam di belahan dunia ketika ia menerbitkan buku Mustaqbaluts-Tsaqafah fi Mishr (Masa depan budaya Mesir), yang mendapat sanggahan bertubi-tubi dari berbagai kelompok yang ada di Mesir.
Hasan Al Banna sendiri –karena kesibukannya- tidak mempunyai waktu untuk menanggapinya. Beberapa pengikutnya kemudian mengingatkan beliau dan berkata bahwa orang-orang menunggu tanggapan IM atas buku Thaha Husain itu, karena kedudukan IM saat itu sudah diperhitungkan di masyarakat. Dijawab oleh Hasan Al Banna bahwa dia sibuk dan tidak sempat membacanya.
Tanpa sepengetahuan Hasan Al Banna, para pengikutnya merencanakan untuk mengadakan semacam bedah buku Thaha Husain itu, dengan beliau sebagai pembahasanya. Lima hari sebelum acara berlangsung, diberitahukan kepadanya mengenai hal ini. Hasan Al-Banna berkata terpaksa dia membaca buku itu dari rumah ke sekolah dan dari sekolah ke rumah, sementara ia berada di atas treem. Ia membaca buku itu dan memberi garis bawah bagian-bagian yang penting. Sebelum lima hari buku itu sudah selesai dibaca dan sudah pula dihafalnya. Buku itu tebalnya dua ratus halaman lebih.
Bedah buku itu diselenggarakan di kantor Syubbanul Muslimin, yang menjadi moderator adalah DR. Yahya Ad-Dardiri, Sekjen Syubbanul Muslimin dan hadir pada acara bedah buku itu tokoh-tokoh Mesir dari berbagai kalangan.
Hasan Al-Banna mengkritik buku itu dengan cara yang unik, dia mengatakan: “Saya tidak akan mengkritik buku ini dengan pendapat saya, tapi saya akan mengkritiknya dengan buku ini sendiri”. Kemudian beliau mengungkapkan bagian-bagian yang kontradiktif dari buku itu, lengkap dengan letak nomor halamannya, sekian dan sekian.
Yahya Ad-Dardiri kemudian menyetop dan mengatakan bahwa dirinya telah membaca buku itu, tapi sepertinya dia tidak menemukan apa yang Hasan Al Banna kemukakan, dan dia meminta kepada Hasan Al Banna untuk mengijinkannya mengecek kebenaran kutipan-kutipan Hasan Al Banna langsung kepada buku itu. Ternyata terbukti, seluruh yang diungkapkan Hasan Al Banna benar adanya.
Dalam acara bedah buku itu sebenarnya Thaha Husain juga hadir, namun ia berada di tempat yang tersembunyi. Sebelum pulang ia mengatakan bahwa ia ingin bertemu dan berdialog dengan Hasan Al Banna. Ia menawarkan tiga tempat; di rumahnya, di kantornya atau di rumah Hasan Al Banna. Adapun waktunya, ia menyerahkannya kepada Hasan Al Banna. Perhatikanlah bagaimana seorang Mustasyar atau penasehat negara, menyerahkan waktu pertemuannya kepada seorang guru SD!
Akhirnya terjadilah pertemuan di kantor Thaha Husain. Berkata Thaha Husain: “Seandainya di Mesir ini ada tokoh yang paling besar, Andalah orangnya, apa yang anda sampaikan tentang buku saya, demikian baik”. Kata Hasan Al Banna: “Al Hamdulillah, adakah hal-hal yang tidak anda setujui?” Dijawab oleh Thaha Husain: “Tidak ada, bahkan saya ingin agar pembahasan itu ditambah lagi”.
Kemudian Thaha Husain bertanya: “Apakah ada sikap dan perkataan saya yang tidak Anda senangi? Ketahuilah! Selama ini saya berhadapan dengan orang yang tidak mempunyai etika dalam berdebat, ketika mereka menyerang saya, diri saya-pun diserang. Seandainya musuh-musuh saya adalah orang-orang semulia Anda, sejak awal saya akan menghormati mereka”.
Hasan Al Banna menjawab: “Anda adalah seseorang yang cukup bangga dengan Barat, akan tetapi sayang, Anda tidak mampu membedakan dua hal yang sangat berbeda. Adapun ilmu, itu adalah sesuatu yang terus berkembang, hari ini kita benar, esok hari bisa jadi kita keliru. Akan tetapi agama, dia adalah sesuatu yang pasti dan tidak berubah, jika kita menjadikan agama sebagai ilmu, sama artinya kita merubah agama itu dari hari ke hari, dan jika kita menjadikan ilmu sebagai agama, kita berarti telah membunuh hak ilmu itu untuk berkembang, padahal semestinya kita meletakkan keduanya pada tempatnya masing-masing.”
“Hal yang lain lagi, kalian –para pengagum Barat- lebih mendahulukan akal daripada wahyu, ketika akal bertabrakan dengan wahyu, kalian mengambil akal dan membuang wahyu”.
Dalam kesempatan dialog itu Imam Hasan Al Banna juga mengkritik polemik yang tejadi antar sesama ummat Islam. Beliau mengatakan kalau seandainya dalam berpolemik umat Islam mempunyai tenggang rasa sedikit saja, mereka akan bertemu pada satu titik persamaan, akan tetapi sayang, mereka memilih bersikap seperti empat orang buta yang mensifati binatang gajah, yang kata Imam Al Ghazali, masing-masing bersikeras pada pendapatnya yang sebenarnya juz’i (parsial). Seandainya mereka memiliki toleransi sedikit saja, mereka bisa bersepakat dalam menilai gajah tersebut dalam bentuknya yang utuh.
Ustadz Abdul Halim mencatat, sejak saat itu Thaha Husain menjadi lebih baik sikapnya. Beliau kemudian memilih untuk mendalami sastra Arab dan mengurangi perannya dalam menyesatkan umat.
Bersama Seorang Ulama Terkenal di Zaqzuq
Di Mesir, ada sebuah kota yang bernama Zaqzuq. Ketika Imam Hasan Al Banna hendak melakukan kunjungan ke sana, adalah seorang ulama’ tarekat terkenal yang memiliki banyak murid. Ia berupaya membuat makar untuk menggagalkan acara kunjungan Hasan Al Banna. Namun karena tanggal kedatangan Hasan Al Banna dirahasiakan, hanya sedikit orang yang tahu, ulama’ ini tidak mengetahui persis kapan Hasan Al Banna akan datang berkunjung.
Pada suatu hari, sang ulama’ ini dikejutkan oleh seseorang yang mengetuk pintunya untuk berkunjung. Ulama’ itu bertanya: “Siapa?” dijawab: “Saya, Hasan Al Banna”. Maka terkejutlah dia, dengan ‘terpaksa’ ia menjamu Hasan Al Banna. Hasan Al Banna kemudian berkata kepada sang ulama’ itu: “Adalah satu hal yang tidak pantas bagi saya, ketika saya masuk suatu negeri dengan tidak meminta ijin pada penguasanya”.
Karena sikap hormat seperti itu tumbuhlah dari ulama tersebut simpati kepada Hasan Al-Banna. Ia pun kemudian selalu membantu kegiatan-kegiatan IM meskipun tidak bergabung dengannya.
*****
Inilah sekilas profil Imam Hasan Al Banna sebagai seorang rijalud da’wah. Hingga kini, di dalam jama’ah IM belum ditemukan lagi ada tokoh sebesar Hasan Al Banna yang muncul, namun kita harus tetap yakin,
إِنَّ لِكُلِّ مَرْحَلَةٍ رِجَالُهَا
Sesungguhnya tiap-tiap marhalah itu ada tokohnya.
Pertanyaan kita hari ini: “Kalau pada zaman dahulu, ada kemurtadan, dan ada Abu Bakar, sehingga kemurtadan itu sirna. Sekarang ini ada masyarakat, namun mana Hasan Al Banna-nya?”