Julukan Islam
Karena kekhasannya, dinul Islam memiliki beberapa shifat (julukan atau ciri) yang dinisbatkan kepadanya.
Pertama, Islam disebut sebagai ad-dinul kamil (agama yang sempurna).
Tentang kesempurnaan Islam telah digambarkan dalam pembahasan sebelumnya (lihat madah: Syumuliyatul Islam dan Khashaishul Islam), juga akan dibahas di madah setelah ini, Thabi’atul Islam. Namun jika kita simpulkan, kesempurnaan Islam ini paling tidak mencakup dua komponen pokok: aqidah dan syariah.
Aqidah Islam adalah aqidah yang sempurna. Ia adalah aqidah yang bersifat tsabitah (pasti, tetap, stabil, kokoh, mantap, mapan, permanen, tidak berubah). Allah Ta’ala berfirman,
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَا تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.” (QS. Ibrahim, 14: 24-25)
Aqidah Islam bersifat pasti, tetap, stabil, kokoh, mantap, mapan, permanen, tidak berubah -dari sejak masa nabi dan rasul pertama diutus kepada manusia sampai saat ini- Intisarinya adalah, kalimat la ilaha illa-Llah (tiada sesembahan selain Allah).
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: ‘Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku’”. (QS. Al-Anbiya, 21: 25)
Maka, jika ada agama yang dinisbatkan kepada para rasul, namun aqidahnya menyimpang dari aqidah tauhid ini -bisa dipastikan agama tersebut pastilah agama yang batil dan telah menyimpang-. Oleh karena itulah Islam menolak ajaran trinitas yang dianut oleh kaum nasrani,
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ وَلَا تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلَّا الْحَقَّ إِنَّمَا الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ رَسُولُ اللَّهِ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِنْهُ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَلَا تَقُولُوا ثَلَاثَةٌ انْتَهُوا خَيْرًا لَكُمْ إِنَّمَا اللَّهُ إِلَهٌ وَاحِدٌ سُبْحَانَهُ أَنْ يَكُونَ لَهُ وَلَدٌ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَكَفَى بِاللَّهِ وَكِيلًا
“Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, ‘Isa putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan : “(Tuhan itu) tiga”, berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah menjadi Pemelihara.” (QS. An-Nisa, 4: 171).
Islam pun menolak pengakuan keimanan orang-orang Yahudi yang mendakwa mencintai dan beriman kepada Allah Ta’ala, tetapi tidak mau ber-ittiba’ (mengikuti) Rasul terakhir, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman tentang sikap orang-orang Yahudi ini,
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran, 3: 31).
Jadi, aqidah Islam itu tidak terpengaruh situasi dan kondisi; tidak tercampur pikiran manusia; tidak akan berubah sepanjang masa. Ajaran iman kepada Allah, malaikat, para rasul, kitab-kitab dan hari akhir tidak akan pernah berubah.
*****
Berikutnya mengenai komponen syariah. Syariah Islam adalah syariah yang sempurna. Kesempurnaannya terletak pada karakternya yang unik, yakni mencakup sisi yang bersifat tsabitah (pasti, tetap, stabil, kokoh, mantap, mapan, permanen, tidak berubah), dan mencakup sisi yang bersifat murunah (lentur, luwes, dan fleksibel).
Mengenai hal ini, Syaikh Yusuf Qaradhawy mengatakan: “Sistem Islam mampu menyatukan keduanya dalam sebuah kombinasi yang menakjubkan dan meletakkan keduanya pada kedudukannya masing-masing. Tsabat di dalam persoalan yang memang harus lestari, sementara murunah di dalam hal yang memang harus berubah dan berkembang. Karakteristik ini hanya ada dalam risalah Islamiyah dan tidak akan terdapat dalam agama atau karya manusia yang lainnya.”
Dalam hal ke-tsabat-an dan ke-murunah-an syariat Islam, lanjut Syaikh Qaradhawi, kita dapat memberikan batasan sebagai berikut.
Tsabat dalam hal sasaran dan tujuan, sementara murunah dalam hal sarana (wasilah) dan cara/teknik (uslub). Tsabat dalam hal kaidah-kaidah fundamental (pokok), sementara murunah dalam furu’ dan masalah-masalah juz’iyyat (bagian-bagian/cabang). Tsabat dalam hal nilai-nilai din dan akhlak, sementara murunah dalam hal-hal keduniaan dan ilmu.[1]
Dalam kitab Ighatsatul Lahfan, Ibnul Qayyim mengatakan bahwa hukum itu ada dua macam: (1) Hukum yang tidak akan berubah, baik oleh zaman, tempat dan oleh ijtihad imam. Seperti wajibnya perkara yang wajib, haramnya perkara yang haram dan hudud yang sudah ditetapkan terhadap masalah-masalah kriminal. Ini semua tidak mungkin dapat berubah dan tidak ada ijtihad yang mampu menentangnya, (2) Hukum yang dapat berubah karena tuntutan maslahat, baik yang berkenaan dengan waktu, tempat dan situasi. Seperti jenis dan kadar ta’zir (hukuman terhadap perilaku kriminal yang tidak diebutkan jenis hukumannya oleh syariat. Dalam hal ini Allah Ta’ala memberikan keluasan sesuai maslahat. Guna memperjelas pembahasan ini, Penyusun sebutkan contoh-contoh karakter tsabat dan murunah dalam syariat Islam melalui bagan (lihat lampiran).
Kedua, Islam disebut sebagai dinun ni’mah (agama yang membawa kebaikan, keberkahan, dan anugerah).
Islam membawa kebaikan, keberkahan, dan anugerah kepada hal-hal yang aqliyan (berhubungan dengan akal). Maksudnya, risalah Islam yang rasional ini apabila difahami dengan baik tentu akan membawa pengaruh kepada perkembangan akal pikiran, kepandaian, dan intelektual manusia.
Interaksi yang utuh dengan risalah ini akan membentuk manusia-manusia yang cerdik pandai. Bagaimana tidak, bukankah Islam memerintahkan manusia untuk selalu melakukan aktivitas dzikir dan fikir?
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal..” (QS. Ali Imran, 3: 190)
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): ‘Ya Tuhan Kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, maka peliharalah Kami dari siksa neraka.’” (QS. Ali Imran, 3: 191).
Dalam pembahasan madah Ilmullah (dalam kajian madah Ma’rifatullah, Ebook Ushulul Islam, Bag. 1), kita sudah mengetahui bahwa Allah Ta’ala melalui ayat-ayat-Nya, senantiasa mengarahkan manusia untuk membaca dan memperhatikan alam semesta ini.
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu adalah Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran qalam (alat tulis). Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-Alaq, 96: 1-5)
Ayat-ayat qauliyah yang diturunkan Allah Ta’ala merangsang jiwa dan akal fikiran manusia agar selalu berfikir dan terus berfikir. Perhatikan ayat-ayat berikut ini,
وَهُوَ الَّذِي مَدَّ الْأَرْضَ وَجَعَلَ فِيهَا رَوَاسِيَ وَأَنْهَارًا وَمِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ جَعَلَ فِيهَا زَوْجَيْنِ اثْنَيْنِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan Dia-lah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanya. Dan menjadikan padanya semua buah-buahan berpasang-pasangan, Allah menutupkan malam kepada siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (QS. Ar-Ra’du, 13: 3)
وَفِي الْأَرْضِ قِطَعٌ مُتَجَاوِرَاتٌ وَجَنَّاتٌ مِنْ أَعْنَابٍ وَزَرْعٌ وَنَخِيلٌ صِنْوَانٌ وَغَيْرُ صِنْوَانٍ يُسْقَى بِمَاءٍ وَاحِدٍ وَنُفَضِّلُ بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ فِي الْأُكُلِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
“Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon korma yang bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebahagian tanam-tanaman itu atas sebahagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Ra’du, 13: 4)
Silahkan simak pula ayat-ayat lainnya. Al-Qur’an surat Fathir, 35: 27-28 yang menyebutkan anjuran kepada manusia untuk memperhatikan hujan yang menumbuhkan aneka buah-buahan, memperhatikan gunung-gunung dengan aneka bebatuannya, memperhatikan macam-macam jenis binatang. Berikutnya dalam sura Yasin, 36: 71-73 yang menganjurkan manusia untuk memperhatikan binatang ternak yang ditundukkan kepada manusia sehingga dapat dimanfaatkan sebagai tunggangan, sumber makanan atau minuman.
Jadi, interaksi yang benar dengan ajaran Islam akan menggiring manusia kepada ilmullah yang terangkum dalam ayat-ayat qauliyah dan ayat-ayat kauniyah.
*****
Berikutnya, Islam juga membawa kebaikan, keberkahan, dan anugerah kepada hal-hal yang berkaitan dengan fithratan (kefitrahan). Maksudnya, risalah Islam itu membawa pengaruh yang baik bagi pembentukan sifat, karakter, serta naluri manusia yang pada dasarnya selalu cenderung kepada kebaikan. Hal ini akan diulas di poin keempat, insya Allah.
Berikutnya, Islam juga membawa kebaikan, keberkahan, dan anugerah kepada hal-hal yang berkaitan dengan ‘adatan (adat kebiasaan, tata krama, serta hal-hal yang normal dan lazim) dalam kehidupan manusia. Maksudnya, Islam itu mewarnai kebiasaan, adat istiadat, dan perilaku sosial manusia ke arah yang benar. Islam juga menghargai kebiasaan, adat istiadat, dan perilaku sosial manusia yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip nilai kebenaran.
Diantara contoh pewarnaan Islam terhadap kebiasaan, adat istiadat, dan perilaku sosial manusia adalah perintah berkerudung bagi kaum wanita. Allah Ta’ala berfirman,
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ ۖ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَىٰ عَوْرَاتِ النِّسَاءِ ۖ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ ۚ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Katakanlah kepada orang laki–laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allâh maha mengatahui apa yang mereka perbuat.’ Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera–putera mereka, atau putera–putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allâh, wahai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.’” (QS. An-Nur, 24:31)
Ketika turun ayat ini, para wanita muslimah saat itu pun bersegera melaksanakannya sebagaimana kesaksian Aisyah radhiyallahu ‘anha,
لَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ { وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ } أَخَذْنَ أُزْرَهُنَّ فَشَقَّقْنَهَا مِنْ قِبَلِ الْحَوَاشِي فَاخْتَمَرْنَ بِهَا
“Tatkala turun ayat: ‘Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya.’. Maka mereka (wanita Anshar) langsung mengambil sarung-sarung mereka dan menyobeknya dari bagian bawah lalu menjadikannya sebagai kerudung mereka.” (HR. Bukhari No. 4387)
Sedangkan perintah berjilbab disebutkan dalam Firman-Nya,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang Mukmin, ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka !’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allâh adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab, 33:59)
Kewajiban syariat berkerudung dan berjilbab ini kemudian menjadi kebiasaan, adat istiadat, dan perilaku sosial yang melekat kepada wanita muslimah dimana pun mereka berada.
*****
Selanjutnya, diantara contoh penghargaan Islam terhadap kebiasaan, adat istiadat, dan perilaku sosial manusia yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip nilai kebenaran dan syariat adalah penghargaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap hiburan. Diriwayatkan bahwa ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha pernah mengantar mempelai wanita ke tempat mempelai pria dari kalangan Anshar. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَا عَائِشَةُ، مَا كَانَ مَعَكُمْ لَهْوٌ؟ فَإِنَّ اْلأَنْصَارَ يُعْجِبُهُمُ اللَّهْوُ
“Wahai ‘Aisyah, apakah ada hiburan yang menyertai kalian? Sebab, orang-orang Anshar suka kepada hiburan.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari [no. 5162], al-Hakim [II/183-184], al-Baihaqi [VII/288] dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah [no. 2267]).
Jadi, Islam tidak melarang dan tidak menghapuskan kebiasaan, adat istiadat, dan perilaku sosial manusia selama hal itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai syariah. Islam akan turun tangan memberikan arahan serta koreksi, jika kebiasaan, adat istiadat, dan perilaku sosial itu telah menyimpang dari nilai-nilai aqidah dan syariah. Dalam konteks nyanyian misalnya, Islam mengarahkan agar nyanyian tersebut tidak tercampuri oleh syair-syair yang buruk. Ar Rubai’ binti Mu’awwidz radhiyallahu ‘anha berkata,
دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَبِيحَةَ عُرْسِي وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ يَتَغَنَّيَتَانِ وَتَنْدُبَانِ آبَائِي الَّذِينَ قُتِلُوا يَوْمَ بَدْرٍ وَتَقُولَانِ فِيمَا تَقُولَانِ وَفِينَا نَبِيٌّ يَعْلَمُ مَا فِي غَدٍ فَقَالَ أَمَّا هَذَا فَلَا تَقُولُوهُ مَا يَعْلَمُ مَا فِي غَدٍ إِلَّا اللَّهُ
“Di hari pernikahanku, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masuk ke rumahku di saat hari masih pagi, sementara di sisiku ada dua orang budak wanita yang sedang memukul rebana dan bernyanyi memuji bapak-bapak kami yang gugur pada perang badar, hingga mereka mengucapkan apa yang mereka ucapkan (dalam nyanyiannya), ‘Padahal di sisi kami ada Nabi yang mengetahui apa yang akan terjadi di masa yang akan datang.’ Maka beliau pun bersabda: ‘Adapun (syair nyanyian) yang ini, jangan kalian ucapkan, sebab tidak ada yang tahu apa yang terjadi di masa datang selain Allah.’” (HR. Ibnu Majah Nomor 1887)
Contoh penghargaan Islam kepada kebiasaan, adat istiadat, dan perilaku sosial suatu masyarakat, juga terungkap dari hadits Anas bin Malik, ia berkata,
أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرَادَ أَنْ يَكْتُبَ إِلَى رَهْطٍ أَوْ أُنَاسٍ مِنْ الْأَعَاجِمِ فَقِيلَ لَهُ إِنَّهُمْ لَا يَقْبَلُونَ كِتَابًا إِلَّا عَلَيْهِ خَاتَمٌ فَاتَّخَذَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَاتَمًا مِنْ فِضَّةٍ نَقْشُهُ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ فَكَأَنِّي بِوَبِيصِ أَوْ بِبَصِيصِ الْخَاتَمِ فِي إِصْبَعِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ فِي كَفِّهِ
“Bahwasanya Nabiyullah shallallahu ‘alaihi wasallam hendak menulis surat kepada pemuka kaum atau sekelompok orang asing, lantas diberitahukan kepada beliau; ‘Sesungguhnya mereka tidak akan menerima surat Anda kecuali jika surat tersebut dibubuhi stempel, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membuat stempel (cincin) dari perak yang diukir dengan tulisan ‘Muhammad Rasulullah’, seolah-olah saya melihat kilauan atau kilatan cincin berada di jari tangan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam atau di telapak tangan beliau.’” (HR. Bukhari No. 5423).
Dengan demikian, agar kebiasaan, adat istiadat, tata krama, dan perilaku sosial kita mengarah kepada nilai-nilai kebenaran, sangat penting bagi kita untuk mengikuti tuntunan risalah Islam. Al-Islamu hajatuna, Islam adalah kebutuhan kita.
Ketiga, Islam disebut sebagai dinur ridha (agama keridhaan).
Maksudnya, Islam adalah agama yang mengajarkan keridhaan, kerelaan, dan penerimaan terhadap tuntunan Allah Ta’ala yang diajarkan oleh rasul-Nya berupa dinul Islam. Dengan kata lain ar-ridha adalah tumbuhnya al-i’tinaq (kepercayaan) dan al-iltizam (komitmen) yang kuat kepada Allah, Islam, dan Rasul-Nya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ذَاقَ طَعْمَ الْإِيمَانِ مَنْ رَضِيَ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولًا
“Akan merasakan kelezatan iman, orang yang ridha Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai Rasul” (HR Muslim).
Dengan sikap seperti itulah seseorang akan mendapatkan iqbalullah (penyambutan dari Allah Ta’ala), penyambutan dari kerajaan langit dalam keadaan radhiyatan (ridha) dan mardhiyatan (diridhai),
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ﴿٢٧﴾ ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً ﴿٢٨﴾ فَادْخُلِي فِي عِبَادِي ﴿٢٩﴾ وَادْخُلِي جَنَّتِي ﴿٣٠﴾
“Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai; lalu masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. Al-Fajr, 89: 27-30)
Keempat, Islam disebut sebagai dinul fithrah (agama kefitrahan).
Maksudnya, Islam adalah agama yang musayaratul fithrah (selaras dengan fitrah, sifat, watak dasar, karakter, dan naluri manusia). Islam melakukan muhafadzatan (penjagaan), ri’ayatan (pemeliharaan), tanmiyatan (pengembangan), dan taujihan (pengarahan) terhadap fitrah ini agar menjadikan dinul Islam sebagai wijhah-nya. Dengan demikian ia akan senantiasa terjaga di atas fitrahnya yang murni; cenderung kepada kebenaran dan kepatuhan kepada Allah Ta’ala,
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar-Rum, 30: 30)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلا أُحَدِّثُكُمْ بِمَا حَدَّثَنِي اللَّهُ فِي الْكِتَابِ ، أَنَّ اللَّهَ خَلَقَ آدَمَ وَبَنِيهِ حُنَفَاءَ مُسْلِمِينَ ، وَأَعْطَاهُمُ الْمَالَ حَلالا لا حَرَامَ فِيهِ ، فَجَعَلُوا مِمَّا أَعْطَاهُمُ اللَّهُ حَلالا وَحَرَامًا
“Apakah kamu suka aku menceritakan kepadamu apa yang telah diceritakan Allah kepadaku dalam Kitab-Nya? Sesungguhnya Allah telah menciptakan Adam dan anak cucunya cenderung kepada kebenaran dan patuh kepada Allah. Allah memberi mereka harta yang halal tidak yang haram. Lalu mereka menjadikan harta yang diberikan kepada mereka itu menjadi halal dan haram.” (H.R. Iyad bin Himar)
Seluruh sebutan terhadap Islam ini menegaskan bahwa Islam adalah dinul quwwah, yakni agama yang kuat, solid, teguh, tegas, berenergi, mulia, tinggi, hebat, tak terkalahkan, kokoh, unggul, dan tangguh.
Wallahu a’lam.
Lampiran:
Bagan: Contoh Karakter Tsabat dan Murunah Ajaran Islam
Tsabat | Murunah |
Islam memerintahkan musyawarah (42: 38, 3: 159) | Teknis musyawarah tidak diatur dan diserahkan kepada kaum muslimin.
|
Islam memerintahkan untuk menghukumi manusia secara adil (4: 58, 5: 49) | Bentuk dan teknis pengadilan tidak ditentukan. Hakim tunggal atau kolektif? Berjenjang atau terpusat? Perlukah pemisahan pengadilan pidana dan perdata?
|
Islam melarang menjadikan orang-orang kafir menjadi wali (3: 28) | Pengecualian dalam situasi darurat (3: 28, 16: 106, 4: 148)
|
Islam mengharamkan bangkai, darah, daging babi, dll (5: 3) | Pengecualian dalam situasi darurat (5: 3, 2: 173)
|
Islam melarang melakukan penghancuran dan perusakan (7: 56, 11: 85)
| Pengecualian saat perang berusaha menghancurkan musuh (59: 5) |
Dalam sirah nabawiyah kita temukan sikap tsabat Rasulullah: (1) Rasulullah diperintahkan menolak tawaran negosiasi kafir Quraisy dalam hal saling menyembah sesembahan masing-masing (109: 1 – 6); (2) Rasulullah menolak tawaran kesenangan dunia agar menghentikan dakwah; (3) Rasulullah menolak syarat kabilah Bani Amir bin Sha’sha’ah yang siap masuk Islam dan membela beliau tapi dengan catatan mereka harus diberi kekuasaan setelah itu; (4) Rasulullah menolak negosiasi Musailamah Al-Kadzab yang ingin membagi wilayah kekuasaan dengan beliau. | Dalam sirah nabawiyah kita temukan sikap murunah Rasulullah: (1) Dalam perang khandaq beliau sempat bermaksud memberikan sejumlah hasil panen kurma Madinah kepada Bani Ghatafan agar mereka keluar dari barisan pasukan Ahzab; (2) Rasulullah mengizinkan Nu’aim bin Mas’ud Al-Asyja’i untuk melakukan tipu muslihat (kebohongan) guna memecah belah antara Quraisy dan Yahudi dalam perang Ahzab; (3) Dalam perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah menerima berbagai syarat ‘yang menyakitkan’ bagi muslimin karena pandangannya yang jauh ke depan; (4) Dalam perjanjian itu Rasulullah juga menyetujui penghapusan kata Bismillahirrahmanirrahim dan Muhammad Rasulullah yang tertulis dalam naskah.
|
Rasulullah tegas dalam menetapkan hukuman bagi wanita Bani Makhzum yang mencuri. | Rasulullah pernah melarang penerapan hukum potong tangan pada saat peperangan, karena dikhawatirkan pencuri itu akan lari dan bergabung dengan musuh.
|
Rasulullah keras dan tegas dalam melaksanakan perkara-perkara fardhu seperti shalat, zakat, puasa dan yang lainnya. | Rasulullah mengajarkan rukhshoh dalam masalah shalat dan puasa, seperti ketika sakit, bepergian, salah, lupa, dan suasana terpaksa, dll. Membolehkan qashar, jama’ dalam shalat; membolehkan tayamum.
|
Rasulullah menolak syarat seorang wanita yang membuat ketentuan sendiri yang bertentangan dengan syariat agar bisa membebaskan anaknya dari hukuman rajam (lihat haditsnya di madah Wadhifatur Rasul, point tentang tugas rasul untuk menjelaskan kaifiyat ibadah). | Rasulullah membolehkan syarat yang ditentukan diantara dua pihak yang tidak bertentangan dengan nash atau kaidah syara’. Rasulullah bersabda,الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِيْنَ إِلاَّ صُلْحًا حَرّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا“Perjanjian dengan sesama muslimin itu diperbolehkan kecuali perjanjian yang menghalalkan suatu yang haram atau mengharamkan suatu yang halal. Dan kaum Muslimin harus memenuhi syarat-syarat yang telah mereka sepakati kecuali syarat yang mengharamkan suatu yang halal atau menghalalkan suatu yang haram.”
|
Catatan Kaki:
[1] Khashaisul Islam, terjemah Rofi’ Munawwar, hal. 242