Di dunia ini kita melihat ada masyarakat yang senantiasa diliputi oleh perasaan dengki, rasis (kesukuan), fanatisme kebangsaan atau diliputi oleh rasa cinta tanah air yang membabi buta. Kita jumpai mereka itu berbeda-beda dalam mernberikan sikap mendukung atau memusuhi, mencintai atau membenci, dan perasaan marah atau ridha (senang).
Masyarakat Islam pun memiliki ciri khas dalam masalah perasaan dan kasih sayang. Mereka memberikan wala’ (loyalitas) sepenuhnya kepada lslam dan kaum Muslimin. Sebagaimana mereka telah memberikan permusuhannya kepada musuh-musuh lslam dan orang-orang yang memeranginya. Ini semua semata-mata tegak di atas prinsip berwala’ kepada Allah dan Rasul-Nya. Karena barangsiapa mengambil Allah sebagai walinya, berarti dia telah menjadikan musuh Allah sebagai musuhnya.
Masyarakat lslam memiliki ciri khas dalam hidupnya, yaitu selalu diliputi oleh persaudaraan yang kuat dan perasaan cinta yang dalam di antara sesama mereka seluruhnya. Meskipun tempat tinggal mereka berjauhan, tanah air mereka berpencaran, jenis dan warna kulit mereka bermacam-macam, serta posisi dan status sosial mereka berbeda-beda.
Sesungguhnya Allah Ta’ala telah memberikan kemuliaan kepada ummat lslam dengan nikmat persaudaraan, sebagaimana Allah telah memberi karunia kepada mereka berupa keimanan. Allah Ta’ala berfirman,
“Dia-lah (Allah) yang memperkuatmu (Muhammad) dengan pertolongan-Nya dan dengan para mukmin, dan yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Jikalau kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al Anfal, 8: 62-63)
Sesungguhnya tidak ada peluang dalam masyarakat Islam yang benar bagi tumbuhnya perasaan benci dan pertarungan antar kelas (kaya dan miskin), tidak pula perasaan sombong dan sentimen antara jenis dan warna, tidak pula perasaan fanatisme terhadap asal daerah dan bumi mana pun dari bumi Islam, atau kaum yang mana pun dari kaum Muslimin, meskipun itu keluarga dan kerabatnya, karena tanah air seorang Muslim adalah darul Islam dan keluarga seorang Muslim adalah keluarga Islam.
Masjid Nabawi di Madinah, di bawah atapnya telah terhimpun berbagai suku bangsa dengan beragam warna kulit dan tingkatan manusia’ tetapi mereka tidak memiliki perasaan apa-apa kecuali perasaan bersaudara secara menyeluruh. Mereka tidak merasakan adanya perbedaan antara satu sama lain. Ada yang dari Persia seperti Salman, ada yang dari Romawi seperti Shuhaib, dan ada yang dari Habasyah (Etiopia) yaitu Bilal. Di antara mereka ada yang kaya seperti Utsman bin ‘Affan, Abdur Rahman bin ‘Auf dan ada yang fakir seperti Abu Dzar dan ‘Ammar. Ada yang Badui (orang pegunungan) dan ada yang dari kota, ada yang berpendidikan dan ada yang buta huruf, ada yang berkulit putih dan ada yang berkulit hitam, laki-laki dan wanita, yang lemah dan yang kuat, yang budak dan yang merdeka, semuanya bersaudara di bawah naungan Islam dan di bawah panji Al Qur’an.
Sesungguhnya persaudaraan Islam itulah perekat yang mengikat antara batu bata individu Muslim dalam sebuah bangunan yang kokoh dan tidak mudah roboh. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الْمُؤْمِنُ للْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضاً وَشَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ
“Mukrmin yang satu terhadap mukmin yang lain itu bagaikan bangunan yang mengikat antara sebagian dengan sebagian yang lainnya.” (HR. Muttafaqun ‘Alaih).
Persaudaraan Islam bukanlah suatu permasalahan sampingan dalam Islam, tetapi ia merupakan salah satu prinsip dasar yang menyertai syahadah (persaksian) terhadap keesaan Allah dan kesaksian bahwa Muhammad sebagai Rasul, karena ukhuwah merupakan buah dan konsekwensi keimanan, Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara.” (QS. Al Hujurat, 49: 10)
Diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berdoa setelah shalat dengan doa yang menarik berikut ini, “Ya Allah, ya Tuhan karni! dan Tuhan segala sesuatu dan pemiliknya, sesungguhnya saya bersaksi bahwa Engkau adalah Allah Yang Esa, tiada sekutu bagi-Mu. Ya Allah, ya Tuhan kami dan Tuhan segala sesuatu serta pemiliknya, saya bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah hamba dan utusanMu. Ya Allah ya Tuhan kami dan Tuhan segala sesuatu serta pemiliknnya, saya bersaksi bahwa seluruh hamba-Mu itu bersaudara.”
Inilah Muhammad, Rasulullah yang bersaksi dan berikrar bahwa Allah adalah Rabb-nya segala sesuatu dan bahwa sesungguhnya seluruh hamba Allah itu bersaudara. Inilah persaudaraan Islam, mereka bersaudara dengan seluruh manusia secara umum dan bersaudara dengan kaum Muslimin secara khusus.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan persaudaraan dan cinta sebagai syarat keimanan, di mana keimanan itu sendiri merupakan persyaratan seseorang untuk dapat masuk surga. Beliau bersabda,
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلَا تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّو
“Demi Dzat yang diriku berada di tangan-Nya, sungguh kalian tidak akan masuk surga hingga kalian beriman, dan kalian tidak akan beriman hingga kalian saling mencintai.” (HR. Muslim)
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Belum sempurna iman salah seorang di antara kamu hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya.” (HR. Muttafaqun ‘Alaih)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menjelaskan hubungan seorang Muslim dengan Muslim yang lainnya dengan sabdanya,
لاَ تَحَاسَدُوا وَلاَ تَنَاجَشُوا وَلاَ تَبَاغَضُوا وَلاَ تَدَابَرُوا وَلاَ يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَكُوْنُوا عِبَادَ اللهِ إِخْوَاناً . الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يَخْذُلُهُ وَلاَ يَكْذِبُهُ وَلاَ يَحْقِرُهُ . التَّقْوَى هَهُنَا –وَيُشِيْرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ – بِحَسَبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ، كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ
“Janganlah kalian saling dengki, saling menipu, saling marah dan saling memutuskan hubungan. Dan janganlah kalian menjual sesuatu yang telah dijual kepada orang lain. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lainnya, (dia) tidak menzaliminya dan mengabaikannya, tidak mendustakannya dan tidak menghinanya. Taqwa itu disini (seraya menunjuk dadanya sebanyak tiga kali). Cukuplah seorang muslim dikatakan buruk jika dia menghina saudaranya yang muslim. Setiap muslim atas muslim yang lain; haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya.” (Hadits Riwayat Muslim).
Satu-satunya ikatan yang diakui oleh Islam adalah ikatan persaudaraan antar kaum Muslimin, tanpa ikatan yang lainnya, sungguh Islam telah memerangi fanatisme (kebanggaan) dengan segala macamnya, kebanggaan terhadap kabilah atau kebangsaan, warna kulit, tanah air, tingkatan atau golongan, atau selain itu yang pada umumnya dibanggakan oleh manusia, kecuali kebanggan terhadap kebenaran yang ditegaskan oleh wahyu dan tegak dengannya langit dan bumi.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ دَعَا إِلَى عَصَبِيَّةٍ ٬ وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ قَاتَلَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ ٬وَلَيْسَ مِنَّامَنْ مَاتَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ٠
“Bukan termasuk golongan kami orang yang menyeru pada ashabiyah (kebanggaan golongan), dan bukan termasuk golongan kami orang yang berperang karena ashabiyah, dan bukan termasuk golonganku orang yang mati karena ashabiyah.” (HR. Abu Dawud)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menggambarkan masyarakat Islam sebagai masyarakat yang penuh mawaddah, saling mencintai dnn saling kasih mengasihi sebagaimana dalam sabdanya,
تَرَى الْمُؤْمِنِيْنَ فِيْ تَرَاحُمِهِمْ وَ تَوَادِّهِمْ وَ تَعَاطُفِهِمْ كَمَثَلِ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى عُضْوًا تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ جَسَدِهِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَى
“Kami, melihat orang-orang yang beriman itu dalam mencintai, lemah lembut dan saling mengasihi (di antara mereka) seperti tubuh yang satu, apabila ada anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuh ikut sakit, demam dan tidak bisa tidur.” (HR. Muslim)
Oleh karena itu masyarakat yang orang-orangnya hidup secara sendiri-sendiri, tidak mau membantu atau merasakan sakit orang lain dan tidak ikut merasakan kesusahan mereka serta tidak bergembira dengan kegembiraan mereka maka bukanlah masyarakat Islam.
Demikian juga dalam masyarakat, yang kuat menekan yang lemah, yang kaya bersikap keras terhadap yang fakir, yang punya bersikap pelit terhadap yang tidak punya bukanlah masyarakat Islam.
Peranan masyarakat Islam terhadap masya’ir Islamiyah (syi’ar, perasaan, emosi Islam) itu tergambar dalam beberapa hal berikut ini:
Pertama, memperkuat masya’ir itu dan meluruskannya serta menyebarkannya dengan segala sarana penerangan dan pendidikan, seperti masjid, sekolah, buku, surat kabar, radio, televisi’ dan theater dan seluruh sarana yang dapat merealisasikan tujuan.
Sungguh kita bisa melihat bagaimana Rasulullah memperkuat perasaan bersaudara di antara kaum Muslimin itu dengan berdoa setiap selesai shalat: “Ya Allah Tuhan kami, dan Rabb segala sesuatu serta pemiliknya, saya bersaksi bahwa sesungguhnya seluruh hamba-Mu itu bersaudara.”
Doa ini untuk memperkuat nilai yang besar. Di antara nikmat yang dimiliki oleh kaum Muslimin adalah bahwa pemikiran dan perasaan yang dibawa oleh agama mereka tidak sekedar ide yang cemerlang, tetapi juga disertai dengan syiar-syiar ibadah, dan tata cara kehidupan sehari-hari. Sehingga ketika kita melihat shalat dalam Islam, maka kita akan mendapatkan bahwa shalat itu menegaskan secara kontinyu terhadap apa yang didakwahkan oleh Islam, yaitu berupa ta’aruf (saling berkenalan), persaudaraan, cinta dan persamaan hak.
Demikian juga puasa dan haji, adab menghormati, mendoakan orang yang bersin, menjenguk orang yang sakit dan lain-lain dari tata cara bermasyarakat yang ditekankan oleh Islam.
Kedua, mewujudkan perasaan yang Islami dalam realita yang bisa dirasakan dan kondisi-kondisi strategis.
Perasaan kasih sayang dan cinta di antara kerabat harus diwujudkan dalam bentuk silaturahim, saling mengunjungi dan saling menanggung. Hal itu tergambar dalam aturan “nafkah” dalam Islam, yang mewajibkan bagi kerabat yang kaya berinfak kepada kerabatnya yang membutuhkan, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknnya.” (QS. Al-Isra’, 17: 26)
“Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) di dalam Kitab Allah.” (QS. Al Ahzab, 33: 6)
Sebagaimana juga aturan waris, dalam firman Allah Ta’ala,
“Bagi laki-laki ada hak bagian dan harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dan harta peninggalan ibu bapa dan kerabataya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.” (QS. An-Nisaa’, 4: 7)
Perasaan bersaudara dan cinta antar kaum Muslimin wajib diwujudkan dalam bentuk saling memikul beban ma’isyah, saling mendukung dari segi militer, bersatu dalam politik, bekerja sama dalam perekonomian, dengan arti lain hendaklah persaudaraan ini terwujud dalam bentuk seperti zakat yang diambil dari orang-orang kaya mereka untuk diberikan kepada fuqarat mereka, dan juga seperti berjihad yang wajib bagi kaum Muslimin dengan saling menghimpun kekuatan untuk membela setiap bumi Islam yang diinjak-injak oleh telapak kaki musuh yang kafir, juga seperti masalah khilafah yang wajib bagi kaum Muslimin untuk menyatukan qiyadah (kepemimpinan) yang terpancar dari kesatuan aqidah, kesatuan berfikir, kesatuan perilaku dan kesatuan tanah air.
Oleh karena itu kita lihat yang pertama kali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan setelah berhijrah ke Madinah adalah mempersaudarakan antara Muhajirin dan Anshar dengan persaudaraan yang penuh kasih sayang dan penuh beramal, itulah yang menjadikan mereka saling berbagi rasa dalam suasana suka maupun duka, sehingga diriwayatkan bahwa mereka itu saling mewarisi dengan persaudaraan ini.
Ketika persaudaraan yang khusus ini telah selesai, maka tinggal persaudaraan secara umum yang ada pada masyarakat Islam sebagai gambaran tentang sistem takaful (saling melengkapi) yang unik dengan berbagai macam dan bentuknya dan sistem ta’awun (saling kerja sama) yang syamil (universal) antara seluruh individu dan jamaahnya, itulah ta’awun yang digambarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sebaik-baik ilustrasi yaitu seperti bangunan yang saling memperkokoh antara bagian dengan bagian yang lain.
Ketiga, hendaknya masyarakat Islam tidak memberi kesempatan kepada segala sikap yang bertentangan dengan Islam yang muncul dan mempengaruhi dalam masyarakat. Bahkan akarnya harus dicabut sehingga tidak akan muncul lagi.
Oleh karena itu kita melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membebaskan dirinya dari sikap ashabiyah (kesombongan) yang menghilangkan ukhuwah Islamiyah. Nabi memeranginya dengan terus terang dan tegas karena khawatir terhadap masyarakat Islam yang baru kalau dirusak oleh ikatan kesukuan jahiliyah yang sudah berlaku dalam kurun waktu yang cukup lama, yang menjadikan seseorang itu marah karena anaknya, baik dalam keadaan benar atau keliru, zhalim atau dizhalimi, karena itu datang suatu hadits yang mulia yang antipati terhadap setiap orang yang mengajak pada ashabiyah atau berperang karena ashabiyah atau mati karena ashabiyah.
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَمَنْ قُتِلَ تَحْتَ رَايَةٍ عِمِّيَّةٍ يَغْضَبُ لِلْعَصَبِيَّةِ أَوْ يُقَاتِلُ لِلْعَصَبِيَّةِ أَوْ يَدْعُو إِلَى الْعَصَبِيَّةِ فَقِتْلَتُهُ جَاهِلِيَّةٌ
“Siapa saja yang terbunuh di bawah panji kesukuan, dia marah karena Ashabiyah, atau berperang untuk Ashabiyah atau menyerukan Ashabiyah, maka dia mati Jahiliyah.” (HR. Ahmad)
Ketika ada seorang Yahudi jahat berhasil membangkitkan semangat kesombongan jahiliyah antara Aus dan Khazraj, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam segera memadamkan api fitnah itu dengan cahaya iman dan mengembalikan mereka pada persaudaraan Islam.
Para ulama ahli tafsir menyebutkan suatu riwayat dari Muhammad bin Ishaq dan lainnya, bahwa ada seorang laki-laki dari Yahudi sedang lewat bertemu dengan kaum Aus dan Khazraj, maka orang itu merusak kesepakatan dan kerukunan yang ada pada mereka. Orang itu mengutus seseorang untuk duduk bersama mereka dan mengingatkan mereka ketika mereka berperang pada hari “Bu’ats” dan yang lainnya pada masa-masa jahiliyah, maka orang yang diutus itu melaksanakan perintahnya, dan terus menerus melakukannya hingga memanaslah nafsu kaum itu. Mereka saling membenci antara sebagian mereka dengan sebagian yang lain, mereka bergejolak dan saling memanggil dengan syiar mereka, “Wahai Aus, Wahai Khazraj.” Mereka saling mempersiapkan senjata mereka dan saling berjanji untuk bertemu di suatu tempat. Sampai kemudian hal itu terdengar oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta orang yang bersamanya dari sahabat Muhajirin mendatangi mereka’ lalu Nabi bersabda, “Wahai kaum Muslimin, Allah! Allah! (takutlah kalian kepada Allah) Apakah kalian menyeru dengan seruan jahilyah, sedang saya berada di tengah-tengah kalian? Setelah Allah menunjuki kalian kepada Islam, dan memuliakan kalian dengan Islam, dan memutuskan perkara jahiliyah dari kalian, menyelamatkan kalian dengan Islam itu dari kekufuran, dan mempertemukan hati kalian, lalu kalian mau kembali kepada kekufuran yang dahulu pernah kalian lakukan?!” . Sehingga kaum itu sadar bahwa itu adalah godaan syetan dan tipu daya dari musuh mereka, maka mereka meletakkan senjata dari tangan mereka dan mereka menangis saling berpelukan, kemudian mereka tetap bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan setia dan taat.[1]
Demikianlah yang wajib dilakukan oleh masyarakat Isiam, yakni selalu ingat pada pintu-pintu masuk syetan untuk merusak hati mereka dan membangkitkan di antara mereka seruan-seruan jahiliyah.
Dari sinilah maka masyarakat Islam wajib dibebaskan dari pengaruh-pengaruh fanatisme kebangsaan dan Nasionalis yang menyerang kehidupan kaum Muslimin untuk mengganti ukhuwah Islamiyah dan persatuan Islam. Tidaklah salah bagi seorang Muslim untuk mengarahkan perhatiannya lebih besar kepada kaumnya yang lebih dekat dan tanah airnya secara khusus, karena ini merupakan pembawaan fithrah, tetapi hal ini harus berda dalam lingkup ketaatannya secara menyeluruh kepada Islam.
Keempat, hendaknya masyarakat Islam menutup jendela yang berhembus darinya angin permusuhan dan perpecahan, dan berusaha memberantas berbagai faktor yang merusak nilai-nilai persaudaraan Islam dan solidaritas Islam. Inilah rahasia mengapa Islam mengharamkan ghibah (menggunjing), mengadu domba, menghina terhadap orang lain’ dan memasukkan itu semua sebagai kerusakan moral yang memutus tali ukhuwah dan membunuh rasa cinta di antara manusia.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلَاقًا وَإِنَّ أَبْغَضَكُمْ إِلَيَّ وَأَبْعَدَكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الثَّرْثَارُونَ وَالْمُتَشَدِّقُونَ وَالْمُتَفَيْهِقُونَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ عَلِمْنَا الثَّرْثَارُونَ وَالْمُتَشَدِّقُونَ فَمَا الْمُتَفَيْهِقُونَ قَالَ الْمُتَكَبِّرُونَ
“Sesungguhnya orang yang paling aku cintai di antara kalian dan yang paling dekat kedudukannya denganku di hari kiamat kelak adalah orang yang terbaik akhlaqnya. Dan orang yang paling aku benci dan paling jauh dariku pada hari kiamat kelak adalah tsartsarun[2], mutasyaddiqun[3] dan mutafaihiqun.” Sahabat berkata: “Ya Rasulullah… kami sudah tahu arti tsartsarun dan mutasyaddiqun, lalu apa arti mutafaihiquun?” Beliau menjawab, “Orang yang sombong.” (HR. Tirmidzi, ia berkata ‘hadits ini hasan gharib’. Hadits ini dishahihkan oleh al-Albani dalam kitab Shahih Sunan Tirmidzi)
Bukanlah Masyarakat Islam
Bukanlah masyarakat Islam apabila selalu diliputi oleh perasaan dendam yang muncul akibat kezaliman, perlakuan buruk sebagian orang terhadap sebagian yang lain. Dendam juga bisa dipicu oleh faktor luar yang berupaya memecah belah masyarakat menjadi beberapa strata dan menyulut api pertikaian antarkelas sosial.
دَبَّ اِلَـيْكُمْ دَاءُ اْلاُمَمِ قَـبْلَكُمْ: اَلْحَسَدُ وَ اْلبَغْضَاءُ هِيَ اْلحَالِـقَةُ. لاَ اَقُوْلُ تَحْلِقُ الشَّعْرَ، وَلكِنْ تَحْلِقُ الدِّيـْنَ. وَ الَّذِيْ نَـفْسِى بِيَدِهِ، لاَ تَدْخُلُوا اْلجَنَّةَ حَتَّى تُـؤْمِنُوْا، وَ لاَ تُـؤْمِنُوْا حَتَّى تَحَابُّـوْا. الـتـرمذى
“Penyakit umat-umat sebelum kamu telah menjangkiti kepada kamu sekalian, yaitu kedengkian dan permusuhan. Itulah sang pencukur. Aku tidak mengatakan mencukur rambut, tetapi mencukur agama. Demi Dzat yang diriku berada di tangan-Nya, kamu sekalian tidak akan masuk surga sehingga kamu sekalian beriman, dan kamu tidak beriman sehingga saling berkasih sayang”. (HR. Tirmidzi)
Bukanlah masyarakat Islam apabila lebih mengutamakan fanatisme kebangsaan daripada ukhuwah islamiyah. Bukanlah disebut masyarakat Islam apabila mereka memusuhi kaum Muslimin dan mencintai musuh-musuh Islam.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali[4] dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu Mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu) ?” (QS. An-Nisa, 4: 144)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu Termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Maidah, 5: 51)
Di dalam masyarakat muslim, sikap kasih sayang itu diberikan kepada seluruh makhluk Allah, tidak terkecuali binatang. Namun demikian, kita tidak boleh mencampuradukkan antara loyalitas dengan berbuat baik dan merasa kasihan. Oleh karenanya, pengkhususan loyalitas bagi kaum Muslimin tidak lantas meninggalkan berbuat baik, bersikap adil, dan lemah lembuh terhadap orang lain.
Catatan Kaki:
[1] Tafsir Ibnu Katsir dan Ruhul Ma’ani Al-alusi dalam menafsirkan surah Ali Imran ayat 100.
[2] Orang yang banyak bicara dan suka menyerobot pembicaraan orang lain. Apabila dia duduk ngobrol dalam suatu majelis dia sering menyerobot pembicaraan orang lain, sehingga seolah-olah tidak boleh ada yang bicara dalam majelis itu selain dia. Dia berbicara tanpa membiarkan orang lain leluasa berkata-kata.
[3] Orang yang suka berbicara dengan gaya bicara yang meremehkan orang lain seolah-olah dia adalah orang paling fasih, itu dilakukannya karena kesombongan dan bangga diri yang berlebihan.
[4] Wali jamaknya auliyaa: berarti teman yang akrab, juga berarti pelindung atau penolong.