Matan Hadits:
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِيِّ قَالَ
أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ دُلَّنِي عَلَى عَمَلٍ إِذَا أَنَا عَمِلْتُهُ أَحَبَّنِي اللَّهُ وَأَحَبَّنِي النَّاسُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ وَازْهَدْ فِيمَا فِي أَيْدِي النَّاسِ يُحِبُّوكَ النَّاسِ. حديث حسن ، رواه ابن ماجه وغيره بأسانيد حسنة
Dari Sahl bin Sa’ad As Sa’idi, dia berkata: “Datang seorang laki-laki kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu dia berkata: “Wahai Rasulullah, tunjukkan kepadaku kepada perbuatan yang jika saya kerjakan maka Allah dan manusia akan mencintaiku.” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Zuhudlah kamu di dunia niscaya Allah akan mencintaimu, dan zuhudlah kami terhadap apa-apa yang dimiliki oleh manusia niscaya manusia akan mencintaimu.” Hadits hasan, diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan lainnya dengan berbagai sanad yang baik.
Takhrij Hadits:
- Imam Ibnu Majah dalam Sunan-nya No.4102
- Imam Al Hakim dalam Al Mustadrak 7873
- Imam Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir 5972
- Imam Al Qudha’i dalam Musnad Asy Syihab 643
- Imam Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah 4037
Dalam sanad hadits ini terdapat Khalid bin ‘Amru Al Qursyi yang oleh para Imam disebut sebagai wadhaa’ (pemalsu hadits), dan mereka sepakat meninggalkan haditsnya (Subulus Salam, 4/177). Oleh karenanya Imam Al Baihaqi mengisyaratkan kedhaifan hadits ini. Tetapi hadits ini memiliki sejumlah syawaahid (penguat), sehingga dihasankan oleh Imam An Nawawi dalam kitab Al Arba’un, Riyadhush Shalihin, dan Al Adzkar, juga dihasankan oleh Imam Ibnu Hajar (Bulughul Maram, Hal. 277. Cet. 1, 2004M-1425H. Darul Kutub Al Islamiyah), juga dihasankan oleh Syaikh Al Albani (As Silsilah Ash Shahihah No. 944) dalam kitab lain Syaikh Al Albani menshahihkannya (Shahihul Jami’ No. 922). Sementara Imam Al Hakim menshahihkannya. (Al Mustadrak No. 7873), tetapi penshahihan ini dikoreksi imam lainnya, seperti Imam As Sakhawi (Al Maqashid Al Hasanah No. 96) dan Imam Ash Shan’ani (Subulus Salam, 4/177), karena faktor Khalid bin ‘Amru Al Qursyi.
Makna dan Kandungan Hadits Secara Umum
Hadits ini sangat dalam dan penting maknanya, sampai-sampai ada yang menyebut termasuk poros ajaran agama Islam.
Imam Ibnu Abdil Bar Rahimahullah menjelaskan:
روينا عن أبي داود السجستاني رحمه الله أنه قال أصول السنن في كل فن أربعة أحاديث أحدها حديث عمر بن الخطاب عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال “إنما الأعمال بالنيات ولكل امرئ ما نوى” والثاني حديث النعمان بن بشير عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال “الحلال بين والحرام بين وبين ذلك أمور مشتبهات فمن اتقى الشبهات استبرأ لدينه وعرضه” الحديث والثالث حديث أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم “من حسن إسلام المرء تركه ما لا يعنيه” والرابع حديث سهل بن سعد عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال “ازهد في الدنيا يحبك الله وازهد فيما في أيدي الناس يحبك الناس”.
Kami meriwayatkan dari Abu Daud As Sijistani Rahimahullah bahwa dia berkata: “Dasar-dasar sunah dalam setiap perilaku ada pada empat hadits.
Pertama, hadits Umar bin Al Khathab dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa Beliau bersabda: Sesungguhnya amal itu bersama dengan niatnya dan setiap manusia akan mendapatkan nnilai sesuai apa yang diniatkannya.
Kedua, hadits An Nu’man bin Bisyir dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa Beliau bersabda: Perkara halal itu sudah jelas, dan yang haram sudah jelas, di antara keduanya ada yang masih samar, maka barang siapa yang menghindar dari yang samar berarti dia telah menjaga agama dan kehormatan dirinya.
Ketiga, hadits dari Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa Beliau bersabda: Di antara bagusnya keislaman seseorang adalah dia meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya.
Keempat, hadits dari Sahl bin Sa’ad As Saidi dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa Beliau bersabda: Zuhudlah kamu di dunia niscaya Allah akan mencintaimu dan zuhudlah kamu terhadap apa-apa yang dimiliki manusia niscaya manusia akan mencintaimu. (Imam Ibnu Abdil Bar, At Tamhid, 9/201)
Dalam hadits ini memiliki beberapa pelajaran:
- Keutamaan dan kemuliaan zuhud, dan anjuran agar kita zuhud terhadap kehidupan dunia; baik harta, jabatan, pangkat, kedudukan di masyarakat, dan perhiasan dunia lainnya.
Apakah zuhud itu? Yaitu mengambil kehidupan dunia yang dia perlukan saja, dan meninggalkan yang tidak diperlukan walaupun halal. Al Jauhari mengatakan bahwa zuhud adalah lawan dari targhib (keinginan), dan Al Muzhid artinya qaliilul maal (harta yang sedikit).
Beliau mengatakan:
والزَهيدُ: القليل. يقال: رجل زَهيدُ الأكل. ووادٍ زَهيدٌ: قليل الأخذ للماء، ويقال: خذ زَهْدَ ما يكفيك، أي قدر ما يكفيك
Az Zahiid adalah Al Qaliil (sedikit). Disebutkan: Rajulun zahiidul akl (laki-laki yang sedikit makannya). Dan, waadin zahiidun artinya sedikit mengambil airnya. Disebutkan: khudz zahda maa yakfiika artinya ambillah sesuai kadar yang kau butuhkan. (Al Jauhari, Ash Shihah fil Lughah, 1/293. Mawqi’ Al Waraq)
Dalam Al Mu’jam Al Wasith disebutkan:
ويقال زهد في الدنيا ترك حلالها مخافة حسابه وترك حرامها مخافة عقابه
Dikatakan, zuhud di dunia adalah dengan meninggalkan hal-hal yang halal karena takut terhadap hisabNya, dan meninggalkan yang haram karena takut terhadap siksaNya. (Al Mu’jam Al Wasith, 1/403)
Jadi, zuhud bukan sama sekali meninggalkan dunia, tetapi mengambilnya sesuai apa yang dibutuhkannya secara cukup dan tidak berlebihan. Misalnya, seseorang yang memiliki anak sepuluh lalu dia membangun rumah dengan banyak kamar bahkan bertingkat, karena itulah yang dia butuhkan, maka ini tidak dikatakan keluar dari cakupan zuhud. Contoh lain, seseorang yang membeli sebuah mobil dengan ukuran yang cukup besar karena memang anggota keluarganya juga banyak, maka ini juga tidak keluar dari cakupan zuhud. Tidak lagi dikatakan zuhud, seseorang yang hanya memiliki satu anak tapi membangun rumah besar dan mewah, padahal keadaan diri dan keluarganya tidak menuntutnya untuk itu. Tidak pula dikatakan zuhud, seseorang yang memiliki beberapa mobil, padahal anaknya hanya satu atau dua dan masih kecil-kecil, padahal satu mobil juga sudah cukup. Namun, memang hal ini masing-masing keluarga berbeda kasus dan keadaannya, dan tidak bisa dipukul rata.
- Menurut hadits ini zuhud terhadap dunia adalah penyebab kecintaan Allah (mahabbatullah) kepada kita.
Hal ini sesuai pula dengan ayat: Innallaha laa yuhibbul musrifiin (sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan). Mafhum mukhalafah (makna implisit)nya adalah Allah Ta’ala menyukai orang-orang yang tidak berlebihan, yang mengambil dunia sesuai apa yang dibutuhkan saja, dia tidak tamak dan menjadikan dunia sebagai tujuan utamanya, itulah zuhud.
Baca juga:
- Hadits ini juga menunjukkan bahwa zuhud terhadap harta yang ada pada orang lain merupakan sebab lahirnya cinta manusia kepadanya. Sebab, orang tersebut merasa cukup terhadap apa yang ada pada dirinya sendiri sehingga dia tidak merasa perlu iri dan dengki kepada orang lain. Hal itu membuat keberadaan dirinya bukan ancaman bagi orang lain, dan mereka pun selamat dari keburukan hati, lisan, dan tangannya.
- Hadits ini juga menunjukkan kebolehan seseorang melakukan aktifitas yang melahirkan rasa cinta dari saudaranya. Hal itu bukan “menjilat”, tetapi masyru’ (dibenarkan syariat). Seperti tersenyum, memberikan hadiah, mengucapkan salam, dan kebaikan lainnya. Semuanya diterangkan oleh nash yang dengannya akan mendapatkan cinta dari saudara sesama muslim.
Syaikh Ismail Muhammad Al Anshari Rahimahullah mengatakan:
أنه لا بأس بالسعي فيما تكتسب به محبة العباد مما ليس بمحرم ، بل هو مندوب إليه ، كما يدل عليه الأمر بإفشاء السلام ، وغير ذلك من جوالب المحبة التي أمر بها الشارع .
Tidak apa-apa melakukan aktifitas yang dapat menghasilkan cinta dari manusia selama aktifitas tersebut bukan yang diharamkan, bahkan itu dianjurkan untuk dilakukan, sebagaimana hal itu ditunjukkan oleh perintah seperti menyebarkan salam dan selainnya yang termasuk perbuatan yang diperintahkan oleh Asy Syaari’ (pembuat syariat) untuk meraih perasaan cinta sesama manusia. (At Tuhfah Ar Rabbaniyah, hadits No. 31)
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لَا تَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلَا تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا أَوَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ أَفْشُوا السَّلَامَ بَيْنَكُمْ
Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman, dan kalian tidak beriman sampai kalian saling mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan kepada sesuatu yang jika kalian lakukan maka kalian akan saling mencintai? Yaitu sebarkan salam di antara kalian. (HR. Muslim No. 54)
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
تهادوا تحابوا
Salinglah memberi hadiah niscaya kalian saling mencintai. (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad No. 594. Dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Adabil Mufrad No. 594)
Makna Kata dan Kalimat:
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِيِّ قَالَ: Dari Sahl bin Sa’ad As Sa’idi, dia berkata
Dia adalah Abul ‘Abbas Sahl bin Sa’ad As Sa’idi Al Anshari. Ada pula yang menyebutnya Abu Yahya Sahl bin Sa’ad bin Malik bin Khalid bin Tsa’labah bin Haritsah bin Amru bin Al Khazraj bin Sa’adah bin Ka’ab bin Khazraj Al Anshari As Sa’idi Al Madini. Dahulu namanya adalah Hazanan (sedih), lalu oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam diganti menjadi Sahlan (mudah).
Az Zuhri mengatakan bahwa Beliau menerima hadits langsung dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ketika nabi wafat Beliau berusia 15 tahun. Beliau wafat di Madinah pada tahun 88 H, ada yang menyebut tahun 91 H, saat itu usai nya 100 tahun. Ibnu Sa’ad mengatakan, bahwa Beliau termasuk di antara sahabat nabi yang di Madinah yang wafatnya belakangan, dan ini tidak diperselisihkan. Ada juga yang menyebut hal itu masih diperselisihkan.
Beliau meriwayatkan hadits dari nabi sebanyak 188 hadits, 28 hadits disepakati keshahihannya (Bukhari-Muslim), dan yang riwayat Bukhari saja ada 11 hadits. Ulama yang mengambil hadits darinya seperti Az Zuhri, Abu Hazim, Yahya bin Maimun Al Hadhrami, dan anaknya Al Abbas. (Tahdzibul Asma wal Lughat, 1/334, Usadul Ghabah, 1/488, Al Jarh wat Ta’dil 4/198)
Selanjutnya:
أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ فَقَالَ : Datang kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam seorang laki-laki, lalu berkata
Tidak diketahui siapa laki-laki yang dimaksud, karena memang tidak disebutkan alias majhuul haal (tidak diketahui keadaannya). Namun, yang jelas dia adalah seorang sahabat nabi, sebab dia seorang muslim, dan pernah melihat nabi bahkan berbicara dengannya. Ketidakjelasan identitas sahabat nabi dalam rantaian sanad hadits tidaklah mengapa.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin Rahimahullah mengatakan:
وهو مجهول لكن جهالة الصحابي لا تضر لأن الصحابة كلهم ثقاة كلهم لا يمكن أن يكذب عن رسول الله – صلى الله عليه وسلم
Dia tidak diketahui, tetapi tidak diketahuinya identitas seorang sahabat nabi tidaklah mengapa, karena semua sahabat nabi adalah terpercaya, tidak mungkin mereka mendustakan riwayat dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. (Asy Syarh Al Mukhtashar ‘Ala Bulughil Maram, 2/7)
Lalu, tentang siapakah yang termasuk kategori sahabat nabi sudah kami bahas pada syarah hadits ke 16, silahkan merujuk!
Selanjutnya:
يَا رَسُولَ اللَّهِ دُلَّنِي عَلَى عَمَلٍ : Wahai Rasulullah tunjukkanlah kepadaku tentang perbuatan
Yaitu beritahukan kepadaku tentang amal perbuatan, sikap, dan perilaku.
Syaik ‘Athiyah bin Muhammad Salim Rahimahullah berkata:
أيها الإخوة! نجد في ألفاظ هذا الحديث تصويراً لاتجاه أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم وبُعد غايتهم، فهذا رجل جاء يسأل رسول الله عن عمل، لا لمال يحصل عليه، ولا لرئاسة يتولاها، ولا لمفخرة في الدنيا؛ ولكن جعل نصب عينيه أن يكون في الدنيا محبوباً عند الناس، وفي الآخرة محبوباً عند الله، فمحبة الله سبحانه غايته، وهكذا حال الصحابة يسعون بكل أعمالهم للحصول على شرف محبة الله سبحانه
Saudara-saudara! Saya melihat dalam hadits ini berbagai ungkapan yang menggambarkan orientasi dan tujuan hidup para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang begitu jauh ke depan. Dia adalah seorang laki-laki yang datang kepada Rasulullah tentang amal, bukan tentang bagaimana mendapatkan harta, menguasai jabatan, dan kemewahan dunia, tetapi amal yang bisa menjadikan dirinya sebagai kecintaan bagi manusia di dunia, dan di akhirat menjadi kecintaan bagi Allah. Jadi, Mahabbatullah adalah tujuannya, demikianlah keadaan para sahabat mereka melaksanakan pada setiap aktifitas mereka dengan tujuan meraih mulianya Mahabbatullah yang Maha Suci. (Syarh Al Arbain An Nawawiyah, Hadits No. 31)
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Asy Syaikh mengatakan:
وهذا خلاف ما يدعيه بعضهم أنه يُكتفي بما يقوم في القلب، وإن كانت الأعمال مخالفة لذلك، بل إنما يحصل حُبُّ الله جل وعلا للعبد بعمل قلبي وعمل بدني من العباد
Apa yang diminta oleh sahabat ini menyelisihi persangkaan sebagian manusia, bahwa apa yang dilakukan di hati sudah cukup walau perbuatannya berbeda dengannya, tetapi cinta Allah Jalla wa ‘Ala akan didapatkan seorang hamba dengan amal hati dan amal badan dari seorang hamba. (Syarh Matn Al Arbain An Nawawiyah, Syarah No. 31)
Selanjutnya:
إِذَا أَنَا عَمِلْتُهُ أَحَبَّنِي اللَّهُ : jika saya lakukan amal itu maka Allah akan mencintai saya
Yaitu jika saya kerjakan dan tunaikan perbuatan tersebut maka dengannya dan karenanya membuat Allah Ta’ala mencintai saya.
Hal ini seharusnya menjadi hasrat setiap mu’min, menjadikan cinta Allah Ta’ala sebagai target besar dalam semua amal perbuatannya. Sebab, mendapatkan cinta Allah Ta’ala untuk kita, merupakan nikmat terbesar di antara nikmat-nikmat terbesar lainnya. Bisa jadi amal tersebut tidak mendatangkan cintanya manusia dan makhluk, bahkan mereka membenci, mencibir, dan menyerangnya, tetapi dengannya justru Allah Ta’ala mencintai orang tersebut dan mengangkatnya sebagai salah satu di antara auliya’ullah (kekasih-kekasih Allah). Ini lebih baik, lebih utama, lebih selamat, dan lebih besar posisinya di sisi Allah Ta’ala.
Adalah Khalid bin Walid Radhiallahu ‘Anhu, Sang Saifullah Al Maslul (Pedang Allah yang Terhunus) ketika ia diturunkan dari jabatannya sebagai panglima perang tertinggi, menjadi prajurit biasa pada masa kekhalifahan Umar Radhiallahu ‘Anhu. Khalifah Umar melakukan itu lantaran kekhawatiran akan terjadi pengkultusan umat saat itu terhadap Khalid bin Walid, sebagai panglima yang selalu sukses melakukan futuhat (penaklukan). Banyak manusia menanyakan hal itu kepada Khalid, ia menjawab,”Laa Uqatil li Umar, walakin uqatil li Rabbi Umar.” (Aku tidak berperang untuk Umar, tetapi aku berperang untuk Tuhannya Umar)
Itulah Khalid! Betapa bedanya ia dengan kita, dari awal hingga akhirnya orientasinya tak berubah, hanya Allah Jalla wa ‘Ala. Shihatul ittijah (sehatnya orientasi) merupakan awal kemenangan da’wah dan jihad. Itulah rahasia kemenangan yang diraih Khalid bin Walid Radhiallahu ‘Anhu dalam setiap aksi jihadnya.
Apakah ada zaman ini, jenderal rela diturunkan menjadi kopral? Direktur menjadi cleaning service? Sulit sekali! Namun Khalid telah menyontohkan, tanpa susah payah, ia telah mendahului kita dalam keimanan, keikhlasan, dan jihad. Ia telah meninggalkan contoh yang sulit kita ikuti, dunia telah mengejarnya, tetapi ia menjauhinya dan membuangnya. Sedangkan kita, selalu mengejar dunia, anehnya justru dunia yang kita kejar tidak berminat dengan kita! Sungguh berbeda, antara manusia yang menjadikan dunia sebagai tujuan, dengan manusia yang menjadikan dunia sebagai ujian dan fitnah.
Dari Zaid bin Tsabit Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ كَانَتْ الدُّنْيَا هَمَّهُ فَرَّقَ اللَّهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنْ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ وَمَنْ كَانَتْ الْآخِرَةُ نِيَّتَهُ جَمَعَ اللَّهُ لَهُ أَمْرَهُ وَجَعَلَ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ
“Barangsiapa dunia merupakan tujuannya, maka Allah memecah belah urusannya dan menjadikan kemiskinan ada di depannya, dan dia tidak mendapatkan dunia kecuali yang telah ditetapkan baginya. Dan, barangsiapa yang akhirat menjadi niatnya, maka Allah menghimpun urusannya, menjadikan kekayaan ada dalam hatinya dan dunia datang kepadanya, dan dunia itu sesuatu yang hina.” (HR. Ibnu Majah No. 4105. Imam Al ‘Iraqi mengatakan: sanadnya jayyid. Lihat Takhrijul Ihya No. 3923. Syaikh Al Albani menshahihkan dalam As Silsilah Ash Shahihah No. 950)
Selanjutnya:
وَأَحَبَّنِي النَّاسُ : dan manusia mencintai saya
Yaitu manusia juga mencintai saya karena amal perbuatan itu. Inilah yang ideal. Amal manusia dapat menghasilkan cinta Allah dan cinta manusia sekaligus kepadanya, karena bagusnya amal tersebut. Tetapi, ini perkara yang sangat sulit. Manusia lebih mudah melakukan amal yang menghasilkan cinta manusia tetapi Allah Ta’ala membencinya, atau Allah Ta’ala mencintainya tetapi manusia tidak menyukainya.
Syaikh Shalih Abdul Aziz Alu As Syaikh berkata:
وهذا السؤال يدل على علو الهمة؛ لأن محبة الله -جل وعلا -غاية المطالب ومحبة الناس للمرء، أو للعبد معناها أداء حقوقهم، والدين قائم على أداء حقوق الله وأداء حقوق العباد، فمن أدى حق الله -جل وعلا -أحبه الله، ومن أدى حقوق العباد وعاملهم بالعدل والإحسان، فإنه يثوب بمحبة الناس له، وهذا الذي يجمع بين الطرفين هو الصالح من عباد الله؛ لأن الصالح هو الذي يقوم بحق الله وحق العباد، والصلاح هو القيام بحقوق الله وحقوق الناس.
Pertanyaan ini menunjukkan hasrat yang tinggi, karena mahabbatullah–Jalla wa ‘Ala– dan cintanya manusia merupakan tujuan dari manusia atau bagi seorang hamba, artinya adalah memenuhi hak-hak mereka. Agama akan tegak dengan menjalankan hak-hak Allah dan menjalankan hak-hak hamba. Barang siapa yang menjalankan hak-hak Allah Jalla wa ‘Ala maka Allah kan mencintainya, dan barang siapa yang memenuhi hak-hak manusia dan berinteraksi dengan mereka dengan adil dan baik , maka dia akan dibalas dengan rasa cinta manusia kepadanya. Inilah hal yang menggabungkan dua sudut, yaitu keshalihan sebagai hamba-hamba Allah. Karena orang shalih adalah orang yang menunaikan hak Allah dan manusia, dan keshalihan itu sendiri adala berjalan dengan hak-hak Allah dan hak-hak manusia. (Syarh Al Arbain An Nawawiyah, 1/244)
Selanjutnya:
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda
ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ : Zuhudlah kamu di dunia, niscaya Allah akan mencintaimu
Yaitu ambil-lah bagian dunia sesuai kebutuhan saja, jangan ambil berlebihan di luar kebutuhan. Hindari sifat tamak dan menjadi hamba dunia sebab dunia itu adalah permainan yang melalaikan. Jadikanlah dunia sebagai tempat mengumpulkan banyak amal shalih untuk masa depan akhirat. Itulah kenapa kita mesti zuhud terhadap kehidupan dunia.
Dari Abu Dzar Al Ghifari Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
الزَّهَادَةُ فِي الدُّنْيَا لَيْسَتْ بِتَحْرِيمِ الْحَلَالِ وَلَا إِضَاعَةِ الْمَالِ وَلَكِنَّ الزَّهَادَةَ فِي الدُّنْيَا أَنْ لَا تَكُونَ بِمَا فِي يَدَيْكَ أَوْثَقَ مِمَّا فِي يَدَيْ اللَّهِ وَأَنْ تَكُونَ فِي ثَوَابِ الْمُصِيبَةِ إِذَا أَنْتَ أُصِبْتَ بِهَا أَرْغَبَ فِيهَا لَوْ أَنَّهَا أُبْقِيَتْ لَكَ
Zuhud di dunia bukanlah mengharamkan yang halal dan bukan pula mengabaikan harta, tetapi zuhud di dunia adalah jangan sampai apa-apa yang ada di tanganmu lebih kuat keterikatannya dibanding apa-apa yang ada pada sisi Allah, dan menjadikan pahala dibalik musibah yang menimpamu lebih kamu sukai, seandainya memang disisakan bagimu. (HR. At Tirmidzi No. 2340, Syaikh Al Albani mengatakan: dhaif jiddan. Lihat Dhaiful Jami’ No. 3194)
Zuhud terhadap dunia membuat kita ringan berjalan dan hati menjadi lapang. Umar bin Khathab Radhiallahu ‘Anhu berkata:
الزهادة في الدنيا راحة القلب والجسد
SIkap zuhud terhadap dunia dapat mengistirahatkan hati dan badan. (Ihya ‘Ulumuddin, 6/195, Lihat juga Kanzul ‘Ummal No. 8550)
Baca juga:
Selanjutnya:
وَازْهَدْ فِيمَا فِي أَيْدِي النَّاسِ يُحِبُّوكَ النَّاسِ : dan zuhudlah kamu terhadap apa-apa yang dimiliki oleh manusia niscaya manusia akan mencintaimu
Yaitu merasa cukuplah dengan apa yang kita miliki sendiri, jangan palingkan wajah kita kepada yang bukan miliki kita yang ada pada orang lain. Agar mereka tidak terganggu oleh kita, bahkan mereka mencintai kita karena sikap itu.
Sungguh, keterjagaan nafsu dan akal dari daya tarik dunia dan permainannya, akan membawa pribadi yang puas (qana’ah) dan zuhud. Karena cahaya ketuhanan telah mengantarkannya kepada target yang lebih mulia dan tinggi, dan selayaknya inilah yang menggoda kita. “Wallahu ‘indahu husnul ma-aab ….. (dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali Imran: 14)
Percayalah …, zuhud itu nikmat. Kita memandang manusia dengan mata ridha dan ikhlas, tiada iri dan dengki. Sementara kita memandang diri sendiri dengan mata syukur dan lapang. Apa yang ada di syukuri, ada pun yang tidak ada, toh semua nanti juga akan binasa. Lalu, apa lagi yang mengganggu pikiran kita?
Palingkanlah pandangan kita dari dunia yang Allah Ta’ala titipkan kepada orang lain; justru itulah ujian dan fitnah bagi mereka! Bukankah ini kenikmatan bagi kita?
Palingkanlah pandangan kita dari jabatan yang Allah Ta’ala embankan kepada orang lain; justru itu akan meremukkan punggung dan menghabiskan waktu mereka! Bukankah ini kenikmatan bagi kita?
Palingkanlah pandangan kita dari rupiah dan harta yang membanjiri mereka; justru karena itu pertanyaan di akhirat bagi mereka tidaklah sederhana! Bukankah ini juga kenikmatan bagi kita?
Tahukah anda, -dalam hal ini- ada sebagian orang menjadikan Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu lebih utama dibanding Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu ‘Anhu? Sebab Abu Bakar hidup zuhud, karena memang dunia tidak mengejarnya, dunia tidak menggodanya, bahkan menjauhinya. Maka itu sudah sewajarnya. Ada pun Umar Radhiallahu ‘Anhu, dia zuhud dan terus menerus seperti itu, ketika dunia mengganggunya, dunia mengejar dan memanggilnya, tetapi dia tidak menoleh sama sekali. Ini lebih berat rasanya.
Namun, qana’ah dan zuhud bukanlah kemiskinan, bukan pula kefakiran. Tetapi dia sikap mental terhadap semua karunia yang Allah ‘Azza wa Jalla berikan kepada kita; memandangnya dengan syukur , ridha, dan penuh amanah. Sehingga, kita menjadi pribadi selalu berbahagia dan tersenyum puas.
Benarlah apa yang disebutkan sebuah ungkapan:
اذا كنت ذا قلب قنوع فأنت و مالك الدنيا سواء
“Jika engkau memiliki hati yang puas (qanuu’), maka engkau dan rajanya dunia adalah sama saja!”
Wallahu A’lam