Hijrah secara bahasa berarti tarku (meninggalkan). Hijrah ila syai berarti intiqal ilaihi ‘an ghairi (berpindah kepada sesuatu dari sesuatu). Menurut istilah, hijrah berarti tarku maa nahallaahu ‘anhu (meninggalkan sesuatu yang dilarang Allah).
Hijrah menurut sejarah penetapan hukum (tarikh tasyri) adalah berpindahnya kaum muslimin dari kota Makkah ke kota Madinah, dan juga dari kota Makkah ke kota Habasyah.
Pengertian hijrah secara khusus dibatasi hingga penaklukan kota Makkah. Setelah itu hijrah dengan makna khusus sudah berakhir, maka tinggallah perintah hijrah dengan makna umum, yaitu berpindah dari negeri kafir ke negeri iman. Makna kedua ini berlaku setelah penaklukan kota Makkah.
Perintah hijrah pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. adalah perintah yang sangat penting. Ia merupakan bagian dari strategi politik dakwah dan hukumnya wajib bagi para sahabat yang berada di luar kota Madinah. Allah Ta’ala memerintahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabat untuk membina masyarakat Islam di kota Yatsrib. Oleh karena itu para sahabat berlomba-lomba melakukan hijrah, baik dari kota Makkah maupun dari negeri dan kawasan sekitar Makkah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjanjikan pahala yang besar bagi yang berhijrah; dan menjadi catatan atau aib jika seorang muslim tidak berhijrah. Semangat hijrah adalah semangat mentaati pemimpin dan semangat melaksanakan kebijakan dakwah. Kesempatan untuk mendapatkan keutamaan hijrah pun dibatasi dengan ditaklukkannya kota Makkah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا هِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ، وَإِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوا
“Tidak ada hijrah setelah Fathu Makkah, tetapi (yang ada adalah) jihad dan niat. Maka apabila kalian diperintahkan jihad, maka berangkatlah” (HR. Bukhari 3077 dan Muslim 1353).
Hal itu karena hijrah pada masa Rasul saat itu adalah dalam rangka mengumpulkan kekuatan dari kota Makkah ke kota Madinah. Karena itulah pengertian hijrah yang harus senantiasa ada dalam diri setiap muslim adalah pengertian hijrah maknawi:
- Meninggalkan kejahiliyahan menuju kepada nilai Islam.
- Meninggalkan kekafiran menuju iman kepada Allah.
- Meninggalkan kesyirikan menuju tauhid, mengesakan Allah.
- Meninggalkan kebatilan menuju hak, kebenaran Islam.
- Meninggalkan perbuatan maksiat menuju perbuatan ketaatan kepada Allah.
- Meninggalkan sesuatu yang haram menuju sesuatu yang halal.
Meski demikian, dalam kondisi tertentu orang Islam tetap harus melakukan hijrah fisik dengan konsideran sebagai berikut,
- Hijrah untuk keamanan bagi orang-orang yang lemah seperti hijrahnya kaum muslimin ke Habasyah.
- Hijrah untuk mengungsi dan bersifat sementara.
- Hijrah karena panggilan iman bagi seluruh kaum muslimin ke kota madinah. Hijrah ke madinah adalah bentuk mobilitas umum untuk mengokohkan basis sosial dan basis geografis. Kebijakan hijrah seperti ini pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selain panggilan keimanan, juga merupakan kebijakan politik Islam untuk menghadapi tantangan musuh dari luar Madinah.
Bai’at Aqabah I: Latar Belakang Hijrah ke Madinah
Di pembahasan sebelumnya telah disebutkan bahwa kaum Quraisy tidak terpengaruh oleh peristiwa Isra’ mi’raj, dan mereka meneruskan sikapnya mendustakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta menyakitinya dan para sahabatnya. Gerakan dakwah semakin sempit, hampir-hampir terhenti di Makkah
Walau demikian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak putus asa dari pertolongan Allah Ta’ala, dan terus menawarkan dakwahnya kepada kabilah-kabilah Arab pada musim haji dan pada saat diadakannya pertemuan-pertemuan mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak meminta kepada mereka kecuali agar mereka mau menerima beliau dan melindungianya dalam berdakwah menyampaikan risalah Allah Ta’ala.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada mereka,
لاَ أكره أحدًا مِنْكُمْ عَلَى شَيْءٍ, مَنْ رَضِيَ مِنْكُمْ بِالَّذِي أَدْعُوْهُ إِلَيْهِ فَذَلِكَ, وَمَنْ كَرِهَ لَمْ أُكْرِهْهُ, إِنَّمَا أُرِيْدُ أَنْ تحرزوني فِيْمَا يُرَاد لِي مِنَ الْقَتْلِ حَتَّى أُبَلِّغُ رِسَالَتَ رَبِّي وَحَتَّى يَقْضِيَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لِي وَلِمَنْ صَحِبَنِي بِمَا شَاءَ
“Aku tidak memaksa seorang pun atas sesuatu. Siapa saja yang senang dengan apa yang kuserukan maka demikianlah selayaknya. Siapa saja yang tidak suka, aku tidak memaksa. Aku menginginkan kalian melindungiku dari orang-orang yang ingin memerangiku agar aku bisa menyampaikan risalah Tuhanku, hingga Allah memberikan keputusan untukku dan sahabat-sahabatku dengan apa yang Dia kehendaki.” (Ibnu Katsir, As-Sirah al-Nabawiyyah (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1976), 2/158.).
Pada tahun ke sepuluh kenabian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui kabilah-kabilah di musim haji sebagaimana yang dilakukan setiap tahun. Ketika berada di Aqabah bertemulah beliau dengan enam orang Khazraj. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak mereka kepada Allah Ta’ala, menunjukkan Islam pada mereka dan membacakan Al-Qur’an.
Kaum Khazraj bertetangga dengan Yahudi di Madinah. Mereka sering mendengar orang-orang Yahudi memberitahukan tentang semakin dekatnya masa kemunculan seorang nabi. Mereka menakut-nakuti akan menjadi pengikutnya dan berperang bersamanya untuk menyerang kaum ‘Ad dan Iram.
Maka saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menawarkan Islam, orang-orang Khazraj ini saling berpandangan satu sama lain dan berkata,
يَا قَوْمِ تَعْلَمُونَ وَاللَّهِ إِنَّهُ لَلنَّبِيُّ الَّذِي تَوَعَّدُكُمْ بِهِ الْيَهُودُ ، فَلا تَسْبِقِنَّكُمْ إِلَيْهِ
“Wahai kaum, ketahuilah oleh kalian, demi Allah, sesungguhnya ia benar-benar nabi yang disebutkan kepada kalian oleh orang-orang Yahudi dalam sumpah mereka, maka janganlah mereka mendahului kalian dalam menyambutnya.” (Dalailun Nubuwwah, Abu Nu’aim)
إِنَّا كُنَّا قَدْ تَرَكْنَا قَوْمَنَا وَلَا قَوْمَ بَيْنَهُمْ مِنَ الْعَدَاوَةِ وَالشَّرِّ مَا بَيْنَهُمْ وَعَسَى اللَّهُ أَنْ يَجْمَعَهُمْ بِكَ فَسَنَقْدَمُ عَلَيْهِمْ فَنَدْعُوهُمْ إِلَى أَمْرِكَ وَنَعْرِضُ عَلَيْهِمُ الَّذِي أَجَبْنَاكَ إِلَيْهِ مِنْ هَذَا الدِّينِ فَإِنْ يَجْمَعْهُمُ اللَّهُ ؛ فَلَا رَجُلَ أَعَزُّ مِنْكَ
“Sesungguhnya kami meninggalkan kaum kami (pergi ke tempat ini); dan tidak ada kaum yang mengalami permusuhan dan keburukan seperti yang terjadi kepada kaum kami; dan mudah-mudahan melalui engkau Allah menghimpunkan mereka; kami akan sampaikan kepada mereka dan mengajak mereka kepada urusan anda; juga akan kami sampaikan kepada mereka apa yang telah kami terima dari agama ini; jika Allah menghimpunkan mereka (dengan agama ini), maka tidak akan ada seorangpun yang lebih mulia dari anda.” (Sirah Ibnu Hisyam, Juz 2, hal. 42).
Setelah berlalu setahun, menjelang musim haji tahun kesebelas. Berangkatlah dua belas orang laki-laki bersama rombongan haji. Di antara mereka terdapat sepuluh orang dari Khazraj, enam di antaranya telah masuk Islam pada tahun lalu, dan dua orang dari Aus. Mereka bertemu dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di Aqabah, dan mengadakan perjanjian untuk beriman kepada Allah Yang Maha Esa dan komitmen dengan nilai-nilai utama, serta meninggalkan perbuatan tercela.
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ إِنِّي مِنْ النُّقَبَاءِ الَّذِينَ بَايَعُوا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ بَايَعْنَاهُ عَلَى أَنْ لَا نُشْرِكَ بِاللَّهِ شَيْئًا وَلَا نَسْرِقَ وَلَا نَزْنِيَ وَلَا نَقْتُلَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ وَلَا نَنْتَهِبَ وَلَا نَعْصِيَ بِالْجَنَّةِ إِنْ فَعَلْنَا ذَلِكَ فَإِنْ غَشِينَا مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا كَانَ قَضَاءُ ذَلِكَ إِلَى اللَّهِ
Dari ‘Ubadah bin ash Shamit radliallahu ‘anhu, dia berkata, “Aku termasuk salah seorang dari nuqaba (pimpinan) yang berbai’at kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Lalu ‘Ubadah berkata, “Kami berbai’at kepada beliau untuk tidak menyekutukan Allah dengan suatu apapun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah, tidak merampok dan tidak berbuat maksiat yang balasannya adalah surga bila kami memenuhi semuanya. Namun bila kami melanggar maka keputusannya ada pada Allah.” (HR. Bukhari)
Setelah rombongan berbai’at kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka kembali ke Yatsrib. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyertakan Mush’ab bin Umair bersama mereka untuk mengajak beriman kepada orang yang belum beriman; mengajar kepada orang-orang yang sudah beriman; mendalami agama, membacakan Al Qur’an. Oleh karena itulah di Madinah ia disebut sebagai al muqri’u (pembaca). Ia mengimami shalat karena Aus tidak senang jika Khazraj yang mengimami shalat, begitu juga Khazraj tidak suka jika Aus yang mengimami shalat. Maka kesepakatannya adalah Mush’ab yang mengimaminya.
Ketika sampai di Madinah, Mush’ab menjadi tamu bagi As’ad bin Zurarah radhiyallahu ‘anhu. Ia muliakan tamunya ini, dan membantunya melaksanakan tugas dakwahnya dengan baik. Mulailah Mush’ab mengajak kaum musyrikin memeluk Islam dengan cara hikmah dan nasehat yang baik. Berpindah dari satu rumah ke rumah lain, dari satu forum ke forum lain, membacakan Al Qur’an, mengingatkan mereka dengan ucapan-ucapan yang dihafal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, berbekal sabar dan ikhlas, dengan pemahaman agama yang mendalam, ilmu tentang metode dakwah, cara meyakinkan orang lain, dan kemampuan mempengaruhi orang lain.
Bai’at ini telah menempatkan utusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengajak bangsa Arab penduduk Yatsrib memeluk Islam. Hal ini telah dilakukan dengan sukses, tidak ada hari berlalu di sana kecuali ada satu atau lebih yang masuk Islam. Pernah dalam satu hari Sa’d bin Mu’adz dan Usaid bin Hudhair—dua orang tokoh penting Yatsrib—masuk Islam. Dengan keislaman kedua orang ini seluruh penduduk Bani Abdul Asyhal masuk Islam. Sehingga tidak ada satupun rumah orang anshar kecuali di sana telah ada lelaki, dan wanita yang telah masuk Islam. (Lihat: Sirah Ibnu Hisyam, Juz 2, hal. 46)
Kaum muslimin sudah memungkinkan untuk shalat jum’at. As’ad bin Zararah dan Mush’ab bin Umar bersama dengan sejumlah kaum muslimin berkumpul di tempat yang disebut Naqi’ul Khadhamat, menyelenggarakan shalat Jum’at pertama di Madinah, dengan jama’ah berjumlah empat puluh orang.
Jadilah Madinah tempat yang siap untuk mengemban dakwah Islam, menjadi rumah bagi kaum muslimin. Dengan demikian maka Baiatul Aqabah I menjadi muqaddimah dan penyiapan untuk Baiatul Aqabah II, langkah penting bagi perjalanan hijrah dari Makkah ke Madinah.