(Misi di Balik Risalah untuk Para Raja)
Oleh: Hepi Andi Bastoni, MA
Di antara poin terpenting dari Perjanjian Hudaibiyah adalah gencatan senjata selama 10 tahun dan siapa pun berhak memilih bergabung dengan kaum Muslimin atau kafir Quraisy. Kesempatan ini dimanfaatkan benar-benar oleh Nabi saw. Maka, delapan pucuk surat pun dikirim. Tidak tanggung-tanggung. Sasarannya adalah para penguasa dunia kala itu. Mereka adalah Raja Habasyah, Raja Mesir Muqauqis, Kisra Persia, Heraklius Romawi, Pemimpin Bahrain, Pemimpin Yamamah, Pemimpin Damaskus dan Raja Omman.
Paling tidak, ada dua harapan besar di balik pengiriman surat-surat itu. Yakni, promosi Islam ke segenap penjuru dunia dan seruan kepada segala pihak supaya bergabung dengan Nabi saw sesuai isyarat dari Perjanjian Hudaibiyah. Dengan dikirimkannya surat-surat tersebut, berarti Rasulullah saw benar-benar telah menyampaikan dakwahnya kepada sebagian besar raja-raja dunia. Di antara mereka ada yang beriman dan ada pula yang tetap kafir. Walau bagaimanapun surat-surat itu telah ‘menyibukkan’ pikiran raja-raja kafir dan telah memperkenalkan kepada mereka siapa Muhammad dan apa agamanya.
Surat-surat tersebut sudah cukup jelas dan tidak perlu dikomentari lagi. Gerakan yang bersifat internasional itu telah mengalihkan Islam dari lingkup lokal le lingkup global, bahkan telah menggetarkan singgasana raja-raja. Sebagian surat itu mempu membimbing beberapa orang raja masuk Islam, di samping menantang beberapa raja lainnya untuk berperang.
Semua itu tidak mungkin terjadi sebelum perdamaian Hudaibiyah, tapi terjadi sesudahnya, yakni setelah negara Islam diakui secara formal oleh ‘penjajah’ mereka selama ini, yakni kafir Quraisy. Negara Madinah telah merdeka, menjadi negara sendiri. Kini ia sedang menarik perhatian dunia untuk mendapatkan pengakuan secara internasional. Pengiriman surat itu dilakukan Rasulullah saw sebagai maklumat untuk sepenuhnya melakukan dakwah dan menyebarkannya ke seluruh umat manusia. Ya, surat-surat Nabi saw itu bukan semata minta pengakuan dari seluruh dunia tapi mengajak mereka untuk bergabung dalam satu gerbong dengan umat Islam.
Surat-surat Nabi saw itu benar-benar telah mengguncang dan menyedot perhatian seluruh dunia, khususnya surat yang dikirimkan kepada Kisra Persia dan Kaisar Romawi. Opini yang dimaksud berkenaan dengan apa yang terjadi di perbatasan Syam dan sikap yang ditunjukkan Kisra di Persia, yang dengan angkuhnya merobek-robek surat Rasulullah saw, bahkan menyuruh orang supaya menangkap dan membawa beliau ke hadapannya hidup atau mati. Kini, mampukah Madinah melawan negara-negara adikuasa itu?
Dalam kaitan ini, menyampaikan dakwah secara tepat waktu adalah wahyu ilahi dan Allah menjamin terpeliharanya agama-Nya. Buktinya, saat Madinah tidak mampu berhadapan dengan negara Persia yang besar itu, Allah telah mempersiapkan segala sesuatunya untuk memelihara Nabi-Nya dan dakwah yang diserukannya, dengan menimbulkan pergolakan terhadap Kisra yang memiliki pengaruh internasional. Yakni, dengan terbunuhnya tirani yang sombong itu dan disusul kemudian dengan sikap putranya yang menarik kembali ancaman ayahnya terhadap Nabi Muhammad saw.
Demikianlah sebagaimana dinyatakan dalam suratnya yang dikirim kepada gubernurnya di Yaman, “Perhatikanlah orang yang pernah dibicarakan oleh ayahku dalam suratnya kepadamu. Kamu jangan sembarangan terhadapnya sampai datang perintahku kepadamu.” Di pihak lain, hal itu merupakan kemenangan baru bagi Islam dengan masuk Islamnya Badzan, Gubernur Persia di Yaman beserta seluruh rakyatnya.
Kalau ancaman dari Persia sudah bisa ditaklukkan dengan runtuhnya kerajaan itu dan masuk Islamnya Badzan, maka berbeda dengan cara Nabi saw mengatasi ancaman dari Romawi.
Sebagaimana diketahui, ketika menerima surat Nabi saw, Harits bin Abu Syamar- al-Ghassani mengancam akan menyerang Madinah. Namun rencananya itu sempat dicegah oleh Heraklius. Saat itu, kekuasaan Harits berada di bawah kendali Romawi. Namun Rasulullah saw tetap melakukan persiapan-persiapan militer di samping gerakan politik. Selanjutnya terjadilah pengiriman pasukan ke Mu’tah dan serbuan terhadap bala tentara Romawi. Bagaimanapun pengiriman pasukan itu pasti memikul tugas-tugas kerasulannya. Meskipun pada mulanya bergeraknya pasukan ke Mu’tah itu menuntut balas atas terbunuhnya Harits bin Umair delegasi Rasulullah saw yang tewas di tangan Syurahbil bin Amr al-Ghassani dan dipenggal kepalanya di hadapan Kaisar.
Sementara itu Kaisar Romawi sendiri dan Raja Mesir Muqauqis ikut andil pula memperbesar ancaman terhadap negara Islam yang baru muncul itu, dengan cara lain: melakukan bujukan dan rayuan terhadap Rasulullah saw dengan mengirimkan hadiah. Meski sebenarnya kedua penguasa itu mengakui kebenaran Islam, tapi mereka tidak juga mau menyatakan masuk Islam. Mereka takut terlepas kekuasaannya dan khawatir rakyatnya memberontak.
Barangkali apa yang disampaikan oleh Abu Sufyan mengenai pertemuannya dengan Kaisar Romawoi itu dapat memberi gambaran jelas dan benar bahwa Kaisar sebenarnya telah mengakui kebenaran Rasulullah saw, tapi kemudian mendapat tekanan, ancaman dan perlawanan dari para pendeta seandainya dia masuk Islam. Hal ini tergambar dari suratnya kepada Nabi saw, “Sesungguhnya saya ini memeluk Islam, tapi saya masih dikalahkan.”
Lain halnya dengan Najasyi dari Habasyah, penguasa Bahrain dan raja Amman. Mereka terang-terangan menyatakan masuk Islam.
Sementara itu, pemimpin Yamamah juga membujuk Rasulullah saw dan ingin bersekutu dengan beliau dalam soal harta rampasan perang dan kerasulan tapi tak lama kemudian dia dibinasakan oleh Allah.
Fakta sejarah yang sangat penting diperhatikan di sini ialah ungkapan Abu Sufyan bin Harb kala dia bersama rombongannya meninggalkan negerinya menuju Syam. Takdir Allah menggiringnya ke istana Kaisar karena penguasa Romawi itu ingin mendengar pandangannya mengenai Muhammad saw. Tetapi di sana, telinganya malah digetarkan oleh pernyataan Kaisar, “Kalau semua yang kamu katakan tadi benar, dia pasti akan menguasai tempat berpijaknya kedua telapak kakiku ini.”
Abu Sufyan tahu betul bahwa Kaisar mengatakan yang sebenarnya, tak mungkin dia berbasa-basi. Padahal, Abu Sufyan semula menyangka penghinaannya terhadap Muhammad dan para pengikutnya akan mendorong Kaisar untuk menganggap remeh seterunya itu. Namun, ternyata penghinannya itu justru menambah keyakinan Kaisar bahwa Muhammad itu adalah nabi.
Adapun ungkapan kedengkian Abu Sufyan yang dimaksud justru merupakan pengakuannya terhadap kenabian Muhammad, karena ungkapan itu bunyinya, “Hebat benar urusan anak si Abu Kabsyah ini. Dia benar-benar ditakuti raja-raja Bani Ashfar. (Eropa).”
“Sejak itu, saya selalu yakin,” kata Abu Sufyan pula mengakui, “bahwa urusan (agama) Rasulullah saw. Ini akan menang, hingga akhirnya Allah menyadarkan aku untuk masuk Islam.”
Sesungguhnya, yang pertama menjadi sasaran gerakan politik yang dilakukan oleh gerakan Islam dewasa ini adalah menyampaikan seruan Allah kepada para penguasa dan para pemimpin negara, sekalipun seruan seperti itu akan membuat gerakan Islam harus mengalami susah payah dan banyak kesulitan. Suatu pengkhianatan terhadap dakwah dan syariat Allah jika gerakan Islam merestui sistem-sistem pemerintahan kafir atau menginspirasikan kepada mereka bahwa syariat Allah merestui kezaliman, kedurjanaan dan hukuman mereka yang tidak sesuai dengan apa yang telah diturunkan Allah.
Surat-surat Rasulullah saw mengajarkan kepada kita tentang cara menyeru manusia kepada Allah secara bijak dan dengan memberi nasihat yang baik, bukan dengan mengecam dan memberi ancaman. Patut kita tegaskan garis pemisah antara kedua hal tersebut. Di satu pihak, kita bisa melihat bahasa pergaulan yang digunakan oleh Rasulullah saw terhadap para pemimpin negara, pemilihan kata yang tepat, dan bagaimana cara menggetarkan tali-tali senar kejiwaan mereka, dengan memanfaatkan keadaan yang terjadi.
Di pihak lain, kita melihat bagaimana sebagian para pemimpin negara itu mencampuradukkan antara kebenaran dan kebatilan, dan bagaimana mereka membujuk dan mengajak Rasulullah saw berdamai untuk tetap pada kekafiran, agar kezaliman mereka direstui, bahkan agar semboyan-semboyan Islam terhapus. Para pemimpin itu juga bermanis muka kepada beliau, dengan tujuan hendak menjadikan Islam dan syariat Allah sebagai alat melegalisasi kezaliman mereka.
Ketidakmampuan kita membedakan kedua hal itu akan memecah belah dan memporakporandakan kesatuan barisan umat Islam. Kita lihat surat-surat Rasulullah saw tersebut menyebut raja-raja itu dengan gelar mereka masing-masing. Walaupun demikian, sama sekali tidak mencantumkan nama mereka di depan nama Rasulullah saw. Perkara yang tampaknya sepele inilah yang telah menimbulkan amarah Kisra Persia sampai dia mengatakan, “Seorang budak hina dari kalangan rakyatku beraninya mencantumkan namanya sebelum namaku.”
Namun demikian, kita juga melihat pada teks surat itu tercantum gelar-gelar kebesaran seperti Azhimi Faris (Pembesar Persia), Azhimil Qibthi (Pembesar Qibthi), Malikil Habasyah (Raja Habasyah), atau Azhimir Rum (Pembesar Romawi).
Kita lihat pula, dalam berdakwah ajaran tentang keesaan Allah dan kerasulan Muhammad harus tegas dan jelas, tidak boleh remang-remang atau sulit dipahami. Itu harus dilakukan sampai sejelas-jelasnya secara definitif sehingga makna-maknanya tidak kabur. Harus ada kejelasan yang tegas dalam mencegah penyembahan segala macam berhala, yang ditujukan kepada siapapun yang menyembahnya.
Walaupun demikian, pernyataan tegas dua kalimat syahadat tersebut harus senantiasa dibarengi dengan pembicaraan mengenai prinsip-prinsip akhlak Islam, seperti kejujuran, menjaga diri dari dosa, silaturahim dan hal lainnya yang pasti disepakati semua orang.
Lain dari itu, kita lihat pula Rasulullah saw menggetarkan tali-tali senar kejiwaan yang diikuti oleh semua pemimpin negara. Namun sesudah itu, para delegasi beliau segera menentramkan hati mereka, untuk tidak perlu mengkhawatirkan terlepaskan kekuasan mereka. Para delegasi itu menegaskan bahwa Rasulullah saw akan tetap memberikan kekuasaan itu kepada mereka apabila masuk Islam.
Jaminan itu bahkan tetap akan diberikan kepada mereka yang sebelumnya memusuhi dan memerangi Islam sekalipun. Tak ada rasa jengkel atau dendam yang patut dicurigai atau dikhawatirkan akan mengubah siasat ini. Bahkan, penghormatanlah yang akan mereka terima setelah masuk Islam.
Surat-surat yang dikirimkan Rasulullah saw itu merupakan perubahan besar dan penting dalam sejarah Islam. Ia merupakan peristiwa penting di antara sekian kejadian lainnya. Sebab, surat-surat itu telah menghubungkan kaum Muslimin dengan masyarakat dunia seluruhnya. Ada yang menghasilkan dukungan atau janji setia, ada pula tantangan perang. Itulah buah terbesar di antara hikmah Perjanjian Hudabiyah sebagaimana diceritakan Allah.
Ia merupakan peralihan dari perang lokal yang banyak memakan korban kepada tanggapan potisitif atau negatif dari raja-raja dunia terhadap Islam. Yakni, tanggapan yang sebenarnya merupakan pemindahan dakwah ke arena yang lebih luas dan jauh sasarannya serta luar biasa besar wawasannya. Perubahan ini datang secara tepat waktu yakni setelah kaum Quraisy menyatakan gencatan senjata selama sepuluh tahun. Yang kemudian dimanfaatkan oleh negara-negara Islam untuk mencapai tujuan-tujuannya dan menanamkan akar-akarnya di muka bumi, sebagai kalimat yang baik, yang akar-akarnya teguh dan cabang-cabangnya menjulang ke langit.
Pentingnya Dakwah Lewat Tulisan
Surat-surat Nabi saw kepada para raja merupakan bagian penting dari jenis dakwah. Metode dakwah ini merupakan bentuk kecerdasan Nabi saw memanfaatkan peluang. Di antara poin terpenting dalam Perjanjian Hudaibiyah adalah gencatan senjata selama 10 tahun. Selama itu pihak manapun boleh bergabung dengan Nabi saw atau kafir Quraisy. Untuk itu, Nabi saw segera memanfaatkan kesempatan itu dengan cara mengirim surat kepada para raja. Mengapa surat dan mengapa yang dibidik adalah para raja?
Surat adalah cara yang sangat efektif untuk menyampaikan pesan. Di zaman serba canggih seperti sekarang, surat justru masih diperlukan. Dalam banyak kondisi, penyampaian pesan lewat lisan sering mengalami kendala, seperti bahasa, metode dialog, atau teknik komunikasi. Semua itu bisa membuat pesan tidak sampai ke sasaran. Berbeda dengan bahasa tulisan. Ia akan langsung bisa masuk ke sasaran pesannya pun akan sangat jelas.
Nabi saw sengaja membidik para raja. Beliau tahu, kondisi masyarakat sering ditentukan oleh rajanya. Bagaimana kata raja, begitulah kondisi rakyat. Dengan kekuatan dan kekuasaannya, seorang raja bisa ‘memaksa’ rakyatnya untuk mengikuti kehendaknya. Nabi saw betul-betul memahami, jika seorang raja, misalnya berhasil diajak masuk Islam, maka insya Allah, sebagian besar rakyatnya pun akan mengikuti.
Dalam konteks sekarang, berdakwah lewat tulisan menjadi hal yang tak kalah penting. Maraknya media cetak dan internet seharusnya dimanfaatkan oleh umat Islam untuk menyebarkan dakwah. Jika dakwah lewat lisan sering dibatasi oleh tempat dan waktu, maka tidak dengan dakwah tulisan. Ia bisa lintas tempat, melewati masa dan generasi. Tulisan para ulama dulu yang sudah berlalu lebih dari 1000 tahun, tetap bisa kita nikmati hingga hari ini. Bahkan, beberapa surat Nabi saw yang beliau kirimkan ke para raja itu hingga kini masih tersimpan rapi.
Sampaikan Meski Satu Ayat
Pengiriman surat kepada para raja merupakan bentuk dakwah yang sangat efektif. Meski tak semua para raja itu menerima Islam, tapi paling tidak, surat-surat itu mampu mengguncang dunia. Pengiriman surat ini juga merupakan salah satu penunaian tugas dakwah. Jika kita renungkan, apa yang dilakukan Nabi ini merupakan keberanian luar biasa yang bisa membuat marah para raja itu. Tapi inilah dakwah! Ia harus disampaikan. Dan, tugas kita adalah menyampaikan. Masalah nanti objek dakwah akan menerima atau menolak, bukan urusan kita.
Pada saat serah terima Masjidil Aqsha ke tangan umat Islam, Umar bin Khaththab bertemu dengan seorang wanita tua. Nenek-nenek yang betul-betul sudah lanjut usia. Tubuhnya keriput, pendengaran dan pandangannya sudah tidak berfungsi dengan baik.
Saking keriputnya kulit sang nenek, hingga ketika Umar menyapanya, ia harus membuka kulit kelopak matanya yang menutupi pandangannya. Umar menceritakan tentang Islam, mengajak sang nenek memeluk agama ini dan bertaubat di akhir hayatnya.
Dengan heran nenek tersebut bertanya, “Hai Umar, apa untungnya engkau mengajakku masuk Islam? Saya ini sudah tua.”
Umar menjawab, “Allahummasy had! Laqad balaghtu. Ya Allah saksikanlah. Sungguh aku telah menyampaikan Islam!”
Jadi, Umar hanya ingin menyampaikan Islam. Sebab, itulah tugas kita sebagai Muslim. Hanya menyampaikan Islam ke semua orang. Apakah nanti akan diterima atau tidak, itu urusan Allah.
Seseorang tidak bisa memaksa orang lain lain untuk mendapatkan hidayah. Hidayah hak prerogratif Allah. Bahkan, Nabi saw sendiri tidak bisa memaksa pamannya Abu Thalib untuk memeluk Islam. Padahal, Abu Thalib adalah paman beliau yang sejak lama mengasuhnya. Allah berfirman, “Sesungguhnya engkau tidak akan bisa memberikan hidayah kepada orang yang engkau cintai tapi Allahlah yang memberi hidayah,” (QS al-Qashash: 56).
Jadi, tugas kita menyampaikan kebenaran ini kepada sebanyak mungkin orang. Dari mereka yang bercokol di istana mewah—seperti para raja yang mendapatkan surat dari Rasulullah saw—hingga pengemis jalanan seperti dilaksanakan Umar bin Khaththab.