Umar bin Khaththab bin Nufail bin Abdul ‘Uzza bin Riyah bin Qurth bin Razah bin Adi bin Ka’ab bin Luai, dan nama kunyah beliau adalah Abu Hafsh al-Quraisy al-‘Adawi.[1]
Ia dijuluki Abu Hafsh—ayah Hafshah, perempuan mulia yang menjadi isteri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hafshah dinikahi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan janda karena ditinggal mati suaminya, Khunais ibn Hudzafah as-Sahami, seorang pahlawan yang gugur dalam perang Badar.
Selain dijuluki Abu Hafsh, Umar juga dijuluki Al-Faruq, sang pembeda. Julukan ini adalah pemberian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Nu’aim Al-Ashbahaniy rahimahullah dalam Hilyah Al-Auliyaa’ 1/40 dari Ibn Abbas,
لأَيِّ شَيْءٍ سُمِّيتَ الْفَارُوقَ؟ قَالَ: أَسْلَمَ حَمْزَةُ قَبْلِي بِثَلاثَةِ أَيَّامٍ، ثُمَّ شَرَحَ اللَّهُ صَدْرِي لِلإِسْلامِ فَقُلْتُ: اللَّهُ لا إِلَهَ إِلا هُوَ، لَهُ الأَسْمَاءُ الْحُسْنَى، فَمَا فِي الأَرْضِ نَسَمَةٌ أَحَبَّ إِلَيَّ مِنْ نَسَمَةِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قُلْتُ: أَيْنَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم؟ قَالَتْ أُخْتِي: هُوَ فِي دَارِ الأَرْقَمِ بْنِ الأَرْقَمِ عِنْدَ الصَّفَا، فَأَتَيْتُ الدَّارَ وَحَمْزَةُ فِي أَصْحَابِهِ جُلُوسٌ فِي الدَّارِ، وَرَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فِي الْبَيْتِ، فَضَرَبْتُ الْبَابَ فَاسْتَجْمَعَ الْقَوْمُ، فَقَالَ لَهُمْ حَمْزَةُ: مَا لَكُمْ؟ قَالُوا: عُمَرُ، قَالَ: فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَأَخَذَ بِمَجَامِعِ ثِيَابِهِ ثُمَّ نَثَرَهُ فَمَا تَمَالَكَ أَنْ وَقَعَ عَلَى رُكْبَتِهِ، فَقَالَ: ” مَا أَنْتَ بِمُنْتَهٍ يَا عُمَرُ؟ “، قَالَ: فَقُلْتُ: أَشْهَدُ أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، قَالَ: فَكَبَّرَ أَهْلُ الدَّارِ تَكْبِيرَةً سَمِعَهَا أَهْلُ الْمَسْجِدِ، قَالَ: فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَلَسْنَا عَلَى الْحَقِّ إِنْ مُتْنَا وَإِنْ حَيِينَا؟ قَالَ: ” بَلَى وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، إِنَّكُمْ عَلَى الْحَقِّ إِنْ مُتُّمْ وَإِنْ حَيِيتُمْ “، قَالَ: فَقُلْتُ: فَفِيمَ الاخْتِفَاءُ؟ وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ لَتَخْرُجَنَّ، ” فَأَخْرَجْنَاهُ فِي صَفَّيْنِ، حَمْزَةُ فِي أَحَدِهِمَا، وَأَنَا فِي الآخَرِ، لَهُ كَدِيدٌ كَكَدِيدِ الطَّحِينِ، حَتَّى دَخَلْنَا الْمَسْجِدَ، قَالَ: فَنَظَرَتْ إِلَيَّ قُرَيْشٌ وَإِلَى حَمْزَةَ، فَأَصَابَتْهُمْ كَآبَةٌ لَمْ يُصِبْهُمْ مِثْلَهَا، فَسَمَّانِي رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَوْمَئِذٍ الْفَارُوقَ، وَفَرَّقَ اللَّهُ بَيْنَ الْحَقِّ وَالْبَاطِلِ
“Aku pernah bertanya kepada ‘Umar radhiyallaahu Ta’ala ‘anhu: Mengapa engkau dijuluki Al-Faruq? Mulailah ‘Umar menceritakan kisahnya, ‘Hamzah memeluk Islam 3 hari sebelum aku, kemudian Allah melapangkan dadaku untuk memeluk Islam. Aku katakan ketika itu: Allah, tiada Ilah yang berhak disembah selain Dia. Dia pemilik Asma’ul Husna. Maka tak ada seorang manusia pun di bumi ini yang lebih kucintai dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lantas aku bertanya: ‘Dimana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam?’ Saudariku pun menjawab, ‘Beliau ada di rumah Al-Arqam bin Abul Arqam di bukit Shafa.’
Aku datangi rumah yang dimaksud saudariku itu sementara Hamzah sedang duduk diantara para sahabatnya di pekarangan rumah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berada di dalam rumah. Aku mengetuk pintu dan sekelompok orang pun menemuiku. Hamzah bertanya kepada mereka, ‘Ada apa dengan kalian?’ Mereka menjawab, ‘Umar!’
Maka keluarlah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam seraya mencengkram kerah baju ‘Umar lalu mendorongnya hingga ia terjatuh diatas kedua lututnya. Beliau bertanya, ‘Tidakkah kamu berhenti, wahai ‘Umar?!’
‘Umar melanjutkan kisahnya, ‘Seketika itu aku mengucapkan: Asyhadu an laa ilaaha illallaah wahdahu laa syariika lahu, wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuuluhu!’
Serempak bertakbirlah semua yang ada di rumah itu dengan suara takbir yang terdengar oleh orang-orang yang berada di Masjidil Haram.
Aku bertanya kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah, bukankah kita berada diatas al-haqq ketika mati maupun masih hidup?’
Rasulullah menjawab, ‘Benar, demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, sesungguhnya kalian berada diatas al-haqq ketika kalian mati dan masih hidup.’
Aku berkata, ‘Mengapa kita masih bersembunyi? Demi Dzat yang mengutusmu dengan al-haqq, sungguh kita akan keluar (untuk menampakkan agama Islam)!’
Maka kami pun keluar dengan 2 barisan. Hamzah berada di barisan pertama sementara aku di barisan satunya, suara derap langkah kami bagai deru mesin penggiling tepung, hingga akhirnya kami pun memasuki Masjidil Haram. Orang-orang Quraisy pun memandangiku dan Hamzah, mereka bersedih hati dengan rasa sedih yang belum pernah mereka alami sebelumnya. Pada hari itulah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menjuluki aku dengan nama Al-Faruq. Allah memisahkan antara yang haq dan yang bathil (dengan perantaraanku).”[2]
Umar merupakan khalifah kedua setelah Abu Bakar As-Shidiq. Ia juga dikenal sebagai orang yang pertama kali digelari Amirul Mu’minin—pemimpin orang beriman. Gelar ini berawal dari datangnya seorang utusan dari Irak yang datang menghadap Umar untuk melaporkan keadaan wilayah pemerintahan Irak. Ketika sampai di Madinah, utusan itu masuk ke dalam masjid dan bertemu dengan Amr bin Ash, lalu bertanya tentang Khalifah Umar, “Wahai ‘Amr, maukah engkau mengantarku menghadap Amirul Mukminin?” Amr balik bertanya, “Mengapa kau memanggil khalifah dengan Amirul Mu’minin?” Utusan itu menjawab, “Ya , karena Umar adalah pemimpin (amir), sementara kita adalah orang-orang beriman (mu’minin).” Amr menilai panggilan itu sangat baik. “Demi Allah, tepat sekali engkau menyebutkan namanya.” Sejak saat itu, gelar Amirul Mu’minin lekat pada Umar dan para khalifah sesudahnya.[3]
Sebelum Memeluk Islam
Umar lahir dari keturunan mulia. Nasabnya bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada leluhur mereka yang kesembilan, yakni Ka’ab.[4] Sementara Ibunda Umar adalah Hantamah putri Hasyim, putra al-Mughirah al-Makhzumiyah. Ayah Umar, Khattab, adalah komandan pasukan Quraisy yang dikenal dekat dengan kakek Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abdul Muthallib.
Umar adalah seorang Quraisy, klan ningrat atau bangsawan Arab yang paling disegani; mereka adalah saudagar, penjaga Ka’bah, pengawas para peziarah, penyelenggara diplomasi, penunjuk kepala suku, kesatria perang, sekaligus pemegang administrasi perdagangan dan peradilan orang-orang Arab.
Umar dilahirkan 13 tahun setelah kelahiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sekitar tahun 586 M, di Makkah. Khattab mengajarinya berbagai macam tradisi kelelakian khas jazirah Arab: mengembala ternak, memanah, memainkan pedang dan tombak, berburu, menunggang kuda, administrasi, hingga baca tulis, dan mazmur-mazmur (kitab-kitab) leluhur. Baca tulis dan mengenal mazmur adalah tradisi yang sangat langka. Hingga tahun-tahun pertama kenabian Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang yang mampu baca tulis di seluruh jazirah Arab bisa dihitung dengan jari—tak lebih dari 14 atau 17 orang.
Umar juga pandai menggubah syair. Ia dikenal sebagai “kitab diwan berjalan” karena berhasil menghimpun syair-syair Arab pilihan dari para penyair terkemuka. Ia biasa dundang berpidato dan membacakan syair-syairnya di berbagai festival dan upacara.
Ia juga dikenal sebagai jawara gulat yang tangguh di Ukkadz, sebuah gelanggang dan pasar ternama.[5] Umar juga mahir memanah dan berkuda.
Ketika beranjak dewasa, Umar mulai menekuni perniagaan. Ia sering pergi berdagang ke luar semenanjung Arab, seperti Persia dan Syam, hingga Mesir. Karenanya Umar menguasai beberapa bahasa seperti Suryani, Ibrani, dan Persia.
Orang-orang Quraisy memberi jabatan terhormat kepadanya sebagai juru diplomasi, utusan khusus, dan duta besar mereka. Ia seringkali ditunjuk menjadi juru runding dalam perseteruan yang terjadi antara Quraisy dengan suku-suku yang lainnya.[6]
Istri-istri dan Anak-anak Umar bin Khattab
Perempuan yang pernah dinikahi Umar ada 7 orang, baik yang dinikahi pada masa jahiliyyah ataupun setelah memeluk Islam. Mereka adalah: (1) Zainab binti Ma’zhun. Dari pernikahannya ini Umar dikaruniai Abdullah, Abdurrahman Al-Akbar, dan Hafshah. Umar menceraikan Zainab setelah perjanjian Hudaibiyah. (2) Malikah binti Jarul. Darinya Umar dikaruniai Ubaidillah. (3) Quraibah binti Abi Umayyah. Darinya Umar tidak dikaruniai anak dan menceraikannya. (4) Ummu Hakim binti al-Harits bin Hisyam. Darinya Umar dikaruniai Fathimah. (5) Jamilah binti Ashim bin Tsabit. (6) Atikah binti Zaid bin Nufail. (7) Ummu Kultsum binti Ali bin Abu Thalib. Darinya Umar dikaruniai Zaid dan Ruqayyah.
Umar juga memiliki dua orang budak perempuan asal Yaman bernama Luhaiyah yang melahirkan Abdurrahman Al-Ashghar, dan Faqihah yang melahirkan Zainab.
Kisah Islamnya Umar bin Khattab
Ada banyak versi kisah yang menceritakan Islamnya Umar. Selain kisah yang telah dikemukakan di awal, kisah yang paling mahsyur adalah Islamnya Umar karena membaca surat Thaha dari lembaran yang dimiliki adiknya, Fathimah binti Khattab. Namun kisah ini dinilai dhaif karena cacatnya salah satu perawinya yaitu Al-Qasim bin ‘Utsman. Kisahnya sebagai berikut:
Telah mengkhabarkan kepada kami Ishaaq bin Yusuf Al-Azraq, ia berkata, telah mengkhabarkan kepada kami Al-Qaasim bin ‘Utsmaan Al-Bashriy, dari Anas bin Maalik -radhiyallaahu ‘anhu-, ia berkata, “Umar keluar sambil menggenggam sebilah pedang, ia pun bertemu dengan seorang lelaki dari bani Zuhrah, laki-laki tersebut bertanya, ‘Hendak kemanakah engkau, wahai ‘Umar?’ Umar menjawab, ‘Aku hendak membunuh Muhammad!’ Laki-laki berkata, ‘Bagaimanakah nanti kau mengamankan dirimu dari bani Hasyim dan bani Zuhrah jika kau telah membunuh Muhammad?’ Umar berkata, ‘Tidaklah aku melihatmu melainkan sungguh kau telah keluar dan meninggalkan agamamu yang dahulu kau berada diatasnya!’ Laki-laki berkata, ‘Maukah kutunjukkan sesuatu padamu yang akan membuatmu takjub wahai ‘Umar? Sesungguhnya iparmu (yaitu Sa’id bin Zaid bin ‘Amr bin Nufail) dan saudari perempuanmu (yaitu Fathimah binti Al-Khattab) telah keluar dan meninggalkan agamamu yang dahulu kau berada diatasnya!’
Maka ‘Umar pun segera bergegas melangkah hingga ia pun mendatangi mereka berdua sedangkan di sisi mereka ada seorang laki-laki dari kaum Muhajirin yang bernama Khabbab (bin Al-Arat). Ketika Khabbab mendengar suara langkah kaki dan merasakan kehadiran Umar, ia segera bersembunyi didalam rumah. Umar pun masuk ke dalam rumah dan bertanya kepada shahibul bait, ‘Apakah perkataan yang barusan kudengar dari kalian?’
Anas berkata, ‘Pada saat itu mereka sedang membaca Al-Qur’an surat Thaha.’
Keduanya menjawab, ‘Tidak ada, kecuali pembicaraan yang memang kami sedang memperbincangkannya,’ Umar bertanya lagi, ‘Benarkah bahwa kalian berdua telah keluar (dari agama kalian)?’ Iparnya balik bertanya, ‘Bagaimanakah menurutmu wahai Umar jika Al-Haq ternyata berada diluar agamamu?’
Umar pun langsung menerjang iparnya tersebut, ia menendangnya dengan tendangan yang keras. Saudari perempuan Umar segera memisahkan Umar dari suaminya, maka Umar pun menamparnya dengan tangannya, berdarahlah wajah saudarinya seraya berkata dengan marah, ‘Wahai Umar! Jika Al-Haqq berada diluar agamamu, ketahuilah bahwasanya aku bersaksi tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah!’ Umar pun merasa menyesal (atas apa yang dilakukannya), ia berkata, ‘Berikan aku kitab yang kalian baca, aku akan coba membacanya.’
Anas berkata, ‘Pada saat itu Umar termasuk orang Quraisy yang pandai membaca kitab-kitab.’
Saudarinya berkata, ‘Sesungguhnya engkau itu najis, tidaklah Al-Qur’an itu disentuh melainkan oleh orang-orang yang suci, berdirilah engkau untuk mandi atau berwudhu’, Maka Umar pun berdiri lalu berwudhu’, kemudian ia mengambil lembaran Al-Qur’an tersebut dan membaca, ‘Thaahaa,’ hingga berakhir pada firmanNya, ‘Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang haqq) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku (QS Thaahaa : 14).’
Umar berkata, ‘Tunjukkanlah padaku dimana Muhammad berada!’ Ketika Khabbab mendengar perkataan ‘Umar yang demikian, segeralah ia keluar dari tempat persembunyiannya, ia berseru kepada Umar, ‘Bergembiralah wahai Umar! Sesungguhnya aku berharap kau adalah jawaban Allah atas do’a Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pada malam Kamis: ‘Ya Allah, kuatkanlah Islam dengan ‘Umar bin Al-Khaththaab atau ‘Amr bin Hisyaam.’ Saudari ‘Umar berkata, ‘Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam sedang berada di rumah yang terletak di kaki bukit Shaffa.’ Umar pun langsung pergi hingga ia datang ke tempat yang dimaksud saudarinya.
Hamzah, Thalhah dan sekelompok sahabat Rasulullah sedang berada di pintu rumah. Ketika Hamzah melihat orang-orang takut atas kedatangan Umar, ia berkata, ‘Ya, ini adalah ‘Umar, jika Allah menghendaki kebaikan atasnya maka ia akan masuk Islam dan mengikuti Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, namun jika Dia menghendaki diluar itu maka kami akan membunuhnya dengan tanpa kesulitan.’
Nabi pun diberitahu akan kedatangan Umar, kemudian beliau keluar hingga datanglah Umar, Rasulullah langsung mencengkram kerah baju Umar dan sarung pedangnya, beliau bersabda, ‘Akankah kau berhenti wahai Umar, hingga nanti Allah akan menurunkan kehinaan dan siksa padamu seperti apa yang menimpa Al-Walid bin Mughirah. Ya Allah, inilah Umar bin Al-Khattab! Ya Allah, kuatkanlah agama Islam dengan Umar bin Al-Khatab!’
Umar pun bersaksi, ‘Aku bersaksi bahwa engkau adalah utusan Allah,’ maka Umar pun memeluk Islam. Ia berkata kepada Rasulullah, ‘Keluarlah wahai Rasulullah (kita tidak perlu sembunyi-sembunyi lagi)!’” (Diriwayatkan oleh Al-Imam Muhammad bin Sa’d Az-Zuhriy rahimahullah).[7]
Ada pula kisah yang hampir serupa dengan kisah diatas, diriwayatkan oleh At-Thabarani, hanya saja disebutkan bahwa Islamnya Umar adalah karena membaca surat Al-Alaq. Kelemahan kisah ini karena di dalam sanadnya ada Yazid bin Rabi’ah Ar-Rahabiy dan dia matruk.
Kisah lain yang hampir serupa namun dinilai dhaif adalah kisah yang menyebutkan Islamnya Umar karena membaca surat Al-Hadid (ayat 1 – 7)[8]. Ada pula riwayat yang menyebutkan Islamnya Umar karena mendengar surat Al-Haqqah (ayat 40 – 41) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.[9]
Salah satu kisah shahih mengenai keislaman Umar adalah hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Umar,
لَمَّا أَسْلَمَ عُمَرُ اجْتَمَعَ النَّاسُ عِنْدَ دَارِهِ، وَقَالُوا: صَبَا عُمَرُ وَأَنَا غُلَامٌ فَوْقَ ظَهْرِ بَيْتِي، فَجَاءَ رَجُلٌ عَلَيْهِ قَبَاءٌ مِنْ دِيبَاجٍ، فَقَالَ: قَدْ صَبَا عُمَرُ فَمَا ذَاكَ فَأَنَا لَهُ جَارٌ، قَالَ: فَرَأَيْتُ النَّاسَ تَصَدَّعُوا عَنْهُ، فَقُلْتُ: مَنْ هَذَا؟ قَالُوا: الْعَاصِ بْنُ وَائِلٍ
‘Abdullaah bin ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma berkata, “Ketika ‘Umar memeluk Islam, berkumpullah orang-orang di sisi rumahnya, mereka berkata, ‘Umar telah murtad!’ dan aku ketika itu adalah seorang anak kecil yang sedang berada di atap rumahku. Kemudian datanglah seorang laki-laki kepada mereka, ia mengenakan jubah yang terbuat dari sutera, ia berkata, “‘Umar memang telah murtad, ada apa dengan hal itu? Aku adalah pelindungnya!” Maka aku melihat orang-orang pun meninggalkannya. Aku bertanya, “Siapakah itu?” Orang-orang menjawab, “Dia Al-‘Aash bin Waa’il.” (Shahih Al-Bukhari 2/760).
Namun, kisah yang diriwayatkan Bukhari di atas—dan juga kisah serupa yang diriwayatkan oleh yang lainnya—nampaknya hanya menceritakan kisah pasca Islamnya Umar. Sedangkan kisah-kisah yang secara gamblang menceritakan awal Islamnya Umar adalah hadits-hadits yang dinilai dhaif di atas. Wallahu A’lam.
Hari-hari Bersama Nabi
Setelah memeluk Islam, Umar berubah menjadi pribadi yang sederhana, zuhud, dan jauh dari kemewahan duniawi. Ia menjadi sahabat terdekat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. dan menjadi pembela Islam yang tangguh. Abdullah bin Mas’ud berkata, “Semenjak Umar memeluk Islam, kami senantiasa berada dalam kejayaan.”
Ketika umat Islam hendak hijrah dari Makkah ke Yatsrib (Madinah) karena tekanan dan ancaman kaum Quraisy, Nabi menyerukan kepada para sahabatnya agar berangkat diam-diam dan berpencar karena khawatir hadangan musuh. Namun, kepada kaum Quraisy, Umar justru mengumumkan rencananya untuk berangkat hijrah dan mengancam kepada mereka yang berani menghalang-halanginya, “Wahai wajah yang muram! Barangsiapa ingin ibunya kehilangan anak, dan anaknya menjadi yatim, atau istrinya menjadi janda, temuilah aku di belakang bukit ini besok pagi!”
Setelah berdirinya daulah Islam di Madinah, Umar bin Khattab dipercaya menjadi juru tulis Nabi. Setiap kali Nabi menerima wahyu dialah yang segera menuliskannya.
Umar mengikuti berbagai peristiwa penting dalam perjuangan dakwah. Ia terlibat dalam perang Badar. Pasca peperangan ini, Umarlah yang mengusulkan agar mereka dibunuh semuanya, seimbang dengan kekejaman mereka terhadap Islam. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih cenderung kepada pendapat Abu Bakar; tawanan kaya diwajibkan menebus dirinya masing-masing lalu dilepaskan, sementara yang miskin dan tak berbahaya dilepaskan saja tanpa tebusan. Kemudian turunlah ayat yang memihak usulan Umar: “Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Anfal, 8: 67).
Umar pun terlibat dalam perang Uhud dan perang Khandaq. Ia pun menjadi saksi peristiwa perjanjian Hudaibiyah. Umar termasuk yang merasa dongkol dengan isi perjanjian tersebut karena dianggap merugikan kaum muslimin. Ia menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Bukankah Engkau benar seorang Nabi Allah?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tentu.”
Umar bertanya lagi, “Bukankah kita di atas kebenaran sementara musuh berada di atas kebatilan?” Beliau menjawab, “Tentu”
“Kalau begitu, kenapa kita memberikan kerendahan pada agama kita?” tanya Umar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Sesungguhnya Aku adalah utusan Allah, dan Aku tidak akan mendurhakai-Nya dan Dialah penolongKu”.
Umar kemudian bertanya, “Bukankah Engkau telah mengatakan bahwa kita akan mendatangi Ka’bah kemudian kita melakukan ibadah thawaf di sana?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Benar, (akan tetapi) apakah aku mengatakan kepadamu bahwa kita akan mendatangingya pada tahun ini ?”
Umar menjawab, “Tidak!” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya engkau akan mendatanginya dan melakukan thawaf.”
Umar kemudian mendatangi Abu Bakar dan mengutarakan perkataan yang sama seperti yang diutarakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Abu Bakar mengingatkan Umar, “Sesungguhnya ia adalah benar-benar utusan Allah dan dia tidak sedang menyelishihi Rabbnya dan Dialah penolongnya, patuhilah perintahnya ! Demi Allah Azza wa Jalla sesungguhnya ia di atas kebenaran”
Ketika Umar menyadari kesalahannya ini, ia merasakan penyesalan mendalam dalam hatinya. Sehingga sejak saat itu, Umar memperbanyak ibadah kepada Allah Azza wa Jalla berharap keburukannya itu bisa terhapus dan digantikan dengan kebaikan. Ia mengatakan, “Aku terus berpuasa, bersedekah dan memerdekakan budak (sebagai tebusan) dari apa yang telah aku perbuat, karena aku merasa cemas terhadap ucapan yang pernah aku ucapkan kala itu, sehingga saya berhadap itu menjadi kebaikan”[10]
Umar juga menyaksikan peristiwa Futuh Makkah, ia mendampingi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menerima baiat dari penduduk Makkah.
Peristiwa yang paling menyedihkannya adalah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dalam keadaan emosi yang memuncak Umar berkata, “Sesungguhnya beberapa orang munafik telah menganggap bahwa Muhammad telah meninggal dunia. Tidak. Sesungguhnya beliau tidk meninggal, tetapi pergi ke hadapan Tuhannya seperti yang dilakukan Musa yang pergi selama empat puluh hari dari kaumnya, lalu kembali lagi kepada mereka. Demi Allah, sesungguhnya Rasulullah akan kembali. Barangsiapa mengatakan beliau sudah mati, akan kupotong kedua kaki dan tangannya.”[11]
Perkataannya itu kemudian dibantah oleh Abu Bakar, “Barangsiapa yang menyembah Muhammad, sesungguhnya Muhammad telah mati. Barangsiapa menyembah Allah, sesungguhnya Allah Mahahidup tidak akan mati. Allah berfirman: ‘Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika Dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, Maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.’”
Hari-hari Bersama Abu Bakar
Umarlah yang mendampingi Abu Bakar dalam peristiwa Saqifah Bani Sa’adah[12], taat dan setia mendampingi saat terjadi peristiwa pemberontakan kaum yang tidak mau membayar zakat; ia pula yang mengusulkan penghimpunan Al-Qur’an, mendampinginya dalam melakukan futuhat di luar jazirah Arab.
Keutamaan Umar bin Khattab[13]
Pertama, salah satu sahabat yang dijamin masuk surga.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
دَخَلْتُ الْجَنَّةَ فَإِذَا أَنَا بِقَصْرٍ مِنْ ذَهَبٍ، فَقُلْتُ: لِمَنْ هَذَا الْقَصْرُ؟ قَالُوا: لِشَابٍّ مِنْ قُرَيْشٍ فَظَنَنْتُ أَنِّي أَنَا هُوَ. فَقُلْتُ: وَمَنْ هُوَ؟ فَقَالُوا: عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ
“Ketika aku masuk surga, tiba-tiba aku melihat istana dari emas. Maka aku pun bertanya, “Untuk siapa ini?” Para malaikat pun menjawab, “Untuk seorang pemuda dari suku Quraisy.” Aku pun mengira bahwa itu adalah aku, maka aku bertanya, “Siapa dia?” Para malaikat menjawab, “‘Umar bin Khattab.”” (HR at-Tirmidzi, Ibnu Hibban, dan Ahmad. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah no. 1423.)
Dari Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu berkata, bahwasanya beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَبُو بَكْرٍ فِي الْجَنَّةِ، وَعُمَرُ فِي الْجَنَّةِ، وَعُثْمَانُ فِي الْجَنَّةِ، وَعَلِيٌّ فِي الْجَنَّةِ. …
“Abu Bakar di surga, ‘Umar di surga, ‘Utsman di surga, ‘Ali di surga. …” (HR at-Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani di dalam Shahih al-Jami ash-Shaghir no. 50.)
Kedua, mendapatkan pujian langsung dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Beliau bersabda,
لَوْ كَانَ بَعْدِيْ نَبِيٌّ، لَكَانَ عُمَرُ
“Jika seandainya ada Nabi setelahku, maka ia adalah ‘Umar.” (HR at-Tirmidzi, Al-Hakim, Ahmad, dan yang lainnya. Hadits ini dihasankan oleh Syaikh al-Albani di dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah no. 327.)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
لَقَدْ كَانَ فِيمَا قَبْلَكُمْ مِنَ الْأُمَمِ مُحَدَّثُونَ، فَإِنْ يَكُ فِي أُمَّتِي أَحَدٌ فَإِنَّهُ عُمَرُ
“Sungguh dahulu di antara umat sebelum kalian ada beberapa Muhaddatsun (yaitu orang-orang yang diberi ilham / firasat yang benar). Seandainya ada seseorang di antara umatku, maka sesungguhnya dia adalah Umar.” (HR al-Bukhari no. 3486)
Ketiga, laki-laki yang ditakuti oleh setan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنِّي لَأَنْظُرُ إِلَى شَيَاطِيْنِ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ قَدْ فَرُّوْا مِنْ عُمَرَ
“Sungguh aku melihat setan-setan dari kalangan jin dan manusia lari (kabur) dari Umar.” (HR at-Tirmidzi, hadits ini dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani di dalam Misykatul Mashabih yang ditahqiq oleh beliau.)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
إِيْهًا يَا ابْنَ الْخَطَّابِ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا لَقِيَكَ الشَّيْطَانُ سَالِكًا فَجًّا قَطُّ إِلَّا سَلَكَ فَجًّا غَيْرَ فَجِّكَ
“Wahai ‘Umar bin Al-Khaththab, demi Dzat yang jiwaku ada di tanganNya, tidaklah ada satu pun setan yang bertemu denganmu di suatu jalan melainkan dia akan mencari jalan yang lain yang tidak dilalui olehmu.” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Keempat, dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya serta segenap kaum Muslimin
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلامَ بِأَحَبِّ هَذَيْنِ الرَّجُلَيْنِ إِلَيْكَ، بِأَبِي جَهْلِ بْنِ هِشَامٍ، أَوْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، يَقُوْلُ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا: فَكَانَ أَحَبَّهُمَا إِلَيْهِ عُمَرُ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
“Ya Allah, muliakanlah Islam dengan salah satu di antara kedua orang yang paling Engkau cintai, yaitu Abu Jahal bin Hisyam atau Umar bin Al-Khaththab. Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Dan ternyata yang lebih Allah cintai di antara keduanya adalah Umar bin al-Khattab radhiyallahu ‘anhu.”” (HR at-Tirmidzi, Ibnu Hibban, dan Imam Ahmad. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani.)
Baca risalah selanjutnya: Futuhat Islamiyah di Zaman Umar
Catatan Kaki:
[1] Siyar A’lam an-Nubala, jilid 28, halaman 71
[2] Riwayat ini dinilai lemah karena ada dua orang perawinya yang lemah, yaitu Muhammad bin Abaan dan Ishaaq bin ‘Abdillaah bin Abu Furwah. Terdapat pula riwayat lain yang menyebutkan tentang peristiwa keislaman Umar, diantaranya disebutkan di Thabaqat al-Kubra karya Ibn Sa’ad, bahwa Yahya bin Imran bin Utsman bin al-Arqam berkata; “Aku mendengar kakekku Utsman bin al-Arqam mengatakan: “Aku anak orang ketujuh di dalam Islam, bapakku masuk Islam sebagai orang ketujuh, rumahnya di Mekah di bukit shafa, dan itu adalah rumah yang Nabi ada di situ pada awal Islam, di situ beliau mengajak orang kepada Islam dan di situ banyak orang telah masuk Islam. Beliau pada satu malam Senin berdoa: ‘Ya Allah muliakan Islam dengan salah satu laki-laki yang lebih Engkau sukai: Umar bin al-Khathab atau Amru bin Hisyam’. Lalu Umar bin al-Khathab datang besoknya pagi-pagi lalu dia masuk Islam di rumah al-Arqam dan mereka keluar dari situ, mereka meneriakkan takbir dan berthawaf mengelilingi baitullah terang-terangan dan rumah al-Arqam disebut Dar al-Islam…” Namun riwayat ini tidak menyebutkan tentang pemberian gelar Al-Faruq kepada Umar bin Khattab. Syaikh Shafiyyurahman Mubarakfury memuat riwayat lemah dari Hilyah Al-Auliya di atas dalam bukunya Sirah Nabawiyah, mungkin disebabkan ada riwayat-riwayat lain yang dianggap dapat menguatkannya, diantaranya adalah riwayat yang disebutkan dalam Thabaqat al-Kubra karya Ibn Sa’ad ini. Wallahu A’lam.
[3] Dikutip oleh DR. Musthafa Murad dari Al-Askari dalam Al-Awail, at-Thabrani dalam Al-Kabir, juga Al-Hakim (3/81), Al-Haitsami, dalam Al-Majma’ (9/61).
[4] Lihat pohon keturunan atau leluhur Umar yang disebutkan di awal tulisan ini.
[5] Ukkadz terletak di ceruk bukit Arafah, di sebelah Selatan Ka’bah. Para seniman, penyair, pegulat, dan pembesar klan selalu datang ke pekan tahunan tersebut untuk mempertontonkan kebolehannya masing-masing.
[6] Lihat: Kisah Hidup Umar Ibn Khattab, Dr. Musthafa Murad
[7] Diriwayatkan pula oleh Al-Baihaqiy (Dalaa’il An-Nubuwwah 2/219); Ibnu Syabah (Taariikh Al-Madiinah 1/348); Al-Haakim (Al-Mustadrak 4/59); Al-Balaadzuriy (Ansaabul Asyraaf 10/289); Ibnu ‘Asaakir (Taariikh Dimasyq 44/33); Ibnul Jauziy (Al-Muntazham 4/132). Dan diriwayatkan dengan matan yang diringkas, oleh Ad-Daaraquthniy (Sunan no. 435); Ad-Dhiyaa’ Al-Maqdisiy (Al-Mukhtarah no. 2302 dan 2303); Ath-Thabaraaniy (Mu’jam Al-Ausath no. 1860),
[8] Diriwayatkan Al-Imam Abu Bakr Al-Bazzaar dan Al-Imam Al-Hakim.
[9] Diriwayatkan Al-Imam Ahmad bin Hanbal.
[10] Dikutip dari: https://almanhaj.or.id/4086-sikap-sahabat-terhadap-perjanjian-hudaibiyah.html
[11] Dikeluarkan oleh at-Thabari dalam at-Tarikh (3/197/198), juga al-Fath (8/119).
[12] Silahkan merujuk ke pembahasan Mengenal Abu Bakar di Risalah Tarbawiyah edisi 7
[13] Dikutip dari http://www.muadz.com/keutamaan-umar-bin-khattab-radhiyallahu-anhu/