Kisah Unik Usai Perang Khaibar
Pada tulisan sebelumnya dijelaskan tentang kemenangan umat Islam dalam Perang Khaibar dan keberhasilan mereka menalukkan benteng-benteng Khaibar. Banyak kisah unik sarat pelajaran yang terjadi pada peperangan itu. Sebagian kisah itu, kami sajikan untuk Anda, para pembaca.
Dua Bidadari untuk Sang Penggembala
Sejarah mencatat identitasnya dengan nama al-Aswad. Ia seorang penggembala kambing milik Yahudi Khaibar. Ketika Rasulullah saw mengepung salah satu benteng Khaibar, al-Aswad datang bersama kambing-kambing gembalaannya.
Begitu bertemu Nabi saw, ia pun berseru, “Ya Rasulullah, terangkan kepadaku mengenai Islam.”
Rasulullah saw pun menerangkan kepadanya tentang Islam. Spontan tanpa pikir panjang, ia pun masuk Islam. Memang, Rasulullah saw tak pernah meremehkan seorang pun untuk menyeru dan menerangkan kepadanya tentang Islam. Siapa pun yang datang kepadanya, selalu ia sambut dengan riang. Tanpa pilih kasih meski sekadar seorang penggembala kambing.
Setelah menyatakan masuk Islam, penggembala itu berkata, “Ya Rasulullah, saya ini seorang buruh yang bekerja pada pemilik kambing-kambing ini. Binatang-binatang ini amanat padaku. Apakah yang harus saya lakukan?”
“Pukullah wajah binatang-binatang itu. Mereka akan pulang kepada pemiliknya,” demikian kata Rasulullah saw
Mendengar saran Rasulullah saw, bangkitlah al-Aswad, lalu diambilnya batu-batu kerikil sepenuh kedua telapak tangannya dan dia lemparkan ke muka kambing-kambing itu seraya mengatakan, “Pulanglah kepada tuanmu. Demi Allah, aku tak sudi lagi menemani kalian selama-lamanya.”
Kambing-kambing itu pun pulang kepada pemiliknya, seolah ada yang menggiring mereka hingga masuk ke dalam benteng.
Akan halnya al-Aswad, sesudah itu dia maju mendekati benteng Khaibar, bergabung dengan pasukan kaum Muslimin. Malang, dia terkena batu, lalu tewas. Padahal, dia belum pernah shalat sama sekali. Jenazahnya lalu dibawa ke hadapan Rasulullah saw.
Setelah tubuhnya diletakkan dengan ditutupi baju yang dipakainya, Rasulullah saw berkenan melihatnya bersama beberapa orang sahabatnya. Tiba-tiba beliau berpaling dari mayat itu.
Para sahabat pun bertanya penuh heran, “Ya Rasulullah, mengapa Anda berpaling darinya?”
Rasulullah menjawab, “Dia sekarang ditunggui istrinya, dua bidadari.”
Ibnu Ishaq yang meriwayatkan kisah tersebut melanjutkan, “Pernah disampaikan kepada Abdullah bin Abi Najih bahwasanya tatkala seseorang syahid, kedua istrinya dari bidadari datang menjemputnya dengan sikap genit, sambil menepiskan debu-debu dari wajahnya, seraya berkata, ‘Semoga Allah menaburkan debu ke wajah orang yang menaburkan debu kepadamu dan semoga Dia membunuh orang yang telah membunuhmu.”
Selimut dan Tali Sandal dari Neraka
Setelah meninggalkan Khaibar, Rasulullah saw dan pasukannya bergerak menuju Wadil Qura. Di tempat ini bermukim sekelompok orang Yahudi.
Seperti dituturkan Abu Hurairah yang diriwayatkan Ibnu Ishaq, Rasulullah saw dan para sahabatnya sedang mencari tempat untuk meletakkan barang mereka. Saat itulah tiba-tiba mereka diserang dengan panah. Karena dalam kondisi siaga, serangan itu berhasil dihindari.
Namun sayang, seorang budak Rasulullah saw tak sempat berkelit. Sebatang anak panah melesat ke arahnya. Seperti dijelaskan Imam Bukhari dalam Shahih-nya, budak bernama Mud’im yang merupakan hadiah dari Rifaah bin Zaid itu pun meninggal. Para sahabat yang menyaksikan kejadian itu langsung berseru, “Beruntunglah dia mendapat surga!”
Namun Rasulullah saw langsung membantah, “Tidak. Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya. Selimut yang dia curi dari Khaibar sebelum dibagikan itu, akan menjadi api (neraka) yang akan membakarnya.”
Mendengar ucapan Nabi tersebut, seorang sahabat menggeledah kembali budak itu. Ia menemukan tali sandal.
“Ini tali sandal dari neraka!” ujar Rasulullah saw.
Sehelai Ikat Kepala dan Sebutir Marjan
Adalah Farwah, salah seorang prajurit kaum Muslimin saat itu. Karena panas yang terik, ia memungut sehelai kain lalu mengikatkan ke kepalanya, sekadar untuk meneduhi tubuhnya dari sengatan matahari.
Melihat hal itu, Rasulullah saw segera bersabda, “Ikat kepala itu dari api, kamu ikatkan pada kepalamu.”
Mendengar hal itu, ia langsung melepas kain itu. Jika dipertahankan, berarti ia telah berlaku curang, mengambil bagian dari harta rampasan perang yang belum dibagikan. Ia telah melakukan pelanggaran meski hanya mengambil sehelai kain untuk ikat kepala.
Pelanggaran lainnya dilakukan oleh seorang laki-laki dari Asyja’. Ia tewas di medan perang. Namun Rasulullah saw tak berkenan menshalatkan mayatnya. Alasan beliau, “Sesungguhnya temanmu ini telah berbuat curang di jalan Allah.”
Ternyata benar. Di antara barang-barang miliknya, didapati sebutir marjan yang harganya tak sampai dua dirham!
Menuai Hikmah di Balik Kisah
Kisah al-Aswad si penggembala dan dua bidadari pada episode Perang Khaibar ini menyiratkan tentang pentingnya kita mengakhiri hidup dengan husnul khatimah. Sebab, yang menyebabkan seorang hamba masuk surga bukan semata banyaknya amal, tapi rahmat Allah.
Banyaknya amal hanyalah salah satu cara meraih ridha Allah. Kehidupan seorang hamba ditentukan di pengujung hayatnya. Tiket seseorang menuju surga benar-benar dipastikan di akhir hidupnya.
Apa yang dilakukan oleh as-Aswad? Tidak ada. Bahkan shalat dua rekaat pun dia tak sempat. Tapi ia ditakdirkan masuk surga.
Rasulullah saw bersabda, “…Sesungguhnya seorang di antara kalian mengerjakan amalan penghuni neraka sehingga jarak dirinya dengan neraka hanya tinggal sejengkal. Namun ketentuan mendahuluinya sehingga ia mengerjakan amalan penghuni surga. Maka, ia pun masuk (surga),” (HR Bukhari Muslim).
Tak ada yang abadi di dunia ini kecuali sang Pencipta. Semua makhuk pasti binasa. Kapan pun waktunya. Kekayaan, ketenaran dan jabatan, tak bisa membuat orang kekal. Semua akan berakhir pada kepunahan. Allah berfirman, “Semua yang ada di bumi itu akan binasa,” (QS ar-Rahman: 26).
Akhir kehidupan di dunia merupakan awal kehidupan akhirat. Ia menjadi tiket untuk menentukan pilihan: surga atau neraka. Karenanya, mempersiapkan tiket menuju surga seharusnya menjadi agenda utama setiap Muslim. Kesuksesan di dunia ditandai dengan keberhasilan mempersiapkan tiket tersebut. Ibarat para penonton yang mau masuk dalam sebuah gedung pertunjukan, mereka harus mempersiapkan tiket. Tiket itulah yang akan dibawa dan diberikan pada penjaga pintu pertunjukan.
Begitulah perumpamaan hidup ini. Setiap manusia yang ingin masuk ke surga, harus mempersiapkan tiket. Tiket itu diberikan di akhir hidup. Berhak dan tidaknya seseorang terhadap tiket itu, ditentukan di akhir hidupnya. Menjelang ajalnya.
Jika kematian itu dapat diprediksi, mungkin kita bisa menskenario akhir hidup ini. Tapi ternyata kedatangan maut tak ada yang bisa menerka. Kecanggihan teknologi dan kemajuan ilmu pengetahuan hanya bisa memperkirakan, tapi tak bisa memastikan. Maut di tangan Allah. Tak ada yang bisa mengambilnya. Jika waktunya belum tiba, tak seorang pun bisa mempercepatnya walaupun sedetik. Jika waktunya tiba, tak seorang pun bisa menahannya meskipun sekejap. Allah berfirman, “Tiap-tiap umat mempunyai ajal. Apabila telah datang ajal mereka, maka mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak (pula) mendahulukan (nya),” (QS Yunus: 49).
Namun demikian, bukan berarti husnul khatimah (akhir hidup yang baik) tak bisa diusahakan. Ia memang merupakan salah satu dari rahasia Allah yang hanya Dialah yang tahu. Tapi, manusia berhak berusaha.
Karena kematian tak bisa dipastikan, kita harus siaga setiap saat. Caranya, dengan selalu berusaha berada dalam kesuksesan: berguna bagi orang lain, bersyukur dengan menerima apa yang kita usahakan, dan hidup seimbang.
Mereka yang hidup dalam kesuksesan, akan mempunyai peluang besar untuk mendapatkan akhir yang baik. Sebaliknya, mereka yang tak berguna bagi orang lain, hidupnya tidak seimbang dan tidak pandai bersyukur, peluang husnul khatimahnya sangat kecil.
Selain itu, mereka yang mendambakan husnul khatimah, harus senantiasa berusaha dekat dengan Allah. Caranya, dengan selalu mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Di antara sifat buruk manusia, ia akan mendekat kepada Allah ketika dalam kesusahan. Sebaliknya, ketika dalam kesenangan, ia lupa dengan Sang Pencipta. Ia tak ingat bahwa kematian bisa menghampiri siapa pun dan dalam keadaan bagaimana pun.
Jika kita bandingkan kisah di atas, kita menemukan dua gambaran yang kontras antara dua budak dalam barisan balatentara Islam. Keduanya sangat unik dan mengagumkan. Yang seorang budak Rasulullah saw sendiri yang terbunuh di hadapan beliau, yang menurut lahiriahnya patut mendapat ucapan selamat karena akan masuk surga. Yang lain seorang budak Yahudi, yang sama sekali belum pernah shalat dan terbunuh di depan pintu benteng dari mana dia berasal.
Selimut yang diambil secara curang oleh budak Rasulullah saw cukup menjamin dia bakal terbakar oleh selimut itu sendiri dalam neraka dan menyebabkan dia tidak mendapat surga. Bahkan, bakti dan khidmatnya kepada Rasulullah saw maupun keberadaannya selama ini dalam barisan kaum Muslimin tak bisa memberinya syafaat (pertolongan).
Sementara itu, sifat amanah dari budak Yahudi itu berubah menjadi suatu karamah baginya, berupa pelemparan batu-batu kerikil sepenuh dua telapak tangan yang dia lemparkan ke muka kambing-kambing itu seraya mengatakan, “Demi Allah, aku tidak sudi menemanimu lagi buat selama-lamanya.”
Dia lalu masuk Islam, bersih dari keyahudian, dan dosa-dosanya selama ini menjadi musnah, berkat berperang teguh pada amanat yang luhur tersebut. Semua itu tidak berlangsung lama, hanya sebentar budak Yahudi itu pun maju ke medan pertempuran dan langsung terbunuh. Datanglah kepadanya kedua istrinya dari bidadari dan dengan sikap yang genit digandengnya budak itu menuju surga.
Kisah itu bertemu pada satu titik. Yakni, sikap amanah. Barangsiapa yang bisa menjaga amanah meskipun milik Yahudi, ia mendapatkan kebaikan. Sebaliknya, orang yang mengabaikan amanah, meskipun itu milik umat Islam, neraka menantinya.
Adapun Farwah, ia masih sempat menyelamatkan diri. Ketika ditegur Rasulullah saw, ia segera melepaskan ikat kepalanya. Padahal, jika kita renungkan, apalah arti sebuah ikat kepala. Namun yang paling penting bukan nominalnya tapi hakikat dari perbuatan itu. Farwah dianggap mencuri karena memanfaatkan milik umum untuk kepentingannya sendiri.
Ikat kepala itu masih menjadi milik umum. Bukan milik Farwah secara pribadi. Dan, memanfaatkan milik umum untuk kepentingan pribadi jelas terlarang. Meski hanya sekadar selembar ikat kepala untuk melindungan dari terik matahari.
Terhadap Asyja’ yang mengambil sebutir marjan, Nabi saw tak berkenan menshalatkan mayatnya hanya karena kecurangan yang tidak seberapa itu. Ini pelajaran bagi yang hadir waktu itu. Agar mereka paham bahwa mencuri meskipun sedikit, itu tak boleh. Sungguh, inilah suatu hal yang tak pernah disaksikan dalam sejarah bangsa-bangsa dan peperangan manapun selain pada bala tentara kaum Muslimin.
Satu lagi kisah seperti dijelaskan Imam Bukhari dalam Shahih-nya. Seorang budak Nabi saw bernama Mud’im yang merupakan hadiah dari Rifaah bin Zaid itu terbunuh akibat lemparan panah musuh. Para sahabat yang menyaksikan kejadian itu langsung berseru, “Beruntunglah dia mendapat surga!”
Namun Rasulullah saw langsung membantah, “Tidak. Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya. Selimut yang dia curi dari Khaibar sebelum dibagikan itu, akan menjadi api (neraka) yang akan membakarnya.”
Mendengar ucapan Nabi tersebut, seorang sahabat menggeledah kembali budak itu. Ia menemukan tali sandal.
“Ini tali sandal dari neraka!” ujar Rasulullah saw.
Terhadap budak bernama Mud’im yang terbunuh dan ditemukan selimut dan sandal ditubuhnya ini, Nabi saw memvonisnya dengan neraka! Ini hukuman paling tegas sebagai peringatan bagi orang-orang yang hidup kala itu.
Sikap tegas ini penting. Jika pelanggaran meskipun kecil, dipertahankan, lama kelamaan akan terbiasa. Justru dengan pembiaran pelanggaran inilah musuh bisa mengalahkan kita.
Laki-laki dari Asyja’ mencuri sebutir marjan. Jika dibiarkan dan tak ada tindakan tegas, maka bisa jadi teman-temannya yang lain melakukan hal yang sama. Sama halnya dengan Farwah -laki yang mengambil ikat kepala. Jika tidak ditegur, mungkin ia akan mengambil pakaian lainnya untuk melindungan tubuhnya. Lalu, teman-temannya yang lain akan mengikuti tindakannya karena tidak ada larangan.
Pelanggaran-pelanggaran itu memang kecil jika dibandingkan dengan kondisi kaum Muslimin kala itu. Secara materi, hilangnya sebutir marjan atau sebuah ikat kepala, takkan membuat umat Islam bangkrut atau rugi. Harta rampasan mereka banyak. Namun pelanggaran kecil, jika dibiarkan akan menjadi besar. Kalau sudah besar, akan makin sulit diatasi. Persis seperti api, jika ingin memadamkannya, jangan menunggu besar.
(Bersambung)